*

*

Ads

Rabu, 12 Juni 2019

Pendekar Bodoh Jilid 136

Akan tetapi, tasbeh dari Wai Sauw Pu dan senjata roda Lok Kun Tojin benar-benar berbahaya dan tiap kali sulingnya yang ringan itu akan terbentur oleh kedua senjata itu, sulingnya terpaksa ia gerakkan untuk menghindari benturan ini karena takut kalau-kalau sulingnya pecah dan rusak!

Sebetulnya kalau Cin Hai tidak menguatirkan kerusakan sulingnya, ia tak usah merasa gentar, oleh karena yang terlihai diantara semua pengeroyoknya hanyalah Wai Sauw Pu dan Lok Kun Tojin, sedangkan empat orang yang lainnya adalah orang-orang yang memiliki tenaga besar belaka, akan tetapi ilmu silat mereka masih jauh di bawah tingkatnya.

Akan tetapi ia pikir bahwa sesungguhnya ia tidak mempunyai permusuhan sesuatu dengan mereka, maka tidak ada perlunya untuk menewaskan mereka atau melayani mereka lebih lama lagi. Ia segera memutar-mutar sulingnya dan memainkan tangan kirinya dengan pukulan-pukulan Pek-in-hoatsut hingga dua orang pengeroyok dapat ia robohkan tanpa menderita luka hebat, kemudian ia lalu lompat keluar dari kurungan mereka berlari secepatnya meninggalkan tempat itu!

Lawan-lawannya segera mengejar sambil menunggang kuda, akan tetapi mereka tak dapat mengejar Cin Hai yang mempergunakan Ilmu Lari Cepat Jouw-sang-hui, hingga sebentar saja ia telah meninggalkan mereka jauh-jauh!

Akan tetapi musuh-musuhnya itu tidak mau membiarkan dia pergi dengan aman dan semenjak saat itu, Cin Hai selalu merasa bahwa ia diikuti orang! Ke mana juga ia pergi, bahkan ketika ia bermalam di hotel-hotel ia merasa pasti bahwa dirinya sedang diintai dan diikuti orang secara diam-diam. Ia menjadi jengkel sekali dan mulai merasa betapa tugas yang ditimpakan oleh kakek Turki itu ke atas pundaknya, bukanlah tugas yang ringan.

Ia maklum bahwa pada suatu saat, orang-orang Turki pengikut pangeran muda itu pasti akan muncul dan mengeroyoknya dengan tenaga sepenuhnya. Maka ia menjadi gelisah juga, karena sedikitnya, walaupun ia tak pernah merasa takut, hal ini mengganggu tidurnya dan ia tidak dapat menikmati perjalanannya, karena ia selalu harus berlaku waspada dan hati-hati.

Dua hari kemudian, sampailah ia di Lan-couw, ibu kota Kan-su. Ketika ia tiba di luar tembok kota, ia melihat sebuah rumah terpencil di pinggir jalan. Tadinya ia hendak melewatinya saja, akan tetapi, tiba-tiba ia melihat bayangan beberapa orang Turki berkelebat di rumah itu, maka ia menjadi tertarik dan segera melompat pula menghampiri pondok itu.

Ketika ia tiba di dekat jendela pondok yang terbuka, ia mendengar suara orang bicara. Pada saat itu ia mengalami dua macam hal yang amat mengejutkan hatinya, bahkan membuat wajahnya menjadi pucat.

Yang pertama ialah suara yang keluar dari dalam pondok itu! Jelas terdengar olehnya dua orang, seorang laki-laki dan seorang wanita, sedang bicara dan suara wanita itu mengingatkan ia kepada Ang I Niocu!

Hal kedua yang mengejutkan hatinya ialah ketika mendapat kenyataan bahwa rumah itu berikut dirinya, telah terkurung dari segenap penjuru oleh orang-orang Turki yang dikepalai oleh Wai Sauw Pu, Lok Kun Tojin, bahkan Si Nenek Bongkok Siok Kwat Moli juga kelihatan bayangannya!

Akan tetapi hal ke dua ini tidak ia pedulikan, yang lebih menarik hatinya adalah suara wanita itu. Ia mendekatkan telinganya pada jendela dan mendengar suara wanita itu berkata dengan suara yang tandas dan nyaring, akan tetapi merdu,

“Jangan kau ulangi lagi ucapanmu tadi!”

“Lihiap… tidak kasihankah kau kepadaku? Biarlah kau boleh menjadi marah dan boleh pula membunuhku, akan tetapi aku harus selalu mengulangi pernyataanku tadi. Aku cinta kepadamu, Lihiap! Apa dayaku? Aku adalah seorang berdosa besar yang tadinya hendak mengasingkan diri dan menyucikan diri untuk menebus dosaku, akan tetapi, semenjak aku melihat wajahmu, timbul kegembiraan hidupku. Lihiap, mungkin di dunia ini ada orang yang mencintaimu seperti aku!” terdengar suara seorang laki-laki berkata.

“Cukup tutup mulutmu! Untuk ucapan ini saja kalau aku tidak ingat bahwa kau pernah menolongku, dan tidak ingat bahwa kau mengingatkan daku akan seorang yang amat kuhargai, tentu sekarang juga sudah kucabut pedangku untuk menabas batang lehermu!”

“Lihiap, kalau aku melawan, belum tentu kau akan dapat menang, akan tetapi, aku tak sampai hati mengangkat tangan melawanmu. Kau boleh perlakukan aku sesuka hatimu, akan tetapi kasihanilah aku dan janganlah kau sia-siakan cinta kasihku!”

Cin Hai tak dapat menahan lagi gelora hatinya oleh karena ia tak ragu-ragu lagi bahwa itu adalah suara Ang I Niocu! Ia cepat membuka daun jendela dan memandang ke dalam. Benar saja, yang berada di dalam pondok itu adalah Ang I Niocu dan seorang laki-laki. Ang I Niocu berdiri tegak dengan tangan kanan di gagang pedangnya sedangkan laki-laki itu berlutut di depannya!

“Niocu…!”

Cin Hai berteriak dengan wajah pucat dan bibir menggigil karena masih belum percaya bahwa dara yang baju merah itu benar-benar Ang I Niocu!






Dara Baju Merah itu berpaling cepat dan mulutnya tersenyum girang ketika ia melihat Cin Hai.

“Hai-Ji…” serunya dengan suara menggetar, lalu tubuhnya melompat keluar jendela.

Mereka berdiri berhadapan, sedangkan Cin Hai memandang dengan mata terbelalak.
“Niocu… Niocu… benar-benarkah kau ini… apakah aku tidak sedang bermimpi…” Sambil berkata demikian, air mata mengalir ke atas kedua pipi Cin Hai.

Ang I Niocu memegang kedua tangan Cin Hai.
“Hai-ji… tidak, kau tidak sedang dalam mimpi. Aku betul Kiang Im Giok yang telah terlepas dari bencana di Pulau Kim-bun-to.”

Saking girangnya, ingin Cin Hai memeluk dara ini, akan tetapi sebaliknya lalu menjatuhkan diri berlutut. Ang I Niocu mengangkat bangun padanya lalu sambil menaruh kedua tangan pada pundak pemuda itu, dan air mata berlinang di bulu matanya, Ang I Niocu berkata sambil tersenyum penuh keharuan hati dan kegirangan,

“Hai-ji, kau benar-benar telah dewasa sekarang. Bahkan kau telah nampak masak. Dimana Lin Lin?”

“Dia ikut belajar silat dengan Suhu.”

Ang I Niocu mengangguk girang, dan sebelum ia melanjutkan kata-katanya, tiba-tiba dari jendela itu berkelebat bayangan Ban Leng yang segera mengayun rebabnya ke atas kepala Cin Hai. Cin Hai berkelit cepat dan sekarang barulah ia mengenal laki-laki ini sebagai orang yang dulu pernah pula menyerangnya di tepi Sungai Huangho.

“Eh, eh, tunggu dulu, kawan!” teriaknya dengan marah dan heran, sedangkan Ang I Niocu membentak pula,

“Saudara Sie Ban Leng, jangan kau sembarangan turun tangan!”

Bukan main terkejut hati Cin Hai mendengar nama ini hingga ia tertegun bagaikan patung dan memandang ke arah pamannya itu dengan mata terbelalak dan mulut celangap. Jadi inilah paman Sie Ban Leng yang dulu mengkhianati ayah bundanya?

Akan tetapi, sebelum ia sempat membuka mulut, tiba-tiba orang-orang Turki yang tadi ia lihat, telah mendatangi dengan cepat dan mengurung rumah itu! Sie Ban Leng terkejut sekali dan tiba-tiba ia bersuit keras memberi tanda kepada kawan-kawannya, lalu ia sendiri tanpa banyak cakap lalu memutar-mutar rebabnya menyerang Wai Sauw Pu.

Wai Sauw Pu menggerakkan tasbehnya dan berkata dengan marah,
“Tangkap tiga tikus ini!”

Maka majulah semua orang Turki mengeroyok, hingga Ang I Niocu lalu mencabut pedangnya dan Cin Hai juga menggerakkan sulingnya, bertempur menghadapi sekian banyaknya pengeroyok di dekat Ang I Niocu.

Tak lama kemudian, datanglah kawan-kawan Sie Ban Leng, yaitu perwira-perwira yang menyamar, bahkan Ceng Tek Hosiang dan Ceng To Tosu muncul pula hingga sebentar saja terjadi pertempuran hebat antara orang-orang kaisar melawan orang-orang Turki.

“Niocu, sebenarnya mereka ini datang untuk menangkap aku!” kata Cin Hai sambil menangkis serangan lawan yang kini tidak begitu rapat lagi karena datangnya bala bantuan.

“Mengapa?” tanya Ang I Niocu sambil mengirim tendangan kepada seorang pengeroyok hingga orang yang tertendang itu terguling dan tak dapat bangun pula.

“Karena aku membawa sebuah tutup cawan perak yang tidak berharga!” jawab Cin Hai sambil tertawa.

Akan tetapi mendengar jawaban ini, tiba-tiba Ang I Niocu memandangnya dengan mata terbelalak.

“Tutup cawan perak yang berukir di atasnya?” tanyanya.

“Betul,” jawab Cin Hai sambil memandang heran. “Bagaimana kau bisa tahu?”

“Hai-ji, cepat! Mari kita keluar dari kepungan ini! Saat yang baik kita pergunakan. Selagi mereka bertempur, kita boleh bekerja cepat!”

Biarpun tidak mengerti akan maksud gadis itu, namun Cin Hai lalu memutar sulingnya dan dengan cepat lalu mengikuti Ang I Niocu yang telah melompat keluar dari kalangan pertempuran, lalu keduanya lari cepat memasuki kota Lan-couw.

Ternyata Ang I Niocu membawanya menuju ke Gua Tun-huang yang beratus-ratus banyaknya itu.

“Coba kau keluarkan tutup cawan itu, Hai-ji,” kata Ang I Niocu dan ketika Cin Hai membuka bungkusan tutup cawan dan memberikannya kepada gadis itu, Ang I Niocu juga mengeluarkan sebuah cawan dan ternyata bahwa tutup itu memang pas betul.

Ketika tutup cawan itu dipasang di atas cawan, Ang I Niocu memperhatikan gambar ukirannya dengan seksama. Tiba-tiba wajahnya berseri-seri, dan ia berkata,

“Gua ke tiga puluh enam dari kiri! Hayo Cin Hai, jangan membuang waktu!”

Sambil berlari-lari mencari gua ke tiga puluh enam dari kiri Cin Hai tak tahan lagi untuk tidak bertanya tentang rahasia cawan dan tutupnya.

“Ketahuilah bahwa sepasang cawan dan tutupnya ini merupakan peta yang menunjukkan kita ke arah tempat penyimpanan harta pusaka terpendam yang berada di dalam gua-gua ini.”

Cin Hai makin terheran dan ia segera berkata,
“Niocu, aku pun mendapat tugas dari Suhu untuk mencari sepasang pedang, yaitu Liong-cu-kiam yang katanya berada di dalam gua-gua di Tun-huang ini.”

“Nah, itulah,” kata Ang I Niocu girang. “Dan selain sepasang pedang itu, masih terdapat harta yang luar biasa banyaknya!”

Cin Hai hendak bertanya lagi, akan tetapi mereka telah tiba di gua ke tiga puluh enam itu dan segera mereka masuk ke dalam gua yang besar itu.

“Mari kita memeriksa kalau-kalau ada terowongan atau pintu tembusan!” kata Ang I Niocu.

Keduanya lalu memeriksa seluruh lantai dan dinding gua yang penuh dengan ukiran dan batu-batu berupa patung-patung Buddha, akan tetapi tidak terdapat sesuatu yang mencurigakan. Mereka mendorong-dorong dinding, membersihkan lantai, memeriksa dengan amat teliti, akan tetapi hasilnya nihil. Cin Hai lalu tidak sabar dan ia lalu duduk mengaso dan berkata kepada Ang I Niocu yang masih mencari-cari.

“Niocu, untuk apakah tergesa-gesa? Marilah kita duduk bercakap-cakap dulu dan kau ceritakan pengalamanmu semua. Aku ingin sekali mendengar dan juga kau tentu ingin mendengar pengalamanku semenjak berpisah.”

“Nanti saja, Hai-ji, orang-orang Mongol dan Turki serta orang-orang kaisar juga mencari harta pusaka ini. Kalau mereka tahu kita berada disini tentu mereka akan datang menyerbu,” kata Ang I Niocu sambil masih memeriksa kanan kiri. “Tentang pengalamanmu, sebagian banyak aku sudah mendengar dari Kwee An dan Ma Hoa.”

“Apa??” Cin Hai melompat memegang lengannya. “Kau telah bertemu dengan mereka? Masih hidupkah mereka?”

Ang I Niocu tersenyum manis sambil memandangnya.
“Kalau mereka sudah meninggal, bagaimana aku dapat bertemu dengan mereka?”

Bukan main girang hati Cin Hai mendengar warta ini.
“Aduh, alangkah mulia dan besarnya hari ini!” ia berkata memandang ke atas seakan-akan berdoa dan memuji nama Thian Yang Agung. “Melihat Niocu masih hidup, mendengar Ma Hoa dan Kwee An selamat” tiba-tiba ia melompat bangun dan berkata,

“Niocu kita sudah memeriksa lantai dan dinding, mengapa kita lupakan di atas?”

“Apa maksudmu?” tanya Ang I Niocu heran.

“Langit-langit itu,” kata Cin Hai sambil menuding ke atas, “Siapa tahu kalau-kalau disitu letak rahasia yang kita cari?”






Tidak ada komentar :