*

*

Ads

Selasa, 11 Juni 2019

Pendekar Bodoh Jilid 135

Hal ini tidak dipedulikan oleh Ang I Niocu walaupun ada juga sedikit perasaan iba di dalam hatinya. Entah bagaimana, dalam penglihatannya, kedua mata Ban Leng mengingatkan dia akan Cin Hai. Sama benar mata Ban Leng ini dengan mata Cin Hai, sama lebar dan sama tajam, hanya sedikit bedanya kalau Cin Hai menggerakkan bola matanya dengan tenang hingga nampak seperti orang bodoh, adalah Ban Leng menggerakkannya dengan lincah, tanda bahwa otaknya kerja cepat dan wataknya cerdik.

Sementara itu, Cin Hai tertinggal dua hari oleh Ang I Niocu karena pemuda ini melakukan perjalanan dengan seenaknya dan tidak tergesa-gesa. Tiap kali melalui bukit, ia menikmati tamasya alam di daerah itu dan tiap kali melalui dusun atau kota, ia tentu berhenti sebentar, bahkan kadang-kadang bermalam untuk mengenal tempat itu lebih baik. Penghidupan di daerah itu menarik hatinya, terutama melihat banyaknya macam suku-suku bangsa yang berdiam di tempat itu secara berkelompok-kelompok.

Pada suatu hari Cin Hai melihat serombongan orang Turki terdiri dari lima orang berjalan masuk ke dalam sebuah dusun. Ketika melihat bahwa Wai Sauw Pu, kakek bersorban itu berada di dalam rombongan tadi, timbul keinginan hati Cin Hai untuk mengikuti mereka.

Kelima orang itu masuk ke dalam sebuah pondok dan karena hari itu sudah mulai gelap, dengan berani dan cekatan Cin Hai melompat ke atas genteng dan bersembunyi di atas sambil mengikuti.

Akan tetapi alangkah kecewanya ketika mendengar pembicaraan mereka dilakukan dalam bahasa Turki yang ia tidak mengerti. Ia hendak meninggalkan tempat itu akan tetapi ketika ia mendengar Wai Suaw Pu menyebut-nyebut nama Yousuf, ia membatalkan niatnya itu dan terus mengintai.

Tak lama kemudian, kelima orang itu yang agaknya menanti sampai malam tiba, lalu meninggalkan pondok dan menuju ke sebuah pondok yang terpencil dan berada di sebelah utara di ujung dusun itu.

Wai Sauw Pu mengetuk pintunya dan ketika pintu dibuka oleh seorang Turki yang sudah tua, kelima orang itu tanpa permisi lalu melangkah masuk. Cin Hai melihat betapa kedua mata kakek Turki itu terbelalak ketakutan, maka ia lalu melompat naik ke atas genteng dan membuka sebuah genteng melakukan pengintaian.

Cin Hai melihat betapa kelima orang itu melakukan pertanyaan-pertanyaan dengan wajah bengis, sedangkan kakek itu menjawab dengan takut-takut seakan-akan kelima orang itu sedang mendesak untuk mengakui sesuatu yang disangkal oleh kakek itu, ternyata bahwa berkali-kali ia menggeleng-geleng kepala dan menggoyang-goyangkan tangan.

Kemudian agaknya Wai Sauw Pu menjadi marah sekali karena dengan tangan kiri ia memegang leher baju orang tua itu sambil membentak-bentaknya. Kemudian tangan kanannya menampar hingga tubuh kakek itu terlempar dan menubruk dinding.

Tamparan tangan Wai Sauw Pu keras sekali hingga kakek itu mengeluh dengan suara perlahan dan tak dapat bangun pula. Wai Sauw Pu melangkah maju, hendak menampar pula agaknya, akan tetapi pada saat itu, sebuah benda melayang dari atas dan hampir saja mengenai tangannya kalau saja ia tidak cepat mengelak. Sambaran benda yang ternyata sepotong genteng itu, disusul oleh melayangnya tubuh Cin Hai dalam pondok, sambil membentak,

“Orang-orang kejam jangan menyiksa orang tua yang lemah!”

Bukan main terkejutnya hati Wai Sauw Pu ketika melihat bahwa yang melayang turun itu adalah pemuda yang dulu membela Yousuf dan Lin Lin di dalam hutan. Ia telah merasai kelihaian pemuda ini, maka hatinya menjadi gentar.

Tidak demikian dengan keempat orang kawannya yang belum mengenal Cin Hai, maka dengan golok di tangan mereka maju menerjang pemuda asing ini. Cin Hai menggerakkan kedua tangannya dan oleh karena kawan-kawann Wai Siauw Pu itu ternyata memiliki ilmu silat biasa saja, sekali tubuhnya bergerak, dua batang golok telah dapat dirampas dan pemilik-pemilik golok terpelanting roboh!

Dua batang golok yang kini berada di tangan Cin Hai itu tiba-tiba dilontarkan ke arah Wai Siauw Pu yang segera melompat ke samping dan kakek bersorban ini terus melompat melalui jendela dan lari!

Kawan-kawannya juga segera melarikan diri keluar dari pintu, sedangkan dua orang yang tadi terpelanting jatuh, merayap-rayap dan kemudian lari pula ke luar. Ternyata bahwa Wai Siauw Pu tidak berani menghadapi Cin Hai seorang diri saja oleh karena kawan-kawannya adalah orang biasa yang tak dapat diandalkan tenaganya. Cin Hai tidak mau mengejar, hanya menghampiri kakek yang masih rebah di atas lantai sambil merintih-rintih itu.

“In-kong (Tuan Penolong)… terima kasih… terima kasih…” katanya dalam bahasa Han yang kaku sambil terengah-engah.






Ketika Cin Hai mengangkat tubuh kakek itu untuk dibaringkan di atas dipan, ia menjadi terkejut sekali oleh karena melihat betapa kepala kakek itu yang tadi terbentur tembok telah mendapat luka yang besar dan berbahaya sekali.

“Lopek, mengapa mereka itu memusuhimu?”

“Mereka adalah pengikut-pengikut…Pangeran muda… kejam dan ganas…” akan tetapi tiba-tiba wajah yang menyeringai kesakitan itu lalu tersenyum, “akan tetapi jangan harap akan dapat merampas ini… biar mereka membunuhku sekalipun…”

Ia lalu mengeluarkan sebuah bungkusan dari dalam bajunya.
”In kong… aku sudah tua, lukaku berat, tiada gunanya kau tolong aku… kalau kau memang seorang gagah yang berhati mulia… tolonglah saja benda ini, jangan sampai terjatuh ke dalam tangannya…”

Cin Hai menerima bungkusan itu dengan perasaan kasihan dan terheran. Tiba-tiba ia teringat sesuatu dan bertanya,

“Lopek, apakah kau seorang pengikut Pangeran tua dan kenalkah kau kepada Ibrahim dan Yousuf?”

Mata yang sudah layu itu bercahaya kembali.
“Tentu saja… Yousuf adalah kemenakanku… kau…kau jagalah benda ini baik-baik… mereka menghendaki benda ini… bangsa-bangsa itu, agaknya berani mempertaruhkan nyawa untuk mendapatkan benda ini… In-kong, kau boleh pergunakan benda ini dan… dan selain Yousuf atau Ibrahim sendiri, jangan berikan benda ini kepada orang lain!”

“Baiklah, Lopek. Kau tidak memilih keliru, karena terus terang saja, aku ialah seorang sahabat baik dari Yousuf.” Wajah kakek itu berseri, akan tetapi segera berkata,

“Pergilah, lekas pergi!”

Ketika melihat wajah Cin Hai yang ragu-ragu dan tidak tega meninggalkannya dalam keadaan demikian, kakek itu berkata lagi,

“Pergilah lekas dan jangan kuatirkan aku… aku dapat merawat diri sendiri…!”

Terpaksa Cin Hai lalu melompat pergi dari tempat itu dengan benda terbungkus itu di dalam saku bajunya. Ia tidak tahu bahwa belum lama ia pergi, beberapa bayangan orang Turki masuk ke dalam pondok itu dan kemudian setelah mereka meninggalkan pondok, kakek itu telah tak bernyawa pula dengan dada tertusuk pisau!

Sambil melanjutkan perjalanannya, Cin Hai mencoba untuk melihat apa gerangan isi bungkusan yang demikian dikehendaki oleh Wai Sauw Pu dan kawan-kawannya. Benda itu terbungkus dengan kain kuning dan ketika ia membuka bungkusan itu, ternyata bahwa isinya hanyalah sebuah tutup cawan terbuat daripada perak!

Cin Hai hampir tak dapat menahan gelak tawanya melihat benda ini. Hanya tutup cawan dari perak yang harganya tidak seberapa banyak! Ia membolak-balik benda itu di atas telapak tangannya dan memandangnya dengan heran. Tutup cawan itu kecil saja, terbuat daripada perak bakar dan pada mukanya terdapat ukiran-ukiran berupa bunga-bunga yang tak dapat disebut indah.

Selain ukiran ini, tidak ada apa-apa lagi yang patut diceritakan pada tutup cawan ini. Kalau saja tidak teringat akan permintaan kakek itu, tentu Cin Hai sudah melemparkan benda itu jauh-jauh, karena menurut pendapatnya, apakah harganya sebuah tutup cawan?

Akan tetapi Cin Hai memiliki watak yang setia dan sifat yang gagah, maka sekali berjanji, betapapun juga tentu akan memegang teguh janjinya itu. Maka sambil tersenyum ia lalu membungkus kembali tutup cawan itu dan memasukkannya kembali ke dalam saku.

Ketika ia melanjutkan perjalanannya, tiba-tiba dari belakang terdengar derap kaki kuda dan ketika enam orang penunggang kuda telah datang dekat, ternyata bahwa mereka itu adalah Wai Sauw Pu dan kawan-kawannya! Wai Sauw Pu melompat turun dari kudanya dan menjura kepada Cin Hai yang memandangnya dengan terheran tanpa membalas penghormatan itu.

“Sicu, kami harap kau suka mengembalikan tutup cawan itu kepada kami.”

“Apa maksudmu?” Cin Hai membentak marah. “Aku tidak mempunyai hubungan sesuatu dengan kalian dan selama hidupku belum pernah aku meminjam atau menerima sebuah tutup cawan dari kalian!”

Wai Sauw Pu tersenyum akan tetapi matanya memandang tajam.
“Sicu, harap kau maafkan kalau beberapa kali kita bertemu dalam keadaan yang kurang enak. Sebetulnya kami tidak mempunyai permusuhan sesuatu dengan Sicu atau dengan kawan-kawan Sicu. Akan tetapi tutup cawan itu adalah barang pusaka kami yang tercuri oleh kakek tua itu, maka tentu saja Sicu takkan sudi untuk menyimpannya lebih jauh oleh karena kami tahu bahwa maling tua itu telah memberikannya kepadamu.”

“Memang barang itu ada padaku akan tetapi aku telah berjanji kepada kakek tua itu untuk menyimpannya dan tak boleh memberikannya kepadamu!”

“Jadi Sicu lebih percaya kepada maling tua yang jahat itu?”

“Maling tua itu, kalau benar-benar ia maling, tidak lebih jahat dari pada kau dan kaki tanganmu!” bentak Cin Hai yang marah ketika teringat betapa kakek bersorban yang tinggi besar ini telah memukul kakek itu dengan kejam.

Mendengar ini, Wai Sauw Pu menjadi marah sekali dan cepat ia mengeluarkan senjatanya yang ampuh, yaitu segulung tasbeh dari gading. Juga kawan-kawannya telah mengeluarkan senjata masing-masing.

Ketika Cin Hai memandang, ia melihat bahwa di antara semua kawanan itu, terdapat juga Lok Kun Tojin, tosu yang bersenjata sepasang roda pakai tali itu! Ia maklum bahwa kali ini ia menghadapi lawan yang tangguh. Apalagi sekarang ia tidak mempunyai pedang dan terpaksa harus melawan mereka dengan tangan kosong, paling banyak dengan sulingnya!

“Sicu, sekali lagi dengarlah kata-kataku. Kau masih muda dan gagah, sedangkan diantara kita tidak ada permusuhan sesuatu. Tutup cawan dari perak itu, apakah harganya bagimu? Kalau kau suka, kami sanggup mengganti atau menukarnya dengan tutup cawan dari emas tulen!” kata pula Wai Sauw Pu membujuk.

“Eh, sebenarnya, apakah kehendak kalian dengan tutup cawan itu?” tanya Cin Hai. “Aku mengukuhi benda itu bukan karena ingin memilikinya, akan tetapi hanya karena aku sudah berjanji untuk melindunginya. Ini tidak aneh, akan tetapi kalian ini benar-benar aneh! Mengapa untuk sebuah tutup cawan dari perak kalian hendak menggantinya dengan sebuah dari emas?”

“Sicu, ini adalah urusan dan kepentingan pribadi, kepentingan bangsa kami. Sudah kukatakan tadi bahwa benda itu adalah barang pusaka kerajaan kami, maka harap Sicu suka memaklumi hal ini dan mengembalikan barang itu,” kata pula Wai Sauw Pu, bahkan kawan-kawannya pun memandangnya dengan heran.

“Malaikat tasbeh! Kau jangan membohongi aku, karena biarpun aku disebut Pendekar Bodoh, akan tetapi aku bukanlah seorang anak kecil yang tidak tahu apa-apa! Kau tadi menyebut Kerajaan Turki sebagai kerajaan kalian sedangkan aku tahu bahwa kau adalah seorang dari Sin-kiang! Bahkan beberapa orang kawanmu ini pun bukan seorang bangsa Turki. Apakah kau ini seorang belian dari Turki, ataukah sekarang Sin-kiang sudah menjadi tanah jajahan Turki? Ha, ha, ha! Wai Sauw Pu, peribahasa kuno menyatakan bahwa anak yang melawan orang tuanya adalah seorang durhaka, akan tetapi seorang yang mengkhianati negara sendiri adalah orang yang berbatin rendah sekali! Dan kau tentu tidak suka kalau disebut seorang pengkhianat negara?”

“Bangsat bermulut lancang!” Wai Sauw menggerakkan tasbehnya dengan marah. “Jangan banyak cakap, pendeknya kau kembalikan benda itu atau tidak?”

“Tidak ada persoalan menerima dan mengembalikan,” jawab Cin Hai dengan tenang, “Aku tak pernah menerimanya darimu dan takkan mau pula mengembalikan. Ucapan dan janji seorang gagah lebih berharga daripada jiwa, tahukah kau?”

“Keparat!”

Wai Sauw Pu lalu menggerakkan tasbehnya dan manyerang ke arah Cin Hai! Pemuda ini dengan sigapnya mengelak, akan tetapi kawan-kawan Wai Sauw Pu telah melompat turun dan menggerakkan senjata masing-masing mengeroyok Cin Hai yang bertangan kosong!

Cin Hai terpaksa mencabut keluar sulingnya karena menghadapi sekian orang lihai dengan bertangan kosong adalah amat berbahaya. Walaupun sulingnya hanya terbuat daripada bambu tipis, akan tetapi oleh karena ia mainkan suling itu dalam Ilmu Pedang Daun Bambu, maka ujung sulingnya mengancam jalan darah semua lawannya hingga mereka tidak berani mengurung terlalu dekat!






Tidak ada komentar :