*

*

Ads

Rabu, 29 Mei 2019

Pendekar Bodoh Jilid 109

Marilah kita ikuti pengalaman Kwee An dan Ma Hoa semenjak mereka terguling ke dalam jurang tebing yang amat curam itu.

Telah diceritakan di bagian depan bahwa Kwee An terkena dorongan hawa pukulan Angin Taufan dari Ke Ce yang lihai hingga ia terguling ke dalam tebing, sedangkan Ma Hoa cepat melompat menyusul kekasihnya itu hingga mereka berdua ketika jatuh ke dalam tebing saling berpegangan tangan dan mendapat kekuatan batin luar biasa dari sentuhan tangan ini!

Namun betapapun juga, merasa betapa tubuhnya meluncur turun dengan cepatnya ke dalam jurang yang luar biasa dalamnya itu tanpa berdaya sedikit pun, Ma Hoa merasa ngeri sekali hingga ia menjadi pingsan!

Sebaliknya, Kwee An biarpun juga tidak berdaya, namun ia masih sadar dan di dalam jatuhnya, ia masih berusaha menggerakkan tubuhnya dan mengulur tangan untuk mencari pegangan!

Akhirnya ia berhasil dan sebelah tangannya dapat menangkap sebatang pohon yang tumbuh di permukaan jurang yang curam itu. Akan tetapi, tiba-tiba ia merasa betapa tangan Ma Ho yang memegangnya menjadi lemas dan ketika pegangan tangannya pada cabang pohon itu menahan luncuran tubuhnya, pegangan pada tangan Ma Hoa itu terlepas tanpa dapat ia tahan lagi hingga tubuh Ma Hoa terus ke bawah, terpisah darinya!

Kwee An merasa betapa tangannya yang memegang pohon itu sakit dan seakan-akan sambungan tulang pada pundaknya terlepas oleh karena sentakan tenaga luncurannya yang tiba-tiba tertahan itu keras sekali. Ia berpegang kuat-kuat pada pohon itu sambil memandang ke bawah dengan penuh kengerian. Melihat betapa tubuh kekasihnya itu terus meluncur ke bawah hingga lenyap tertutup halimun tebal, ia mengeluh keras-keras.

“Ma Hoa…”

Kemudian ia pun roboh pingsan! Untung baginya bahwa dimana ia berada itu mempunyai banyak cabang dan daun, hingga ketika tubuhnya terkulai karena ia roboh pingsan, tubuhnya tertahan oleh ranting-ranting pohon dan tidak sampai jatuh ke bawah.

Setelah beberapa lama berada dalam keadaan pingsan, lambat laun ia siuman kembali dan teringat akan nasib Ma Hoa, Kwee An menangis sedih di atas dahan pohon itu. Ia ingin melempar dirinya ke bawah untuk ikut mati bersama Ma Hoa, akan tetapi masih belum putus harapan.

Siapa tahu kalau Ma Hoa juga tertolong jiwanya? Ia harus menyelidiki dulu dengan teliti. Maka ia lalu merangkak dengan hati-hati sekali di antara cabang pohon. Ia melihat betapa pohon itu tumbuhnya melintang dan bahwa permukaan jurang itu lurus ke atas dan tak mungkin dilalui. Dengan amat hati-hati ia lalu menggunakan batu-batu menonjol di pinggir atau dinding tebing itu untuk merayap ke atas.

Dengan pertolongan batu-batu karang dan akar-akar pohon, ia dapat juga meninggalkan pohon dimana ia tersangkut tadi dan akhirnya ia mendapatkan sebuah gua di dinding tebing. Karena merasa lelah sekali, ia masuk ke dalam gua kecil itu dan beristirahat.

Semalam penuh ia beristirahat di dalam gua itu, memikirkan nasib Ma Hoa dengan gelisah dan mengambil keputusan untuk melanjutkan perjalanannya merayap dan mencari jalan keluar dari dinding tebing yang curam dan luas itu, kemudian mencari kekasihnya.

Sementara itu, tubuh Ma Hoa meluncur ke bawah dengan kecepatan makin besar. Tak dapat disangsikan lagi, kalau tubuh dara ini jatuh menimpa batu atau tanah, pasti tubuhnya akan hancur lebur. Akan tetapi, Thian Yang Maha Agung mempunyai kekuasaan yang tidak terbatas. Kalau belum dikehendakinya, ada saja jalan atau penolong yang menyelamatkan nyawa seseorang dari kematian.

Ketika tubuh Ma Hoa telah meluncur mendekati tanah, tiba-tiba terdengar orang mengeluarkan seruan kaget,

“Ya Tuhan Yang Agung!” seruan ini dikeluarkan oleh seorang kakek berkepala botak.

Secepat kilat kakek botak ini lalu menanggalkan mantelnya dan ketika tubuh Ma Hoa jatuh hendak menimpa tanah, ia menggerakkan mantel itu yang menangkap tubuh Ma Hoa, dan sekali mantel disentakkan, tubuh Ma Hoa yang tadinya meluncur ke bawah, lalu dibelokkan tenaga luncurannya ke kiri, kemudian diteruskan ke atas hingga tubuh itu melayang ke atas!

Inilah cara luar biasa untuk mematahkan tenaga luncuran yang keras itu. Ketika tubuh Ma Hoa melayang lagi ke bawah, jauh berkurang dan telah patah tenaga luncurannya, kakek botak itu lalu menangkapnya dan membawanya masuk ke dalam sebuah gua yang berada tak jauh dari tempat itu.

Setelah memeriksa keadaan Ma Hoa, kakek botak itu menarik napas lega oleh karena ia tahu bahwa gadis itu pingsan bukan karena menderita luka, akan tetapi oleh karena kengerian, ketakutan dan juga karena tekanan hawa yang menyesakkan pernapasannya ketika ia jatuh dari tempat yang luar biasa tingginya itu tadi!






Maka kakek botak itu lalu membiarkan saja Ma Hoa pingsan, karena memang sebaiknya gadis itu dibiarkan sampai siuman sendiri. Ia hanya mengangkat kedua tangan Ma Hoa beberapa kali dan mengurut-urut leher gadis itu untuk memulihkan kembali jalan pernapasannya, kemudian ia membiarkan gadis itu terlentang di atas tanah, lalu ia duduk di atas batu hitam yang bundar dan lebar untuk bersamadhi, seakan-akan tidak terjadi sesuatu.

Tak lama kemudian, dari luar gua masuklah seorang tua lain yang tinggi kurus. Ketika melihat tubuh Ma Hoa yang rebah terlentang di atas tanah, di belakang kakek botak yang duduk bersamadhi, orang tua tinggi kurus ini membelalakkan kedua matanya dan mengeluarkan suara,

“Ah, ah, uh, uh…” lalu menggerak-gerakkan kedua tangannya. Ternyata bahwa dia adalah seorang kakek gagu!

Kakek botak itu membuka matanya dan tersenyum melihat lagak Si Gagu.
“A Tok! Jangah kau heran! Gadis ini bukan turun dari langit, akan tetapi ia terjatuh dari atas tebing itu. Ia mempunyai tulang dan bakat baik sekali untuk menjadi muridku, maka semenjak sekarang, ia menjadi sumoimu! Keluarlah kau mencari Daun Siu-hwa putih untuk mengobati pengaruh kaget dan takutnya.”

A Tok yang gagu itu lalu terkekeh girang dan pergi dari situ. Akan tetapi, tak lama kemudian ia kembali lagi sambil tangannya membawa beberapa helai daun yang berwarna putih dan tangannya lalu bergerak-gerak dan dikembangkan ke kanan-kiri meniru gerakan burung dan mulutnya tetap mengeluarkan suara, “ah, ah, uh, uh” seperti tadi.

“Hm, burung besar? Biarlah aku keluar melihatnya, A Tok!”

Kakek botak itu lalu bertindak keluar dengan tenang, dan benar saja, ia melihat seekor burung merak yang besar dan indah melayang turun dengan kedua mata mencari-cari seperti lakunya seekor rajawali mencari mangsa. Ini adalah Sin-kong-ciak yang disuruh oleh Lin Lin untuk mencari Kwee An dan Ma Hoa.

Ketika melihat kakek yang berdiri di depan gua itu, Sin-kong-ciak lalu turun menyambar dengan cepat, kedua kakinya siap mencengkeram dan patuknya siap menotok.

“Ha, ha, burung merak yang lihai!” kata kakek botak itu sambil menggerakkan tangan kanannya.

Dari tangan itu menyambar hawa yang kuat dan yang mendorong merak itu hingga terpental kembali ke atas. Merak Sakti maklum bahwa kakek itu lihai sekali, maka ia hanya memekik-mekik keras sambil terbang berputaran di atas kepala kakek botak itu.

Sedangkan kakek itu lalu mengeluarkan kertas dan menulis beberapa huruf yang dicoret-coret, kemudian ia mengambil sehelai tali yang mengikat batu karang kecil pada ujungnya.

“Merak baik, kau kembalilah dan berikan surat ini kepada orang-orang yang menyuruhmu turun!”

Ia lalu menyelipkan kertas bersurat itu pada tali dan sekali ia menggerakkan tangan, batu karang berikut tali dan surat itu melayang bagaikan seekor ular terbang menuju ke arah Merak Sakti!

Sin-kong-ciak menyangka bahwa kakek itu menyambitnya dengan batu atau senjata lain, maka ia cepat mengelak, akan tetapi aneh sekali, ternyata bahwa kakek itu menyambit dengan cara yang luar biasa hingga ketika merak itu mengelak, ujung tali membelit sebuah kakinya dan batu itu terputar-putar sedemikian rupa hingga tali membelit dengan erat pada kaki itu!

Sin-kong-ciak biarpun tidak merasa sakit, akan tetapi ia terkejut sekali hingga kembali ia memekik-mekik keras, kemudian ia terbang ke atas karena takut dan ngeri menghadapi kakek botak yang luar biasa itu! Demikianlah, kakek botak itu memberi tahu kepada Cin Hai dan Lin Lin dengan suratnya sebagaimana yang telah dituturkan di bagian depan.

Ketika akhirnya Ma Hoa siuman kembali dan membuka kedua matanya, ia merasa heran mendapatkan dirinya rebah di atas tanah yang lembek dan berada di dalam sebuah gua yang gelap. Ia lalu bangun duduk dan timbul perasaannya bahwa ia mungkin sudah mati karena segera terbayang kembali peristiwa tadi.

Ia memandang ke sekeliling untuk mencari Kwee An, dan alangkah herannya ketika melihat bahwa di atas dua buah batu besar, ia melihat dua orang kakek sedang duduk bersamadhi. Kakek botak itu mendengar gerakannya, lalu membuka mata dan turun dari atas batu.

“Anak, jangan kau kaget, kau berada di tempat yang aman,” katanya halus.

“Teecu… berada di manakah… dan siapakah Locianpwe?”

“Kau tadi terjatuh dari atas dan kebetulan sekali bertemu dengan aku hingga aku berhasil mencegah tubuhmu dari kehancuran. Kau makanlah daun-daun ini untuk melenyapkan rasa kagetmu.”

Sambil berkata demikian, kakek botak itu memberikan lima helai daun-daun kecil yang berwarna putih dan yang tadi ia suruh A Tok mencari. Tanpa ragu-ragu lagi Ma Hoa menerima daun-daun itu dan memakannya. Rasanya agak masam, akan tetapi oleh karena memang ia merasa betapa dada kirinya berdenyut-denyut keras, ia lalu makan habis daun itu dan aneh, denyutan keras itu segera mengurang dan akhirnya lenyap. Ia lalu menjatuhkan diri berlutut di depan kakek botak itu dan berkata,

“Locianpwe, teecu menghaturkan banyak terima kasih atas pertolongan Locianpwe. Mohon tanya bagaimana nasib seorang kawanku yang jatuh bersama teecu?”

Sambil berkata demikian Ma Hoa memandang kepada wajah kakek botak itu dengan cemas.

“Seorang kawanmu?” kakek itu berkata, “aku tidak melihat orang lain kecuali kau yang melayang jatuh dari atas.”

“Ah… kalau begitu, biarlah teecu mencarinya,” kata Ma Hoa sambil berdiri.

“Nanti dulu, Nak. Sebetulnya siapakah kau ini dan siapa pula kawanmu yang ikut jatuh? Mengapa pula kau dan kawanmu sampai terjatuh dari tempat setinggi itu?”

Biarpun hatinya ingin sekali lekas keluar dari gua itu untuk mencari Kwee An, namun karena ia telah tertolong jiwanya oleh kakek itu, maka Ma Hoa lalu menuturkan singkat pengalamannya, betapa ia dan kawannya bertempur melawan Bo Lang Hwesio dan Ke Ce.

Kakek botak itu mengangguk-angguk dan berkata,
“Pantas saja kau dan kawanmu kalah melawan Bo Lang Hwesio yang pernah kudengar namanya ketika aku masih muda dan masih menjelajah di dunia kang-ouw. Akan tetapi, tiga bulan saja kau mempelajari Ilmu Silat Bambu Kuning dari aku, tak usah kau takut lagi menghadapi mereka!”

Ma Hoa terkejut mendengar ini karena kata-kata itu menyatakan bahwa kakek botak ini hendak mengambil dia sebagai muridnya! Maka ia lalu menjatuhkan diri berlutut dan berkata,

“Lo-cianpwe, bukan teecu tidak tahu terima kasih, akan tetapi tentang belajar silat ini lebih baik ditunda setelah teecu dapat mencari kawanku yang jatuh itu.”

“Hm, tidak boleh! Kau berjodoh untuk menjadi murid dan ketahuilah, kalau tidak atas kehendakku sendiri, biar orang berlutut dan bermohon di depanku sampai dia mati, tak mungkin dia bisa menjadi muridku. Tentang kawanmu itu, percayalah bahwa selain kau tidak ada lagi orang lain jatuh dari atas. Maka menurut dugaanku, kawanmu itu tentu telah dapat menolong jiwanya sendiri dan telah selamat, oleh karena kalau dia memiliki ginkang yang tinggi, di waktu jatuh dia dapat menangkap cabang-cabang pohon yang banyak tumbuh di samping tebing itu.”

Mendengar ucapan ini Ma Hoa menjadi lega juga dan ia percaya penuh bahwa kakek luar biasa ini tidak membohong. Ia pun merasa girang mendengar janji kakek ini bahwa selama mempelajari ilmu silat tiga bulan saja, ia akan dapat melawan Bo Lang Hwesio dan Ke Ce! Ingin sekali ia mencari dan membalas kedua orang yang hampir saja menewaskannya itu. Maka ia lalu mengangguk-anggukkan kepala dan berkata,

“Suhu, teecu Ma Hoa menurut perintah dan petunjuk Suhu!”






Tidak ada komentar :