*

*

Ads

Jumat, 29 Maret 2019

Ang I Niocu Jilid 066

Im Giok terkejut. Ia kini dapat menduga kesemuanya. Tak salah lagi bahwa Suma-huciang tentu dibunuh oleh kaki tangan orang she Lie ini dan kini teringatlah ia akan tiga orang wanita yang telah bertempur dengannya tadi. Besar sekali kemungkinannya bahwa tiga orang wanita itulah yang membunuh Suma-huciang dan mereka itu tentu kaki tangan orang she Lie ini pula. Kemudian Lie Kian Tek sengaja menuduh Gan Tiauw Ki dan dia sehingga para perwira di Tiang-hai dapat ditipunya dan diajak menangkap Tiauw Ki.

Kemudian putera gubemur yang amat licin itu sengaja menyuruh Sin-touw-ong dan lain perwira dari Tiang-hai untuk kembali ke Tiang-hai dan memberi tahu bahwa dia hendak mengantar Tiauw Ki ke kota raja untuk diadili! Hemm, kalau dilihat begini, ternyata bukan Lie Kian Tek yang bodoh, melainkan Tiauw Ki dan dia yang mudah ditipu dan sebaliknya orang she Lie itu ternyata cerdik dan penuh siasat!

Im Giok mencabut pedangnya, akan tetapi segera belasan ujung tombak yang runcing telah menempel di tubuhnya dari kanan kiri dan depan belakang, demikian pula tubuh Tiauw Ki telah ditodong oleh belasan mata tombak!

Kembali terdengar Lie Kian Tek tertawa terbahak-bahak.
“Ha-ha-ha, Nona manis! Sebelum kau bergerak, kau dan sahabatmu ini akan menjadi mayat. Gan Tiauw Ki, lekas kau menjawab, pesanan apa yang kau dapat dari Suma-huciang untuk Kaisar!”

Sudah gatal-gatal mulut Tiauw Ki untuk mengumpat caci putera gurbernur itu. Ia tidak takut mati dalam menunaikan tugasnya. Akan tetapi pemuda ini menengok ke arah Im Giok dan gemetarlah seluruh tubuhnya.

“Lie Kian Tek, kau bebaskan dulu Nona itu. Biarkan dia pergi dari sini. Dia tidak ada sangkut-pautnya dengan urusan kita dan dia bersamaku hanya kebetulan saja. Bebaskan dia dan aku akan mengaku semuanya kepadamu.”

“Bebaskan dia? Ha-ha, kau kira aku begitu bodoh? Kalau dia dibebaskan tentu dia akan menimbulkan keributan lagi.”

“Tidak! Aku yang tanggung dia tidak akan menimbulkan keributan,” kata Tiauw Ki cepat-cepat dan pemuda ini menoleh kepada Im Giok sambil berkata, “Giok-moi, kuminta dengan sangat agar kau jangan mencampuri urusanku dan lebih baik kau segera pulang ke tempatmu sendiri.”

Im Giok menjadi pucat mukanya. Ia merasa menyesal dan kecewa sekali melihat betapa pemuda pujaan hatinya kini tiba-tiba menjadi begitu lemah, mudah saja hendak mengaku seakan-akan sudah takut akan kematian.

Pemuda macam ini tidak patut menjadi kekasihnya dan ia merasa kecewa bukan main. Dua titik air mata membasahi matanya dan sudah akan menetes turun kalau saja tidak lekas-lekas ia mengerahkan tenaga batinnya untuk menekan perasaan.

“Jadi kau hendak mengaku semuanya? Hemm, baiklah, antara kita sudah tidak ada apa-apa lagi…” katanya dengan suara sayu sambil memasukkan kembali pedangnya ke dalam sarung pedang.

Hatinya sakit bukan main. Ia bersiap-sedia mengorbankan nyawa untuk melindungi kekasihnya ini yang menunaikan tugas penting dan mulia. Tidak tahunya sekarang kekasihnya menggigil menghadapi ancaman tombak!

“Lie Kian Tek, bebaskan dia!” kata Tiauw Ki kepada putera gubemur itu tanpa mempedulikan sikap Im- Giok.

Lie Kian Tek ragu-ragu. Ia tergila-gila kepada Im Giok dan mengaku di dalam hatinya bahwa ia jatuh cinta kepada gadis baju merah itu yang memiliki kecantikan begitu luar biasa sehingga baginya baru pertama kali ini selama hidupnya ia bertemu dengan gadis sejelita ini. Akan tetapi, ia pun perlu sekali memancing keterangan dari mulut Tiauw Ki tentang pesanan Suma-huciang.

“Lie Kian Tek, kalau kau tidak mau membebaskannya, jangan harap kau dapat mendengar pengakuanku!” kata pula Gan Tiauw Ki kepada Lie Kian Tek.

Tiba-tiba Im Giok menjadi marah dan ia memandang kepada Tiauw Ki dengan mata berapi.

“Orang she Gan! Kau kira aku takut mati? Tidak perlu keselamatanku ditebus oleh pengakuanmu! Kalau aku mau pergi, siapa berani menghalangiku?”

Sambil berkata demikian, Im Giok menggerakkan kepala kudanya, menerjang para pengepungnya sehingga para anggauta pasukan itu cepat-cepat minggir. Mereka ini semua merasa lega bahwa Lie Kian Tek tidak memberi aba-aba sesuatu, karena semua pengepung, kecuali Cheng-jiu Tok-ong, merasa kagum dan sayang sekali kalau mereka harus turun tangan melukai gadis yang demikian cantik jelita.






Ketika tadi mereka diharuskan menodongkan mata tombak kepada gadis itu, mereka merasa seolah-olah bersiap untuk disuruh merusak setangkai bunga yang amat cantik dan indah dipandang, bunga yang harum menimbulkan kasih sayang.

Sebaliknya, Im Giok merasa makin mendongkol karena Lie Kian Tek ternyata diam saja. Ia sengaja berlaku begini untuk memancing supaya Lie Kian Tek mengeluarkan aba-aba menangkapnya dan ia akan mengamuk mati-matian.

Memang Im Giok maklum bahwa seorang diri saja tidak mungkin ia dapat menang menghadapi Cheng-jiu Tok-ong yang dibantu oleh lima puluh orang perajuritnya. Akan tetapi untuk melindungi dan membela Tiauw Ki, ia siap mengorbankan nyawanya. Kemendongkolannya terutama sekali dikarenakan sikap Tiauw Ki yang seakan-akan hendak menolongnya dengan jalan menjadi pengkhianat!

Memang sikap ini dapat dilakukan oleh seorang pemuda yang amat mencintanya, akan tetapi oleh Im Giok dianggap bukan perbuatan seorang gagah. Membela kekasih boleh dengan taruhan nyawa, akan tetapi sama sekali tidak boleh mempertaruhkan kesetian terhadap negara dan mempertaruhkan nama kehormatan!

Kalau Tiauw Ki hendak menolongnya dengan jalan berkhianat, itu baginya bukan pertolongan, melainkan penghinaan besar! Sebagai seorang kepercayaan Kaisar, seorang pemuda yang berjiwa patriot, seharusnya Tiauw Ki mengerti baik akan hal ini. Maka dengan hati marah dan mendongkol Im Giok lalu membalapkan kuda meninggalkan tempat itu!

Untuk sejenak Tiauw Ki memandang ke arah bayangan merah di atas kuda itu dengan muka pucat dan wajah muram. Akan tetapi setelah Im Giok tidak kelihatan lagi bayangannya, wajahnya menjadi tenang dan pemuda ini kelihatannya lega dan puas. Tadinya ia memang merasa sakit hati sekali melihat betapa Im Giok marah kepadanya, akan tetapi setelah gadis itu pergi hatinya terhibur.

Biarlah, pikirnya, apapun juga yang menimpaku, asal dia itu selamat. Ia lalu memandang kepada Lie Kian Tek dengan mata bersinar dan mulut tersenyum mengejek.

“Gan Tiauw Ki, dia telah kami bebaskan. Hayo kau lekas membuat pengakuanmu!” kata putera gubemur itu. Ia ingin Tiauw Ki menjawab cepat-cepat karena masih ada harapan di dalam hatinya untuk nanti mengejar dan menawan bunga cantik itu!

Sebaliknya dari menjawab cepat-cepat, Tiauw Ki tertawa bergelak.
“Lie Kian Tek, kau telah menyuruh orang membunuh Suma-huciang, kemudian kau menangkap aku dan memaksa aku mengaku tentang pesanan Suma-huciang. Benar-benar perbuatanmu ini sudah melewati batas. Apakah kau tidak tahu apakah hukuman seorang pemberontak?”

“Bangsat besar!” Lie Kian Tek memaki dan tangannya menampar sehingga Tiauw Ki yang kena ditampar pipinya hampir saja terguling dari kudanya. “Jangan banyak cakap, kau ingin hidup atau mampus? Kalau ingin hidup, lekas kau mengaku!”

Kembali Tiauw Ki tertawa dan bekas tamparan yang membuat pipinya menjadi matang biru itu tidak dirasakannya.

”Pemberontak she Lie, kau kira aku tidak mengetahui akal bulusmu? Biarpun aku mengaku, kau tetap akan membunuhku juga.”

“Jahanam, apakah benar-benar kau tidak mau mengaku? Tadi kau sudah berjanji hendak mengaku kalau aku membebaskan perempuan itu. Aku sudah membebaskannya, kau tidak bisa melanggar janji.”

“Siapa yang melanggar janji? Lie-siauwjin (manusia rendah she Lie), aku seorang laki-laki sejati, tidak biasa melanggar janji. Dengarlah, Suma-huciang berpesan kepadaku agar supaya terhadap manusia macam engkau aku menutup mulut dan jangan mengatakan apa-apa. Nah, begitulah pesannya kepadaku!”

“Keparat, kau menipuku!”

“Kau berani bicara tentang menipu? Kiranya aku hanya mencontoh perbuatanmu, orang she Lie. Kau membunuh Suma-huciang lalu menghasut para perwira Tiang-hai dan menuduhku, kemudian kau menyuruh mereka kembali ke Tiang-hai dan pura-pura hendak membawaku ke kota raja, semua itu bukankah akal busuk dan tipuan jahat? Aku hanya minta kau membebaskan Kiang-siocia agar supaya ia selamat dari tanganmu yang kotor dan jahat! Kau mau apa? Mau membunuhku? Bunuhlah, memangnya aku takut mampus? Mau siksa? Hayo, kau boteh lakukan apa saja. Pendeknya yang nyata, Kiang-siocia selamat dan rahasia Suma-huciang dengan Kaisar juga selamat!”

Bukan main marahnya Lie Kian Tek. Tangannya yang memegang cambuk kuda diayun. Terdengar ledakan keras dan Tiauw Ki terguling dari kudanya. Ketika ia merayap bangun, jidat dan lehernya terdapat bekas cambukan, merah biru dan mengalirkan darah.

Akan tetapi pemuda ini masih tetap tersenyum, matanya bersinar–sinar dan ia berdiri tegak menanti datangnya siksaan selanjutnya yang akan mengantar nyawanya ke tempat asal. Sedikit pun ia tidak mengeluh dan sedikit pun tidak takut.

“Jahanam she Gan, kau masih tidak mau mengaku!”

Lie Kian Tek melompat turun dari kuda, diikuti oleh para pembantunya. Kini pasukan itu mengundurkan kuda-kuda yang berada di situ dan duduk menonton mengelilingi Tiauw Ki merupakan lingkaran yang lebar.

Tiauw Ki hanya tersenyum dan menggelengkan kepala. Lie Kian Tek menggulung lengan baju sebelah kanan dan menggenggam erat-erat gagang cambuknya.

“Kau mau mengaku atau tidak?” sekali lagi putera gubemur ini membentak

Tiauw Ki yang berdiri di depannya hanya menggeleng kepala sambil tersenyum tabah. Lie Kian Tek mengangkat dan mengayun cambuknya.

“Tar! Tar! Tar!”

Tiga kali bertubi-tubi cambuk itu mengenai muka Tiauw Ki dan darah muncrat dari bibir dan hidung pemuda she Gan itu, namun ia masih berdiri tegak dan sedikit pun tidak mengeluh.

“Jahanam, kau masih keras kepala?”

Sekali lagi Kie Kian Tek mengayun cambuknya, kini ke arah mata Tiauw Ki. Tiauw Ki terhuyung dan sepasang matanya tak dapat dibuka lagi, pelupuk matanya menjadi bengkak!

Lie Kian Tek terus memukul, bahkan kini tangan kirinya ikut meninju, maka robohlah Tiauw Ki. Biarpun menggeliat-geliat saking sakitnya, tidak sedikit pun pemuda ini mengeluh dan masih mencoba untuk berdiri.

Akan tetapi ia jatuh lagi dan menunjang tubuh dengan kedua lengannya yang ditahan pada tanah. Pukulan cambuk masih menghujani tubuhnya dan pakaiannya bagian atas sudah robek dan hancur. Nampak kulit punggung dan dadanya yang putih dan kini darah memenuhi kulit itu, membasahi pakaiannya yang compang-camping.

Akhirnya Lie Kian Tek menghentikan siksaannya. Diam-diam ia merasa ngeri juga melihat kekerasan hati Gan Tiauw Ki. Ia merasa lelah dan melempar cambuknya.

“Bedebah, benar-benar menggemaskan!” gerutunya. “Cheng-jiu Tok-ong Locianpwe, harap kau gantikan aku memaksa jahanam ini mengaku. Periksa dulu semua isi sakunya!”

Cheng-jiu Tok-ong melangkah maju dan cepat mengeluarkan semua isi saku pakaian Tiauw Ki. Akan tetapi ia tidak mendapatkan sesuatu yang penting. Isi saku pemuda lni hanya dua buah kitab sajak beberapa helai kertas dan alat tulis dan akhirnya dari saku baju bagian dalam dikeluarkannya sebuah tusuk konde perak.

“Kembalikan itu kepadaku!”

Tiauw Ki berseru marah sambil mengulur tangan hendak merampas tusuk konde itu, benda keramat pemberian Im Giok. Akan tetapi mana dapat ia merampas benda yang berada di tangan Cheng-jiu Tok-ong? Sekali saja kakek itu menggerakkan tangan, Tiauw Ki telah didorong roboh dan benda ltu diberikan kepada Lie Kian Tek yang menerimanya sambil tersenyum mengejek,

“Hemm, agaknya kau punya kekasih, ya? Bagus, apakah kau tidak ingin hidup untuk dapat bertemu dengan kekasihmu itu?”

Sambil berkata demikian, Kian Tek menekuk-nekuk tusuk konde dan agaknya hendak ia patahkan.

Terdengar gerengan marah dan tahu-tahu Tiauw Ki sudah menubruknya dan dengan nekad merampas kembali tusuk konde itu! Saking nekadnya, ia lupa akan segala dan kekuatannya bertambah. Hal ini tidak disangka oleh Lie Klan Tek dan kawan-kawannya sehingga Tiauw Ki yang lemah itu berhasil merampas kembali tusuk konde pemberian Im Giok.






Tidak ada komentar :