*

*

Ads

Rabu, 29 Mei 2019

Pendekar Bodoh Jilid 108

Setelah ia berkata demikian, ia lalu memperhatikan gerakan-gerakan pamannya dan ia lalu mengembalikan setiap serangan dengan gerakan yang sama seperti ilmu silat kedua pamannya.

Kalau tadi menyaksikan Sianli Utauw membuat kedua orang itu terheran-heran, kini menghadapi betapa keponakannya itu melawan mereka dengan ilmu silat mereka sendiri, kedua orang she Sie itu setelah mengeluarkan ilmu pukulan yang paling sulit dan berbahaya akan tetapi yang dikembalikan dengan sama baiknya oleh Cin Hai, keduanya tak dapat menahan keheranan mereka lagi dan dengan cepat melompat mundur.

“Nanti dulu! Dari mana pula kau mempelajari ilmu silat kami itu?” tanya Sie Lok dengan terheran-heran dan mata terbelalak!

“Aku belum pernah mempelajari ilmu-ilmu silat itu, akan tetapi memang Suhu Bu Pun Su telah melatihku untuk mengetahui semua dasar-dasar ilmu silat yang pada hakekatnya sama, hingga tiap kali aku diserang dengan semacam ilmu silat, aku dapat meniru gerakan itu dan mengembalikannya kepada lawan dengan jurus itu juga.”

Sie Lok dan Sie Kiong saling pandang dengan heran dan mereka ini hampir tak dapat mempercayai keterangan ini, akan tetapi oleh karena tadi mereka telah menyaksikannya sendiri dan beberapa belas jurus pukulan yang paling terahasia dan terlihai dari mereka telah dilakukan dengan sempurna oleh Cin Hai, mereka hanya menggeleng-gelengkan kepala.

“Bukan main!” kata Sie Kiong. “Akan tetapi Kanda Ban Leng memiliki kepandaian Eng-jiauw-kang yang lihai sehingga ia sanggup menghadapi kami berdua yang memegang senjata dengan bertangan kosong saja. Maka cobalah kau menghadapi kami dengan tangan kosong pula sedangkan kami menyerang dengan senjata tajam!”

Sie Lok juga menyetujui cara percobaan kepandaian ini dan Sie Kiong lalu berlari masuk untuk mengambil dua batang pedang. Setelah menyerahkan sebatang kepada kakaknya, kedua orang tua ini lalu menghadapi Cin Hai, dan Sie Lok berkata,

“Cin Hai kau berhati-hatilah, karena ilmu pedang kami bukanlah kepandaian rendah!”

Lalu ia melangkah maju dan mulai dengan serangannya. Demikianlah Sie Kong yang segera memutar pedang di atas kepala dan mengirim serangan hebat.

Cin Hai lalu memperlihatkan ilmu silat tangan kosong yang dipelajari dari Bu Pun Su, yaitu Kong-ciak Sin-na. Tubuhnya dengan ringan sekali melompat-lompat ke atas bagaikan seekor burung merak sedang terbang saja dan kemudian dari atas ia menghadapi serangan pedang dengan tendangan dan cengkeraman untuk merampas senjata kedua pamannya.

Sementara itu, semenjak tadi, burung bangau yang besar itu hanya berdiri memandang, kadang-kadang terbang ke atas dan berputaran di atas kepala ketiga orang yang sedang bertempur.

Akan tetapi, setelah ia menyaksikan betapa tubuh Cin Hai melayang ke atas bagaikan burung, ia lalu memekik keras dan tubuhnya melayang lalu menyambar dengan sepasang patuknya yang runcing bagaikan pedang itu digerakkan secara hebat menyerang Cin Hai.

“Ang-siang-kiam, jangan!” teriak Sie Lok, akan tetapi Cin Hai lalu berkata sambil tersenyum.

“Biarlah, Pek-hu, dia mau ikut bergembira, mengapa tidak boleh?”

Demikianlah, dengan ilmu Silat Kongciak Sinna, Cin Hai melayani kedua pamannya yang dibantu oleh burung bangau itu hingga ia dikeroyok tiga. Akan tetapi ilmu silatnya sungguh hebat dan tubuhnya seakan-akan tak pernah mengambah bumi.

Tiap kali tubuhnya turun, ia lalu menggunakan ujung sepatunya untuk menggenjot lagi hingga tubuhnya melayang ke atas. Serangan burung bangau itu ia gagalkan dengan kepretan tangan ke arah paruh burung itu hingga tiap kali jari tangannya menyentuh paruh burung bangau itu dan hampir jatuh ke bawah!

Sementara itu, kedua pedang Sie Lok dan Sie Kiong yang bergerak bagaikan dua ekor ular sakti menyambar-nyambar itu dapat dihindarkannya dengan tendangan kaki dan cengkeraman yang sebaliknya bahkan mengancam pergelangan tangan mereka dan bagian tubuh lain!

Setelah menghadapi serangan ketiga pengeroyok ini sampai tiga puluh jurus lebih, tiba-tiba Cin Hai melompat turun dan berkata,

“Sekarang setelah permainan Kong-ciak Sin-na tadi, aku akan mainkan Pek-in-hoatsut, juga yang diturunkan oleh Suhu Bu Pun Su!”






Jauh sekali perbedaan ilmu silatnya ini dengan yang tadi. Kalau tadi gerakannya gesit sekali, sekarang ia berdiri dengan tenang dan kokoh di atas tanah, kedua lengan tangannya digerak-gerakkan dan tiba-tiba dari kedua lengan ini mengebul uap putih!

Burung bangau menyambar turun, lalu dikebut dengan tangan kiri dan ketika uap putih itu menyambar, burung itu memekik keras dan terlempar, lalu terbang lagi ke atas tanpa berani menyerang lagi!

“Hebat!” kata Sie Lok yang segera menyerang lagi, disusul oleh Sie Kiong.

Akan tetapi alangkah terkejut mereka ketika sekali saja Cin Hai menangkis, pedang mereka hampir saja terlepas dari pegangan!

“Sungguh lihai!” kata Sie Lok sambil berhenti menyerang dan memandang Cin Hai dengan wajah berseri. “Cin Hai, kalau tidak menyaksikan dan merasakan sendiri, aku takkan dapat percaya bahwa kau memiliki ilmu kepandaian seperti ilmu sihir saja! Ah, anakku, jangankan baru seorang Ban Leng, biar dia menjadi tiga pun tak mungkin dapat mengalahkan kau! Hebat, hebat!”

“Akan tetapi, semenjak tadi Hai-ji (Anak Hai) hanya menangkis dan menjaga diri saja. Aku belum merasai kehebatan serangan balasannya. Cin Hai, coba kau cabut pedangmu agar kami dapat pula menyaksikan kiamsutmu!”

“Baiklah,” kata Cin Hai sambil mencabut keluar Liong-coan-kiam dari pinggangnya. “Nah, Pek-hu dan Siok-hu, bersiap sedialah, aku hendak menyerang dengan Ilmu Pedang Daun Bambu!”

Sie Lok dan Sie Kong segera memutar pedang mereka untuk melindungi diri dan jangankan pedang lawan, biarpun air sepikul pun kalau disiramkan ke arah mereka tak mungkin akan dapat menembus sinar pedang mereka yang melindungi tubuh!

Cin Hai lalu menggerakkan pedangnya. Gerakannya cepat sekali dan matanya yang tajam sudah dapat melihat lowongan-lowongan di antara sinar pedang kedua pamannya.

“Awas!” teriaknya dan dua kali pedangnya berkelebat secara luar biasa sekali dan terdengarlah kain robek dua kali dan Cin Hai menarik kembali pedangnya dan berdiri tegak!

Sie Lok dan Sie Kiong merasa heran dan segera menghentikan gerakan mereka pula. Alangkah terkejut hati mereka ketika melihat betapa baju di dada mereka telah robek dan bolong terkena ujung pedang Cin Hai yang baru menyerang segebrakan saja itu!

Keduanya lalu melempar pedang masing-masing dan maju memeluk Cin Hai. Tak terasa pula, mata mereka berlinang air mata karena girang, puas dan bangga.

“Hai-ji… kalau bangsat Ban Leng itu berada disini, akan mampus dia di tanganmu!” kata Sie Lok.

“Cin Hai, anakku yang gagah perkasa! Ah… kalau saja Kanda Gwat Leng masih hidup, tentu ia akan merasa bangga sekali melihat kau selihai ini…” kata Sie Kiong dan orang tua berjenggot hitam ini menggunakan punggung tangan untuk mengusir pergi dua butir air mata yang terloncat keluar dari kedua matanya.

Dengan hati terharu Cin Hai lalu bertanya,
“Di manakah makam Ibu? Dan di manakah pula jenazah Ayah dikuburkan?”

“lbumu dikuburkan di dusun Kang-cou, dan jenazah ayahmu yang dibakar oleh para petugas di kota raja, dapat kami curi dan kami tanam pula di dekat makam Ibumu. Dusun itu berada di kaki Bukit Houw-san.”

Untuk dua pekan lamanya Cin Hai tinggal bersama kedua pamannya dan selama itu ia mempelajari cara-cara menangkap binatang buas. Burung bangau menjadi kawan baiknya dan ia merasa suka sekali kepada burung ini hingga burung itu menjadi jinak dan kemana ia pergi burung itu selalu mengikutinya. Melihat hal ini, kedua pamannya lalu menyatakan bahwa burung itu diberikan kepada Cin Hai untuk menjadi kawan seperjalanannya.

“Bawalah Ang-siang-kiam, dia dapat menjadi kawan baik dalam perjalanan,” kata Sie Lok dan Cin Hai menerimanya dengan girang hati.

Dalam waktu senggang, Cin Hai menuturkan pengalaman-pengalamannya dan menceritakan pula tentang sahabat-sahabatnya, tentang Nelayan Cengeng, tentang Kwee An dan Ma Hoa, dan tidak lupa pula menceritakan tentang diri Lin Lin yang diakuinya sebagai calon isterinya hingga kedua orang tua itu menjadi girang sekali.

“Kelak kalau kau akan menikah, tak boleh tidak kau harus memberi kabar agar kami dapat datang minum arak kegirangan.”

Kemudian Cin Hai berpamit karena ia telah terlalu lama meninggalkan Lin Lin. Kedua pamannya tidak dapat menahannya dan berangkatlah ia meninggalkan kedua pamannya dengan semua harimau itu, pergi dengan berlari cepat. Burung bangau yang besar terbang di atasnya dan ikut pergi bersamanya.

Karena Cin Hai melakukan perjalanan dengan mempergunakan ilmu lari cepat dan jarang berhenti dalam kerinduannya hendak segera bertemu kembali dengan Lin Lin, sambil tidak lupa mencari-cari jejak Kwee An dan Ma Hoa yang lenyap tak meninggalkan bekas itu, maka beberapa hari kemudian tibalah ia di kaki bukit tempat tinggal Yousuf. Ia merasa heran sekali melihat betapa dusun-dusun di sekitar bukit itu telah kosong dan tiada bermanfaat lagi!

Dengan hati berdebar cemas ia berlari ke atas bukit dan betul saja seperti apa yang ia kuatirkan, rumah Yousuf telah roboh dan nampak seperti bekas dibakar! Dengan hati cemas dan wajah pucat Cin Hai mencari dan membongkar tumpukan puing, akan tetapi ia menjadi lega oleh karena tidak melihat tanda-tanda bahwa kekasihnya dan Yousuf menjadi korban api yang membakar rumah. Ia berdiri di depan tumpukan puing dengan tubuh lemas, dan tiba-tiba ia mendengar suara ringkik kuda dari jauh.

“Pek-gin-ma!” ia berseru dan melompat terus lari cepat mengejar ke arah suara itu.

Dan di dalam sebuah hutan ia melihat kuda itu sedang makan rumput dan kadang-kadang meringkik sedih seakan-akan kehilangan kawan dan merasa kesunyian. Ketika Cin Hai lari menghampiri, ia mengangkat kepalanya dan meringkik lagi, seakan-akan hendak menceritakan sesuatu.

Cin Hai memeluk leher kuda itu dan merasa menyesal sekali mengapa tidak menjadi kuda saja agar dapat mengerti apa yang hendak diceritakan oleh Pek-gin-ma tentang kekasihnya!

“Pek-gin-ma, apakah yang terjadi pada mereka? Pek-gin-ma, kalau kau tahu tempat mereka, bawalah aku kepada Lin Lin…”

Akan tetapi, kuda itu hanya menggaruk-garuk tanah dengan kedua kaki depannya. Sementara itu, burung bangau yang ikut datang bersama Cin Hai, terbang berputaran di atas melihat-lihat daerah yahg asing baginya itu.

Cin Hai lalu menunggang Pek-gin-ma dan bersuit memanggil Ang-siang-kiam yang segera meluncur turun dan mengikuti kemana pemuda itu melarikan kudanya. Cin Hai turun dari lereng dan memeriksa dusun-dusun di sekitar daerah itu.

Ketika ia sedang berdiri di tengah dusun yang kosong sambil menuntun Pek-gin-ma, tiba-tiba ia mendengar suara tindakan kaki. Ia segera melompat ke belakang sebuah pohon besar dan dapat menangkap lengan tangan seorang penduduk dusun yang hendak melarikan diri. Orang itu masih muda dan meronta-ronta, kemudian setelah merasa bahwa ia tidak kuasa melepaskan diri lalu menjatuhkan diri berlutut sambil memohon.

“Ampun, Hohaii, jangan bunuh aku,” katanya dengan tubuh menggigil.

“Berdirilah, sahabat. Aku bukan orang jahat, dan aku hanya hendak bertanya kepadamu apa yang telah terjadi di pegunungan ini. Kemana perginya semua penduduk dusun ini dan tahukah kau kemana perginya orang Turki dan nona yang dulu tinggal di lereng itu?”

Ketika melihat bahwa Cin Hai bukanlah orang yang ditakutinya, pemuda dusun itu lalu bercerita bahwa beberapa hari yang lalu, pegunungan itu didatangi serombongan orang-orang Turki yang terdiri dari puluhan orang banyaknya menunggang kuda-kuda besar sambil menyerang dusun-dusun seperti orang-orang gila. Kemudian orang-orang Turki menyerbu ke atas bukit untuk menangkap Yousuf.

Terjadilah pertempuran hebat dan orang-orang dusun yang bersembunyi lalu melihat betapa Yousuf, Lin Lin dan Merak Sakti melarikan diri dari situ dengan cepat, dikejar-kejar oleh rombongan orang Turki itu!

“Entah kemana mereka melarikan diri, agaknya mereka tidak kuat menghadapi serbuan orang-orang Turki itu!” pemuda dusun tadi mengakhiri ceritanya.

Cin Hai merasa terkejut sekali. Kalau Yousuf, Lin Lin dan Merak Sakti sampai tidak kuat menghadapi rombongan itu, tentu di dalam rombongan itu terdapat orang-orang pandai, pikirnya. Ia heran sekali, siapakah orangnya yang dapat mengalahkan Lin Lin yang sudah ia latih dengan ilmu-ilmu silat tinggi itu? Ia benar-benar tidak mengerti dan kemudian turun gunung dengan hati cemas dan pikiran bingung, diikuti oleh burung bangau yang dengan setia terbang rendah di atas kepalanya.

**** 108 ****





Tidak ada komentar :