*

*

Ads

Rabu, 29 Mei 2019

Pendekar Bodoh Jilid 107

Kecuali Sie Ban Leng yang mempunyai watak buruk, ketiga saudara yang lain adalah orang-orang yang berjiwa ksatria dan gagah, bahkan Sie Gwat Leng tiada hentinya mempergunakan kepandaian untuk menolong sesama manusia yang menderita. Gwat Leng merasa tidak puas sekali melihat keadaan rakyat jelata yang miskin dan papa, maka seringkali ia menyatakan ketidak-senangan hatinya terhadap kaisar dan pemerintahnya.

Berbeda dengan Gwat Leng dan yang lain-lain, Ban Leng selalu mengumbar hawa nafsu jahat, bergaul dengan segala macam penjahat dan membiasakan diri dengan segala macam permainan judi.

Gwat Leng seringkali menegurnya sehingga beberapa kali mereka bercekcok oleh karena Ban Leng tak pernah takut atau tunduk kepada kakaknya ini. Adapun Sie Lok yang menjadi saudara tertua tak berdaya apa-apa oleh karena ia memang jauh lebih lemah dari pada Ban Leng. Namun, betapapun juga, Sie Ban Leng masih berlaku hati-hati dan tidak berani berlaku jahat secara berterang oleh karena ia takut kepada suhunya yang telah menyuruhnya bersumpah ketika menjadi muridnya dulu.

Kepada Gwat Leng ia tidak takut oleh karena biarpun ilmu kepandaian Gwat Leng lebih tinggi, namun ia tahu akan kesayangan kakaknya itu terhadap dirinya, maka ia yakin bahwa Gwat Leng tentu takkan tega untuk mencelakakannya.

Kemudian Sie Gwat Leng menikah dengan seorang gadis dusun yang cantik dan halus budi bahasanya. Mereka berdua hidup dengan rukun dan saling mencinta, penuh kebahagiaan. Setahun kemudian terlahirlah seorang anak laki-laki yang diberi nama Sie Hai yang kemudian ditambah dengan huruf “Cin” oleh Loan Nio karena nyonya ini tidak ingin kalau ada orang mengetahui bahwa anak itu adalah putera Sie Gwat Leng yang memberontak.

Akan tetapi celakanya ketika melihat isteri Sie Gwat Leng yang cantik manis, timbul hati jahat di dalam dada Ban Leng yang berwatak buruk itu. Ia mencoba untuk menggoda sosonya sendiri hingga timbullah pertengkaran yang diakhiri dengan perkelahian antara dia dan kakaknya.

Ban Leng kena dikalahkan oleh Gwat Leng. Dengan hati sakit dan mendendam, Sie Ban Leng lalu lari meninggalkan saudara-saudaranya. Sampai bertahun-tahun tak terdengar lagi berita tentang dirinya. Akan tetapi, setelah guru Gwat Leng, pertapa Gobi-san itu meninggal dunia, mereka mendengar lagi tentang keadaan Ban Leng dan ternyata bahwa Ban Leng telah berada di kota raja, menjadi seorang jago muda yang jarang mendapat tandingan dan disegani orang banyak hingga mendapat julukan Gobi Sin-liong atau Naga Sakti dari Gobi-san!

Sie Gwat Leng masih saja bercita-cita untuk menolong kaum tani dan rakyat jelata yang lemah dan miskin. Ia mulai dengan usahanya di dalam dusun sendiri. Ia mengumpulkan orang-orang kampung, mendidik mereka dengan ilmu silat, lalu mendesak dengan kekerasan dan pengaruh kepandaiannya kepada mereka yang tergolong hartawan untuk mengulurkan tangan membantu hingga ia berhasil membuat kampungnya menjadi makmur.

Semua orang bertubuh sehat dan mendapat didikan ilmu silat hingga dapat menjaga kampung dari serangan orang jahat dan tidak ada orang yang mengalami kemelaratan karena semua orang mendapat penghasilan yang cukup.

Hal ini terdengar oleh kampung lain yang merasa iri dan kemudian dikabarkan orang bahwa keluarga Sie hendak mengadakan pemberontakan dan telah bersiap dengan melatih orang-orang dusun dengan ilmu silat untuk kelak digunakan memberontak dan memukul kerajaan!

Hal ini terdengar oleh seorang perwira yang bertugas di satu tempat tak jauh dari dusun itu. Perwira ini orangnya sombong dan tanpa menanti perintah dari pusat, ia telah lancang mengadakan tindakan sendiri untuk mencari pahala. Ia membawa anak buahnya sebanyak empat puluh orang dan menyerbu ke dusun itu! Anak buahnya mengamuk dan tidak hanya memukul dan menawan orang-orang, bahkan mengganggu anak bini orang dan merampas harta mereka!

Tentu saja Sie Gwat Leng menjadi marah sekali. Ia mengumpulkan orang-orang dusun dan melawan penyerbu-penyerbu itu hingga tentara di bawah pimpinan perwira sombong itu dapat dimusnakan berikut pemimpinnya!

Segera kota raja mendengar tentang peristiwa ini, dan Sie Gwat Leng lalu dianggap sebagai pemberontak! Kaisar lalu memerintahkan Kwee In Liang untuk memimpin serombongan tentara terdiri dari seratus orang untuk menawan pemberontak-pemberontak itu. Dan di dalam rombongan ini ikut pula Sie Ban Leng karena orang ini mendapat kesempatan untuk membalas dendamnya kepada kakaknya sendiri.

Walaupun ia tidak segera terang-terangan ikut di dalam rombongan Kwee-ciangkun, akan tetapi diam-diam ikut pergi kembali ke dusunnya sendiri dengan maksud membantu penindasan pemberontak, karena ia maklum bahwa dengan adanya ketiga saudaranya di dalam dusun, akan sukarlah bagi tentara kerajaan untuk menindas dan mengalahkan dusun itu.

Terjadilah pertempuran hebat antara tentara kerajaan dan orang-orang dusun di bawah pimpinan ketiga saudara Sie yang melakukan perlawanan karena mereka telah merasa benci sekali terhadap kerajaan, yang ditimbulkan oleh sepak terjang yang jahat dari para tentara di bawah pimpinan perwira yang dulu menyerbu dan berhasil dihancurkan.






Benar saja dugaan Ban Leng. Kwee Ciangkun tidak berdaya menghadapi ketiga saudara Sie yang benar-benar kosen dan tangguh. Selagi ia merasa bingung, datanglah Sie Ban Leng membantunya. Dengan licik dan curang sekali, Sie Ban Leng datang kepada kakaknya dan menyatakan penyesalannya, lalu berkata bahwa ia datang hendak membantu perjuangan saudara-saudaranya mengusir barisan kerajaan. Tentu saja Gwat Leng, Sie Lok dan Sie Kiong merasa gembira sekali, dan menerima saudara yang sesat ini dengan kedua tangan terbuka.

Tidak tahunya, pada malam harinya, ketika Sie Gwat Leng sedang tidur karena lelahnya memimpin orang-orang dusun melawan tentara negeri, Ban Leng berlaku curang dan menotok kedua pundak kakaknya yang sedang tidur itu!

Sie Lok dan Sie Kiong melihat hal ini menjadi marah sekali lalu menyerang Ban Leng yang berkhianat akan tetapi kepandaian mereka belum dapat melawan Ban Leng dan pada saat itu, sesuai dengan rencana Ban Leng dan Kwee-ciangkun, tentara negeri menyerbu!

Dalam keadaan tidak berdaya karena totokan Ban Leng membuatnya lumpuh, Gwat Leng ditawan, orang-orang kampung banyak yang mati dan sebagian pula ditawan, kampung dibakar habis dan semua keluarga Sie ditawan pula! Di dalam suasana ribut itu, Ban Leng hendak menculik dan mengganggu isteri Gwat Leng, akan tetapi Kwee In Liang dengan marah mencegahnya.

“Semua orang tidak boleh mengganggu wanita, siapa melanggar akan dihukum!” katanya dengan garang.

Ban Leng sendiri sebetulnya tidak takut kepada Kwee In Liang, akan tetapi tiba-tiba isteri Gwat Leng yang merasa putus harapan itu, menggunakan kesempatan ini untuk membenturkan kepala sendiri pada dinding hingga kepalanya menjadi pecah dan tewas pada saat itu juga. Dengan hati menyesal, Ban Leng lalu meninggalkan tempat itu.

Adik perempuan isteri Gwat Leng yaitu Loan Nio, yang pada waktu itu sudah remaja puteri, sambil menggendong Sie Hai yang masih kecil mencoba lari, akan tetapi ia ditangkap oleh orang anggota tentara yang kagum melihat kecantikannya.

Akan tetapi, untung bahwa pada waktu itu Kwee In Liang melihat hal ini terjadi. Perwira ini memberi pukulan keras hingga tentara itu pingsan, sedangkan ia lalu menolong Loan Nio dan anak kecil yang disangka anak Loan Nio itu, dibawa ke dalam rumahnya.

Loan Nio lalu diambil sebagai pelayan di rumah gedung Kwee In Liang, dan gadis yang cerdik ini lalu menitipkan Sie Hai kepada seorang wanita di luar gedung dengan memberi belanja tiap pekan, yaitu uang gajinya sendiri, seluruhnya diberikan kepada wanita itu.

Demikianlah, Sie Hai yang kemudian dinamakan Cin Hai oleh Loan Nio itu, yang di waktu itu baru berusia setahun lebih, dipelihara dengan diam-diam oleh Loan Nio. Dan setelah Loan Nio diambil sebagai isteri oleh Kwee-ciangkun, barulah dia memberi tahu dengan sejujurnya kepada suaminya bahwa Cin Hai adalah putera Sie Gwat Leng. Karena mencintai dan sayang kepada isterinya yang baik budi ini, Kwee-ciangkun mau juga menerima Cin Hai di dalam gedungnya.

Adapun Sie Lok dan Sie Kiong yang memiliki ilmu kepandaian, dapat melarikan diri setelah mereka tidak berhasil menghukum Ban Leng yang jahat dan yang telah mengkhianati kakak sendiri itu. Mereka lalu merantau dengan hati duka. Apalagi ketika mereka mendengar betapa Gwat Leng dijatuhi hukuman mati dalam keadaan masih lumpuh, sedangkan isterinya mati membunuh diri dan keluarga lain dihukum mati pula, kedua saudara ini hanya bisa menangis dan sedih.

Mereka merasa benci sekali kepada manusia, oleh karena dianggapnya manusia adalah mahluk yang sejahat-jahatnya. Seorang saudara kandung sendiri seperti Ban Leng dapat berlaku jahat itu, apalagi orang lain? Maka, mereka lalu mengasingkan diri di hutan, dan menaklukkan banyak harimau untuk menjadi kawan-kawan dan penjaga mereka!

Mendengar cerita Sie Liok ini, Cin Hai merasa sedih, terharu, marah dan menyesal sekali.

“Pek-hu dan Siok-hu, di manakah adanya Paman Sie Ban Leng, manusia yang berwatak rendah dan biadab itu? Ingin sekali aku melihat muka orang yang berhati binatang itu!” katanya gemas dan marah, sambil mengepal tangannya.

“Entahlah, kami berdua dulu pernah mencarinya untuk membalas dendam, akan tetapi dua kali kami telah kena dikalahkan dan kemudian kabarnya ia merasa menyesal atas perbuatannya yang terkutuk itu dan ia telah mengasingkan diri entah dimana.”

Kemudian, atas permintaan kedua pamannya, Cin Hai dengan singkat lalu menceritakan pengalamannya. Kedua orang tua itu merasa kagum sekali. Akan tetapi, mereka masih penasaran kalau belum mencoba dan mengukur sendiri kelihaian keponakannya ini, maka Sie Kiong yang berwatak gembira lalu berkata,

“Cin Hai coba kau perlihatkan kepandaianmu agar hatiku puas.”

Cin Hai tersenyum dan mengikuti mereka berdua keluar dari rumah dimana terdapat halaman yang cukup luas.

“Bagaimanakah aku harus memperlihatkan kebodohanku?” tanyanya kepada Sie Lok dan Sie Kiong.

“Kau lawanlah kami berdua, agar kami dapat mengukur apakah kepandaianmu dapat dibandingkan dengan Ayahmu atau Pamanmu yang jahat itu?” kata Sie Lok, yang segera menggulung lengan bajunya.

Cin Hai maklum bahwa betapa pun tinggi ilmu kepandaian kedua pamannya ini, namun melihat gerakan mereka ketika menawan harimau tadi, ia merasa yakin bahwa ia tentu akan dapat mengalahkan mereka.

“Baiklah, aku akan berusaha menjaga diri,” kata Cin Hai dengan tenang.

“Awas serangan!” tiba-tiba Sie Kiong berseru gembira dan ia lalu menerkam dengan serangan yang cukup lihai berbahaya sedangkan Sie Lok yang hendak menguji kelihaian keponakannya juga segera membarengi menyerang dari lain jurusan.

Cin Hai mengerti akan kehebatan serangan kedua pamannya ini, maka tubuhnya lalu berkelebat dan ia mengeluarkan ginkangnya yang sudah sempurna. Kedua mata Sie Lok dan Sie Kiong menjadi kabur ketika mereka melihat betapa tubuh keponakan itu tiba-tiba berkelebat dan lenyap dari tengah-tengah kepungan. Dan tiba-tiba mereka mendengar suara Cin Hai di tempat yang jauhnya tiga tombak lebih,

“Aku berada disini.”

Bukan main heran kedua orang tua itu, dan dengan cepat mereka lalu menerjang lagi, kini dengan cepat sekali agar jangan sampai pemuda itu mendapat kesempatan mengelak, Sie Lok menyerang dengan jari tangan kanan dibuka dan menotok ke arah jalan darah di lambung Cin Hai, sedangkan Sie Kiong menyerang dengan pukulan tangan miring ke arah leher keponakannya.

Cin Hai berseru keras, dan dengan menundukkan kepala ia dapat mengelak dari pukulan Sie Kiong, sedangkan untuk menghadapi totokan Sie Lok, ia mengulur tangan dan mendahului dengan totokan ke arah pergelangan tangan pamannya itu.

Sie Lok terkejut dan menarik kembali tangannya lalu menyerang lagi dengan hebat, demikian pula Sie Kiong. Akan tetapi, Cin Hai lalu mengeluarkan Ilmu Silat Sianli Utauw atau Tarian Bidadari sambil berkata,

“Inilah Sianli Utauw yang kupelajari dari Ang I Niocu.”

Setiap serangan kedua orang tua itu ia kelit dan sampok dengan gerakan tubuh yang lemas seakan-akan orang menari, akan tetapi serangan-serangan kedua pamannya itu tidak mampu mengenai tubuhnya sama sekali.

Kedua orang tua itu merasa kagum sekali dan juga heran betapa dengan menari-nari saja keponakannya ini dapat mengelak dari serangan-serangan yang dilakukan dengan sungguh-sungguh.

Cin Hai memang sengaja mendemonstrasikan kepandaiannya kepada kedua pamannya, karena ia ingin membuat kedua pamannya itu girang dan senang. Maka setelah memainkan Sianli Utauw beberapa belas jurus untuk menghadapi serangan-serangan kedua pamannya, ia lalu merubah gerakannya dan berkata pula,

“Dan sekarang aku mainkan kepandaian pokok ilmu silat yang kupelajari dari Suhu Bu Pun Su!”






Tidak ada komentar :