*

*

Ads

Selasa, 19 Maret 2019

Ang I Niocu Jilid 045

Di luar kota tembok Liong-san-mui terdapat sebuah kelenteng tua yang sudah lama tak pernah mengebulkan asap hio, tanda bahwa kelenteng itu tidak dipakai orang lagi. Sudah bertahun-tahun kelenteng itu tinggal kosong dan makin lama makin rusak tidak terpelihara. Penghuninya hanya laba-laba yang membuat sarang di setiap sudut, membuat kelenteng itu nampak menyeramkan sekali.

Tidak ada orang berani masuk ke dalam, bahkan para jembel yang tidak mempunyai tempat tinggal dan mempergunakan ruang depan kelenteng itu untuk tempat tidur dan berteduh, tidak berani sembarangan masuk ke dalam kelenteng.

Akan tetapi akhir-akhir ini, kurang lebih seminggu sudah, terjadi perubahan besar. Tidak ada lagi jembel yang berani tinggal di situ dan keadaan kelenteng itu tidak kosong lagi. Seorang laki-laki bertubuh gagah dan tampan, berpakaian sebagai seorang pendekar, menjadikan itu tempat tinggalnya.

Orang ini gerak-geriknya aneh sekali, wajahnya selalu nampak muram dan berduka, akan tetapi tidak jarang orang mendengar gema suara ketawanya memecah kesunyian tengah malam. Semenjak ia mengusiri semua jembel dari ruang depan kelenteng, kemudian memukul kocar-kacir belasan orang pengemis yang datang hendak merampas kembali tempat berteduh, tidak ada lagi orang berani datang mengganggunya.

“Dia pendekar aneh,” kata seorang yang mengerti ilmu silat, “gerakan-gerakannya menunjukkan bahwa dia seorang ahli silat tinggi. Lihat saja cara ia menyarungkan pedangnya, tentu pedang pusaka.”

“Dia berotak miring,” berbisik orang ke dua, “Pernah di tengah malam aku mendengar dia tertawa bergelak seperti iblis, dan pernah aku mendengar ia menangis tersedu-sedu dan akhirnya memaki-maki.”

“Dia orang aneh, benar-benar pendekar aneh,” demikian akhirnya orang mengambil kesimpulan.

Tadinya penduduk Liong-san-mui mengeluarkan sebutan “pendekar aneh” ini dengan nada mengejek dan menertawakan, akan tetapi tiga hari kemudian semenjak orang itu berada disitu, sebutan ini berubah menjadi sebutan yang disertai rasa kagum, segan, dan menghormat.

Tak seorang pun berani lagi menganggapnya “berotak miring” betapapun aneh kelakuan orang ini. Hal ini terjadi setelah pendekar aneh yang dianggap gila ini pada suatu malam, seorang diri dan bertangan kosong, telah merobohkan serombongan perampok yang mengganggu kota Liong-san-mui, dan menyerahkan rombongan perampok terdiri dari tujuh belas orang ini kepada yang berwajib!

Tikoan, pembesar yang menerima tawanan perampok itu, menghaturkan terima kasih dan menanyakan nama orang gagah itu. Akan tetapi, benar-benar orang aneh. Dia tidak mengaku bahkan nampak marah-marah ketika berkata,

“Kewajiban Taijin hanya menerima dan menghukum orang-orang jahat itu, habis perkara. Perlu apa tanya-tanya namaku? Aku tidak minta hadiah!”

Maka pergilah ia meninggalkan Tikoan yang menjadi bengong akan tetapi tidak berani berbuat apa-apa terhadap orang-orang yang bersikap aneh dan kurang ajar itu. Karena sikap yang kurang ajar ini, maka selanjutnya para pembesar setempat tidak mau dan sungkan menghubunginya. Akan tetapi betapapun juga, penduduk amat berterima kasih dan menganggapnya sebagai tuan penolong atau pendekar budiman.

Siapakah pendekar aneh itu? Untuk mengenalnya, mari kita melihat ke dalam kelenteng dan mengikuti gerak-geriknya.

Di ruangan yang paling dalam di kelenteng itu, ruangan yang gelap akan tetapi bersih dari sarang laba-laba karena ruangan ini dijadikan kamar tidur dan telah dibersihkan, nampak seorang laki-laki duduk bersila di atas lantai yang telah disapu bersih. Seperti seorang bersamadhi, laki-laki ini duduk bersila menghadapi meja sembahyang yang sudah tua dan sudah amat lama tak pernah dipakai orang.

Kalau orang melihatnya dari belakang, tentu mengira bahwa ia sedang bersamadhi, tak bergerak seperti patung. Akan tetapi kalau orang melihat dari depan dan berada dekat dengannya, akan kelihatan jelas bahwa orang biarpun tubuhnya tak bergerak, akan tetapi bibirnya bergerak-gerak dan terdengar ia bercakap-cakap dengan suara perlahan.

Dari sepasang mata yang dipejamkan itu bercucuran air mata dan kalau orang mendengar ia seperti bercakap-cakap tanya jawab dengan seorang yang tidak kelihatan, orang tentu akan menganggap ia gila.

“Bi Li, aku memang berdosa besar padamu, isteriku… Aku mengaku sekarang akulah sebenarnya yang membunuhmu, aku yang memaksamu meninggal dunia karena menyiksa hatimu. Aku orang berdosa besar, Bi Li. Kau ampunkan suamimu yang hina dan bodoh ini, isteriku…”






Mendengar ucapan dalam bisikan ini, tahulah kita bahwa orang itu bukan lain adalah Jeng-jiu-san Kiang Liat. Seperti telah dituturkan di bagian depan, setelah menerima pukulan hebat dari penuturan Ceng Si bekas pelayan isterinya bahwa sesungguhnya isterinya itu tidak berdosa apa-apa, dan bahwa isterinya meninggal dunia karena menyesal dan berduka ditinggal suaminya, Kiang Liat seperti orang gila.

Hatinya penuh penyesalan dan ia merantau ke sana ke mari. Hidupnya hanya bertujuan satu, yakni mencari puterinya yang diculik oleh Pek Hoa Pouwsat. Kalau kiranya Bi Li tidak meninggalkan anak, tentu Kiang Liat sudah membunuh diri untuk menyusul isterinya yang tercinta. Ia tidak mempedulikan lagi keadaan tubuhnya yang menderita pukulan batin dan membuat ia kadang-kadang muntah darah.

Akan tetapi ia mulai mengumpulkan uang, dan sesuai dengan wataknya, ia memberantas kejahatan. Tiap kali ia membasmi penjahat, selalu ia merampas milik penjahat itu dan sebentar saja ia telah dapat mengumpulkan harta kekayaan yang besar juga, yang disembunyikan dalam sebuah gua. Selama empat tahun lebih ia merantau, mencari-cari Pek Hoa akan tetapi sia-sia belaka, tak seorang pun di dunia kang-ouw tahu ke mana siluman itu menghilang.

Kiang Liat mengumpulkan uang bukan sekali-kali karena ia ingin hidup bersenang-senang, akan tetapi ia sengaja mengumpulkan harta untuk kelak dipakai menyenangkan hidup Im Giok anaknya.

Bahkan ia mulai pula mengganti pakaiannya yang kotor dengan pakaian bersih dan indah, karena ia ingin kelihatan gagah apabila ia berhasil bertemu dengan puterinya. Setiap malam ia teringat kepada isterinya itu. Keadaan pendekar ini benar-benar amat memilukan hati. Hukuman yang dideritanya akibat kecerobohannya terhadap isterinya, benar-benar amat berat.

Setelah mengeluarkan kata-kata itu sambil memandang ke atas meja, Kiang Liat diam beberapa lama, sikapnya seperti mendengarkan orang bicara kepadanya. Kemudian ia mengangguk-angguk dan berkata,

“Tentu saja, Bi Li. Aku pasti akan mencari Im Giok sampai dapat. Aku akan mengadu nyawa dengan siluman Pek Hoa dan merampas kembali anak kita. Sudah empat tahun aku mencari jejaknya dengan sia-sia, akan tetapi aku tidak putus asa. Sebelum putus nyawaku, aku takkan berhenti berusaha mencari Im Giok.”

Kemudian Kian Liat menarik napas panjang, menghapus air matanya dengan ujung lengan bajunya dan berkata lagi,

“Kau tidak percaya kepadaku, Bi Li? Sudah sepantasnya kalau kau tidak mempercaya seorang suami goblok seperti aku, seorang suami buta yang menuduh isterinya yang setia berlaku tidak patut. Memang kau berhak tidak percaya kepadaku, Bi Li isteriku. Akan tetapi, biarlah aku Kiang Liat bersumpah, aku akan mencari Im Giok sampai saat penghabisan. Biarlah rambutku menjadi saksi!”

Setelah berkata demikian, Kiang Liat mencabut pedangnya dan berlutut. Dengan tangan kiri dijambaknya rambutnya yang hitam panjang, dan tangan kanan yang memegang pedang bergerak membabat rambutnya sendiri! Putuslah rambut di kepalanya dan kepala itu kini hanya tinggal ditumbuhi rambut pendek saja.

“Ayaaah….,!”

Tiba-tiba bayangan merah melayang turun dan ternyata yang melompat turun adalah seorang gadis cilik berpakaian merah sedangkan di belakangnya turun seorang kakek.

Kiang Liat memandang dengan mata bengong, tidak mengenal siapa adanya anak yang menyebut ayah kepadanya itu. Kemudian ketika ia melirik ke arah kakek yang telah berdiri di belakang gadis cilik itu ia terkejut sekali, melempar pedangnya dan menjatuhkan diri berlutut di depan kakek itu.

Kiang Liat boleh jadi agak gendeng dan miring otaknya apabila ia tenggelam dalam lamunan sendiri dan mengingat akan isterinya, akan tetapi di lain saat ia merupakan seorang manusia biasa yang sadar,

“Teecu tidak tahu akan kedatangan Suhu Bu Pun Su, mohon ampun jika teecu tidak menyambutnya,” katanya penuh hormat dan segan.

Memang kalau ada orang di dunia ini yang disegani dan ditakuti oleh Kiang Liat, orang itu tak lain hanya Bu Pun Su dan mungkin juga Han Le.

Bu Pun Su memandang kepada Kiang Liat, sinar matanya penuh belas kasihan.
“Kiang Liat, jangan terlalu jauh dilarutkan oleh lamunan dan kedukaan. Inilah Kiang Im Giok puterimu, sengaja kubawa ke sini agar kau dapat hidup kembali bersama puterimu. Pergunakanlah sisa hidupmu sebaiknya untuk mendidik anakmu ini, Kiang Liat.”

Mendengar ini, dengan muka pucat Kiang Liat menengok ke arah Im Giok. Ayah dan anak berpandangan, dua pasang mata perlahan-lahan mengeluarkan air mata, dua pasang bibir bergerak-gerak dan bergemetar tanpa dapat mengeluarkan sepatah kata. Kiang Liat mengulurkan dua lengan yang tangannya menggigil, dan Im Giok perlahan melangkah maju.

“Im Giok… kau… anakku…?”

“Ayaah…!”

Di lain saat ayah dan anak itu sudah berpelukan dan bertangisan. Bu Pun Su terbatuk-batuk untuk menenangkan hatinya sendiri yang ikut merasa terharu dan pilu, kemudian setelah membiarkan mereka melepaskan perasaan hati untuk sementara, lalu berkata,

“Sudahlah, tak baik menurutkan perasaan, mendatangkan kelemahan saja. Kiang Liat, anakmu ini berbakat baik dalam ilmu silat, biar aku tinggalkan dua macam ilmu silat untuk kelak kau turukan kepadanya. Akan tetapi kau hati-hatilah, wataknya keras dan aneh, perlu dikendalikan dengan kuat!”

Kiang Liat girang sekali mendengar ini.
“Im Giok, anakku, lekas kau menghaturkan terima kasih kepada Susiok-couw-mu (Paman Kakek Guru).” Kiang Liat menarik tangan Im Giok dan keduanya berlutut di depan kakek sakti itu.

Dengan amat tekun, Kiang Liat mempelajari dua ilmu silat yang diturunkan oleh Bu Pun Su untuk Im Giok. Pertama-tama Bu Pun Su minta supaya Im Giok bersilat menurut apa yang ia pelajari dari Pek Hoa Pouwsat.

Bu Pun Su adalah seorang sakti yang memiliki kepandaian aneh dan luar biasa. Sekali saja melihat, ilmu silat apapun juga dapat ia tiru dengan gerakan yang jauh lebih sempurna daripada aslinya! Demikian pula dengan ilmu silat yang dimainkan oleh Im Giok, sekali melihat kakek ini dapat menurunkan ilmu silat yang sama, akan tetapi yang sama sekali bebas dari kelemahan dan kekurangan.

Pendeknya, Bu Pun Su memperbaiki dan menyempurnakan ilmu silat yang seperti tarian, yang dipelajari oleh Im Giok dari Pek Hok Pouwsat. Adapun ilmu silat ke dua yang ia turunkan kepada Kiang Liat untuk Im Giok adalah ilmu silat pedang yang disesuaikan pula dengan gerakan dan bakat yang sudah menjadi dasar dari Im Giok.

Selain dua macam ilmu silat yang khusus untuk Im Giok ini, juga kepada Kiang Liat kakek ini menurunkan ilmu berlatih lwee-kang dan gin-kang sehingga Kiang Liat merasa bersukur sekali. Sampai dua pekan Bu Pun Su tinggal di kelenteng kuno itu bersama Kiang Liat dan Im Giok dan siang malam mereka tekun menerima pelajaran baru dari kakek sakti itu.

Setelah selesai dan hendak meninggalkan mereka, Bu Pun Su berkata dengan suara sungguh-sungguh.

“Kiang Liat, dan kau juga Im Giok, dengarkan baik-baik. Setelah kalian menerima pelajaran dariku, maka selanjutnya kalian harus menjaga diri baik-baik. Sekali saja aku mendengar kalian menggunakan kepandaian yang kalian pelajari dariku untuk melakukan perbuatan menyeleweng dan sewenang-wenang, aku sendiri akan datang memberi hukuman berat.”

Setelah Bu Pun Su pergi, Kiang Liat memeluk puterinya dan berkata dengan hati gembira.

“Anakku, mari kita pulang ke Sian-koan dan mulai hidup baru. Akan kusediakan rumah gedung untukmu, pakaian-pakaian indah dan jangan kau khawatir, anakku. Aku akan berusaha supaya kau kelak menjadi seorang dara perkasa yang jarang tandingannya, seorang yang hidup penuh kebahagiaan tidak kekurangan sesuatu!”

Im Giok sudah mendengar sumpah ayahnya dari atas genteng, maka ia tidak perlu mendengar janji-janji yang lain. Ia sudah merasa amat kasihan dan terharu melihat nasib ayahnya, dan ia merasa amat bangga karena ternyata ayahnya adalah seorang laki-laki gagah yang patut dibanggakan.






Tidak ada komentar :