Akan tetapi ia tidak pergi jauh karena ia mengambil jalan memutar dan dengan sembunyi ia mengintai, ingin menyaksikan bagaimana Han Le memberi hajaran kepada Pek Hoa Pouwsat dan kawan-kawannya.
Kok Beng Hosiang diam-diam merasa sakit hati dan mendongkol sekali, maka ingin ia melihat wanita yang membikin malu padanya itu menerima hajaran keras. Akan tetapi, apa yang dilihat oleh hwesio Siauw-lim-si ini membuat sepasang matanya terbelalak lebar, mukanya merah seperti kepiting direbus dan kepalanya yang gundul licin berdenyut-denyut.
Setelah Kok Beng Hosiang pergi, Pek Hoa mendekati Han Le dengan lenggang dibuat-buat, amat menarik hati karena memang wanita ini memiliki bentuk tubuh yang indah menarik.
“Tai-hiap, seperti kukatakan tadi, sudah lama aku mendengar bahwa Pulau Pek-le-to tempat tinggalmu mengandung banyak rahasia, juga amat indah seperti sorga. Bolehkah aku mengunjungimu? Bawalah aku ke sana, Tai-hiap.”
Han Le mengerutkan keningnya.
“Pek Hoa Pouwsat, permainan apakah yang kau keluarkan ini? Kau adalah murid Thian-te Sam-kauwcu dan kau tahu bahwa aku dan suhengku, juga kawan-kawan lain telah…”
Pek Hoa mengangkat kedua lengannya, digoyang-goyang seperti orang mencegah. Dari dalam lengan bajunya keluar keharuman bunga cilan!
“Han-taihiap, harap kau jangan menyebut-nyebut lagi soal itu. Yang sudah lewat, sudahlah. Terhadap seorang gagah seperti Tai-hiap, bagaimana siauwmoi berani menaruh dendam hati? Yang ada di dalam hati siauwmoi bukanlah dendam dan marah, melainkan… kekaguman dan ingin sekali mempererat persahabatan…”
Suaranya terdengar demikian merdu dan penuh gaya sehingga wajah Han Le sebentar merah sebentar pucat.
“Jembel busuk, lekas pergi dari sini!”
Tiba-tiba Giam-ong-to Kam Kin yang semenjak tadi mendengarkan percakapan itu dan melihat sikap genit sucinya dengan hati sebal dan cemburu, lalu menggerakkan sepasang goloknya menyerang Han Le!
“Sute… jangan…!”
Pek Hoa membentak Kam King akan tetapi terlambat karena sepasang golok itu dengan ganasnya telah menyambar tubuh Han Le.
Bentakan ini sebetulnya bukan dikeluarkan karena Pek Hoa khawatir akan keselamatan Han Le, bahkan sebaliknya ia amat khawatir akan keselamatan sutenya. Ia maklum bahwa ilmu kepandaian Han Le jauh lebih tinggi daripada ilmu kepandaian Kam Kin.
Memang betul apa yang dikhawatirkan oleh Pek Hoa Pouwsat itu, karena tidak saja Han Le dapat menghindarkan diri dari serangan sepasang golok Kam Kin, bahkan secara cepat dan tak terduga, rantingnya telah menotok pundak lawannya tanpa dapat dielakkan oleh Kam Kin. Giam-ong-to Kam Kin menjerit dan roboh berkelojotan.
Pek Hoa menghampiri dan sekali menepuk punggung dan leher sutenya, Si Golok Maut itu terbebas dari rasa sakit yang luar biasa! Ia bangkit berdiri dan menyeringai, mukanya merah sekali. Tanpa mengeluarkan kata-kata lagi, ia mengambil sepasang golok yang tadi terlempar di atas tanah ketika ia roboh, memasukkan sepasang golok itu di dalam sarung golok, lalu ia melompat ke pinggir, ke dekat Im Giok yang memandang semua itu dengan kagum.
“Kam-susiok, mengapa baru sejurus kau mundur lagi?” tanya Im Giok kepada Giam-ong-to dengan nada suara mengejek.
Anak ini memang tidak suka kepda Kam Kin, maka kini ia mendapat kesempatan untuk mengejek. Kam Kin memandang kepada bocah itu dengan mata mendelik. Im Giok menahan geli hatinya lalu menengok dan menonton apa yang akan terjadi antara gurunya dan pengemis sakti itu.
“Han-taihiap, kau makin gagah saja, benar-benar siauwmoi kagum dan tunduk. Siauwmoi ulangi lagi keinginan hati siauwmoi untuk pergi berkunjung ke pulaumu, dimana kita dapat saling menukar ilmu dan bercakap-cakap gembira tanpa gangguan orang lain.”
“Pek Hoa Pouwsat, kau bicara apakah? Kau dan sutemu telah berlaku kejam, membunuh dua orang hwesio Siauw-lim-si dan menghina seorang tokoh Siauw-lim. Untuk perbuatan jahat ini mana bisa aku mendiamkannya saja?”
Sambil berkata demikian, Han Le sudah menggerakkan ranting di tangannya, mengirim serangan langsung ke arah leher Pek Hoa Pouwsat. Biarpun ia harus mengaku bahwa hatinya amat tertarik, kejantanannya bangkit oleh kecantikan dan kelembutan yang demikian memikat hati, namun kesadaran Han Le masih penuh sehingga ia mengeraskan hati dengan anggapan bahwa wanita cantik menarik yang dihadapinya adalah seorang jahat dan keji dan sebagai seorang pendekar ia harus membasminya.
Pek Hoa Pouwsat mencelat ke belakang, tersenyum manis dan berkata menyindir,
“Ayaa, Han-taihiap, galak sekali. Baiklah, mari kita main-main sebentar!”
Sambil berkata demikian, Pek Hoa Pouwsat cepat mencabut siang-kiamnya lalu menghadapi Han-Le dengan sikap gagah menarik.
“Awas serangan!”
Han Le memusatkan semangatnya dan mulai melakukan penyerangan sungguh-sungguh. Ia maklum bahwa lawannya bukan seorang lemah, karena dahulu ia pernah menghadapi Pek Hoa Pouwsat dan tahu akan kelihaiannya.
Akan tetapi, beberapa hari saja berkumpul dengan suhengnya Bu Pun Su, Han Le telah memperoleh kemajuan yang amat banyak. Sehari berkumpul dengan Bu Pun Su dan mendengar nasihat serta penjelasannya dalam hal ilmu silat, sama halnya dengan berlatih satu tahun di bawah pimpinan guru pandai. Oleh karena itu, pertemuan akhir-akhir ini dengah Bu Pun Su membuat Han Le memperoleh kemajuan banyak dalam ilmu silat, dan Bu Pun Su telah membuka matanya untuk melihat kelemahan-kelemahan dan kekeliruan-kekeliruan sendiri.
Oleh nasihat Bu Pun Su ia maklum bahwa orang seperti Pek Hoa Pouwsat mengandalkan kelihaiannya dengan kecepatan, kelincahan, dan siang-kiam-hoat yang tidak terduga gerakannya, mengandalkan gin-kang yang tinggi.
Untuk melawan orang seperti ini ia harus berlaku tenang, tidak boleh mencoba untuk mengimbangi kecepatan lawan, sebaliknya berlaku tenang dan mengandalkan lwee-kang membentuk pertahanan yang kuat dan melindungi tubuh dengan hawa pukulan dari rantingnya.
Maka ketika Han Le mendapat kesempatan bercakap-cakap dengan suhengnya, ia minta petunjuk untuk menyempurnakan ilmu pedangnya bagian gerakan Jit-in-to-goat (Tujuh Awan Membungkus Bulan), sebuah gerakan ilmu pedangnya yang merupakan benteng pertahanan kuat sekali.
Han Le melakukan gerakan ini dengan tenang dan nampaknya ia tidak banyak bergerak. Kedua kakinya hanya dipentang sedikit, hampir sama dengan kuda-kuda yang disebut Kung-si dengan tubuh agak dibungkukkan seperti dalam kuda-kuda Ci-kung-si.
Biarpun kedudukan tubuhnya sederhana saja, akan tetapi kedudukan ini memungkinkan dia untuk menggerakkan rantingnya ke mana.saja sepasang pedang Pek Hoa meluncur. Tanpa banyak mengeluarkan tenaga, Han Le dapat menangkis semua serangan Pek Hoa yang pedang itu susul-menyusul ramai seperti sepasang ular berlumba.
“Han-taihiap, kau benar-benar mengagumkan sekali. Sekarang lihatlah ilmu pedangku yang baru, kau lihat bagus atau tidak!”
Perubahan hebat terjadi pada gerakan pedang Pek Hoa Pouwsat. Biarpun sepasang pedang itu masih melakukan serangan-serangan berbahaya sesuai dengan ilmu silat tinggi, namun gerakan-gerakannya demikian indah dan menarik, tak ubahnya seperti sedang menari saja.
“Indah sekali…!” berkali-kali Im Giok mengeluarkan seruan memuji.
Gadis cilik ini tadinya bersikap dingin dan kaku karena Kam Kin berada di dekatnya, akan tetapi sekarang melihat ilmu pedang yang dimainkan oleh gurunya, ia lupa sama sekali akan adanya Kam Kin di situ. Sepasang matanya bercahaya, wajahnya berseri dan tanpa berkedip ia menonton ilmu pedang yang dimainkan oleh Pek Hoa Pouwsat. Im Giok memang mempunyai darah seni, suka sekali akan keindahan, maka tarian pedang itu benar-benar mempesonakannya.
“Aaiih, memalukan sekali…” kata Kam Kin dan cemburunya makin menghebat.
Biarpun ia tidak terkena pengaruh langsung dari ilmu pedang yang dimainkan oleh Pek Hoa Pouwsat, namun keindahan gerakan pedang, kelemasan gerakan tubuh Pek Hoa, tetap saja terasa olehnya sebagai gerakan-gerakan yang memikat hati, gerakan yang tidak sopan.
Pinggang Pek Hoa seakan-akan tidak bertulang, menggeliat-geliat seperti ular, menggerak-gerakkan tubuh bagian bawah, bibir tersenyum manis dan merah membasah, sepasang mata setengah redup dan berkaca-kaca, semua ini ditujukan kepada Han Le.
Pengemis sakti itu masih menggerakkan rantingnya melindungi tubuh dari serangan dua batang pedang yang lihai itu. Akan tetapi ketika Pek Hoa Pouwsat merubah ilmu pedangnya dan mulai dengan ilmu pedang yang seperti tarian indah itu, hati Han Le terguncang hebat.
Ia sama sekali tidak tahu bahwa lawannya sedang memainkan ilmu pedang Bi-jin-khai-i, ilmu silat yang sebenarnya merupakan setengah ilmu sihir karena di dalamnya mengandung pengaruh mujijat dari kecantikan wanita untuk merobohkan hati pria. Inilah ilmu silat aneh yang selama ini dilatih secara mendalam oleh Pek Hoa Pouwsat, disediakan untuk merobohkan musuh-musuh besarnya yang tangguh dan kini untuk pertama kalinya, ia pergunakan dalam menghadapi Han Le!
Ilmu silat Bi-jin-khai-i ini memang hebat. Andaikata dimainkan oleh seorang perempuan yang berwajah buruk dan bertubuh tak menarik sekalipun, tetap akan mengeluarkan pengaruh yang dapat merobohkan hati laki-laki. Apalagi sekarang dimainkan oleh Pek Hoa Pouwsat yang cantik jelita dan memiliki bentuk tubuh sepenuhnya wanita, tentu saja daya rangsangnya berlipat ganda.
Dalam belasan jurus saja, Han Le mulai terkena pengaruhnya. Dalam penglihatan Han Le, sepasang pedang itu tidak lagi mengancamnya, hanya merupakan tari pedang yang amat indah. Tubuh yang berlenggak-lenggok dan menggeliat-geliat itu seakan-akan melambai dan mengajaknya bergembira dan menari. Lebih hebat lagi, makin lama gerakan Pek Hoa dalam mata Han Le makin luar biasa sehingga nampak olehnya benar-benar seperti lawannya yang cantik itu sedang menanggalkan pakaian sedikit demi sedikit!
Walaupun tidak sehelai pun pakaian tanggal dari tubuhnya, namun gerakannya menanggalkan pakaian demikian sewajarnya sehingga sebentar saja Han Le jatuh dalam pengaruh Pek Hoa. Pendekar sakti yang selama hidupnya belum pernah berdekatan dengan wanita ini sekarang menjadi lemas seluruh tubuhnya, semangatnya seakan-akah terbang meninggalkan tubuhnya dan pertahanannya menjadi gempur karena caranya bersilat sudah kacau sekali! Demikianlah lihainya ilmu silat Bi-jin-khai-i yang dimainkan oleh Pek Hoa Pouwsat.
Kalau sekiranya Pek Hoa menghendaki, sekarang dengan lemahnya pertahanan Han Le, dengan mudah ia akan dapat merobohkan dan menewaskan pengemis sakti itu. Akan tetapi Pek Hoa berpikir lain! Wanita ini memang sudah mendengar tentang keadaan Han Le sebagai seorang laki-laki yang selamanya tidak pernah mau berdekatan dengan wanita, terkenal sebagai seorang laki-laki pembenci wanita, hidup seorang diri di Pulau Pek-le-tho dan menjadi sute dari Bu Pun Su.
Ini saja sudah menarik hatinya, apalagi ketika ia mendapat kenyataan bahwa Han Le pada dasarnya memiliki wajah yang tampan dan gagah. Maka timbullah hati suka dan ia ingin menjadikan pria pembenci wanita ini sebagai kekasihnya. Tidak saja demikian, juga ia mempunyai niat untuk mempelajari ilmu silat yang lihai dari Han Le. Disamping semua ini, ia pun ingin menarik Han Le di pihaknya untuk membantunya menghancurkan musuh-musuhnya, kemudian setelah usahanya berhasil dan ia sudah merasa bosan, mudah baginya untuk melenyapkan Han Le dari muka bumi ini.
Pek Hoa memperhebat gerakan-gerakannya yang penuh gairah dan pengaruh ajaib. Han Le makin mabuk sehingga akhirnya dengan napas memburu pengemis sakti ini mengeluh,
“Pek Hoa Pouwsat… hentikanlah… aku tidak kuat lagi…”
Pek Hoa tersenyum lebar, gembira dan puas bukan main. Kalau ia mau, dengan sekali tusuk saja akan tembus dada Han Le. Dengan ilmu silatnya yang baru ini, ia akan dapat menjagoi dunia kang-ouw! Tentu saja tidak begitu besar pengaruhnya terhadap lawan wanita namun untuk menghadapi lawan wanita, ia cukup memiliki ilmu silat tinggi. Biar Bu Pun Su sekalipun ia tidak takut menghadapinya!
“Han-taihiap, tidak indahkah tarianku ini…?” tanya Pek Hoa dengan suara berlagu.
“Indah, indah sekali, Pek Hoa Pouwsat. Bukan main indahnya,” jawab Han Le sambil berusaha menggerakkan ranting karena masih saja sepasang pedang itu menyambar dan mengancam, biarpun digerakkan dengan cara yang amat manis dan sedap dipandang.
Kok Beng Hosiang diam-diam merasa sakit hati dan mendongkol sekali, maka ingin ia melihat wanita yang membikin malu padanya itu menerima hajaran keras. Akan tetapi, apa yang dilihat oleh hwesio Siauw-lim-si ini membuat sepasang matanya terbelalak lebar, mukanya merah seperti kepiting direbus dan kepalanya yang gundul licin berdenyut-denyut.
Setelah Kok Beng Hosiang pergi, Pek Hoa mendekati Han Le dengan lenggang dibuat-buat, amat menarik hati karena memang wanita ini memiliki bentuk tubuh yang indah menarik.
“Tai-hiap, seperti kukatakan tadi, sudah lama aku mendengar bahwa Pulau Pek-le-to tempat tinggalmu mengandung banyak rahasia, juga amat indah seperti sorga. Bolehkah aku mengunjungimu? Bawalah aku ke sana, Tai-hiap.”
Han Le mengerutkan keningnya.
“Pek Hoa Pouwsat, permainan apakah yang kau keluarkan ini? Kau adalah murid Thian-te Sam-kauwcu dan kau tahu bahwa aku dan suhengku, juga kawan-kawan lain telah…”
Pek Hoa mengangkat kedua lengannya, digoyang-goyang seperti orang mencegah. Dari dalam lengan bajunya keluar keharuman bunga cilan!
“Han-taihiap, harap kau jangan menyebut-nyebut lagi soal itu. Yang sudah lewat, sudahlah. Terhadap seorang gagah seperti Tai-hiap, bagaimana siauwmoi berani menaruh dendam hati? Yang ada di dalam hati siauwmoi bukanlah dendam dan marah, melainkan… kekaguman dan ingin sekali mempererat persahabatan…”
Suaranya terdengar demikian merdu dan penuh gaya sehingga wajah Han Le sebentar merah sebentar pucat.
“Jembel busuk, lekas pergi dari sini!”
Tiba-tiba Giam-ong-to Kam Kin yang semenjak tadi mendengarkan percakapan itu dan melihat sikap genit sucinya dengan hati sebal dan cemburu, lalu menggerakkan sepasang goloknya menyerang Han Le!
“Sute… jangan…!”
Pek Hoa membentak Kam King akan tetapi terlambat karena sepasang golok itu dengan ganasnya telah menyambar tubuh Han Le.
Bentakan ini sebetulnya bukan dikeluarkan karena Pek Hoa khawatir akan keselamatan Han Le, bahkan sebaliknya ia amat khawatir akan keselamatan sutenya. Ia maklum bahwa ilmu kepandaian Han Le jauh lebih tinggi daripada ilmu kepandaian Kam Kin.
Memang betul apa yang dikhawatirkan oleh Pek Hoa Pouwsat itu, karena tidak saja Han Le dapat menghindarkan diri dari serangan sepasang golok Kam Kin, bahkan secara cepat dan tak terduga, rantingnya telah menotok pundak lawannya tanpa dapat dielakkan oleh Kam Kin. Giam-ong-to Kam Kin menjerit dan roboh berkelojotan.
Pek Hoa menghampiri dan sekali menepuk punggung dan leher sutenya, Si Golok Maut itu terbebas dari rasa sakit yang luar biasa! Ia bangkit berdiri dan menyeringai, mukanya merah sekali. Tanpa mengeluarkan kata-kata lagi, ia mengambil sepasang golok yang tadi terlempar di atas tanah ketika ia roboh, memasukkan sepasang golok itu di dalam sarung golok, lalu ia melompat ke pinggir, ke dekat Im Giok yang memandang semua itu dengan kagum.
“Kam-susiok, mengapa baru sejurus kau mundur lagi?” tanya Im Giok kepada Giam-ong-to dengan nada suara mengejek.
Anak ini memang tidak suka kepda Kam Kin, maka kini ia mendapat kesempatan untuk mengejek. Kam Kin memandang kepada bocah itu dengan mata mendelik. Im Giok menahan geli hatinya lalu menengok dan menonton apa yang akan terjadi antara gurunya dan pengemis sakti itu.
“Han-taihiap, kau makin gagah saja, benar-benar siauwmoi kagum dan tunduk. Siauwmoi ulangi lagi keinginan hati siauwmoi untuk pergi berkunjung ke pulaumu, dimana kita dapat saling menukar ilmu dan bercakap-cakap gembira tanpa gangguan orang lain.”
“Pek Hoa Pouwsat, kau bicara apakah? Kau dan sutemu telah berlaku kejam, membunuh dua orang hwesio Siauw-lim-si dan menghina seorang tokoh Siauw-lim. Untuk perbuatan jahat ini mana bisa aku mendiamkannya saja?”
Sambil berkata demikian, Han Le sudah menggerakkan ranting di tangannya, mengirim serangan langsung ke arah leher Pek Hoa Pouwsat. Biarpun ia harus mengaku bahwa hatinya amat tertarik, kejantanannya bangkit oleh kecantikan dan kelembutan yang demikian memikat hati, namun kesadaran Han Le masih penuh sehingga ia mengeraskan hati dengan anggapan bahwa wanita cantik menarik yang dihadapinya adalah seorang jahat dan keji dan sebagai seorang pendekar ia harus membasminya.
Pek Hoa Pouwsat mencelat ke belakang, tersenyum manis dan berkata menyindir,
“Ayaa, Han-taihiap, galak sekali. Baiklah, mari kita main-main sebentar!”
Sambil berkata demikian, Pek Hoa Pouwsat cepat mencabut siang-kiamnya lalu menghadapi Han-Le dengan sikap gagah menarik.
“Awas serangan!”
Han Le memusatkan semangatnya dan mulai melakukan penyerangan sungguh-sungguh. Ia maklum bahwa lawannya bukan seorang lemah, karena dahulu ia pernah menghadapi Pek Hoa Pouwsat dan tahu akan kelihaiannya.
Akan tetapi, beberapa hari saja berkumpul dengan suhengnya Bu Pun Su, Han Le telah memperoleh kemajuan yang amat banyak. Sehari berkumpul dengan Bu Pun Su dan mendengar nasihat serta penjelasannya dalam hal ilmu silat, sama halnya dengan berlatih satu tahun di bawah pimpinan guru pandai. Oleh karena itu, pertemuan akhir-akhir ini dengah Bu Pun Su membuat Han Le memperoleh kemajuan banyak dalam ilmu silat, dan Bu Pun Su telah membuka matanya untuk melihat kelemahan-kelemahan dan kekeliruan-kekeliruan sendiri.
Oleh nasihat Bu Pun Su ia maklum bahwa orang seperti Pek Hoa Pouwsat mengandalkan kelihaiannya dengan kecepatan, kelincahan, dan siang-kiam-hoat yang tidak terduga gerakannya, mengandalkan gin-kang yang tinggi.
Untuk melawan orang seperti ini ia harus berlaku tenang, tidak boleh mencoba untuk mengimbangi kecepatan lawan, sebaliknya berlaku tenang dan mengandalkan lwee-kang membentuk pertahanan yang kuat dan melindungi tubuh dengan hawa pukulan dari rantingnya.
Maka ketika Han Le mendapat kesempatan bercakap-cakap dengan suhengnya, ia minta petunjuk untuk menyempurnakan ilmu pedangnya bagian gerakan Jit-in-to-goat (Tujuh Awan Membungkus Bulan), sebuah gerakan ilmu pedangnya yang merupakan benteng pertahanan kuat sekali.
Han Le melakukan gerakan ini dengan tenang dan nampaknya ia tidak banyak bergerak. Kedua kakinya hanya dipentang sedikit, hampir sama dengan kuda-kuda yang disebut Kung-si dengan tubuh agak dibungkukkan seperti dalam kuda-kuda Ci-kung-si.
Biarpun kedudukan tubuhnya sederhana saja, akan tetapi kedudukan ini memungkinkan dia untuk menggerakkan rantingnya ke mana.saja sepasang pedang Pek Hoa meluncur. Tanpa banyak mengeluarkan tenaga, Han Le dapat menangkis semua serangan Pek Hoa yang pedang itu susul-menyusul ramai seperti sepasang ular berlumba.
“Han-taihiap, kau benar-benar mengagumkan sekali. Sekarang lihatlah ilmu pedangku yang baru, kau lihat bagus atau tidak!”
Perubahan hebat terjadi pada gerakan pedang Pek Hoa Pouwsat. Biarpun sepasang pedang itu masih melakukan serangan-serangan berbahaya sesuai dengan ilmu silat tinggi, namun gerakan-gerakannya demikian indah dan menarik, tak ubahnya seperti sedang menari saja.
“Indah sekali…!” berkali-kali Im Giok mengeluarkan seruan memuji.
Gadis cilik ini tadinya bersikap dingin dan kaku karena Kam Kin berada di dekatnya, akan tetapi sekarang melihat ilmu pedang yang dimainkan oleh gurunya, ia lupa sama sekali akan adanya Kam Kin di situ. Sepasang matanya bercahaya, wajahnya berseri dan tanpa berkedip ia menonton ilmu pedang yang dimainkan oleh Pek Hoa Pouwsat. Im Giok memang mempunyai darah seni, suka sekali akan keindahan, maka tarian pedang itu benar-benar mempesonakannya.
“Aaiih, memalukan sekali…” kata Kam Kin dan cemburunya makin menghebat.
Biarpun ia tidak terkena pengaruh langsung dari ilmu pedang yang dimainkan oleh Pek Hoa Pouwsat, namun keindahan gerakan pedang, kelemasan gerakan tubuh Pek Hoa, tetap saja terasa olehnya sebagai gerakan-gerakan yang memikat hati, gerakan yang tidak sopan.
Pinggang Pek Hoa seakan-akan tidak bertulang, menggeliat-geliat seperti ular, menggerak-gerakkan tubuh bagian bawah, bibir tersenyum manis dan merah membasah, sepasang mata setengah redup dan berkaca-kaca, semua ini ditujukan kepada Han Le.
Pengemis sakti itu masih menggerakkan rantingnya melindungi tubuh dari serangan dua batang pedang yang lihai itu. Akan tetapi ketika Pek Hoa Pouwsat merubah ilmu pedangnya dan mulai dengan ilmu pedang yang seperti tarian indah itu, hati Han Le terguncang hebat.
Ia sama sekali tidak tahu bahwa lawannya sedang memainkan ilmu pedang Bi-jin-khai-i, ilmu silat yang sebenarnya merupakan setengah ilmu sihir karena di dalamnya mengandung pengaruh mujijat dari kecantikan wanita untuk merobohkan hati pria. Inilah ilmu silat aneh yang selama ini dilatih secara mendalam oleh Pek Hoa Pouwsat, disediakan untuk merobohkan musuh-musuh besarnya yang tangguh dan kini untuk pertama kalinya, ia pergunakan dalam menghadapi Han Le!
Ilmu silat Bi-jin-khai-i ini memang hebat. Andaikata dimainkan oleh seorang perempuan yang berwajah buruk dan bertubuh tak menarik sekalipun, tetap akan mengeluarkan pengaruh yang dapat merobohkan hati laki-laki. Apalagi sekarang dimainkan oleh Pek Hoa Pouwsat yang cantik jelita dan memiliki bentuk tubuh sepenuhnya wanita, tentu saja daya rangsangnya berlipat ganda.
Dalam belasan jurus saja, Han Le mulai terkena pengaruhnya. Dalam penglihatan Han Le, sepasang pedang itu tidak lagi mengancamnya, hanya merupakan tari pedang yang amat indah. Tubuh yang berlenggak-lenggok dan menggeliat-geliat itu seakan-akan melambai dan mengajaknya bergembira dan menari. Lebih hebat lagi, makin lama gerakan Pek Hoa dalam mata Han Le makin luar biasa sehingga nampak olehnya benar-benar seperti lawannya yang cantik itu sedang menanggalkan pakaian sedikit demi sedikit!
Walaupun tidak sehelai pun pakaian tanggal dari tubuhnya, namun gerakannya menanggalkan pakaian demikian sewajarnya sehingga sebentar saja Han Le jatuh dalam pengaruh Pek Hoa. Pendekar sakti yang selama hidupnya belum pernah berdekatan dengan wanita ini sekarang menjadi lemas seluruh tubuhnya, semangatnya seakan-akah terbang meninggalkan tubuhnya dan pertahanannya menjadi gempur karena caranya bersilat sudah kacau sekali! Demikianlah lihainya ilmu silat Bi-jin-khai-i yang dimainkan oleh Pek Hoa Pouwsat.
Kalau sekiranya Pek Hoa menghendaki, sekarang dengan lemahnya pertahanan Han Le, dengan mudah ia akan dapat merobohkan dan menewaskan pengemis sakti itu. Akan tetapi Pek Hoa berpikir lain! Wanita ini memang sudah mendengar tentang keadaan Han Le sebagai seorang laki-laki yang selamanya tidak pernah mau berdekatan dengan wanita, terkenal sebagai seorang laki-laki pembenci wanita, hidup seorang diri di Pulau Pek-le-tho dan menjadi sute dari Bu Pun Su.
Ini saja sudah menarik hatinya, apalagi ketika ia mendapat kenyataan bahwa Han Le pada dasarnya memiliki wajah yang tampan dan gagah. Maka timbullah hati suka dan ia ingin menjadikan pria pembenci wanita ini sebagai kekasihnya. Tidak saja demikian, juga ia mempunyai niat untuk mempelajari ilmu silat yang lihai dari Han Le. Disamping semua ini, ia pun ingin menarik Han Le di pihaknya untuk membantunya menghancurkan musuh-musuhnya, kemudian setelah usahanya berhasil dan ia sudah merasa bosan, mudah baginya untuk melenyapkan Han Le dari muka bumi ini.
Pek Hoa memperhebat gerakan-gerakannya yang penuh gairah dan pengaruh ajaib. Han Le makin mabuk sehingga akhirnya dengan napas memburu pengemis sakti ini mengeluh,
“Pek Hoa Pouwsat… hentikanlah… aku tidak kuat lagi…”
Pek Hoa tersenyum lebar, gembira dan puas bukan main. Kalau ia mau, dengan sekali tusuk saja akan tembus dada Han Le. Dengan ilmu silatnya yang baru ini, ia akan dapat menjagoi dunia kang-ouw! Tentu saja tidak begitu besar pengaruhnya terhadap lawan wanita namun untuk menghadapi lawan wanita, ia cukup memiliki ilmu silat tinggi. Biar Bu Pun Su sekalipun ia tidak takut menghadapinya!
“Han-taihiap, tidak indahkah tarianku ini…?” tanya Pek Hoa dengan suara berlagu.
“Indah, indah sekali, Pek Hoa Pouwsat. Bukan main indahnya,” jawab Han Le sambil berusaha menggerakkan ranting karena masih saja sepasang pedang itu menyambar dan mengancam, biarpun digerakkan dengan cara yang amat manis dan sedap dipandang.
Tidak ada komentar :
Posting Komentar