*

*

Ads

Selasa, 11 Juni 2019

Pendekar Bodoh Jilid 133

Kemudian Ibrahim menuturkan betapa Yousuf telah ditolong oleh seorang keponakannya sendiri dan sekarang berada dalam perawatannya dan tinggal di kota Lan-cou, ibu kota Kansu. Ketika Cin Hai bertanya tentang pergerakan orang-orang Mongol, kakek itu berkata,

“Memang semenjak dahulu, orang-orang Mongol memiliki adat yang tinggi dan memandang rendah bangsa lain. Mereka ini agaknya merasa sakit hati dan marah sekali karena wilayah mereka dilanggar oleh barisan Turki ketika orang-orang Turki mengadakan ekpedisi ke Kim-san-to untuk mencari emas, hingga kini jago-jago mereka di bawah perintah Yagali Khan hendak mengadakan pembalasan oleh karena mereka tahu bahwa di daerah ini banyak terdapat orang-orang Turki. Ah, memang dunia ini banyak sekali terjadi permusuhan yang semata-mata ditimbulkan oleh sifat ingin menang dan kesombongan kosong! Sie-taihiap, kalau kau berada di kota Lan-couw, harap kau suka mampir untuk berjumpa dengan Yousuf. Kami tinggal di luar kota sebelah barat dan apabila kau keluar dari tembok kota dan bertanya kepada orang-orang disitu, kiranya tidak ada yang tidak kenal namaku.”

Setelah berkata demikian, kakek itu lalu memegang leher kedua ular sendok itu di kedua tangan, menjura kepada Cin Hai dan sekali melompat ia telah berada di tempat yang jauhnya tidak kurang dari sepuluh kaki dan berlari cepat sekali meninggalkan tepi Sungai Huangho!

Cin Hai diam-diam merasa kagum sekali dan pertemuan dengan Ibrahim ini menggirangkan hatinya, oleh karena selain mendengar bahwa Yousuf telah tertolong dan selamat, juga ia kini makin terbuka matanya dan dapat mengerti keadaan-keadaan yang terjadi pada masa itu di daerah Kan-su.

Diam-diam berdebar tegang hatinya kalau mengingat betapa pada saat itu, di daerah Kan-su terdapat empat rombongan yang berpaham lain dan yang mungkin akan bertemu dan merupakan permusuhan hebat, yaitu golongan pertama ialah golongan penyelidik Kerajaan Tiongkok, golongan ke dua adalah golongan orang-orang Mongol, sedangkan golongan ke tiga dan ke empat ialah para pengikut pangeran tua dan pangeran muda dari Turki!

Cin Hai duduk lagi di atas rumput sambil melihat mengalirnya air sungai Huangho. Ia melihat perahu-perahu nelayan pulang dengan perahu-perahu ikan dan para nelayan duduk di kepala perahu sambil bernyanyi. Lagu yang mereka nyanyikan adalah lagu daerah yang sederhana akan tetapi oleh karena enam buah perahu itu semua ditumpangi oleh orang-orang yang bernyanyi gembira, maka suasana menjadi gembira sekali dan suara nyanyian itu terdengar merdu!

Bunyi riak air di bawah kaki Cin Hai seakan-akan ikut berdentang hingga hati pemuda itu menjadi gembira sekali. Ia mencabut sulingnya dan bersuling lagi, meniru lagu yang dinyanyikan oleh para nelayan itu!

Mendengar bunyi suling yang merdu, para nelayan memandang ke arahnya dan suara nyanyian mereka terdengar makin bersemangat dan mereka melambai-lambaikan tangan ketika perahu mereka lewat di depan Cin Hai.

Ketika perahu itu telah lalu jauh dan suara nyanyian mereka telah terdengar sayup- sayup, tiba-tiba Cin Hai yang masih meniup sulignya itu mendengar suara tetabuhan yang mengikuti lagu yang ditiup!

Ketika ia memandang, ternyata suara itu keluar dari sebuah perahu yang ditumpangi oleh seorang laki-laki berusia kurang lebih empat puluh tahun dan orang itu sedang memetik semacam alat tetabuhan seperti gitar yang nyaring dan merdu sekali suaranya!

Laki-laki itu ternyata hanya duduk di dalam perahu yang dijalankan oleh tukang perahu, agaknya ia seorang pelancong yang menikmati keindahan suasana dan pemandangan disitu. Setelah lagu yang dimainkan habis, orang itu tertawa dan melambai kepada Cin Hai sambil berkata,

“Anak muda, suara tiupan sulingmu bagus sekali!”

“Masih lebih bagus suara rebabmu itu!” kata Cin Hai sambil tertawa juga, wajah orang yang tampan itu mendatangkan rasa suka di dalam hatinya. “Saudara yang baik, kalau kau sudi, naiklah ke sini dan mari kita main bersama,” kata Cin Hai lagi.

“Anak muda, aku hanya menyukai suara sulingmu, akan tetapi mukamu membuat mataku tak sedap melihatnya!” jawab orang tua itu yang membuat Cin Hai memandang dengan penuh keheranan.

Mengapa orang ini tiba-tiba menyatakan tidak suka kepadanya? Ia menjadi penasaran sekali karena jawaban itu benar-benar menyakiti hatinya.

“Ah, sayang, adatmu tidak sebaik suara rebabmu!” jawabnya.

Tiba-tiba orang itu pun berdiri di kepala perahu dan sekali ia gerakkan tubuhnya, ia telah melompat dari perahu dan dengan rebabnya ia menyambar dan memukul kepala Cin Hai yang masih berdiri di tepi sungai!






Cin Hai terkejut bukan main melihat hebatnya gerakan ini, maka ia segera mengangkat sulingnya menangkis. Tangkisan ini membuat orang itu merasa betapa telapak tangannya tergetar, maka sambil berseru keras ia melompat jauh dan pergi dari situ tanpa menoleh lagi!

Cin Hai menghela napas. Banyak sekali terdapat orang-orang aneh yang berkepandaian tinggi di daerah ini. Ia melihat bahwa orang tadi adalah seorang Han dan dari logat bicaranya, dapat diketahui bahwa orang itu datang dari Tiongkok Selatan. Yang mengherankan hatinya ialah mengapa orang yang berwajah tampan dan menyenangkan hatinya itu ternyata mempunyai adat yang buruk dan hati yang kejam.

Kalau saja bukan dia yang diserang secara demikian, tentu orang yang diserang itu akan remuk kepalanya! Dari tangkisannya tadi ia maklum bahwa orang itu memiliki tenaga yang besar dan ilmu kepandaian yang tinggi.

Tentu ia tak pernah menduga bahwa orang itu bukan lain ialah Sie Ban Leng, atau pamannya sendiri yang dulu mengkhianati dan mencelakakan orang tuanya! Dan ia tidak tahu pula bahwa Sie Ban Leng sedang mengikuti Ang I Niocu yang kebetulan sekali juga berada di kota Ling-sia.

Melihat betapa Ang I Niocu bermalam dalam sebuah rumah penginapan di dalam kota, Sie Ban Leng lalu melancong ke luar kota dan menyewa perahu hingga tanpa sengaja ia bertemu dengan Cin Hai yang mengejutkan hatinya dan yang membuatnya jerih dengan tangkisan hebat itu!

Cin Hai lalu kembali ke rumah penginapan dan malam itu ia tidak keluar dari kamar. Ia tidak tahu bahwa tidak jauh dari rumah penginapannya itu, dalam sebuah penginapan lain, bermalam Ang I Niocu yang telah hampir dilupakannya itu karena disangkanya telah mati!

Ang I Niocu sendiri tidak tahu bahwa semenjak berpisah dari Kwee An, Ma Hoa, dan Nelayan Cengeng, ia diikuti oleh Sie Ban Leng yang tergila-gila kepadanya. Dara Baju Merah ini melanjutkan perjalanan dan ketika tiba di kota Ling-sia, ia bermalam dalam sebuah hotel tanpa keluar lagi dari situ.

Pada keesokan harinya pagi-pagi benar ia telah keluar dari hotel dan melanjutkan perjalanannya menuju ke Lan-cou untuk mencari Lin Lin dan Yousuf, serta kalau mungkin, mencari Cin Hai juga.

Dia telah mengambil jalan sebelah selatan hingga tidak dapat bertemu dengan Cin Hai, sedangkan Kwee An, Ma Hoa dan Nelayan Cengeng mengambil jalan di sebelah utara, maka Cin Hai yang mengambil jalan di tengah-tengah antara keduanya itu tak dapat bertemu pula dengan rombongan ini.

Jalan yang ditempuh oleh Ang I Niocu dan Cin Hai, bertemu di kota Ling-sia, akan tetapi mereka mendiami dua buah hotel yang berlainan dan tak dapat bertemu pula! Ketika Ang I Niocu melanjutkan perjalanan pada pagi hari itu, Cin Hai masih berada di dalam kamarnya!

Hanya seorang yang memperhatikan keberangkatan Ang I Niocu bahkan orang segera mengikuti dengan diam-diam, yaitu Sie Ban Leng yang selalu mengikuti Dara Baju Merah itu dan mencari kesempatan yang baik untuk menghubunginya.

Ang I Niocu yang melakukan perjalanan dengan cepat, tidak tahu sama sekali bahwa diam-diam ada orang yang mengikutinya. Ketika ia tiba di sebuah jalan yang sunyi dan di kanan-kirinya tampak tanah yang penuh rumput hingga merupakan padang rumput yang luas, hari telah menjadi senja. Para penggembala sedang menghalau ternak mereka untuk pulang ke kandang, hingga di tempat itu ramai suara lembu menguak dan domba mengembik.

Tiba-tiba, dari jalan simpang sebelah kiri, muncul dua orang pendeta yang ketika dekat segera menghadang di tengah jalan sambil memandang kepada Ang I Niocu dengan tajam. Pendeta-pendeta itu bukan lain ialah Sian Kek Losu dan Thai Kek Losu, jago nomor satu dan nomor dua dari Mongol!

Ang I Niocu mengenal Sian Kek Losu sebagai pendeta yang pernah bertempur melawan orang sombong di dalam hutan itu, maka diam-diam ia menjadi terkejut. Ia tidak mempedulikan mereka dan hendak berjaIan terus, akan tetapi Sian Kek Losu lalu berkata kepada suhengnya,

“Inilah seorang diantara mereka.” kemudian sambil menuding ke arah Ang I Niocu dan sengaja menghadang jalan gadis itu, ia membentak,

“Mata-mata kerajaan, kau hendak lari kemana?”

Sambil berkata demikian pendeta pendek ini lalu mengeluarkan gendewanya dan tiba-tiba tiga batang anak panah menyambar ke arah tubuh Ang I Niocu di bagian leher, dada dan lambung!

Ang I Niocu telah menyaksikan kelihaian anak panah pendeta pendek ini, maka dengan cepat ia lalu mengenjot tubuhnya ke atas hingga tiga batang anak panah itu lewat di bawah kakinya dengan cepat sekali!

Sebatang diantara tiga buah anak panah itu meluncur cepat dan tepat sekali menancap di punggung seekor lembu hingga binatang itu menguak kesakitan dan berlari menubruk sana-sini mengacaukan lembu-lembu dan domba-domba lain yang segera berlari cerai berai!

Para penggembala menjadi terkejut sekali, mereka mengayun cambuk mereka yang panjang hingga terdengar suara cambuk riuh rendah, dibarengi teriakan-teriakan mereka dalam usaha menenangkan ternaknya dan mengumpulkan sekalian binatang yang berlari-larian itu!

Ang I Niocu menjadi marah sekali.
“Pendeta pengecut! Kau kira aku takut kepadamu? Rasakan pembalasan Ang I Niocu!”

Secepat kilat Ang I Niocu lalu mencabut pedangnya Cian-hong-kiam pemberian tunangannya dan maju menerjang pendeta pendek itu! Sian Kek Losu lalu mengangkat gendewanya dan mereka segera bertempur dengan seru!

Sebagai jago nomor dua dari Mongol, tentu saja Sian Kek Losu memiliki ilmu silat yang telah berada di tingkat yang tinggi hingga Ang I Niocu mengerahkan kepandaiannya. Ia mainkan Ilmu Pedang Ngo-lian-hoan-kiamhwat, dibarengi dengan gerakan-gerakan Sianli-utauw yang lihai dan indah.

“Bagus, bagus sekali!”

Thai Kek Losu memuji oleh karena pendeta tua ini merasa kagum melihat ilmu pedang yang amat indah gerakannya itu. Ia maklum bahwa gadis baju merah ini merupakan lawan yang tangguh, apalagi setelah ia mendengar bahwa gadis ini bukan lain ialah Ang I Niocu yang telah tersohor namanya sebagai seorang pendekar wanita yang lihai. Maka sambil berseru keras ia lalu maju menerjang dan membantu sutenya.

Terkejutiah hati Ang I Niocu melihat betapa angin pukulan yang dilakukan dengan kebutan ujung lengan baju Thai Kek Losu luar biasa sekali. Diam-diam ia mengeluh oleh karena untuk menjatuhkan Sian Kek Losu saja ia harus mengerahkan seluruh kepandaiannya, apalagi sekarang ada seorang pendeta tua yang luar biasa dan yang ia tahu memiliki ilmu kepandaian lebih tinggi dari pada pendeta pendek itu.

Ia menggigit bibirnya dan mainkan ilmu pedangnya dengan sekuat tenaga. Pedang Cian-hong-kiam berkelebat cepat merupakan segulung sinar berkilauan hingga seluruh tubuhnya terkurung rapat.

Namun, serangan kedua orang pendeta Sakya Buddha yang berjubah merah itu benar-benar luar biasa, terutama serangan ujung lengan baju Thai Kek Losu berat sekali menekannya hingga beberapa kali pedangnya kena disampok hingga lengannya terasa kesemutan.

Pada saat itu terdengar bentakan orang,
“Pendeta-pendeta jahat jangan kalian berani mengganggu kawan baikku!”

Dan ketika seorang laki-laki melompat dan menggunakan senjatanya yang berupa rebab, tahulah Ang I Niocu bahwa orang ini bukan lain ialah Sie Ban Leng yang berjuluk Si Tubuh Baja itu.

Betapapun tidak sukanya melihat kesombongan orang ini, namun bantuannya yang datang secara tiba-tiba membuat Ang I Niocu merasa berterima kasih dan bernapas lega. Ia lalu memutar pedangnya dan menghadapi Thai Kek Losu yang lihai, sedangkan Sie Bang Leng lalu menyerang Sian Kek Losu hingga kedua orang ini bertempur lagi dengan seru.






Tidak ada komentar :