*

*

Ads

Senin, 10 Juni 2019

Pendekar Bodoh Jilid 131

Cin Hai melanjutkan perjalanannya masuk Propinsi Kansu. Propinsi ini adalah daerah pegunungan yang tinggi dan terjal letaknya di sebelah utara Propinsi Se-cuan. Di sebelah baratnya adalah Propinsi Cing-hai dan sebelah utaranya terletak Propinsi Ning-sia dan kemudian perbatasan Mongolia.

Tembok besar yang terkenal di Tiongkok itu dimulai dari Propinsi Kan-su ini, terus memanjang menuju ke timur, bahkan Sungai Kuning (Huang-ho) juga melalui propinsi ini dan di sepanjang Sungai Kuning terdapat tanah pertanian yang subur. Iklim di daerah ini istimewa keringnya, hingga dengan adanya sungai Kuning yang lewat di daerah itu maka hal ini merupakan berkah yang besar bagi rakyat yang tinggal di Kan-su.

Propinsi Kan-su memiliki banyak kekayaan alam dan pemandangan yang cukup indah. Di ibu kota terdapat Bukit Pagoda Putih, Pegunungan Cilian yang penuh dengan hutan-hutan yang kaya akan berbagai binatang. Selain pertanian yang hidup subur di sepanjang lembah Sungai Kuning, juga usaha peternakan amat besar dikerjakan orang di tempat ini.

Bulu onta dan daging lembu keluaran daerah ini terkenal sekali karena tinggi mutunya. Di selatan terdapat padang-padang pengembalaan alam yang luas dan baik, rumputnya subur dan airnya jernih. Gua-gua Tun-huang yang beratus-ratus, bahkan mungkin seribu lebih banyaknya itu, merupakan pemandangan indah peninggalan kesenian kuna. Gua-gua ini penuh dengan patung-patung dan lukisan-lukisan dinding Agama Budha yang dibuat kira-kira pada abad ke empat.

Tidak heran apabila daerah ini menarik perhatian orang-orang dari luar negeri, dan yang terbanyak adalah orang-orang Turki yang datang mengembara dan mencari penghasilan di daerah yang kaya ini. Juga disini terdapat banyak sekali suku-suku bangsa dari barat dan utara.

Pada suatu hari Cin Hai tiba di kota Ling-sia. Kota ini berada di sebelah utara tepi Sungai Huangho. Dengan hati gembira Cin Hai memasuki kota itu, berjalan perlahan di sepanjang jalan raya yang penuh dengan bangunan-bangunan besar di kanan kiri.

Tiba-tiba ia mendengar suara suling berbunyi aneh, maka ia segera menghampiri arah datangnya suara itu. Ternyata bahwa yang menyuling itu adalah seorang Turki yang bermain sulap di sebuah lapangan terbuka. Banyak orang menonton dan mengelilinginya.

Orang Turki itu sudah tua dan ia duduk bersila di depan sebuah keranjang bambu yang besar sambil meniup sulingnya. Suling yang ditiupnya berbentuk ular dan ketika ia meniup sulingnya makin keras, tiba-tiba tutup keranjang itu terbuka perlahan-lahan dari dalam dan tersembullah seekor kepala ular yang besar!

Ular itu mendengar suara suling lalu merayap keluar, melingkar di atas tanah dan lehernya terangkat ke atas. Ternyata ular itu besar sekali dan di bawah kepalanya melar merupakan sendok yang besar. Itulah semacam ular kobra atau ular sendok yang berbahaya, akan tetapi terhadap suara suling itu ia terpengaruh hebat sekali hingga ia mulai menari-nari menggeleng-gelengkan kepalanya dan lehernya bergerak-gerak menari mengikuti irama suara suling! Orang-orang yang menonton menjadi gembira dan mendengar suara kagum di sana-sini, ada juga suara orang yang menyatakan ngeri dan takut!






Cin Hai tidak tertarik hatinya melihat ular itu, akan tetapi amat tertarik mendengar suara suling dan diam-diam ia mengingat lagu suling ini di dalam hatinya. Ketika ia meninggalkan tempat itu tiba-tiba di lain bagian lapangan itu ia mendengar suara gembreng dan tambur, dibarengi suara orang berkata-kata dan gelak suara para penonton.

Ternyata di bagian itu juga terdapat orang yang sedang memperlihatkan kepandaiannya dan ketika ia mendekati, alangkah herannya melihat bahwa yang menjual kepandaian di situ adalah seorang hwesio dan seorang tosu. Mudah saja baginya mengenal wajah hwesio yang selalu tertawa dengan muka dan perut yang gemuk itu, dan mengenal wajah tosu yang selalu mewek mau menangis!

Hwesio itu sedang membadut, perutnya yang gendut dan tidak tertutup pakaian itu sebentar mengempis dan sebentar pula mengembang sampai besar dan gendut! Pemandangan ini bagi orang-orang biasa merupakan hal yang lucu sekali, akan tetapi bagi orang-orang yang memiliki ilmu kepandaian, menimbulkan kekaguman. Oleh karena perbuatan Si Gendut itu menunjukkan bahwa ia memiliki khikang yang tinggi hingga perut yang demikian besarnya dapat ditarik ke dalam hingga kempis sama sekali!

“Cuwi sekalian,” kata Si Gendut sambil tak pernah mengubah tarikan muka yang selalu tersenyum bagaikan sebuah patung Jai-lai-hud yang peramah. “Kepandaian mengempiskan perutku yang kecil ini banyak sekali gunanya. Di Tiongkok banyak terdapat daerah-daerah yang kekurangan makan, sedangkan pinceng adalah seorang perantau. Pada waktu pinceng berada di daerah kering, kalau tidak ada makanan yang boleh dimasukkan perut, pinceng lalu menarik perut ke dalam hingga menjadi kempis dan kecil, hingga diberi minum air semangka pun sudah kenyang!

Sebaliknya, kalau pinceng berada di tempat yang subur seperti Kan-su ini pinceng dapat melembungkan perut sebesar-besarnya agar dapat menikmati segala macan makanan. Bahkan daging unta pun bisa masuk ke dalam perutku!”

Sambil berkata demikian, ia mengembang-kempiskan perutnya dan menggeleng-gelengkan kepalanya yang bulat seperti bal. Kembali orang-orang tertawa geli dan Cin Hai juga ikut tertawa. Biarpun dulu kedua orang ini telah membawa lari perahunya, akan tetapi terhadap Si Gendut ini yang selalu tertawa, tak mungkin orang dapat marah kepadanya!

“Akan tetapi,” kata pula hwesio itu, “Saudaraku yang kurus seperti cecak mati ini memiliki kepandaian yang lebih hebat lagi.”

Sambil berkata demikian ia menuding ke arah Ceng To Tosu yang duduk berjongkok dengan muka seperti mau menangis. Tak perlu disertai kata-kata lucu, baru melihat mukanya saja sudah menimbulkan rasa geli di dalam hati hingga kembali orang-orang tertawa bergelak.

“Jangan Cuwi mentertawakan Suhengku ini,” kata pula hwesio gendut tadi, “banyak orang lihai dan berkepandaian di dunia ini, bahkan banyak pula orang yang memiliki kekebalan hingga segala macam senjata tajam tidak dapat melukai kulitnya! Akan tetapi, saudaraku ini lebih hebat lagi. Dia tidak bisa mati oleh karena dia ini tidak mempunyai darah!”

Terdengar seruan-seruan tidak percaya.
“Kalau orang tidak mempunyai darah, ia akan mati,” terdengar suara seorang penonton mencela.

“Memang kata-kata itu benar,” kata Ceng Tek Hosiang, “akan tetapi saudaraku itu adalah seorang sakti. Kalau Cuwi tidak percaya sekarang hendak kubuktikan!”

Sambil berkata demikian, Si Gendut mengeluarkan sebuah pisau belati yang bergagang panjang. Pisau itu putih mengkilap, nampaknya tajam dan baru.

“Nah, lihatlah baik-baik. Pisau ini akan kutusukkan kepadanya dan akan kutusuk tubuhnya sampai seluruh mata pisau ini terbenam ke dalam dagingnya!”

Setelah berkata demikian, ia menghampiri Ceng To Tosu yang masih saja duduk dengan mewek. Benar saja, hwesio itu menusuk leher tosu itu hingga banyak orang memekik karena cemas. Bahkan Cin Hai merasa terkejut sekali melihat betapa pisau belati itu menancap di leher Ceng To Tosu sampai ke gagangnya! Ketika Ceng Tek Hosiang mencabut pisaunya, benar saja tidak nampak darah sedikitpun pada leher itu, bahkan luka sedikit pun tidak!

Semua orang memandang dengan mata terbelalak, bahkan Cin Hai sendiri hampir tak percaya kepada kedua matanya sendiri. Bagaimana tosu ini dapat memiliki ilmu kepandaian yang demikian anehnya? Ilmu kekebalan untuk menolak ujung senjata yang menusuk kulit, bukanlah hal yang aneh baginya, akan tetapi kulit dan daging yang sudah tertusuk pisau sekian dalamnya akan tetapi tidak terluka dan tidak mengeluarkan darah sama sekali, adalah hal yang tak mungkin terjadi. Ilmu sihirkah yang dipergunakan oleh kedua orang ini?

Ceng To Tosu lalu membuka bajunya dan tiga kali ia ditusuk dadanya yang kurus seperti kerangka hidup itu, lalu lambungnya, dan bahkan pipinya mendapat tusukan pula. Dan semua tusukan itu walaupun dilakukan dengan kuat hingga pisau sampai menancap habis, namun setelah dicabut kembali, tosu itu sama sekali tidak terluka sedikit pun. Kemudian hwesio gendut itu lalu melempar pisau itu ke arah sebatang pohon dan pisau itu menancap dengan keras sampai ke gagangnya.

“Nah, Cuwi lihat, bahkan batang pohon itu pun tertancap dengan mudah, menunjukkan bahwa pisau pinceng ini benar-benar tajam dan tidak palsu, namun menghadapi ilmu kepandaian Suhengku ini, pinceng tidak berdaya.”

“Lihai sekali…” semua orang berseru.

Hwesio gendut itu lalu menjura dan berkata,
“Pertunjukkan kami selesai sampai disini saja, kalau ada jodoh kita saling bertemu lagi!”

Maka semua penonton lalu bubaran dan tiada hentinya mereka membicarakan kelihaian tosu yang kurus kering itu.

Cin Hai yang menyaksikan itu semua, dari rasa heran menjadi rasa penasaran hebat. Ia pernah menyaksikan kepandaian kedua pertapa ini dan ternyata bahwa kepandaian mereka biarpun lihai, namun tidak melebihi kepandaiannya sendiri. Akan tetapi ilmu kepandaian yang baru diperlihatkan oleh Ceng To Tosu itu, benar-benar membuat kagum dan tidak mengerti. Maka setelah semua orang bubaran, ia lalu bertindak menghampiri dan menjura.

“Jiwi-suhu apakah baik-baik saja?”

Ketika hwesio dan tosu itu melihat Cin Hai, keduanya merasa terkejut, akan tetapi Ceng Tek Hosiang tetap tertawa dan Ceng To Tosu tetap mewek.

“Ah, ah, kiranya Sie-taihiap Si Pendekar Bodoh!” kata Ceng To Tosu. “Bagaimana bisa sampai disini, Taihiap?”

Sementara itu sambil tertawa-tawa, Ceng Tek Hosiang mendahului Cin Hai.
“Dulu ketika kau dan Ang I Niocu melompat ke atas kapal, kami berdua menjadi ketakutan dan terpaksa pergi lebih dulu.”

Cin Hai terseyum.
“Tidak apa, hal yang sudah lalu tak perlu digali lagi. Akan tetapi, dulu aku menemukan perahu kalian terbalik di atas laut, bagaimana kalian bisa selamat dan sampai disini?”

“Thian melindungi orang-orang baik,” kata hwesio gendut itu, “maka kami terdampar ombak besar dan dilempar ke tepi laut dengan selamat.”

“Dan sekarang jiwi-suhu berada di darat ini sedang apakah?”

“Taihiap sudah menyaksikan sendiri bahwa kami menjual kepandaian sambil merantau,” jawab Ceng To Tosu.

Cin Hai mengangguk-angguk dan keterangan ini memang masuk di akal.
“Kepandaianmu tadi benar-benar lihai sekali, Ceng To Totiang,” katanya memuji akan tetapi dengan tertawa ha-ha hi-hi Ceng Tek Hosiang lalu mengeluarkan pisau belati itu dan berkata,

“Dengan pisau yang sengaja kami buat khusus untuk keperluan ini, apakah yang lihai?”

Cin Hai memegang pisau belati itu dan berkata,
“Pisau ini pisau biasa dan tadipun dapat menancap di pohon, apanya yang aneh? Mungkin kalian telah mempergunakan ilmu sihir!”

Tiba-tiba Ceng Tek Hosiang tertawa bergelak sedangkan Ceng To Tosu yang sebetulnya hendak tertawa, akan tetapi mulutnya bahkan makin mewek dan makin menyedihkan!

“Ah, ah, kami benar-benar merasa puas, puas, dan bangga! Pujian semua orang-orang itu bagi kami tidak ada artinya, akan tetapi keheranan pada muka Taihiap sungguh-sungguh membikin kami merasa puas dan bangga!”

Ceng To Tosu juga berkata,
“Sie-taihiap, pisau kami itu ada rahasianya! Kau lihat besi kecil hitam pada gagangnya itu? Kalau besi kecil itu tidak ditekan, maka, pisau ini adalah pisau biasa yang akan melukai orang. Akantetapi, coba kau tekan besi kecil itu, dan kau akan melihat keanehannya!”

Cin Hai melihat besi hitam yang kecil pada ujung gagangnya dan ketika ia menekan, ternyata pisau itu apabila ditekan pada sesuatu lalu masuk ke dalam gagangnya yang panjang hingga tidak kelihatan lagi ujungnya!

Demikian akal yang digunakan oleh kedua pertapa itu. Ketika Si Hwesio menusukkan pisaunya pada tubuh tosu itu, ia menekan besi hitam tadi hingga memang kelihatannya pisau itu menancap pada tubuhnya sampai ke gagang, padahal pisau itu ketika menekan kulitnya, lalu masuk ke dalam gagang dan tidak kelihatan lagi, seakan-akan semuanya masuk ke dalam tubuh orang yang ditusuk!

Hampir saja Cin Hai tertawa bergelak karena geli. Ia mengangguk-angguk kagum dan hatinya merasa senang bertemu dengan kedua orang tua ini, karena dari pembukaan rahasia pisau ini saja dapat membuktikan bahwa mereka menaruh kepercayaan kepadanya.

“Taihiap, sesungguhnya kami berdua sedang melakukan tugas!” kemudian Ceng Tek Hosiang berbisik.

“Tugas? Tugas apa dan dari siapa?”






Tidak ada komentar :