*

*

Ads

Senin, 27 Mei 2019

Pendekar Bodoh Jilid 104

“Anak muda, kalau aku menggerakkan seluruh perwira dan pasukanku, apa kau kira kau yang hanya seorang diri ini, betapapun tinggi kepandaianmu, akan dapat membela diri dan pulang dengan selamat?”

“Aku tidak takut karena hal seperti itu tak mungkin terjadi,” jawab Cin Hai.

“Mengapa kau bisa berkata demikian? Dengan hanya mengangkat tangan kananku, ribuan perajurit akan menyerbu dan menghancurkan tubuhmu dengan golok dan pedang.”

“Sekali lagi aku yakin bahwa hal ini tak mungkin terjadi. Pertama karena aku adalah seorang utusan dan negara mana pun di dunia ini takkan mengganggu seorang utusan kaisar! Ke dua kalinya, kalau kau melanggar aturan ini dan mengerahkan perajurit untuk mongeroyokku, aku akan melawan mati-matian dan sebelum aku mati, tentu aku akan berhasil merobohkan ratusan orang-orangmu hingga mati pun takkan rugi. Ke tiga kalinya, kalau kau melakukan pelanggaran ini, nama Yagali Khan akan tenggelam ke dalam lumpur kehinaan hingga andaikata kelak kau bisa menjadi seorang raja yang bagaimana pun besarnya, namamu akan tetap dipandang rendah sebagai seorang raja yang curang dan tidak tahu akan kesopanan negara.”

Tertegun semua yang hadir di situ mendengar jawaban yang berani sekali akan tetapi tepat ini. Wajah Yagali Khan berubah merah dan kalau saja yang mengucapkan kata-kata ini bukan seorang utusan kaisar tentu ia akan mencabut pedangnya dan memenggal kepala orang itu dengan tangannya sendiri. Ia hanya mengeluarkan suara “hm, hm” kemudian setelah menatap wajah Cin Hai yang membalas pandangannya dengan tenang dan mulut tersenyum, lalu ia membuka surat kaisar itu.

Sebagai seorang utusan, Cin Hai telah diberi tahu oleh komandan pasukan kerajaan tentang isi surat agar ia dapat mengetahui baik-baik akan tugasnya. Isi surat itu adalah bujukan halus yang mengandung ancaman agar Yagali Khan suka insyaf dan tidak menanam permusuhan dan mengacau daerah Tiongkok, karena ini hanya akan mengakibatkan kehancurannya dan kerusakan kedua belah pihak.

Setelah membaca surat itu, Yagali Khan memandang kepada Cin Hai dan berkata,
“Hm, kaisarmu ini sama dengan kau, sombong dan mengagulkan diri! Apakah yang kalian andalkan? Kami mempunyai pasukan yang besar jumlahnya dan kuat, senjata kami lengkap dan perwira-perwira kami berkepandaian tinggi! Jangan kau menjadi sombong setelah berhasil mengalahkan seorang di antara perwira kami. Apakah kaisarmu itu menjadi sombong karena mengandalkan kau?”

Cin Hai tersenyum.
“Yagali Khan, jangan kau memandang rendah Negara Tiongkok! Betapapun besar jumlah barisanmu, dibandingkan dengan barisan dan rakyat Tiongkok, belum ada seperseratusnya! Tentang senjata dan kekuatan kami pun tidak akan kalah. Adapun tentang orang pandai, kami tidak kekurangan. Ketahuilah, bahwa baru aku saja yang hanya menjadi utusan biasa dan bukan seorang panglima, aku tidak gentar menghadapi perwiramu yang manapun juga! Apalagi panglima kami yang gagah perkasa dan ilmu kepandaiannya jauh lebih tinggi daripada kepandaianku! Dan panglima-panglima yang gagah perkasa di pihak kami bukan hanya ratusan atau ribuan jumlahnya, bahkan ada laksaan! Sia-sia saja kalau kau hendak menyerbu ke negara kami. Lagi pula, apakah perlunya? Kau dan kami adalah tetangga yang harus mengadakan perhubungan baik. Apakah kau belum mendengar betapa para Lama di Tibet juga telah mengadakan hubungan baik dan damai dengan kami? Padahal mereka itu kuat sekali, lebih kuat daripada barisanmu. Oleh karena inilah, dan demi menjaga keamanan rakyat, kaisar kami minta kepadamu untuk menggunakan kebijaksanaan dan kembali pulang dengan damai.”

Ucapan Cin Hai ini sebetulnya bukan omong kosong, oleh karena negeri mana di dunia ini yang memiliki rakyat lebih banyak daripada Tiongkok? Adapun tentang kepandaian, Cin Hai maklum bahwa banyak sekali orang-orang pandai di negaranya, maka biarpun agak berlebihan ketika ia mengatakan bahwa masih banyak sekali orang-orang yang jauh lebih pandai darinya, akan tetapi ada benarnya juga.

Para perwira yang mendengar ucapan ini diam-diam merasa gentar juga, bahkan Yagali Khan sendiri juga merasa ngeri. Akan tetapi ia tidak mau menyatakan ini, bahkan lalu berkata,

“Anak muda, jangan kau kira aku merasa takut mendengar ocehanmu itu! Dan tentang kesombonganmu yang sanggup dan berani menghadapi setiap perwira kami, baiklah kau buktikan! Kami bukan hendak mencelakakan seorang utusan karena kami bukanlah orang rendah seperti yang orang kira, akan tetapi kami mengajak kau secara terang-terangan untuk mengadu kepandaian. Kalau kau dapat merobohkan seorang jago yang kutunjuk, biarlah kami anggap bicaramu tadi tidak bohong belaka dan kami akan menarik mundur pasukan-pasukan kami!”

Cin Hai maklum bahwa sekarang terletak penuh di atas kedua pundaknya untuk menentukan apakah bujukan kaisar ini berhasil atau tidak. Kalau ia bisa merobohkan jago yang ditunjuk oleh Yagali Khan, mereka tentu akan merasa juga menghadapi perwira-perwira yang ia sombongkan memiliki kepandaian yang lebih tinggi darinya.






Akan tetapi kalau ia sampai kalah, tidak saja jiwanya terancam, akan tetapi juga kata-katanya tadi akan dianggap bohong dan raja muda itu tentu akan melanjutkan serbuannya! Ia menganggap bahwa perlu sekali raja muda ini diberi bukti akan kelihaiannya agar dapat tunduk. Maka ia menjawab sambil tersenyum tenang,

“Boleh, boleh, Yagali Khan. Apakah kau akan mengajukan Balaki?”

Merah wajah Balaki mendengar ini dan ia memandang kepada Cin Hai dengan mata melotot.

“Biarkan hamba mengadu jiwa dengan orang ini!” katanya kepada Yagali Khan, akan tetapi raja muda itu sambil tersenyum lalu berkata,

“Bukan kau lawannya, Balaki.”

Lalu ia menyuruh pendeta Jubah Merah yang rambutnya putih itu dalam bahasa Mongol. Pendeta itu tersenyum, berdiri lalu membongkokkan tubuhnya dalam-dalam di depan junjungannya, kemudian ia menghampiri Cin Hai yang sudah siap.

“Anak muda,” katanya dengan suara yang halus dan dalam bahasa Han yang kaku, “siapakah namamu? Aku tidak biasa menewaskan seorang tanpa mengenal namanya.”

Biarpun kata-kata ini diucapkan dengan suara halus, namun mengandung pandangan yang merendahkan sekali. Cin Hai tertawa dan menjawab,

“Agaknya kau telah yakin benar bahwa aku pasti akan tewas di dalam tanganmu! Namaku adalah Sie Cin Hai atau kau boleh saja sebut aku sebagai Pendekar Bodoh karena nama inilah yang dikenal oleh orang-orang yang menjadi lawanku. Pakaianmu mengingatkan aku akan Pangeran Vayami. Agaknya kau sepaham dengan dia.”

“Vayami bukan apa-apaku, jangan kau ngaco! Aku adalah pendeta tinggi dari Sakia Buddha dan disebut Thai Kek Losu. Anak muda, apakah benar kau berani menerima tantangan ini? Ketahuilah, bahwa sekali Thai Kek Losu turun tangan, biasanya pasti akan ada orang melepaskan nyawanya!”

“Thai Kek Losu, seorang laki-laki kalau sudah mengeluarkan kata-kata, biar sampai mati pun takkan menelan kembali kata-kata itu. Aku telah menerima tantangan ini dan tentu saja akan kuhadapi sampai akhir. Adapun tentang mati, siapakah orangnya yang akhirnya takkan mati? Hanya bedanya, ada orang mati seperti harimau dan ada pula yang mati seperti babi. Dan aku memilih yang pertama itu! Kau majulah!”

Oleh karena maklum bahwa lawan ini tak boleh dipandang ringan maka Cin Hai lalu mencabut Liong-coan-kiam dari pinggangnya, dan melintangkan pedang itu di dadanya. Thai Kek Losu tertawa bergelak mendengar kata-kata Cin Hai itu.

“Pendekar Bodoh, tidak tahunya kau mempunyai semangat dan kegagahan juga! Bagus, bagus, kau hadapi senjataku ini yang akan membebaskan jiwamu dari pada penderitaan hidup!”

Sambil berkata demikian, pendeta rambut putih ini lalu mengeluarkan sebuah tengkorak dari dalam bajunya yang lebar. Tengkorak ini mungkin tengkorak anak-anak, karena kecil saja dan pada leher tengkorak itu dipasangi rantai berwarna kuning yang panjangnya kurang lebih lima kaki. Dengan memegang ujung rantai itu, maka tengkorak yang mengerikan ini menjadi senjata yang luar biasa sekali, senjata rantai yang berujung tengkorak!

Cin Hai merasa terkejut juga melihat senjata ini karena selama hidupnya belum pernah ia melihat senjata macam ini, maka ia berlaku waspada dan tidak mau menyerang lebih dulu.

Melihat keraguan Cin Hai, Thai Kek Losu lalu melangkah maju sambil mengayunkan rantainya. Tengkorak kecil itu melayang dan menyambar ke arah muka Cin Hai, seakan-akan hendak menciumnya! Cin Hai bergidik karena ngeri, maka ia cepat-cepat menahan napas untuk menenteramkan hatinya yang secara aneh sekali tergoncang ketika melihat tengkorak itu dan ia lalu melompat ke samping.

Ia dapat menduga bahwa senjata aneh ini tentulah mengandung kekuatan hoatsut (sihir) yang dapat membuat lawan terkejut, ngeri dan lemah semangatnya, maka ia segera menggerak-gerakkan tangan kirinya yang tidak memegang senjata itu untuk memainkan Ilmu Silat Pek-in-hoatsut atau Ilmu Sihir Awan Putih! Beberapa kali ia menggerakkan lengan kiri dan mengerahkan semangat dan tenaga lweekang hingga dari lengannya yang kiri mengepul uap putih!

Kembali tengkorak itu menyambar ke arah kepalanya dan cepat sekali Cin Hai lalu membacok tengkorak itu dengan pedangnya. Akan tetapi, segera ia tarik kembali pedangnya dan melompat lagi untuk mengelakkan diri. Entah bagaimana, ia merasa tidak tega untuk membacok dan memecahkan tengkorak itu yang tiba-tiba nampak seakan-akan menjadi kepala seorang anak-anak yang masih utuh, lengkap dengan mata, rambut, dan hidung serta mulutnya!

Memang senjata di tangan Thai Kek Losu ini bukan senjata biasa. Sebelum tengkorak itu diikat dengan rantai, telah ditapai dan dimasuki ilmu sihir. Hendaknya diketahui bahwa kepala itu diambil dari kepala seorang anak yang masih hidup, yang dikorbankan secara kejam dan tak mengenal perikemanusiaan oleh pendeta itu!

Khasiat senjata ini ialah dapat menyihir lawan dan membuat lawan selain serasa pusing dan gentar, juga apa bila lawan hendak melawan dengan sungguh-sungguh, maka tengkorak itu akan nampak seperti masih hidup dan lengkap merupakan kepala seorang anak kecil yang menangis!

Oleh karena maklum akan kelihaian senjata ini, Cin Hai lalu menyabarkan diri dan hanya memperhatikan gerak lawannya saja. Ia mempergunakan kelincahannya untuk mengelak dari setiap serangan dan setelah ia memperhatikan serangan lawan, ia mendapat kenyataan bahwa ilmu silat kakek ini benar-benar lihai serta tenaga lwekangnya belum tentu kalah olehnya!

Akan tetapi dengan kepandaian dan pengertiannya tenang pokok-pokok dasar segala macam gerak dan serangan lawan Cin Hai sebetulnya tak perlu merasa gentar. Hanya senjata hebat itulah yang membuatnya ragu-ragu dan ngeri. Baiknya ia telah mainkan Pek-in-hoatsut dengan tangan kirinya hingga sebagian besar hawa siluman yang merupakan daya sihir itu telah dapat ditolak sebagian.

Namun ternyata bahwa kekuatan sihir atau ilmu hitam dari Thai Kek Losu kuat sekali. Biarpun kini Cin Hai tidak merasa gentar lagi akan tetapi tetap ia tidak tega untuk membacok kepala atau tengkorak itu.

Cin Hai lalu mengeluarkan Ilmu Pedang Daun Bambu dan setelah ia membalasnya dengan serangan-serangan yang amat lihai itu, Thai Kek Losu baru merasa terkejut. Ilmu pedang lawannya yang muda ini memang luar biasa. Tadi ketika ia melihat bahwa Cin Hai tidak terpengaruh oleh daya sihir senjatanya dan lengan kiri pemuda itu begerak-gerak menurut garis Pat-kwa hingga dapat menolak daya sihir, ia telah merasa kagum dan maklum bahwa ia menghadapi murid seorang sakti.

Akan tetapi ia maklum bahwa pemuda itu masih belum mampu menolak daya sihir yang membuat ia tidak tega membacok tengkorak itu dan diam-diam ia merasa girang oleh karena dengan ilmu silatnya yang tinggi, tentu ia akan dapat mendesak dan akhirnya mengalahkan lawannya ini. Tak usah banyak-banyak, sekali saja muka atau kepala lawannya dapat tercium oleh mulut tengkorak itu, pasti ia akan roboh dan tewas.

Kini setelah Cin Hai mengeluarkan Ilmu Silat Daun Bambu, baru ia terkejut sekali karena gerakan anak muda itu membuat ia terpaksa mencurahkan sebagian perhatiannya untuk menjaga diri. Serangan-serangan ujung pedang Liong coan-kiam sungguh hebat dan sukar diduga, sedangkan untuk melukai kepala lawannya dengan tengkoraknya, bukanlah merupakan hal yang mudah karena pemuda itu memiliki kegesitan yang jauh lebih tinggi daripada kepandaian ginkangnya sendiri.

Untuk dapat mempercepat kemenangannya, Thai Kek Losu lalu merogoh saku jubah dengan tangan kirinya dan ketika tangan kirinya itu bergerak, maka menyambarlah tujuh batang jarum hitam ke arah jalan darah di seluruh tubuh Cin Hai, antaranya dua batang menuju matanya. Inilah Hek-kang-ciam atau Jarum Baja Hitam yang cepat sekali lajunya karena biarpun kecil akan tetapi berat sekali.

Cin Hai dengan tenang memutar pedangnya dan aneh sekali! Semua jarum itu menempel pada Pedang Liong-coan-kiam dan melengket di situ, kemudian sambil berseru keras, ketika Cin Hai menggerakkan pedangnya, semua jarum itu menyambar kembali ke arah tuannya.

Thai Kek Losu merasa terkejut sekali dan cepat ia melompat ke samping untuk menghindarkan diri dari sambaran jarum-jarumnya sendiri! Sebetulnya tidak aneh, oleh karena Liong-coan-kiam adalah sebatang pedang pusaka yang mengandung daya penarik sembrani hingga jarum-jarum kecil itu melengket dengan mudah. Kemudian sambil mengerahkan lweekangnya, pemuda itu dapat membuat jarum-jarum yang menempel itu terlepas dan melayang ke arah lawannya.






Tidak ada komentar :