*

*

Ads

Rabu, 12 Juni 2019

Pendekar Bodoh Jilid 138

Hal ini membuat kaisar menjadi marah dan karena keadaan mereka memang kuat sekali, akhirnya kaisar membaiki para pendeta Buddha dan dapat mempergunakan tenaga mereka untuk menyerbu dan menghancurkan bangsa Kazak yang suka merampok itu.

Akan tetapi, setelah para pendeta Buddha itu berhasil membasmi para perampok dan merampas kembali barang-barang berharga, kaisar berlaku curang dan bahkan mengerahkan tentara untuk mengusir pendeta-pendeta itu dan merampas barang-barang berharga itu.

Para pendeta itu karena tidak pernah menyangka-nyangka, dapat terpukul hingga cerai-berai dan sebagian di antara mereka segera melarikan diri ke gua-gua Tun-huang dan menyimpan harta benda itu di tempat rahasia. Akan tetapi, mereka itu dapat dikejar dan ditewaskan hingga tak seorang pun tahu dimana tempat harta pusaka itu disimpan. Hanya seorang di antara mereka yang dapat meloloskan diri dan kemudian membuat peta pada cawan dan tutupnya.

“Nah, hanya sekianlah yang kudengar dari keterangan orang-orang, benar tidaknya entahlah,” kata Ang I Niocu kepada Cin Hai yang mendengarkan dengan hati tertarik.

“Kalau begitu, seandainya kita mendapatkan kembali harta itu, kita pergunakan untuk apakah?” tanyanya dengan muka memandang bodoh.

Ang I Nicu tersenyum.
“Hai-ji, kau benar-benar linglung! Baru kau saja orangnya yang tidak tahu harus mempergunakan harta benda untuk apa! Biarlah kita mencarinya dulu dan kalau sudah berhasil, kita bertanya kepada Susiok-couw yang tentu akan tahu apa yang harus kau lakukan.”

“Tapi, kau sendiri, Niocu? Untuk apakah harta benda itu bagimu?”

“Anak bodoh! Aku sih hanya membantu kau saja. Aku sendiri tidak membutuhkan barang-barang itu!”

“Aku pun tidak membutuhkan! Kalau begini halnya, mengapa kita berdua harus bersusah payah mencarinya?”

“Hai-ji, ketahuilah. Selain kita, masih banyak pihak yang mencari harta itu dan apabila harta benda yang besar itu terjatuh ke tangan orang jahat, tentu akan menimbulkan malapetaka belaka!”

Cin Hai mengangguk-angguk dan berkata,
“Benar, benar, sekarang aku teringat akan bunyi ujar-ujar yang menyatakan bahwa harta benda di tangan orang budiman akan merupakan alat hidup yang berguna dan mulia, akan tetapi sebaliknya apabila harta benda terjatuh di tangan orang rendah budi akan menjadi alat hidup yang jahat dan merusak. Kau benar, Niocu!”

Ang I Niocu tertawa
“Ah, kau dan ujar-ujarmu! Hayo kita bekerja dan jangan mencoba menjadi guru sastera di dalam gua ini!”

Cin Hai Juga tertawa, kemudian mereka lalu bekerja sama untuk menggerakkan patung yang menjadi kunci pembuka pintu di atas guha. Setelah lubang di langit-langit gua itu terbuka, Cin Hai lalu melompat ke atas dan mempergunakan tangan kanan untuk menyambar pinggiran lubang dan bergantungan di situ, kemudian ia mengayun kakinya dan masuk merayap ke dalam lubang kecil itu.

“Ah, gelap sekali, Niocu!” katanya.

“Biasakan dulu matamu di tempat yang gelap itu, aku akan membuat api unggun di dalam gua ini agar cahayanya akan masuk ke situ dan menerangi dalam lubang,” kata Ang I Niocu yang segera mengumpulkan kayu-kayu kering di luar gua.

Tiba-tiba ketika ia sedang mengumpulkan kayu bakar itu, ia melihat dari jauh mendatangi seorang perwira. Cepat ia masuk ke dalam gua dan berkata kepada Cin Hai,

“Hai-ji kau cepatlah bekerja, di luar sana ada orang, biar aku pancing dia pergi ke tempat lain!”

Setelah menyalakan api unggun, Ang I Niocu lalu meninggalkan Cin Hai dan berlari ke luar dari gua. Ia mengintai dan melihat betapa perwira itu berjalan dengan langkah lebar menuju ke situ!

Ang I Niocu segera melompat jauh dan memapaki orang itu dan setelah dekat hingga perwira itu melihatnya, ia lalu membelok ke kanan dan memperlihatkan muka takut-takut. Perwira itu merasa curiga melihat seorang wanita di tempat yang sunyi itu yang memperlihatkan sikap takut-takut dan bersembunyi ketika melihatnya. Maka ia segera mengejar dan berseru,

“Nona, tunggu dulu!”






Akan tetapi, Ang I Niocu berlari terus menjauhkan diri dari gua dimana Cin Hai sedang mencari harta pusaka dan setelah tiba di tempat yang cukup jauh, ia berhenti berlari dan berdiri sambil bertolak pinggang.

Perwira itu cepat sekali larinya dan setelah berhadapan muka, ia memandang kepada Ang I Niocu dengan heran dan kagum. Tadinya ia mengira bahwa wanita itu adalah seorang penduduk situ, seorang perempuan suku bangsa Hui, akan tetapi alangkah herannya ketika sekarang melihat bahwa wanita yang dikejarnya adalah seorang perempuan yang cantik jelita bagaikan seorang bidadari! Ia memandang dengan mata terbelalak dan lupa untuk menegur karena kagumnya.

Sementara itu, Ang I Niocu juga tercengang ketika menyaksikan betapa perwira itu tadi telah mempergunakan ilmu lari cepat yang cukup mengagumkan, dan tahulah ia bahwa perwira ini bukanlah orang sembarang. Ia lalu memandang penuh perhatian.

Perwira itu memakai topi pahlawan yang indah dan dihias bulu-bulu, sedangkan rambutnya yang panjang dan hitam itu dikuncir dan tergantung pada punggungnya. Usianya masih muda, paling banyak tiga puluh lima tahun, tubuhnya sedang dan nampak kuat, sedangkan pada pinggangnya tergantung sebatang pedang. Sikapnya gagah dan sepasang matanya bersinar tajam berpengaruh.

Ang I Niocu tidak tahu bahwa ia sedang berhadapan dengan panglima tertinggi di seluruh kerajaan pada waktu itu, yaitu Kam Hong Sin, yang menjadi panglima nomor satu di kerajaan! Ia datang menyusul anak buahnya karena menganggap bahwa keadaan di barat amat genting hingga perlu turun tangan sendiri.

Karena berhak bekerja secara diam-diam, maka perwira ini meninggalkan kudanya dan melanjutkan perjalanan dengan jalan kaki.

“Perwira gadungan!” Ang I Niocu sengaja memaki untuk mencari perkara agar perwira itu tidak melanjutkan perjalanannya dan melihat Cin Hai, “Mengapa kau mengejarku?”

Dimaki demikian itu, Kam Hong Sin hanya tersenyum dan menjawab,
“Nona yang cantik, mengapa pula kau melarikan diri dariku? Kau adalah seorang Han, apa kerjamu di daerah ini?”

“Kau peduli apa? Pergi!”

Ang I Niocu yang segera mengulur tangan kanan mendorong agar perwira itu roboh dan lari ketakutan. Dorongannya ini bukanlah gerakan sembarangan saja, karena ia mempergunakan pukulan dari Ilmu Silat Pek-in-hoatsut yang kelihaiannya luar biasa dan tak mungkin ditangkis oteh orang sembarangan saja.

Akan tetapi bukan main terkejutnya ketika tubuh perwira itu tiba-tiba berkelebat dan berhasil mengelak dengan gerakan cepat sekali! Juga perwira itu terkejut melihat serangan yang demikian hebat dan mendatangkan angin yang terasa panas ketika menyerempet ujung jari tangannya itu!

“Eh, eh, siapakah kau yang lihai ini?” teriaknya, akan tetapi Ang I Niocu menyerang lagi dengan penasaran sambil membentak,

“Peduli apakah kau siapa adanya aku?”

Kini perwira tertinggi di kerajaan itu tidak berani main-main lagi dan ia lalu mengeluarkan ilmu kepandaiannya untuk menghadapi serangan-serangan Ang I Niocu yang tak boleh dibuat gegabah.

Ang I Niocu merasa kagum dan terheran-heran melihat seorang perwira kerajaan yang dapat menghadapi ilmu silatnya Pek-in-hoatsut dan bahkan dapat membalas dengan serangan-serangan yang tak kurang hebatnya!

Ilmu ginkang dari perwira muda itu benar-benar membuat Ang I Niocu tertegun karena gerakannya demikian ringan hingga tubuhnya berkelebat bagaikan seekor burung saja hingga setiap serangan dari Pek-in-hoatsut dapat dihindarkannya dengan cepat, bahkan lweekang dari perwira itu pun tidak berada di sebelah bawah tingkatnya sendiri.

Ang I Niocu merasa penasaran sekali melihat betapa serangan-serangannya tak mendatangkan hasil, maka sambil membentak marah ia mencabut Liong-cu-kiam yang tersembunyi di dalam jubahnya.

“Perwira gadungan, rasakan kelihaian Ang I Niocu!”

Bukan main terkejutnya Kam Hong Sin mendengar bahwa wanita baju merah ini adalah Ang I Niocu yang tersohor dan yang sudah lama ingin sekali dijumpainya. Ia melompat ke belakang lalu mengangkat kedua lengan sebagai penghormatan.

“Ah, ah, tidak tahunya siauwte berhadapan dengan Ang I Niocu yang telah menggemparkan dunia kang-ouw. Maaf, maaf siauwte tidak tahu maka berani berlaku kurang ajar kepada Lihiap.”

“Ciangkun siapakah?” tanya Ang I Niocu heran.

“Siauwte adalah Kam Hong Sin.”

Kini Ang I Niocu yang terkejut karena tidak pernah disangkanya bahwa perwira muda itu adalah panglima tertinggi di kerajaan. Pantas saja kepandaiannya demikian hebat.

“Ah, kiranya Kam-ciangkun yang gagah perkasa. Mengapa Ciangkun meninggalkan kota raja dan berada di tempat asing dan sunyi ini?”

Akan tetapi pada saat itu, kedua mata Kam Hong Sin yang tajam itu sedang memandang dengan penuh perhatian kepada pedang Ang I Niocu hingga ia tidak menjawab pertanyaan gadis itu, bahkan membalas dengan sebuah pertanyaan pula,

“Lihiap, bukankah pedang di tanganmu itu pedang Liong-cu-kiam?”

“Ciangkun, di dunia kang-ouw terdapat peraturan yang tidak membenarkan orang bertanya tentang pedang lain orang.”

Kam Hong Sin tersenyum, lalu berkata dengan suara tenang,
“Siauwte tahu akan peraturan itu. Akan tetapi harap diingat bahwa pada saat ini siauwte bukan berhadapan dengan Lihiap sebagai seorang yang menaruh perhatian dan kagum. Kalau kiranya Lihiap merasa keberatan untuk menjawab, siauwte masih akan mengulangi pertanyaan itu dengan mengingat kedudukan siauwte sebagai seorang perwira yang bertugas mencari pedang pusaka kerajaan yang hilang pada ratusan tahun yang lalu. Benarkah pedang di tanganmu itu pedang Liong-cu-kiam?”

Terpaksa Ang I Niocu yang tak mau membohong menganggukkan kepala.

“Dari manakah kau dapatkan Liongcu-kiam ini, Lihiap?”

“Hal ini tak perlu kuberitahukan kepada siapapun juga,” jawab Ang I Niocu setengah marah.

Kam Hong Sin tertawa dan berkata,
“Biarpun kau tak memberitahukan, aku tahu bahwa pedang ini tentu kau dapatkan di sebuah di antara gua-gua Tun-huang ini. Lihiap, pedang ini adalah pedang pusaka kerajaan dan yang berhak mempunyai dan menyimpannya adalah kaisar sendiri. Maka, kuminta kau dengan hormat sukalah kau mengembalikan pedang itu kepadaku agar dapat kuserahkan kepada kaisar.”

Ang I Niocu tersenyum sindir.
“Enak saja kau bicara, Ciangkun. Aku yang mendapatkan pedang ini dan akulah yang berhak! Selain aku, orang-orang Turki dan Mongol juga mencarinya dan kalau pedang ini terjatuh ke dalam tangan mereka, apakah mereka mau mengembalikan kepadamu?”

Kam Hong Sin memandang tajam,
“Lihiap, sudah lama aku mengagumi namamu sebagai seorang pendekar besar, dan aku merasa segan sekali untuk melawanmu, sungguhpun hal ini bukan berarti bahwa aku merasa takut. Akan tetapi, kalau kau tidak mau menyerahkan pedang itu, sebagai seorang panglima yang setia terpaksa aku harus menggunakan kekerasan!”

Sepasang mata Ang I Niocu yang indah itu bercahaya marah.
“Bagus, hendak kulihat bagaimana caramu menggunakan kekerasan!”

“Sudah kukatakan bahwa aku mengagumi padamu, akan tetapi bukan berarti takut!” kata Kam Hong Sin dengan suara masih tenang akan tetapi tiba-tiba ia mencabut pedangnya yang pada gagangnya tergantung sehelai tali hitam panjang. Ia membelitkan tali itu pada pergelangan tangannya dan berkata, “Lihiap, kalau kau tidak mau menyerahkan pedang kerajaan itu dengan jalan damai dan tak mau memberitahukan dimana pula tempat harta pusaka itu, terpaksa aku menggunakan jalan kekerasan dengan pedang di tangan!”

“Siapa takut padamu?” bentak Ang I Niocu dengan marah sambil menyerang dengan pedang Liong-cu-kiam.






Tidak ada komentar :