*

*

Ads

Selasa, 19 Maret 2019

Ang I Niocu Jilid 044

Dengan mudah Kam Kin menangkis, kini karena ia merasa gemas, tangkisannya keras membuat tubuh Im Giok terhuyung lalu roboh tertelungkup di atas rumput. Namun gadis cilik itu tidak menjadi kapok atau takut, bahkan dengan marah ia bangkit kembali dan menyerang susioknya.

“Bocah edan, apakah kau ingin aku marah dan memukul mampus padamu?” bentak Kam Kin dan kali ini ia kembali dapat menangkap tangan Im Giok.

“Boleh pukul mampus, siapa takut?” bentak Im Giok yang meronta-ronta.

“Lepaskan dia!” tiba-tiba kakek itu membentak keras dan aneh sekali. Biarpun Kam Kin tidak melihat kakek itu bergerak, namun ia merasa tangannya. yang memegang lengan Im Giok menjadi lemas dan gadis cilik itu dapat merenggut diri dan terlepas.

Kam Kin memandang kepada kakek itu dengan mata merah.
“Bangsat tua, kau berani mencampuri urusahku?”

Sepasang tangannya bergerak dan tahu-tahu golok besarnya telah berada di tangan dan di lain saat ia telah mengirim serangan hebat ke arah kakek itu. Golok itu dibacokkan ke arah kepala untuk kemudian disusul dengan babatan ke leher. Memang permainan golok dari Kam Kin amat ganas dan kuat, dan tidak terlalu dilebihkan kalau ia mempunyai julukan Golok Maut.

Akan tetapi, alangkah terkejutnya ketika tiba-tiba kakek itu dengan tenang dan cepat menggerakkan tangan kiri, lalu menyentil golok itu dengan jari tangannya. Terdehgar suara “Cring” yang keras dan golok itu menjadi somplak!

Sentilan kedua menyusul dan kini golok itu terlempar jauh. Kam Kin tidak kuasa menahan karena seakan-akan golok itu direnggut oleh tangan yang bertenaga raksasa.

“Ini untuk kekurangajaranmu kepadaku, dan ini untuk kekejamanmu terhadap seorang gadis cilik!” kakek itu berkata sambil menggerakkan jari tangannya menyentil.

Kam Kin menjerit kesakitan sambil memegangi kedua telinganya yang daunnya sebelah bawah hancur terkena sentilan jari tangan kakek yang lihai itu. Biarpun luka itu tidak berbahaya sama sekali, akan tetapi sakitnya cukup membuat Kam Kin mengaduh-aduh. Darah mengalir di sepanjang lehernya kanan kiri.

“Setan tua, harap suka memperkenalkan nama. Kelak Giam-ong-to Kam Kin pasti akan membalas penghinaan ini!” Kata Kam Kin sambil menggigit bibir menahan rasa nyeri.

Kakek itu tersenyum duka, mengeleng-geleng kepalanya lalu berkata perlahan,
“Untuk mencapai tingkat kosong, kau harus belajar puluhan tahun lagi, dan kalau kau sudah mencapai tingkat itu, aku pun sudah mati. Akan tetapi kalau kau menghendaki, biarlah kau tahu bahwa aku kakek tua bangka ini tidak punya nama juga tidak punya kepandaian. Nah, kau pergilah!”

Tiba-tiba wajah Kam Kin menjadi pucat sekali. Ia melangkah mundur tiga tindak seakan-akan kata-kata itu merupakan pukulan yang menyambar mukanya.

“Bu Pun Su…!” katanya setengah berbisik, kemudian ia lari lintang-pukang tanpa menghiraukan goloknya yang masih menggeletak di atas tanah.

Tiba-tiba Bu Pun Su mengeluarkan suara terkejut dan terheran ketika anak perempuan yang baru saja ditolongnya itu menyerangnya kalang-kabut. Im Giok menyerang dengan nekat, sama nekatnya ketika ia tadi menyerang Kam Kin.

“Eh, eh, bukan laku seorang gagah menyerang orang tanpa memberitahukan sebab-sebabnya. Bocah galak, mengapa kau menyerang aku?” tanya Bu Pun Su tanpa mempedulikan tangan Im Giok yang memukul tubuhnya.






“Karena kau bernama Bu Pun Su dan menurut guruku, Bu Pun Su adalah seorang paling jahat di dunia ini dan harus dibasmi,” jawab Im Giok sambil melompat mundur karena pukulannya yang mengenai tubuh kakek itu seakan-akan mengenai tumpukan kain belaka, membuat terheran dan gentar.

Bu Pun Su mengerutkan kening lalu tertawa.
“Gurumu memang betul, siapa sih nama gurumu yang mulia.”

“Guruku adalah Bi Sian-li Pek Hoa Pouwsat,” jawab Im Giok bangga.

Ia memang selalu merasa bangga mengaku Pek Hoa sebagai gurunya, bukan hanya bangga karena ilmu kepandaian Pek Hoa yang tinggi, terutama sekali bangga karena Pek Hoa dianggapnya wanita paling cantik di dunia ini dan amat mengagumkan hatinya.

Akan tetapi, kalau biasanya orang-orang lelaki mendengar nama Pek Hoa Pouwsat nampak kagum dan gembira, tidaklah demikian dengan kakek ini. Sepasang matanya yang seperti bintang itu bercahaya dan memandang kepada Im Giok dengan tajam berapi seakan hendak membakarnya.

“Dan kau she Kiang?”

“Betul, aku she Kiang bernama Im Giok,” kata gadis cilik itu kini tiba gilirannya terheran.

“Sungguh tak baik! Kalau kau dipelihara dan diambil murid seekor serigala kiranya takkan begitu buruk. Dan kau bahkan girang dan bangga menjadi muridnya. Benar-benar tanda tak baik bagi keluarga Kiang. Eh, bocah tolol, tidak tahukah kau bahwa kau telah diculik oleh siluman betina yang ganas dan jahat?”

“Enci Pek Hoa bukan siluman betina dan aku suka menjadi muridnya,”

Im Giok membantah, biarpun di dalam hatinya ia sudah mulai tak suka kepada gurunya itu semenjak mereka turun gunung dan ia melihat perbuatan-perbuatan yang ganjil dan memalukan dari gurunya.

“Bodoh, tolol! Tak tahukah kau bahwa penculikan terhadapmu ini mengakibatkan matinya ibumu dan gilanya ayahmu?” Bu Pun Su membentak.

Wajah Im Giok seketika menjadi pucat. Sepasang mata yang lebar dan indah bentuknya itu terpentang menatap wajah Bu Pun Su tanpa berkedip, kemudian perlahan-lahan mata itu menjadi basah dan air mata mulai menitik turun.

“Ibu… meninggal?”

Anak ini sudah lupa lagi bagaimana bentuk wajah ayahnya yang telah pergi meninggalkan ibunya semenjak ia masih kecil sekali. Selama ia pergi ikut Pek Hoa, yang terbayang di depan matanya hanya wajah ibunya dan ia memang merasa amat rindu kepada ibunya.

Kini mendengar bahwa ibunya telah meninggal, tentu saja hatinya seperti diiris-iris dan hanya kemauan dan perasaan yang keras saja yang dapat menahannya sehingga ia tidak menjerit-jerit. Sebaliknya, ia hanya menggigit bibirnya menahan pekik tangis sampai-sampai bibirnya terluka dan berdarah!

Pandangan mata Bu Pun Su agak berubah, kini, ia merasa kagum melihat bocah itu. Tadinya ia mengira bahwa Im Giok tentu akan menangis menjerit-jerit mendengar tentang ibunya meninggal dan ayahnya gila.

Perempuan-perempuan cantik biasanya mengandalkan tangisnya. Akan tetapi, sungguh di luar dugaan bahwa gadis cilik ini tidak menangis, bahkan memperlihatkan kekerasan hatinya dengan menggigit bibir sampai berdarah. Baru berusia sepuluh tahun sudah memiliki kekerasan hati seperti itu, benar-benar seorang anak yang berbakat untuk menjadi orang gagah, pikir Bu Pun Su senang. Kakek ini mendengar tentang nasib Kiang Liat, merasa kasihan sekali. Maka, kini melihat puteri Kiang Liat “ada isinya”, ia ikut gembira.

“Kau tidak ingin bertemu dengan ayahmu?”

Kesedihan membuat Im Giok tak dapat berkata-kata sampai beberapa lama. Kemudian ia mengeraskan hati menindas perasaannya, dan bertanya.

“Dimana ayah? Mengapa ia menjadi gila dan mengapa ia dahulu meninggalkan ibu?”

Bu Pun Su mengerti bahwa anak ini sudah terkena pengaruh Pek Hoa, dapat dilihat tanda-tandanya dari cara anak ini berpakaian, bersolek dan bergaya ketika bicara, maka ia sengaja hendak menjauhkan hati anak ini dari Pek Hoa.

“Ibumu meninggal adalah karena Pek Hoa telah menculikmu. Di depan ibumu, Pek Hoa mengaku sebagai dewi dan dipercaya penuh oleh ibumu. Tidak tahunya, di balik semua itu, Pek Hoa hendak membalas dendam kepada ayahmu yang membencinya. Sengaja Pek Hoa membawamu untuk membikin duka ibumu. Betul saja, ibumu menjadi sedih, bingung dan akhirnya jatuh sakit lalu meninggal. Ayahmu menjadi gila karena melihat ibumu meninggal.”

Im Giok adalah seorang yang masih kecil, usianya baru sepuluh tahun lebih. Tentu saja ia mudah dibakar hatinya. Mendengar kata-kata Bu Pun Su mukanya yang tadi pucat kini menjadi merah sekali.

“Kalau begitu, Suci Pek Hoa yang membunuh ibuku dan merusak hidup ayahku!”

Diam-diam Bu Pun Su menyesal karena ia telah melakukan suatu perbuatan yang buruk, yakni menanam kebencian dalam hati seorang anak-anak. Akan tetapi ini demi kebaikannya sendiri, pikirnya. Kalau anak ini tidak membenci Pek Hoa, banyak bahayanya kelak ia akan meniru sepak terjang Pek Hoa yang dikaguminya.

“Kau boleh anggap begitu. Akan tetapi ibumu sudah meninggal, tak perlu diributkan lagi. Yang penting adalah ayahmu, karena kalau tidak cepat-cepat kau hibur hatinya, kiraku tak lama lagi ayahmu akan menyusul ibumu.”

Bercucuran air mata dari sepasang mata gadis cilik itu ketika mendengar kata-kata ini. Akan tetapi tetap saja ia tidak memperdengarkan isak tangis.

“Kakek yang baik, harap kau suka membawaku kepada Ayah…”

Kata-kata terhenti dan di lain saat Im Giok telah “terbang”. Pergelangan tangannya dipegang oleh Bu Pun Su dan ketika kakek ini berlari, Im Giok merasa seakan-akan ia telah terbang. Kedua kakinya tidak menginjak tanah, akan tetapi tubuhnya melayang sedemikian cepatnya sehingga ia terpaksa harus menutup kedua matanya.

Hanya telinganya saja yang mendengar suara angin dan mukanya terasa dingin tertiup angin. Diam-diam bocah ini merasa kagum dan juga terkejut sekali. Ia tadi memang telah menyaksikan betapa lihainya kakek ini yang dengan mudah mengalahkan Kam Kin.

Akan tetapi karena memang ia memandang rendah kepada Kam Kin, kemenangan Bu Pun Su tadi tidak dianggap istimewa. Gurunya sendiri pasti dengan mudah mengalahkan Kam Kin. Akan tetapi berlari cepat seperti ini, benar-benar luar biasa sekali dan gurunya sendiri kiranya tak mungkin dapat menirunya.

**** 044 ****





Tidak ada komentar :