*

*

Ads

Selasa, 19 Maret 2019

Ang I Niocu Jilid 043

“Sukakah kau melihat aku memainkannya?”

“Suka, Pek Hoa Pouwsat, aku suka sekali…”

“Han-taihiap,” suara Pek Hoa Pouwsat makin merdu merayu sambil ia memperhebat gerakan-gerakan tubuhnya secara tidak tahu malu. “Sukakah kau kepadaku…??”

Agak lama Han Le tak dapat menjawab, akan tetapi sepasang matanya tak pernah berkedip menelan semua gerakan tubuh lawan dan ia seperti terkena hikmat, terpesona oleh keindahan dan kecantikan yang telah mencengkeram seluruh semangat dan perasaannya. Kini ia sudah tidak menggerakkan rantingnya lagi, berdiri bagaikan patung dan tidak ingat lagi bahwa ia tengah menghadapi lawan, tengah bertempur.

“Aku suka sekali padamu, Pek Hoa…” akhirnya ia menjawab dengan suara perlahan, seperti bukan suaranya sendiri.

Terdengar suara ketawa Pek Hoa Pouwsat, suara ketawa yang terdengar nyaring dan merdu, penuh kegenitan, akan tetapi bagi yang sadar, suara ketawa ini mengandung sesuatu yang mengerikan. Namun bagi Han Le terdengar merdu menarik. Di lain saat Pek Hoa Pouwsat telah menyimpan sepasang pedangnya, melompat maju dan menggandeng lengan kanan Han Le dengan gaya yang manja dan genit, tersenyum-senyum dan melirik-lirik ke arah wajah pengemis sakti itu, membetotnya dan berkata,

“Kalau begitu, Han-taihiap, marilah kita pergi ke pulaumu!”

Han Le yang sudah berada dalam cengkeraman pengaruh jahat, sudah seperti orang mabuk atau orang bermimpi, hanya menurut saja ketika ia ditarik-tarik oleh Pek Hoa Pouwsat.

Pek Hoa berpaling kepada Kam Kin yang memandang semua itu dengan mata melotot marah. Ia penuh dengan hati cemburu, akan tetapi apakah yang dapat ia lakukan? Ia tidak berdaya di depan sucinya atau kekasihnya yang memang lebih lihai daripadanya.

“Sute, kau pulanglah dulu, aku titip murid keponakanmu Im Giok, biar menanti kembaliku di rumahmu.”

Kemudian dengan suara ketawa seperti siluman, Pek Hoa Pouwsat yang menggandeng lengan Han Le menarik bekas lawannya itu. Han Le tidak membantah dan keduanya berlari cepat sambil bergandengan!

“Tidak! Aku tidak mau ikut, jangan sentuh aku!”

Dengan gerakan lincah Im Giok melompat dan mengelak menjauhi Giam-ong-to Kam Kin yang hendak menggandeng tangannya.

Kam Kin menyeringai dan memandang kepada Im Giok selaku seekor kucing memandang tikus. Tadinya ia marah dan jengkel sekali melihat sikap Pek Hoa yang pergi bersama Han Le. Laki-laki mana yang takkan menjadi gemas menyaksikan kekasihnya main gila dengan lelaki lain? Akan tetapi setelah ia memandang Im Giok, kegemasannya lenyap, terganti oleh kegembiraan.

Biarpun Im Giok baru berusia sepuluh tahun lebih, namun gadis cilik ini sudah mempunyai kecantikan luar biasa. Ia hampir menyerupai Pek Hoa dan pantaslah kalau ia disebut Pek Hoa kecil atau seorang adik dari Pek Hoa Pouwsat.

Dalam pandang mata Kam Kin, Im Giok merupakan seorang calon bidadari, atau seperti sebuah kuncup kembang yang tidak kalah menariknya oleh kecantikan Pek Hoa Pouwsat. Dan bocah mungil ini dititipkan kepadanya! Dengan girang ia lalu mendekati Im Giok dan hendak menggandeng. Akan tetapi siapa kira, bocah itu menolak dan menjauhinya.

“Im Giok, jangan banyak tingkah. Gurumu telah menyerahkan kau dalam rawatanku. Hayo kesini dan ikut aku pulang!” kata Kam Kin sambil melangkah lebar menghampiri gadis cilik itu.

“Aku tidak mau! Kau pergilah sendiri, aku tidak mau ikut denganmu.” Im Giok membandel.

“Eh, eh, bocah bandel. Kalau kau tidak makin manis kalau membandel, tentu sudah kutempeleng kepalamu. Hayo kesini, berani kau membantah susiokmu?”






Kini Kam Kin melompat dan tangannya diulur untuk menangkap pergelangan tangan Im Giok.

“Tidak, aku tidak punya susiok seperti engkau. Aku tidak mau ikut!”

Im Giok mengelak, kemudian melihat Kam Kin berusaha menangkapnya, ia segera melarikan diri.

“Kurang ajar! Sekecil ini sudah kurang ajar dan keras kepala. Benar-benar calon kuda betina liar! Kuncup mawar berduri! Kesini kau, Im Giok!”

Kam Ki mengejar. Akan tetapi Im Glok mempercepat larinya. Dasar bocah ini memang lincah dan ringan tubuhnya, ditambah lagi oleh latihan gin-kang yang ia terima dari Pek Hoa Pouwsat. Sekarang, perasaan wanitanya memperingatkan bahwa ia menghadapi bahaya besar yang mengancam membuat ia ketakutan, maka larinya cepat seperti rusa muda.

“Im Giok, berhenti kau…!”

Kam Kin mulai marah dan mengejar secepatnya. Betapapun juga, ia seorang laki-laki dewasa dan ilmu silatnya sudah tinggi maka tentu saja ia dapat mengejar dan menyusul Im Giok.

Hanya kelincahan anak itu yang membuat ia mengkal sekali. Setiap kali ia telah mendekat dan hendak menangkap, anak itu tiba-tiba miringkan tubuh dan mengganti arah sehingga Kam Kin terpaksa harus membalikkan tubuh dan kembali telah tertinggal agak jauh.

Namun Im Giok maklum pula bahwa ia takkan dapat menghindarkan diri lebih lama. Kam Kin telah memiliki ilmu lari cepat yang tak dapat dilawannya. Ia berlari terus dan akhirnya Im Giok memasuki sebuah hutan. Di sini ia lebih leluasa mempermainkan Kam Kin karena hutan ini banyak pohonnya. Dengan cara melompat ke sana ke mari dari balik pohon ini ke pohon itu ia dapat menghindarkan diri.

“Manusia tak tahu malu!” makinya berkali-kali. “Mengapa kau tidak mau membiarkan aku pergi? Kau mau apakah? Cih, tak tahu malu. Namanya saja besar, Giam-ong-to, hemm, tak tahunya seorang laki-laki tiada guna, pengecut dan pengganggu anak kecil!”

Kam Kin makin marah.
“Siluman cilik, kau tunggu saja dan rasakan kalau kau sudah tertangkap olehku!”

Dengan amat bernafsu ia menubruk lagi, akan tetapi kemball ia memeluk batang pohon karena Im Giok telah melompat ke tempat persembunyian lain dengan cekatan seperti seekor kera.

“Awas kau, setan cilik, kulumatkan dagingmu, kugerogoti tulangmu…!”

Kam Kin memaki-maki gemas. Akan tetapi ia menjadi girang sekali ketika melihat bahwa Im Giok makin mendekati lapangan terbuka yang tidak ada pohonnya. Adapun Im Giok saking sibuknya dan gugupnya, tidak tahu bahwa di belakangnya adalah lapangan terbuka, tempat yang tidak ada pohon dan berarti ia tak akan dapat menyembunyikan diri seperti kalau berada di hutan yang lebat.

Kam Kin memaki-maki, mengancam-ancam dan mengejar terus. Akhirnya, Im Giok memekik kaget ketika ia melompat dari pohon terakhir, ia tiba di padang rumput yang tiada berpohon.

“Ha, ha, ha, kupu-kupu cantik, kau hendak lari ke manakah? Lebih baik kau berlaku manis dan menurut saja pergi dengan susiokmu. Kalau kau menurut dan tidak banyak membantah, aku takkan bersikap kasar kepadamu, Im Giok yang jelita,” kata Kam Kin sambil tertawa lebar.

Im Giok melompat dan melarikan diri lagi. Saking gugupnya kakinya terjerat rumput dan ia roboh terguling. Di belakangnya ia mendengar suara Kam Kin tertawa bergelak. Im Giok dalam terguling itu, kedua tangannya menyambar batu dan kayu kering. Kemudian ia melompat berdiri, tangan kirinya digerakkan dan batu tadi melayang ke arah kepala Kam Kin yang hendak menubruknya.

“Eh, kau berani melawanku!” bentak Kam Kin yang mudah saja mengelak dari sambaran batu. Kemudian ia melangkah maju, tangan kanan digerakkan untuk menangkap.

“Jangan sentuh aku!”

Im Giok berteriak keras dan ranting kering yang tadi diambilnya dari atas tanah ketika ia jatuh, cepat ditusukkan ke arah pusar susioknya.

Kam Kin terkejut, cepat mengelak. Biarpun yang menyerangnya hanya seorang gadis cilik yang berusia sepuluh tahun, akan tetapi serangan itu dilakukan menurut ilmu silat tinggi, dan biarpun masih kecil, tenaga Im Giok bukanlah tenaga biasa, melainkan tenaga yang sudah teriatih. Apalagi kalau dilihat bagian yang diserang pun bukan bagian tubuh yang kuat.

Setelah mengelak Kam Kin lalu menubruk lagi. Namun sia-sia, Im Giok yang sudah berlatih selama empat tahun tidak membuang waktu sia-sia. Ia telah memiliki dasar ilmu silat tinggi dan telah memiliki gerakan yang otomatis dan lincah sekali. Tubrukan Kam Kin dapat ia hindarkan dengan lompatan ke kiri dan sebagai pembalasan, rantingnya kini meluncur cepat menusuk ke arah mata paman gurunya. Tusukan ke arah mata ini hanya pancingan belaka karena ujung ranting itu sebelum lawan mengelak, telah meluncur ke arah jalan darah di leher!

Inilah serangan hebat dan luar biasa bagi seorang anak kecil itu.

“Kurang ajar!”

Kam Kin membentak marah dan juga kaget karena kalau tangannya tidak cepat-cepat menyampok, hampir saja jalan darah di lehernya terkena totokan ujung ranting, dan hal ini bukan merupakan hal yang tidak berbahaya baginya.

Saking marahnya, Kam Kin lalu mengeluarkan kepandaiannya, sepasang tangannya ditekuk merupakan kuku harimau dan ia mengeluarkan ilmu silat Hauw-jiauw-kang. Beberapa kali saja ia bergerak, ranting di tangan Im Giok telah kena disambar dan dibetot terlepas dari pegangan Im Giok. Kemudian ia menubruk lagi, Im Giok mencoba untuk mengelak.

“Breettt!” pakaian Im Giok bagian pundak kiri robek hingga nampak kulit pundak yang putih bersih dan halus.

Melihat ini, Kam Kin makin menggila dan sambil tertawa-tawa ia menubruk lagi. Im Giok menjadi bingung. Hanya dengan menjatuhkan diri dan bergulingan ia dapat menghindarkan tubrukan Kam Kin. Kemudian ia melompat lagi dan berlari secepatnya.

Diam-diam ia mengeluh karena sekarang habislah dayanya untuk menyelamatkan diri. Akan tetapi ia pun mengambil keputusan nekat untuk melawan mati-matian, kalau perlu ia akan melawan dengan dua pasang kaki tangan dan juga giginya.

Setelah mendengar derap kaki pengejarnya sudah dekat sekali di belakangnya sampai-sampai ia mendengar dengus napas Kam Kin, Im Giok memasang kuda-kuda dan membalikkan tubuh, langsung menyerang dengan menonjokkan kedua tangannya ke depan.

“Ha, ha, ha, kau kuda betina liar…”

Kam Kin tertawa sambil menggerakkan tangan kiri. Di lain saat, tangan kirinya itu telah memegang erat-erat sepasang pergelangan tangan Im Giok, membuat gadis cilik itu tak dapat berkutik.

Namun Im Giok sudah nekat.
“Lepaskan tanganku!” bentaknya dan kakinya menendang ke arah bawah pusar.

Biarpun kakinya kecil, namun sekiranya tendangan ini mengenai sasaran, biarpun Kam Kin berkepandaian tinggi, kiranya Kam Kin akan roboh binasa atau setidaknya pingsan!
Kam Kin cepat menangkap kaki kecil ini dengan tangan kanannya dan di lain saat tubuh Im Giok sudah diangkatnya tinggi-tinggi di atas kepala sambil tertawa terbahak-bahak.

“Ha, ha, ha, burung cilik, coba kulihat kau mau berbuat apa lagi sekarang, ha, ha, ha!”

Tiba-tiba Kam Kin merasa tubuh Im Giok meronta keras atau seperti juga direnggut orang dari tangannya. Ia tidak tahu betul apa yang telah terjadi, akan tetapi tahu-tahu kedua tangannya sudah kosong dan Im Giok sudah lenyap.

Ketika ia membalikkan tubuh, ia melihat bocah itu telah berdiri di atas tanah dan di sebelahnya berdiri seorang kakek yang bermata bintang! Sepasang mata kakek ini demikian tajam berpengaruh sehingga Kam Kin merasa gentar juga, maklum bahwa ia menghadapi seorang berkepandaian tinggi. Akan tetapi, karena ia tidak mengenal siapa adanya kakek ini, Kam Kin memberanikan hatinya dan membentak keras,

“Anjing tua, siapakah kau berani bermain gila di depan Giam-ong-to Kam Kin?”

“Kakek, jangan takut. Nama Giam-ong-to hanya untuk menakut-nakuti belaka, sebetulnya dia pengecut besar!”

Im Giok berkata dan nona cilik ini kembali dengan nekat maju menyerang Kam Kin dengan pukulan ke arah lambung.






Tidak ada komentar :