*

*

Ads

Rabu, 29 Mei 2019

Pendekar Bodoh Jilid 106

Cin Hai diam-diam merasa terkejut dari teringatlah ia akan pertempurannya melawan Thai Kek Losu tadi. Jarum-jarum berbisa yang lihai dan yang keluar dari tengkorak Pendeta Sakia Buddha itu hampir saja tadi mengenainya dan menyambar dekat sekali di depan hidungnya hingga ia mencium bau yang amis dan busuk!

Bukan main jahatnya jarum-jarum berbisa itu. Baru baunya telah mempengaruhinya, apalagi kalau sampai terluka oleh jarum itu! Cin Hai segera mengerahkan hawa di dalam tubuh itu di dikumpulkan di dada, mendesak keluar segala kekotoran yang terbawa masuk oleh pernapasan ke dalam paru-paru, hingga ketika ia mendesak hawa itu keluar hidungnya, kembali ia mencium bau yang amis dan busuk itu! Ternyata bahwa bau yang amis dari senjata tadi telah mengeram di dalam paru-parunya. Bukan main berbahaya dan jahatnya!

Sementara itu, kedua orang penakluk harimau tadi berdiri dengan heran dan kagum ketika melihat cara guru itu menyembuhkan muridnya. Mereka maklum bahwa kakek jembel itu tentu lihai sekali, maka mereka tidak berani mengganggu dan hanya berdiri memandang. Tak lama kemudian, Bu Pun Su melepaskan genggaman tangannya pada telapak tangan Cin Hai dan ia berdiri kembali.

“Sudah, sudah bersih…” katanya, Cin Hai membuka kedua matanya dan segera berlutut.

“Senjata siapakah yang hampir mencelakaimu tadi, Cin Hai?”

Cin Hai lalu menceritakan tentang pengalamannya, betapa ia menjadi utusan kaisar, menyampaikan surat kepada Yagali Khan dan betapa ia mengadu kepandaian dengan Thai Kek Losu dan berhasil mengalahkannya tanpa menyadari bahwa ia telah hampir mendapat celaka karena senjata rahasia yang hebat dari pendeta itu.

Bu Pun Su mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Bagus, bagus memang itu sudah menjadi tugasmu…”

Kedua orang pemilik burung bangau tadi ketika mendengar cerita ini, segera menghampiri dan menjura dengan sikap hormat sekali.

“Ah, tidak mengira bahwa kami berdua mendapat kehormatan besar sekali untuk bertemu dengan seorang patriot yang gagah perkasa dan suhunya yang sakti. Mohon tanya, siapakah Locianpwe ini dan siapa pula muridmu yang gagah perkasa?” tanya kakek jenggot putih itu sambil menjura kepada Bu Pun Su yang jauh lebih tua darinya.

Bu Pun Su tidak membalas pemberian hormat itu, sebagaimana biasa ia memang tidak menyukai segala penghormatan, lalu menjawab seakan-akan mereka telah lama menjadi kawan baik saja,

“Burung bangaumu itu hebat sekali. Bukankah kau yang bernama Sie Lok dan yang disebut Si Pemelihara Harimau?”

Kakek jenggot putih itu nampak tercengang.
“Eh, sungguh heran! Locianpwe benar-benar berpemandangan tajam. Memang nama siauwte Sie Lok dan ini adalah adikku Sie Kiong. Kami berdua saudara memang tukang memelihara harimau. Bolehkah kami mengetahui nama Locianpwe yang mulia?”

“Siapakah aku ini? Ah, aku sendiri sudah hampir lupa siapa namaku. Kalian tanya saja kepada muridku ini!” jawabnya tak acuh sambil mendekati burung bangau dan memeriksa seluruh bulu dan tubuh burung itu dengan penuh perhatian dan tertarik sekali. Berkali-kali ia menganggukkan kepala dan berkata, “Bagus, bagus” seakan-akan seorang ahli barang antik sedang mengagumi sebuah benda kuno yang berharga dan menarik.

Cin Hai yang sudah tahu akan sifat aneh dari suhunya, merasa kurang enak terhadap kedua orang tua itu, maka ia segera menjura dengan hormat sambil berkata,

“Jiwi yang gagah, suhuku itu bernama Bu Pun Su dan siauwte sendiri bernama Sie Cin Hai.”

Kedua orang itu nampak terkejut karena mereka telah mendengar nama Bu Pun Su sebagai seorang kakek sakti yang luar biasa. Akan tetapi, agaknya mereka lebih tertarik mendengar nama Cin Hai karena kakek jenggot putih itu lalu melangkah maju dan bertanya,

“Anak muda, wajahmu mengingatkan daku akan seseorang. Siapakah nama ayahmu dan siapa pula nama ibumu?”

Berdebarlah hati pemuda itu. Tadinya ia menyangka bahwa persamaan she dengan kedua orang itu hanya kebetulan saja, akan tetapi mendengar pertanyaan ini, timbul perasaan ganjil di dalam hatinya.






Sambil menggeleng kepala ia menjawab,
“Siauwte tidak tahu, tidak tahu siapa nama ayah dan ibu…” sampai disini ia tidak dapat melanjutkan kata-katanya, karena hatinya merasa terharu.

Tiba-tiba Bu Pun Su berkata dengan suara sambil lalu,
“Eh, pemelihara harimau, apakah kau ketahui tentang seorang she Sie yang terbunuh mati sekeluarganya, karena dianggap pemberontak?”

Mendadak kedua orang itu menjadi pucat wajahnya dan memandang kepada Bu Pun Su dengan mata terbelalak.

“Locianpwe… apa… apa maksud pertanyaanmu ini…?”

Kedua orang itu teringat bahwa pemuda itu adalah utusan kaisar, maka tentu saja akan memusuhi orang-orang yang dianggap pemberontak.

Akan tetapi, Cin Hai yang mendengar pertanyaan suhunya ini dan yang melihat sikap kedua orang itu, tiba-tiba makin berdebarlah.

“Lo-peh, tahukah kau tentang dia yang memberontak itu? Tahukah kau…? Katakanlah, Lo-peh!”

Kakek jenggot putih itu memandang tajam lalu bertanya.
“Kau bilanglah dulu apa maksudmu dengan pertanyaan itu? Kau adalah seorang utusan kaisar, apa hubungannya dengan segala pemberontak?”

“Pemberontak she Sie adalah ayahku sendiri!” kata Sie Cin Hai dengan suara pilu.

Kini kakek jenggot putih itu melangkah mundur dan wajahnya menjadi pucat, tanda bahwa ia terkejut sekali. Si Jenggot Hitam yang bernama Sie Kiong itu pun mengeluarkan seruan kaget.

“Apa katamu… ? Anak muda… mukamu memang sama benar dengan Sie Gwat Leng, pemberontak she Sie itu. Dia itu adalah adikku dan kakak dari Sie Kiong. Anak muda, apakah kau mau bilang bahwa kau adalah anak Gwat Leng…?”

Dengan kedua mata terbelalak Cin Hai lalu bertanya, suaranya gemetar.
“Katakanlah… katakanlah… apakah Jiwi kenal kepada seorang wanita bernama Loan Nio yang menjadi isteri Kwee In Liang?”

“Tentu saja kenal. Dia adalah adik ipar dari Gwat Leng…”

“Ya Tuhan…! Kalau begitu kau adalah paman-pamanku…!” terdengar Cin Hai berkata dengan dada naik turun karena menahan gelora hatinya. “Pekhu… Siokhu… aku Sie Cin Hai memang putera Sie Gwat Leng itu… tak salah lagi…” Ia lalu menjatuhkan diri berlutut di depan kedua orang itu sambil menahan air matanya!

Sie Lok dan Sie Kiong lalu menubruk Cin Hai dan memeluknya.
“Kau anak Gwat Leng yang ikut Bibimu itu…? Ah, tak kusangka kita masih akan dapat bertemu…!” kata Sie Lok.

Bu Pun Su menghampiri mereka dan berkata,
“Tidak ada perceraian yang tak berakhir. Agaknya Thian telah menghendaki hingga kalian dapat saling berjumpa dengan tak tersangka-sangka. Telah lama aku mendengar nama kalian berdua pemelihara harimau, dan telah timbul persangkaanku, maka hari ini memang aku datang hendak menyelidiki. Siapa tahu, kebetulan sekali Cin Hai datang disini pula dalam keadaan terpengaruh racun jahat. Sungguh, ini namanya jodoh!”

“Siokhu, Pekhu, Suhuku inilah yang memungkinkan keponakanmu ini masih hidup sampai sekarang!” kata Cin Hai setelah keharuan hati mereka mereda.

“Telah lama kami mendengar nama besar Locianpwe, tidak tahunya Locianpwe adalah guru dan penolong dari keponakan kami yang tunggal ini. Terimalah pernyataan terima kasih kami, Locianpwe!” Setelah berkata demikian, Sie Lok dan Sie Kiong lalu berlutut di depan Bu Pun Su.

“Sudahlah, sudahlah, tak perlu bersikap seperti kanak-kanak,” kata Bu Pun Su dan ketika ia menggerakkan kedua tangannya menyentuh pundak kedua orang itu, mau tak mau keduanya harus berdiri lagi karena tenaga yang amat besarnya mengangkat mereka bangun! Kemudian, Bu Pun Su berkata kepada Cin Hai,

“Muridku, setelah bertemu dengan kedua pamanmu, tentu kau akan mendengar riwayat orang tuamu. Sekarang aku akan pergi, tubuhku yang sudah amat tua dan lapuk ini tak kuat untuk merantau lebih lama lagi. Aku hendak kembali ke Gua Tengkorak dan membawa Sin-kim-tiauw bersamaku. Kalau kau bertemu dengan Im Giok, suruh dia menyusulku disana!

Cin Hai memandang kepada muka suhunya dengan bengong.
“Suhu maksudkan Ang I Niocu? Bukankah Niocu sudah… sudah…” ia tidak dapat melanjutkan kata-katanya.

“Kekuasaan Thian tidak ada batasnya, anak bodoh. Aku sendiri belum memastikan benar apakah Im Giok masih hidup dan bukankah pada saat peristiwa hebat itu terjadi, baik burung ini maupun Im Giok berada di pulau itu? Sudahlah, Cin Hai, kalau tidak dapat bertemu dengan Im Giok, akhirnya aku pun akan dapat menemuinya, entah di sini entah di sana…” setelah berkata demikian, sekali saja kakek itu mengebutkan lengan bajunya, tubuhnya berkelebat dan lenyap dari situ, tanpa berpamit kepada Sie Lok dan Sie Kiong!

Memang demikianlah watak Bu Pun Su yang aneh dan selalu tidak mengacuhkan segala hal yang dianggapnya kurang perlu! Sin-kim-tiauw memekik keras dan terbang cepat menyusul kakek itu.

Sie Lok menghela napas.
“Telah banyak aku melihat orang pandai dan sakti, akan tetapi baru kali ini aku melihat orang yang betul-betul pandai dan berilmu tinggi. Mari, Cin Hai, mari kita pulang ke rumahku dan disana bercakap-cakap dengan leluasa. Hari ini adalah hari yang paling gembira dan baik semenjak kami ditinggal oleh ayahmu.”

Sambil digandeng tangannya oleh Sie Kong, Cin Hai lalu ikut mereka pulang dan keluar dari hutan itu, sedangkan harimau yang telah ditotok tadi, setelah dikalungi tambang dan dipulihkan keadaannya, lalu diseret dan akhirnya berlari mengikuti mereka dengan jinak. Ternyata bahwa harimau itu pun maklum akan kelihaian kakek itu hingga menyerah kalah dan tidak berani memberontak!

Dan demikianlah cara kedua orang she Sie itu menangkap harimau dan menjinakkannya. Setiap kali bertemu dengan harimau buas, mereka lalu mengganggunya, mempermainkannya dengan kepandaian mereka yang tinggi, kemudian, setelah harimau itu ditundukkan, leher harimau dicancang dan dibawa pulang, bagaikan orang menuntun anjing saja.

Setelah tiba di rumah Sie Lok dan Sie Kiong yang berada di atas sebuah lereng bukit penuh dengan pohon pek dan siong, Cin Hai merasa kagum sekali oleh karena ternyata di sekeliling rumah besar itu terdapat banyak sekali harimau yang berkeliaran di sekitar rumah dengan jinak bagaikan binatang peliharaan biasa.

Ketika Cin Hai mencoba untuk menghitung jumlah harimau, yang kelihatan saja olehnya sudah ada dua puluh ekor lebih. Kemudian dia mendengar dari pamannya bahwa mereka mempunyai lebih dari empat puluh ekor harimau yang besar dan galak.

Bagaikan anjing-anjing penjaga rumah, ketika melihat Cin Hai dan menciumi bau manusia baru yang asing, harimau-harimau itu menggereng dan memperlihatkan gigi dan taring akan tetapi ketika kedua orang she Sie itu mengangkat tangan kanan, semua harimau itu menjadi ketakutan dan mengundurkan diri. Bukan main kagum hati Cin Hai melihat pengaruh dan kekuasaan kedua orang pamannya itu atas sekian banyaknya harimau buas.

Setelah masuk ke dalam rumah duduk berhadapan, maka berceritalah Sie Lok kepada Cin Hai.

Ternyata bahwa keluarga Sie terdiri dari empat orang saudara laki-laki bernama Sie Lok, Sie Gwat Leng, Sie Ban Leng dan Sie Kiong. Keempat saudara ini di waktu mudanya rajin mempelajari ilmu silat, dan diantara mereka, yang pandai sekali dan tinggi ilmu silatnya adalah Sie Gwat Leng dan Sie Ban Leng oleh karena kedua orang ini mendapat didikan dari seorang pertapa sakti Gobisan, sedangkan Sie Lok dan Sie Kiong mendapat didikan dari seorang hwesio perantau yang juga memiliki ilmu kepandaian tinggi dan menjadi ahli penakluk semua binatang buas.

Dari hwesio inilah Sie Lok dan Sie Kiong mendapat ilmu atau cara menaklukkan harimau dan lain-lain binatang buas, bahkan mereka mempelajari cara menotok tubuh binatang-binatang itu.

Setelah tamat belajar, keempat saudara ini bertemu lagi dan ketika diadakan pengukuran kepandaian, ternyata bahwa Sie Gwat Leng adalah yang paling pandai, kemudian Sie Ban Leng, kemudian Sie Lok dan Sie Kiong sungguhpun bagi orang biasa boleh disebut telah memiliki ilmu silat yang amat tinggi, namun dibandingkan dengan kedua saudaranya yang menjadi anak murid Gobi-san itu, kepandaian mereka masih jauh.






Tidak ada komentar :