*

*

Ads

Selasa, 11 Juni 2019

Pendekar Bodoh Jilid 134

Para penggembala yang melihat pertempuran ini menjadi ketakutan dan sebentar saja tempat itu menjadi sunyi karena semua ternak telah dihalau dengan buru-buru oleh para penggembala hingga kini yang terdengar hanyalah suara rebab Sie Ban Leng beradu dengan gendewa Sian Kek Losu. Memang kedua orang ini memiliki ilmu kepandaian yang setingkat tingginya hingga pertempuran mereka merupakan pertempuran yang ramai.

Sementara itu, menghadapi kelincahan Ang I Niocu yang luar biasa, Thai Kek Losu merasa kewalahan juga dan tiba-tiba ia berseru keras dan tahu-tahu ia telah mengeluarkan senjatanya yang mengerikan, yaitu sebuah tengkorak anak kecil yang terikat dengan rantai.

Begitu senjata itu menyambar, Ang I Niocu telah merasa bergidik bulu tengkuknya dan gerakan pedangnya menjadi kacau. Tidak saja dari tengkorak itu mengeluarkan bau yang membuatnya menjadi muak dan pusing, akan tetapi juga tengkorak yang meringis dan seakan-akan muka anak kecil tengah menangis itu membuat hatinya lemah dan ngeri.

Sebentar saja permainan pedangnya menjadi kalut dan Thai Kek Losu mendesaknya dengan hebat. Keadaan Ang I Niocu berbahaya sekali, dan hal inipun mempengaruhi Sie Ban Leng karena ketika ia melihat betapa gadis yang menggiurkan hatinya itu terancam bahaya, perhatiannya terpecah dan kesempatan ini dipergunakan oleh Sian Kek Losu untuk mendesaknya dengan gendewanya yang digerakkan secara luar biasa.

Seperti halnya Cin Hai ketika menghadapi Thai Kek Losu, maka tengkorak yang seperti muka seorang anak-anak sedang menangis itu membuat Ang I Niocu menjadi lemah dan ia tidak berani menggunakan pedangnya untuk menangkis atau membacok tengkorak itu, karena hal ini seakan-akan seperti ia membacok kepala seorang kanak-kanak. Hatinya tidak tega dan berbareng merasa ngeri oleh karena selama hidupnya belum pernah ia menghadapi sebuah senjata sehebat ini.

Seorang yang sedang mainkan senjata, apalagi di waktu bertempur menghadapi seorang lawan tangguh, yang terutama harus berhati tabah, tenang dan perhatian harus dicurahkan seluruhnya terhadap pertempuran itu. Dengan demikian, barulah ia akan dapat berkelahi dengan baik dan sempurna.

Maka, setelah perhatiannya sebagian besar dikacaukan oleh senjata lawan yang mengerikan itu, maka ilmu pedang Ang I Niocu menjadi kacau balau dan ia banyak membuat kesalahan-kesalahan. Sementara itu, desakan-desakan Thai Kek Losu makin hebat saja! Hanya berkat ketangkasan kaki tangannya yang diperoleh dari banyak pengalaman berkelahi saja yang membuat Ang I Niocu masih dapat bertahan selama itu!

Pada saat keadaan Ang I Niocu amat berbahaya dan juga Sie Ban Leng ikut pula terancam, tiba-tiba terdengar suara orang ketawa dan dua bayangan tubuh orang berkelebat mendatangi lalu tanpa banyak cakap kedua orang ini lalu menyerbu dan membantu Ang I Niocu dan Sie Ban Leng!

Ketika melihat bahwa yang datang membantu ini adalah seorang tosu yang mulutnya mewek mau menangis dan seorang hwesio yang mulutnya menyeringai kegirangan, bukan main herannya hati Ang Niocu. Tak terasa pula ia berseru,

“Ceng Tek Hosiang dan Ceng To Tosu! Bagaimana kalian bisa sampai kesini? Dari mana Jiwi tiba-tiba datang?”

Akan tetapi sambil berseru demikian, Ang I Niocu tetap mempergunakan kegesitan tubuhnya untuk mengelak dari serangan Thai Kek Losu.

“Ha, ha, ha, Ang I Niocu! Tak nyana kita dapat bertemu disini!” Ceng Tek Hosiang menjawab. “Tentu saja pinceng datang dari alam kosong!”

Setelah menjawab dengan kelakar ini, Ceng Tek Hosiang lalu membantu Sie Ban Leng menghadapi Sian Kek Losu, sedangkan Ceng To Tosu membantu Ang I Niocu menghadapi Thai Kek Losu!

Biarpun ia dapat mendesak Ang I Niocu akan tetapi Thai Kek Losu maklum bahwa ia tidak dapat cepat-cepat menjatuhkan Ang I Niocu yang benar-benar gagah itu, sedangkan Sian Kek Losu hanya dapat melawan Sie Ban Leng dalam keadaan berimbang saja, maka kini melihat datangnya seorang hwesio dan seorang tosu yang memiliki ilmu kepandaian tinggi juga diam-diam Thai Kek Losu menjadi gentar.

Sambil tertawa bergelak, Ceng Tek Hosiang berkata.
“Eh, dua orang pendeta merah, bukalah matamu lebar-lebar! Kalian ini anak-anak kemarin sore berani mengganggu kawan-kawan pinceng? Belum kenalkah kalian akan kesaktianku? Lihat ini!”

Sambil berkata demikian, hwesio gendut yang selalu tertawa itu mengeluarkan pisau belatinya yang mengkilap.

Thai Kek Losu dan Sian Kek Losu siap sedia melihat hwesio itu mengeluarkan pisau belati oleh karena mereka menyangka bahwa pisau itu tentu akan dilontarkan ke arah mereka dan menduga bahwa hwesio itu tentulah seorang ahli hui-to (golok terbang).






Akan tetapi alangkah heran mereka ketika melihat betapa pisau itu diayun, kemudian ditusukkan ke arah perut yang gendut itu hingga pisau itu menancap sampai ke gagangnya! Akan tetapi segera keheranan mereka berubah menjadi terkejut sekali ketika melihat betapa setelah pisau itu dicabut, perut yang gendut itu sedikit pun tidak terluka!

Berkali-kali Ceng Tek Hosiang menancapkan “Pisau wasiatnya” ke dalam perut hingga kedua pendeta Sakya Buddha itu benar-benar merasa heran dan terkejut! Hanya Buddha sendiri yang dapat memiliki ilmu kesaktian seperti itu!

“Cobalah kau tiru perbuatanku tadi, kalau kau sanggup, biarlah pinceng mengalah tanpa berkelahi!” kata Ceng Tek Hwesio sambil melontarkan pisau itu ke arah dada Thai Kek Losu.

Dengan mudah Thai Kek Losu menjepit pisau itu dengan dua jarinya dan karena ia merasa penasaran, ia lalu memeriksa pisau itu seperti apa yang diperbuat oleh Cin Hai ketika ia bertemu dengan hwesio ini. Ketika ia melihat bahwa pisau itu benar-benar pisau tulen dan tidak palsu, maka buru-buru ia menjura sambil berkata,

“Kami yang bodoh telah bertemu dengan seorang sakti. Maafkan kami!”

Maka ia lalu melempar pisau itu dengan perlahan ke arah Ceng Tek Hwesio yang ketika menyambut gagang pisau itu merasa betapa tangannya menjadi tergetar, akan tetapi pada saat itu Thai Kek Losu dan Sian Kek Losu yang merasa gentar menghadapi hwesio gendut yang mukanya seperti Jai-lai-hud dan yang kesaktiannya dapat dibandingkan dengan Sang Buddha sendiri itu telah pergi dengan cepat sekali!

Ang I Niocu sendiri berdiri bagaikan patung karena heran dan terkejutnya melihat pertunjukan ini, akan tetapi Sie Ban Leng yang sudah tahu, hanya tertawa saja. Sebenarnya, kedua orang pendeta ini masih berada di bawah kekuasaan Sie Ban Leng, oleh karena ketika Kam-ciangkun memberi perintah kepada mereka dan perwira-perwira lain, Sie Ban Leng ditunjuk sebagai pemimpin tertinggi dan wakilnya! Diam-diam Sie Ban Leng memberi isyarat dengan kedua matanya, hingga kedua orang pendeta itu segera menghampiri Ang I Niocu sambil menjura.

“Apakah Niocu selama ini baik-baik saja?” kata Ceng To Tosu sambil mewek.

“Terima kasih, dan atas pertolongan Jiwi, aku tak lupa menyatakan bersyukur dan terima kasih pula.”

Sambil berkata demikian, Ang I Niocu masih saja memandang kepada Ceng Tek Hosiang dengan kagum dan heran. Kepandaian seperti yang didemonstrasikan oleh hwesio gendut, biarpun Bu Pun Su sendiri belum tentu akan sanggup melakukannya!

Setelah menjura lagi kepada Ang I Niocu dan Sie Ban Leng, kedua pertapa yang sudah mendapat perintah untuk pergi dengan isyarat mata dari Sie Ban Leng tadi, lalu meninggalkan mereka tanpa banyak cakap lagi.

“Mereka itu orang-orang aneh,” kata Ang I Niocu.

“Memang, orang-orang sakti bersikap aneh,” kata Sie Ban Leng sambil maju mendekati Ang I Niocu dengan senyum yang memikat.

Sebenarnya yang mengherankan hati Ang I Niocu dan yang membuat ia menganggap mereka aneh itu adalah demonstrasi dengan pisau tadi. Dulu ia pernah bertempur dengan Ceng Tek Hosiang dan tahu sampai dimana kepandaiannya, mengapa sekarang hwesio gendut itu dapat memiliki ilmu kesaktian sehebat itu? Kemudian Dara Baju Merah ini teringat bahwa ia telah ditolong oteh Sie Ban Leng, maka cepat ia menjura sambil berkata,

“Sie-enghiong telah menolongku, banyak-banyak terima kasih!”

Sie Ban Leng membalas penghormatan ini dan berkata sambil tersenyum,
“Ah, Niocu terlalu merendah dan sungkan. Di antara kita sendiri perlu apa harus berlaku sungkan-sungkan? Kalau kita tidak saling membantu, apakah patut kita disebut orang-orang gagah? Sebetulnya, kalau aku boleh bertanya, Niocu hendak pergi ke manakah?”

“Aku hendak pergi ke Lan-couw,” jawab Ang I Niocu sejujurnya.

“Kebetulan sekali, aku pun hendak ke ibu kota itu. Kalau tidak menjadi halangan dan kalau kau sudi, marilah kita jalan bersama-sama agar setiap waktu kalau bertemu dengan orang-orang jahat, kita dapat saling membantu. Di daerah ini memang banyak sekali terdapat orang-orang Mongol yang jahat, dan ada pula orang-orang Turki yang suka mengganggu bangsa kita.”

Ang I Nocu merasa serba salah. Ia merasa sungkan untuk jalan bersama orang ini, akan tetapi, Ban Leng telah menolongnya dan mereka memang setujuan, bagaimana ia dapat mengeluarkan kata-kata menolak atau menyatakan keberatan?

“Aku tidak takut segala macarn penjahat, biar bangsa apapun juga!” jawabnya sambil memandang tajam. “Akan tetapi kalau tujuan perjalanan kita sama, tiada salahnya kita jalan bersama.”

Bukan main girang hati Ban Leng oleh karena kesempatan yang dinanti-nanti itu kini telah tiba. Ia tidak perlu lagi mengikuti Dara Baju Merah yang telah menawan hatinya itu!

Dan oleh karena Ban Leng memang pandai membawa diri dan cukup cerdik untuk tidak bersikap sombong dan kurang ajar, bahkan ia selalu memperlihatkan sikap sopan dan menghormat terhadap Ang I Niocu maka gadis itu pun mulai percaya kepadanya dan menganggapnya sebagai seorang kawan baik.

Ketika Ang I Niocu secara sambil lalu bertanya kepada Ban Leng tentang keperluannya mengembara di barat dan pergi ke Kan-su, Ban Leng menarik napas panjang dan menjawab,

“Lihiap, sebetulnya hal ini merupakan rahasia besar dan belum pernah kuceritakan kepada orang lain.”

Semenjak Ang I Niocu menyatakan tidak suka disebut “Niocu” maka Ban Leng lalu mengubah sebutan menjadi “Lihiap”.

“Ah, kalau memang rahasia, tak perlu pula diceritakan kepadaku,” jawab Ang I Niocu.

“Kepadamu aku tidak mempunyai rahasia sesuatu, Lihiap. Terus terang saja kuberitahukan kepadamu bahwa aku bekerja untuk kaisar dan kedatanganku di daerah ini pun atas perintah kerajaan.”

Ang I Niocu tercengang.
“Ah, kalau begitu kau adalah seorang perwira yang menyamar?”

“Bukan, aku bukan seorang perwira akan tetapi aku hanya diminta membantu saja, mewakili pekerjaan Kam-ciangkun yang kini menjadi pemimpin perwira kerajaan menggantikan kedudukan Beng Kong Hosiang yang telah tewas. Oleh karena banyak terjadi hal-hal yang mencurigakan di daerah Kan-su ini, dilakukan oleh orang-orang Turki dan Mongol, maka aku mendapat tugas untuk menyelidiki keadaan mereka. Bahkan kedua orang yang dulu menolong kita, Ceng Tek Hosiang dan Ceng To Tosu, juga menjadi pembantu-pembantuku. Kami bekerja dengan diam-diam dan sebelum mendapat bukti-bukti, kami tidak mau turun tangan, sesuai dengan perintah Kam-ciangkun.”

Ang I Niocu mengangguk-angguk maklum.
“Sebetulnya, apakah yang dilakukan oleh orang-orang Turki dan Mongol itu di daerah ini?”

“Inilah yang sedang kami selidiki, dan menurut laporan-laporan para pembantuku, memang ada hal yang amat menarik hati di samping maksud-maksud serombongan orang Turki yang hendak menyerbu negeri kita. Menurut hasil penyelidikan di daerah Kan-su selain menjadi sumber penghasilan bagi perantau-perantau itu, juga di ibu kota terdapat harta terpendam yang luar biasa besar nilainya. Harta terpendam inilah agaknya yang menarik hati jago-jago dari Mongol dan Turki mendatangi tempat ini dalam usaha mereka untuk mencari dan mendapatkannya.”

Ang I Niocu merasa tertarik sekali, tetapi ia tidak banyak cakap dan diam-diam ia mengambil keputusan untuk menyelidiki sendiri keadaan ini. Dalam perjalanan bersama ini, makin lama makin nampak jelas sikap Ban Leng yang seringkali memandang dengan mata mengandung perasaan hatinya secara terbuka, bahkan dalam sikapnya juga mudah saja diterka bahwa laki-laki ini “jatuh hati” kepadanya.






Tidak ada komentar :