*

*

Ads

Senin, 10 Juni 2019

Pendekar Bodoh Jilid 132

“Dari siapa lagi kalau bukan dari pemerintah kita. Kami berdua kini telah membantu kerajaan. Panglima besar yang sekarang, Kam-ciangkun, adalah seorang gagah yang budiman, maka kami berdua membantunya dan kini kami diutus datang ke propinsi ini untuk semacam tugas!”

Cin Hai mengangguk.
“Aku telah mendengar tentang berita menggirangkan itu. Syukurlah kalau memang demikian halnya, memang sudah waktunya bagi pemerintah kerajaan untuk mengganti panglima-panglima dengan orang-orang yang benar-benar gagah dan budiman.”

“Memang kata-katamu ini benar sekali Taihiap, apalagi oleh karena sekarang keadaan negara sedang dalam bahaya besar.”

Cin Hai terkejut.
“Apa maksudmu?”

Dengan suara berbisik Ceng To Tosu berkata,
“Terlihat gejala-gejala bahwa orang-orang Turki hendak mengadakan serangan ke daerah Tiongkok sesudah terjadinya perebutan Pulau Kim-san-to dulu itu. Dan sikap orang-orang Mongol juga amat mencurigakan hingga kita seakan-akan terancam dari dua pihak. Oleh karena inilah maka Kam-ciangkun lalu mengadakan penyelidikan, sebagian ke daerah utara dan sebagian pula ke daerah barat. Kami mendapat tugas untuk menyelidiki keadaan mereka di Propinsi Kan-su dan selain kami berdua, masih banyak pula perwira-perwira yang menyamar dan menjadi penyelidik, bahkan kabarnya Kam-ciangkun sendiri pun hendak datang ke daerah ini oleh karena agaknya pergerakan musuh yang terbesar berada di daerah ini.”

Cin Hai mengangguk-angguk maklum dan berkata,
“Terima kasih atas kepercayaanmu kepadaku, Totiang, akan tetapi harap kau berdua suka berhati-hati dan jangan sembarangan bicara dengan orang lain mengenai hal ini.”

Ceng Tek Hosiang tertawa bergelak.
“Tentu saja, Taihiap, kepadamu kami tak perlu menyimpan rahasia.”

Kedua orang pendeta aneh itu lalu berpamit dan mereka lalu berpisah dari Cin Hai. Setelah berpisah dengan Ceng Tek Hosiang, dan Ceng To Tosu, Cin Hai lalu berjalan-jalan di luar kota dan pergi ke tepi Sungai Huangho yang airnya kuning.

Keadaan disitu sunyi, penuh dengan sawah ladang dan rumput di sepanjang tepi sungai amat subur kehijau-hijauan. Keadaan ini membuat Cin Hai merasa girang sekali. Memang, semenjak pertemuannya dengan Lin Lin, ia merasa amat gembira dan kini setelah gadis itu pergi dengan Bu Pun Su untuk mempelajari ilmu silat, hatinya merasa tenteram dan aman.

Sedikit ganjalan hati yang terbit oleh karena peristiwa yang menimpa diri Ma Hoa dan Kwee An, ia hibur dengan dugaan bahwa kedua orang itu pasti masih hidup oleh karena mayat mereka tak dapat diketemukan, juga pertemuannya dengan kakek gagu di gua yang berada di bawah tebing dimana Kwee An dan Ma Hoa terjatuh, juga surat yang dikirim oleh seorang sakti dan yang dikirim melalui kaki Merak Sakti dulu itu, mempertebal keyakinannya bahwa kedua orang kawannya itu pasti masih hidup.

Cin Hai duduk di tepi sungai dan ia teringat akan kakek bangsa Turki yang menyuling dan bermain-main dengan ularnya tadi. Ia mengingat-ingat lagu yang ditiup oleh suling kakek itu, kemudian tanpa terasa ia lalu mencabut keluar sulingnya terus ditiup meniru lagu kakek tadi!

Dia memang pandai sekali meniup suling dan ingatannya kuat hingga biarpun kurang sempurna namun ia dapat menyulingkan lagu yang didengarnya tadi dengan baik! Makin ditiup makin terasalah kenikmatan irama lagu yang asing itu, maka sebentar saja Cin Hai telah tenggelam dalam permainan sulingnya.

Tak disangka sama sekali, bahwa suara sulingnya itu telah menarik perhatian sepasang ular sendok yang tinggal dalam sebuah lubang di tepi sungai itu. Tadinya Cin Hai tidak tahu akan kedatangan kedua ekor ular itu yang datang berlenggak-lenggok tanpa menerbitkan suara. Tahu-tahu dua ular itu telah berada di depannya dengan kepala terangkat tinggi-tinggi dan lidahnya yang merah menjilat-jilat keluar sambil lehernya yang menggembung itu bergerak-gerak ke kanan kiri!

Bukan main terkejut dan ngerinya rasa hati Cin Hai melihat betapa tiba-tiba saja, muncul dua ekor ular sendok besar dan panjang di depannya. Karena merasa terkejut dan jijik, ia menghentikan tiupan sulingnya dengan tiba-tiba.

Kedua ekor ular itu nampak marah dan bingung, lalu dari mulut mereka keluarlah suara mendesis yang keras dan tiba-tiba mereka menyerang Cin Hai yang sedang duduk di atas rumput itu dengan cepat sekali!

Cin Hai berseru keras dan menangkis dengan sulingnya. Tangkisannya itu dapat membuat seekor ular terpental ke samping, akan tetapi yang seekor lagi cepat mengelak dan terus menyerangnya dengan mulut terbuka lebar-lebar!






Terpaksa Cin Hai menjatuhkan diri ke belakang lalu bergulingan sampai jauh dari tempat itu. Ternyata bahwa ular itu pun mengejar dengan cepat! Cin Hai lalu melompat berdiri dan ia mulai menjadi marah. Ia melihat betapa ular yang terpental tadi pun kini telah merayap maju dengan kepala berdiri dan agaknya marah sekali kepadanya. Ia tak usah takut menghadapi dua ekor ular itu dan sebetulnya kalau pada saat itu ia lari pergi, kedua binatang itu pun takkan berdaya dan takkan dapat mengejarnya.

Akan tetapi Cin Hai telah marah karena tadi benar-benar ia dikejutkan oleh kedua binatang itu. Ia tidak mau mengotorkan sulingnya, maka ia lalu menyimpan suling itu dan mencabut sebatang rumput alang-alang yang besar dan yang banyak tumbuh di dekat situ.

Ketika ular yang pertama telah datang dekat dan menyambar kakinya, Cin Hai memukul dengan rumput alang-alang itu ke arah kepala ular sambil mengerahkan tenaga lweekangnya.

Akan tetapi ular itu benar-benar gesit karena dengan merendahkan kepala secara tiba-tiba, ia dapat mengelak dari sabetan Cin Hai! Pemuda itu menjadi kagum dan ia mulai merasa gembira menghadapi dua ekor binatang yang gesit ini! Ketika ia hendak menyabet kembali tiba-tiba terdengar seruan orang,

“Jangan bunuh mereka!”

Cin Hai cepat melompat ke belakang dan ketika ia menengok, ternyata seorang Turki yang berkulit hitam dan berambut putih karena sudah tua berlari mendatangi dengan cepat. Melihat gerakannya yang gesit dan larinya yang cepat, Cin Hai dapat menduga bahwa orang itu tentu memiliki ilmu kepandaian lumayan juga.

“Menawan ular bukan seharusnya dipukul dengan senjata,” katanya pula, lalu ia menghampiri kedua ular itu dengan merangkak di atas kedua pasang kaki tangannya!

Ular-ular itu memandang tajam dan marah, lalu ular yang jantan menyambar ke arah lehernya untuk digigit! Kakek Turki itu lalu mengangkat tangannya dengan gerakan tangan seperti seekor ular juga, dan ketika kepala ular itu sudah datang dekat, tiba-tiba jari-jari tangan kanannya dibuka seperti mulut ular sedang menyerang dan ia menerkam leher ular itu, dipegangnya dengan tepat dan erat-erat! Ular itu membelit-belit lengannya dan meronta-ronta akan tetapi dengan cepat sekali tangan kiri orang itu menangkap tubuh ular itu dan dibetot atau diurutnya ke belakang dengan kuat.

Aneh sekali, setelah tubuhnya diurut ke belakang sampai pada ekornya, ular itu menjadi lumpuh dan ketika kakek itu melepaskan punggungnya, ular itu menjadi lemas dan jatuh di atas tanah tanpa berdaya lagi.

Ular betina menjadi marah sekali melihat kawannya dikalahkan, maka ia lalu mendesis-desis dan menyerang hebat. Akan tetapi, kakek Turki yang gesit dan gagah itu kembali mengulangi perbuatannya dan ular betina ini pun dapat tertangkap dan kini kedua ekor ular itu berkelojotan di atas tanah dengan lumpuh. Setelah itu barulah kakek Turki itu berpaling kepada Cin Hai sambil tersenyum.

“Sepasang ular sendok jantan betina yang keluar bersama bukanlah hal yang mudah dijumpai. Hal ini menandakan bahwa ular betina ini tentu sedang bertelur dan telur-telur muda yang masih berada di dalam perutnya merupakan obat-obat yang luar biasa dan sukar didapat. Sungguh aku merasa beruntung sekali bertemu dengan kau dan dua ekor ular ini. Kalau tadi kau membunuh ular-ular itu, maka khasiat telur di dalam perutnya akan lenyap tak berguna lagi.”

Cin Hai memandang kagum.
“Kau hebat sekali, Lopek,” katanya karena selain ia merasa kagum akan kelihaian kakek ini, juga ia merasa heran mengapa orang Turki ini fasih sekali bicara dalam bahasa Han, bahkan tidak kalah fasihnya daripada Yousuf sendiri. “Kau tentu seorang ahli penangkap ular.”

Kakek Turki itu menggeleng-gelengkan kepalanya.
“Bukan, aku bukan penangkap ular, akan tetapi aku hanyalah seorang ahli pengobatan bangsa Turki yag sederhana pula.”

“Akan tetapi ilmu kepandaianmu hebat sekali!”

“Tidak ada sepersepuluh bagian dari pada kepandaianmu, anak muda. Pada saat dunia sedang kacau balau dan banyak kejahatan merajalela di mana-mana kalau kita tidak memiliki sedikit tenaga, pasti sukar untuk hidup terus.”

Cin Hai terkejut. Orang ini tentu bukan orang sembarangan, pikirnya. Ia teringat akan cerita kedua pendeta yang membantu kerajaan. Apakah kakek ini seorang yang penting dalam rombongan orang Turki yang hendak menyerang Tiongkok? Ia lebih terkejut lagi ketika tiba-tiba kakek itu berkata,

“Anak muda, harap kau jangan menduga yang bukan-bukan! Kau tentulah Si Pendekar Bodoh, bukan? Aku bukanlah anggauta orang-orang Turki yang menyerang negerimu!”

Hampir saja Cin Hai melompat tinggi karena kaget dan herannya.
“Eh, Lopek, kau… bagaimana kau bisa tahu namaku dan bagaimana pula kau bisa membaca apa yang sedang kupikirkan?”

Kakek itu tersenyum, lalu membungkuk dan menangkap leher ular yang masih bergerak-gerak, lalu dengan cekatan sekali ia menggulung tubuh ular itu bagaikan seorang menggulung sehelai tambang. Lalu ia mencabut rumput alang-alang dan mengikat gulungan tubuh ular itu dengan eratnya.

Ular kedua pun diperlakukan demikian hingga tak lama kemudian kedua ular itu telah merupakan dua buah gulungan yang tak bergerak, hanya lidah mereka saja masih seringkali menjulur-julur keluar. Kemudian ia duduk di atas rumput yang tebal dan memberi isyarat agar supaya Cin Hai duduk pula di sampingnya. Dengan penuh keheranan, Cin Hai lalu duduk di sampingnya.

“Taihiap, aku dapat menduga bahwa kau tentu Sie Cin Hai taihiap, karena selain gerakanmu yang lihai ketika kau diserang ular sendok tadi, juga siapakah orangnya yang pandai bermain suling seperti kau itu? Kau tentu kenal kepada Yousuf, bukan?”

Cin Hai mengangguk cepat.
“Dimana dia? Bagaimana keadaannya?” tanyanya.

“Dia telah diselamatkan dan sekarang berangsur sembuh. Dari dialah maka aku dapat mengenalmu, karena ia telah menceritakan segala pengalamannya dan menyebut-nyebut namamu, juga nama lain-lain sahabat baiknya. Berhari-hari ia mengigau dan menyebut-nyebut nama anak angkatnya Lin Lin, bagaimanakah keadaan anak itu?”

Cin Hai merasa girang dapat bertemu dengan orang yang agaknya menjadi sahabat baik Yousuf.

“Lin Lin telah tertolong dan kini berada dengan suhunya memperdalam ilmu silatnya,” katanya dan kemudian disambungnya, “Siapakah Lopek yang terhormat dan masih ada hubungan apakah dengan Yo-pekhu?”

“Yousuf adalah muridku, dan namaku Ibrahim.”

Cin Hai terkejut sekali mendengar bahwa kakek ini adalah guru Yousuf, maka ia cepat berdiri dan menjura dengan hormat sekali.

“Ah, tidak tahu bahwa aku berhadapan dengan seorang berilmu tinggi. Maafkan kelancanganku Locianpwe.”

Ibrahim melambai-lambaikan tangannya.
“Jangan terlalu banyak sungkan anak muda, aku lebih menyukai kesederhanaan, karena hidup ini sudah terlalu kacau dan menjadi suram karena tertutup oleh kepalsuan segala peradatan dan kesopanan pura-pura!”

Mendengar ucapan ini, Cin Hai teringat akan suhunya, Bu Pun Su, yang agaknya mempunyai banyak persamaan dengan kakek ini. Juga Bu Pun Su tidak menyukai segala penghormatan dan kesopanan, dan hidup dengan sederhana sekali. Maka ia makin menaruh hormat kepada kakek ini yang dapat diduga tentu berkepandaian tinggi sekali, oleh karena baru muridnya saja, yaitu Yousuf, telah memiliki ilmu kepandaian yang hebat.

“Locianpwe, aku mendengar desas-desus tentang pergerakan orang-orang Turki, apakah betul berita yang kudengar itu?”

Kakek berambut putih itu menarik napas panjang.
“Memang betul, dan inilah yang menggelisahkan hatiku. Ketahuilah anak muda yang gagah, bahwa pada bangsa Turki terjadi perpecahan, yaitu diantara para pengikut pangeran muda yang mempunyai kehendak untuk memerangi Tiongkok, dan antara pengikut pangeran tua yang tidak menyetujui kehendak ini. Yousuf dan kawan-kawan kami termasuk golongan pengikut pangeran tua, maka kami dimusuhi oleh pengikut-pengikut pangeran muda yang terdiri dari banyak orang gagah di negeri kami, bahkan mereka itu telah berhasil membeli tenaga orang-orang kang-ouw dari bangsa Han sendiri! Bagiku sendiri, aku sudah merasa bosan dengan segala kekacauan dunia dan aku tidak mau ikut-ikut, kecuali kalau melihat kejahatan terjadi di depan mata barulah terpaksa aku harus turun tangan!”






Tidak ada komentar :