*

*

Ads

Senin, 27 Mei 2019

Pendekar Bodoh Jilid 105

Kemudian tangan kiri Thai Kek Losu bergerak dan kali ini Cin Hai hanya mengelak oleh karena yang menyambar hanya tiga batang jarum saja, akan tetapi kesempatan itu digunakan oleh Thai Kek Losu untuk menghantamkan tengkoraknya ke arah batok kepala Cin Hai.

Serangan ini tiba-tiba datangnya dan selain tak terduga oleh karena perhatian Cin Hai tercurah kepada jarum-jarum itu juga cepat sekali hingga tanpa terasa pula Cin Hai menangkis dengan pedangnya.

Terdengar suara keras ketika tengkorak itu mencium pedang dan tiba-tiba dari muka tengkorak itu menyambar keluar tujuh batang jarum-jarum yang kehijau-hijauan dan berbau amis karena mengandung racun. Inilah kelihaian tengkorak itu yang sengaja diserangkan dengan tiba-tiba agar ditangkis oleh lawannya.

Dari kedua lubang hidung keluar empat batang jarum, sedangkan dari mulut tengkorak itu keluar tiga batang. Semua jarum ini menyambar ke arah tubuh Cin Hai dengan cepat sekali.

Kali ini Cin Hai benar-benar terkejut karena sama sekali tak pernah menduga akan hal ini. Ia cepat melempar tubuh ke belakang hingga seperti jatuh terjengkang dan ini pun hampir saja tak dapat menolongnya karena jarum-jarum itu lewat dekat sekali dengan kulit mukanya, hingga hidungnya mencium bau yang luar biasa amis dan busuknya.

Setelah pengalaman ini, Cin Hai menjadi marah sekali, sebaliknya Thai Kek Losu menjadi kecewa dan gentar. Memang tipu tadi adalah tipu terakhir yang disengaja karena ia pasti akan dapat merobohkan lawannya. Tidak tahunya, anak muda itu benar-benar hebat sekali hingga pada saat dan keadaan yang agaknya tak mungkin dapat melepaskan diri dari bahaya maut itu, Cin Hai masih dapat mengelaknya.

Ia merasa rugi oleh karena tipu itu tidak berhasil, maka Cin Hai takkan merasa tidak tega lagi kepada tengkorak itu oleh karena ketika pedangnya membentur tengkorak, ternyata tengkorak itu tidak pecah.

Sekaligus pengalaman ini membuat hati pemuda itu menjadi tetap dan rasa kasihan serta tidak tega terhadap tengkorak itu menjadi lenyap, bahkan terganti rasa benci oleh karena ternyata bahwa tengkorak kecil yang dikasihinya tadi mengandung senjata maut yang hampir saja menewaskannya.

Kini Cin Hai menerjang maju sambil memutar-mutar pedangnya dan mengeluarkan gerakan dan jurus-jurus Ilmu Pedang Daun Bambu yang paling hebat, hingga Thai Lek Losu terdesak mundur tanpa dapat membalas.

Pada saat yang baik, Cin Hai menusukkan pedangnya ke arah tenggorokan Thai Kek Losu melalui sinar rantai musuh dengan gerakan miring. Thai Kek Losu mencoba untuk menghindarkan serangan ini dengan mengadu jiwa, yakni ia membarengi untuk memukulkan tengkoraknya pada muka Cin Hai.

Dua senjata itu menyerang dengan cepat dalam waktu hampir bersamaan, dan kalau sekiranya kedua orang itu tidak mau menarik kembali serangan mereka, tentu kedua-duanya akan tewas.

Akan tetapi, tentu saja Cin Hai tidak sudi mengadu jiwanya. Ia maklum bahwa tengkorak itu berbahaya sekali dan mengandung racun hebat dan sekali saja ia kena cium mulut tengkorak yang kebiru-biruan itu, ia akan mengalami bencana besar. Secepat kilat gerakan pedangnya yang memang mudah berubah-ubah itu, ia balikkan dan kini pedang itu menyambar ke arah rantai.

Sebelum tengkorak mengenai mukanya, pedang Liong-coan-kiam dengan dorongan tenaga lweekang sepenuhnya telah berhasil menebas putus rantai itu hingga tengkorak yang berada di ujung rantai terpental jauh dan menggelinding bagaikan bal.

Dan pada saat itu juga, kaki kiri Cin Hai dengan cepat melayang dan mendupak dada Thai Kek Losu yang terpental pula seperti tengkorak tadi dan kebetulan sekali ia jatuh ke arah tempat duduk Balaki.

Balaki tidak berani menyambut tubuh Thai Kek Losu, hanya cepat sekali tubuhnya melayang pergi dari kursinya dan pada lain saat, tubuh Thai Kek Losu telah jatuh di atas kursi itu dan duduk dengan muka pucat.

“Yagali Khan, kuharap saja sebagai seorang raja besar, kau suka pegang teguh ucapanmu!” kata Cin Hai yang lalu bertindak pergi keluar dari situ dengan langkah tenang.

Yagali Khan menggertak giginya, jagonya yang nomor satu telah dikalahkan oleh seorang utusan atau pembawa surat saja, apalagi kalau menghadapi panglima besar kaisar!

“Pendekar Bodoh, kami akan pegang janji, akan tetapi lain waktu kalau kami mengundangmu, harap kau tidak menolak karena takut!” teriaknya, akan tetapi Cin Hai pura-pura tidak mendengarnya dan mempercepat langkahnya, oleh karena ia tidak mau mengikat dirinya dengan perjanjian macam itu yang hanya akan memperbesar permusuhan belaka. Dan pula, entah mengapa, ia merasa kepalanya pening sekali dan selalu seperti hendak muntah.






Karena kepeningan kepalanya, maka Cin Hai telah mengambil jalan keliru dan ia tersesat jalan tanpa ia sadari. Pada suatu jalan simpang tiga, seharusnya ia membelok ke kiri, akan tetapi sebaliknya ia membelok ke kanan. Kepalanya makin pening dan kedua kakinya gemetar, akan tetapi ia berlari terus secepatnya.

Ketika ia masuk dalam sebuah hutan yang liar dan terus berlari cepat, tiba-tiba ia mendengar suara harimau mengaum. Akan tetapi, berbeda dengan auman harimau biasa, auman ini luar biasa kerasnya hingga Cin Hai sendiri sampai tergetar jantungnya. Ia lalu menekan perasaan peningnya dan berlari menuju ke arah auman harimau itu karena setelah suara auman itu hilang gemanya, terdengar suara orang bersuara.

Setelah ia tiba di satu tempat terbuka, ia menyaksikan pemandangan yang aneh dan mengagumkan. Dua orang laki-laki, yang seorang sudah tua dengan rambut dan jenggot putih, yang ke dua setengah tua, sedang tertawa-tawa dan mempermainkan seekor harimau yang luar biasa besar dan galaknya.

Cin Hai melangkah mendekati dan menyaksikan sepak terjang kedua orang tua itu. Kakek jenggot putih itu berdiri berhadapan dengan harimau sambil mempermainkan mulutnya seakan-akan mengolok-oloknya. Orang ke dua berdiri di belakang harimau sambil bertolak pinggang. Sikap mereka ini seakan-akan bukan sedang menghadapi seekor harimau yang besar, akan tetapi seakan-akan dua orang anak-anak menghadapi seekor kucing yang jinak!

Tiba-tiba harimau itu menggerang keras dan melompat tinggi, menerkam kakek jenggot putih! Kakek itu diam saja tidak mengelak akan tetapi setelah harimau itu melayang dekat ia segera berseru dan tahu-tahu tubuhnya telah mencelat ke atas, melalui tubuh harimau dan sambil berjungkir balik di udara ia menjatuhkan diri pula menduduki punggung harimau!

“Heh, heh heh! Hayo menari…!” katanya menepuk-nepuk punggung harimau besar itu dengan kedua tangannya persis anak kecil naik kuda-kudaan!

“Ha, ha, Twako, jangan lepaskan dia, ha, ha!”

Laki-laki setengah tua yang berjenggot hitam itu tertawa gembira dan sekali tubuhnya bergerak, ia telah menyambar ke arah harimau yang sedang marah sekali itu. Harimau itu menggoyang-goyang tubuhnya membuka mulutnya lebar-lebar dan ekornya bergerak cepat dan tiba-tiba bagaikan sebatang toya, ekor yang panjang itu menyambar kepala kakek jenggot putih dari belakang.

Cin Hai merasa terkejut akan tetapi tiba-tiba seakan-akan kepala kakek itu ada mata di belakangnya, kakek itu menundukkan kepalanya hingga sabetan ekor harimau mengenai tempat kosong.

Sementara itu, Si Jenggot Hitam yang telah melompat di dekat tubuh harimau, lalu mengulur tangan kanan dan menjiwir telinga harimau itu hingga binatang liar ini menggerung-gerung kesakitan.

Ketika ekor harimau itu menyabet kembali, dengan mudah Si Jenggot Hitam menangkap ekor tadi dan menahannya di belakang hingga harimau yang hendak lari ke depan itu tertahan dan tak dapat bergerak.

“Hayo, menyerah tidak kau!” kata kakek jenggot putih sambil menggenjot-enjot tubuhnya di punggung harimau.

Binatang itu hendak menggulingkan diri dan mencakar kakek itu, akan tetapi ia merasa betapa tubuh kakek itu bukan main beratnya hingga ia tidak kuat berdiri lagi dan perutnya menempel pada tanah.

Cin Hai melihat dengan kagum dan heran akan kelihaian dan kegesitan kedua orang itu, dan pada saat itu, ia mendengar suara keras berbunyi di udara, dan ketika ia memandang, ternyata di udara sedang terjadi pertempuran yang lebih aneh lagi. Seekor burung bangau besar sedang bertempur dengan ramainya melawan seekor burung rajawali. Rajawali itu menyambar-nyambar dengan ganasnya akan tetapi dengan patuknya yang runcing dan panjang bagaikan dua batang pedang itu, burung bangau mempertahankan diri dengan baiknya.

Ketika dua orang laki-laki itu menengok ke atas karena tertarik oleh suara burung-burung yang sedang berkelahi, mereka juga terkejut sekali.

“Kau mendekamlah!’ seru kakek jenggot putih sambil menepuk dan menotok urat di punggung harimau dan aneh sekali, harimau itu tiba-tiba menjadi lemas dan mendekam tanpa berdaya lagi.

Ternyata bahwa kakek itu tahu jalan-jalan darah binatang itu hingga dapat mengirim tiam-hwat (totokan) dengan tepat sekali. Adapun Si jenggot Hitam segera memandang ke atas dan berseru keras,

“Ang-siang-kiam, kau turunlah!!”

Kemudian ia mengeluarkan suara bersuit yang keras sekali. Burung bangau itu diberi nama Ang-siang-kiam atau Sepasang Pedang Merah oleh karena patuknya memang berwarna merah dan panjang seperti sepasang pedang.

Mendengar suitan ini, bangau itu segera meluncur turun dengan cepat dan di belakangnya, rajawali itu menyambar pula mengejar.

“Rajawali keparat!”

Si Jenggot Hitam itu memaki dan tiba-tiba tangan kanannya bergerak dan sebatang pelor putih yang bulat meluncur cepat ke arah dada rajawali yang mengejar bangau itu. Akan tetapi, rajawali ini gesit sekali dan sebelum pelor mengenai dadanya, ia telah mengelak ke kiri. Sebutir pelor putih lain menyusul dan mengarah lehernya. Rajawali itu segera mengebutkan sayapnya dan pelor kena terpukul jatuh!

Melihat kelihaian rajawali itu, kedua orang laki-laki itu menjadi terkejut dan mengeluarkan seruan tertahan, sedangkan Cin Hai yang juga memandang dengan perhatian lalu teringat akan rajawali yang dulu pernah bertanding melawan Ang I Niocu di atas perahu. Banyak persamaannya antara kedua burung rajawali itu.

Sementara itu, burung bangau yang diberi nama Ang-siang-kiam itu telah turun di atas tanah dan kini berdiri di dekat kakek jenggot hitam. Tubuh burung bangau itu tinggi sekali hingga merupakan seekor burung bangau yang langka terdapat.

Adapun rajawali tadi karena tahu akan kelihaian dua orang manusia yang berada di bawah, lalu hanya terbang berputaran sambil mengeluarkan pekik menantang tanpa berani turun ke bawah.

Pada saat itu terdengar bentakan halus,
“Sin-kim-tiauw, jangan kurang ajar!”

Mendengar suara ini, rajawali tadi lalu melayang turun dan Cin Hai menjadi girang dan juga terkejut sekali oleh karena ia mengenal suara ini sebagai suara gurunya, Bu Pun Su!

Benar saja, ketika kedua orang laki-laki itu pun memandang, dari sebuah tikungan, muncullah seorang kakek tua sekali yang berpakaian penuh tambalan hingga merupakan seorang jembel tua. Rajawali emas tadi telah turun dan kini berjalan di belakang kakek itu bagaikan seekor anjing yang jinak sekali.

“Suhu!”

Cin Hai berseru dan segera berlari dan menghampiri, akan tetapi hampir saja ia roboh terguling karena kepalanya terasa pening sekali ketika ia berlari itu. Untung ia masih dapat menetapkan kaki dan segera berlutut.

“Cin Hai, lekas kau duduk dan kumpulkan semangat bersihkan napas!” terdengar kakek itu berseru setelah memandang wajah muridnya.

Kakek sakti ini sekali pandang saja tahu bahwa muridnya ini telah terkena hawa beracun yang berbahaya sekali. Cin Hai biarpun merasa heran, segera menurut dan taat akan perintah gurunya itu. Ia segera duduk bersila, meramkan mata dan merangkapkan kedua tangan di depan dada.

Tiba-tiba ia merasa betapa telapak tangan suhunya yang halus itu memegang tangannya dan dari telapak tangan suhunya mengalirlah hawa yang luar biasa hangat dan kuat melalui telapak tangannya sendiri dan terus membantu hawa kekuatan tubuhnya sendiri.

Oleh karena ini, ia merasa betapa hawa tenaga di dalam tubuhnya menjadi berlipat ganda dan kini ia gunakan hawa itu diputar-putar ke seluruh tubuh karena tidak tahu akan maksud suhunya.

“Penuhkan di dada, bersihkan paru-paru dan usir hawa racun yang tadi masuk dari lubang hidungmu!” kakek itu berbisik perlahan.






Tidak ada komentar :