*

*

Ads

Rabu, 27 Maret 2019

Ang I Niocu Jilid 065

“Pergilah!” terdengar seruan Im Giok.

Tangan kirinya dengan gerakan cepat telah berhasil mencengkeram tongkat lawannya dan kalau ia mau, pedangnya dapat ditusukkan. Akan tetapi Im Giok tidak bermaksud membunuh lawannya, maka sebagai gantinya pedang, ia hanya menendang.

Tubuh Koai-tung Toanio terlempar dan tongkatnya terampas. Namun nenek ini memang tinggi kepandaiannya. Biarpun ia sudah terluka oleh tendangan itu dan tubuhnya terlempar, ia masih dapat menjaga diri sehingga jatuhnya berdiri! Ia memandang kepada Im Giok dengan mata melotot marah. Kemudian ia melompat ke atas kudanya, diikuti oleh dua orang puterinya.

“Toanio, ini tongkatmu ketinggalan!”

Im Giok tertawa sambil melontarkan tongkat itu ke arah Koai-tung Toanio. Tanpa menoleh, nenek itu menghantam tongkatnya sendiri dengan tangan kanan. Terdengar bunyi keras dan tongkat itu patah menjadi dua, meluncur ke bawah dan menancap di atas tanah! Im Giok menarik napas panjang.

“Kepandaiannya tinggi dan mengagumkan, sayang wataknya tidak patut sekali.” Tiauw Ki menghampiri Im Giok dan memegang lengannya.

“Moi-moi, bukan main hebatnya engkau ini. Benar-benar aku kagum sekali melihatmu dan makin terasalah olehku betapa tiada gunanya aku ini. Aku seorang laki-laki yang lemah, sedangkan kau… ah, kau benar-benar seorang bidadari yang sakti…”

“Husshhh, Twako. Ada pasukan berkuda datang!”

Suara Im Giok terdengar agak khawatir ketika mengucapkan kata-kata ini dan merenggut lengannya terlepas dari pegangan Tiauw Ki.

Pemuda itu menoleh dan benar saja, debu mengepul tinggi mengiringkan pasukan berkuda yang datang dengan cepat. Setelah dekat, Im Giok dan Tiauw Ki saling pandang dengan muka berubah melihat bahwa pasukan berkuda terdiri dari empat puluh orang lebih itu dipimpin oleh Lie Kian Tek, Cheng-jiu Tok-ong, juga banyak terdapat perwira-perwira pembantu Suma-huciang, di antaranya terlihat juga Sin-touw-ong Si Raja Copet. Mereka semua kelihatan marah dan kini mereka telah berhadapan dengan Im Giok dan Tiauw Ki.

“Pembunuh keji, menyerahlah agar kami tak usah menggunakan kekerasan!” kata Lie Kian Tek sambil mencabut pedangnya.

“Eh, tikus, kau memaki siapakah?”

Im Giok membentak dengan marah. Ia masih merasa benci kepada kongcu yang ceriwis ini.

Lie Kian Tek tertawa bergelak dan menengok kepada kawan-kawannya.
“Lihat, pandai benar perempuan ini bermain sandiwara, seakan-akan ia suci bersih dan tidak tahu apa-apa. Ha, ha, ha!” kemudian ia memandang kepada Tiauw Ki dan berkata, “Pengkhianat pengecut! Kau mengaku sebagai keponakan Suma-huciang, tidak tahunya kau adalah penjahat besar yang datang dengan niat buruk. Kau tidak lekas menyerah dan mengakui dosamu?”

Tiauw Ki mengerutkan kening dan bertanya,
“Kedosaan apakah yang telah kuperbuat?” dan terhadap Sin-touw-ong Siauw Hap, Raja Copet yang kate itu ia bertanya, “Siauw-sicu, sebetulnya ada apakah maka kau juga datang menyusulku? Apakah ada pesanan sesuatu dari Suma taijin?”

Si Kate yang sudah dikenal sebagai pembantu setia dari Suma-huciang itu, nampak bingung menghadapi Tiauw Ki dan Im Giok. Kemudian ia berkata dengan suara duka,

“Suma-taijin telah meninggal dunia, kami telah mendapatkan beliau rebah di lantai kamarnya dengan leher putus!”

“Apa katamu…??” Tiauw Ki meniadi pucat mukanya dan juga Im Giok terkejut bukan main.

Terdengar suara ketawa dingin dari Lie Kian Tek.
“Gan Tiauw Ki penjahat besar, jangan kau berpura-pura kaget. Kami bukan anak-anak kecil dan kami sudah tahu bahwa pembunuhan atas diri Suma-taijin adalah perbuatanmu dengan pengawalmu yang cantik. Semua tamu malam tadi pulang atau kembali ke rumah penginapan, hanya kau dan pengawalmu saja yang bermalam di rumah Suma-taijin. Ada pula yang bermalam akan tetapi di bagian lain, tidak seperti kalian yang bermalam di dekat kamar Suma-taijin di bawah satu wuwungan! Dan pula, kalau tamu lain masih ada pagi hari ini, kau dan pengawalmu tanpa pamit telah minggat pergi. Bukti-bukti sudah jelas apakah kau masih hendak menyangkal?”






“Bohong! Fitnah belaka!” Tiauw Ki memaki marah. “Siapa percaya akan tuduhan dusta ini? Aku dan nona ini sama sekali tidak tahu-menahu tentang pembunuhan itu dan kami malam tadi pun sudah berpamit kepada Suma-taijin!”

Lie Kian Tek tertawa bergelak.
“Tidak ada pembunuh mengaku telah membunuh orang seperti juga tidak ada maling mengaku telah mencuri barang. Hayo tangkap orang ini, kita harus menyeretnya ke pengadilan!”

Pasukan itu, didahului oleh Cheng-jiu Tok-ong, bergerak menyerang. Gerakan Cheng-jiu Tok-ong cepat sekali dan sekali kakek ini melompat turun dari kudanya menubruk, di lain saat Tiauw Ki sudah diringkusnya dan sebuah totokan membuat pemuda itu lemas tidak berdaya lagi.

“Lepaskan dia!”

Im Giok berseru marah sekali melihat perlakuan orang terhadap kekasihnya. Ia menerjang dan menyerang Cheng-jiu Tok-ong.

Kakek ini cepat menggerakkan tangan menangkis sambil mencabut goloknya yang bersinar hijau. Juga orang-orang lain telah mencabut senjata, sedangkan Lie Kian Tek berteriak,

“Perempuan pemberontak, kaulah yang membunuh Suma-taijin!”

Kata-kata ini membuat Im Giok marah sekali dan dilain saat ia telah dikurung oleh banyak orang.

“Nona, lebih baik kau menyerah!” kata Sin-touw-ong Siauw Hap yang merasa sayang sekali kalau sampai gadis ini terluka.

Sebetulnya Raja Copet ini pun meragukan bahwa Im Giok telah membunuh Suma-huciang, akan tetapi bukti-buktinya memang memberatkan Tiauw Ki dan Im Giok sehingga sebagai alat negara ia pun harus ikut membantu menangkap pembunuh Suma-huciang.

Im Giok mengamuk. Gadis ini maklum bahwa setelah terjatuh ke dalam tangan orang seperti Lie Kian Tek, keselamatan Tiauw Ki terancam bahaya besar maka ia hendak menolong pemuda kekasihnya itu dengan kekerasan.

Sebentar saja ia dikurung hebat sekali oleh Cheng-jiu Tok-ong, Sin-touw-ong dan perwira-perwira lain yang cukup tinggi kepandaiannya. Namun Im Giok tidak gentar. Untuk menolong Tiauw Ki, ia rela mengorbankan nyawa. Lebih baik mati bersama daripada membiarkan kekasihnya dibikin celaka orang.

Akan tetapi keadaan lawan terlampau berat. Menghadapi seorang Cheng-jiu Tok-ong saja masih sukar ia mengalahkan, apalagi dikeroyok oleh belasan orang. Memang, selain Cheng-jiu Tok-ong dan Sin-touw-ong, yang lain-lain hanya menyerang dari jarak jauh dan tidak berani terlalu mendekat, akan tetapi cara ini bahkan melelahkan Im Giok.

Gadis ini tidak dapat merobohkan mereka yang mengeroyoknya dari jarak jauh, sedangkan untuk mengerahkan kepandaian melayani Cheng-jiu Tok-ong dan Sin-touw-ong, ia selalu diganggu oleh para pengeroyok yang menyerangnya dari jauh dari kanan kiri dan belakang.

“Giok-moi, menyerah saja, Giok-moi. Kita tidak berdosa, biar mereka membawa kita ke pengadilan!”

Tiauw Ki berseru kepada Im Giok karena pemuda ini merasa gelisah sekali melihat kekasihnya dikeroyok oleh banyak orang dan terdesak hebat.

Mendengar ini, Im Giok pikir betul juga. Belum tiba saatnya melakukan pertempuran mati-matian. Mereka hanya disangka menjadi pembunuh dan di depan pengadilan mereka dapat menyangkal. Kalau nanti mereka tetap saja difitnah dan tidak ada jalan keluar lagi, barulah ia akan mempergunakan pedangnya. Maka cepat ia melompat keluar kalangan pertempuran dan membentak,

“Aku akan menyerah dengan syarat bahwa Gan-twako dan aku diberi kebebasan ikut ke tempat pengadilan. Aku tidak sudi dijadikan tawanan dan diikat!”

“Enak saja kau bicara!”

Cheng-jiu Tok-ong membentak dan hendak menyerang lagi, akan tetapi Lie Kian Tek berkata,

“Locianpwe, biar kita menerima syaratnya!”

Mendengar ini, Cheng-jiu Tok-ong membatalkan niatnya dan memandang dengan muka merah. Lie Kian Tek lalu menghadapi Im Giok dan berkata,

“Kami menerima syaratmu. Mari kau ikut dengan kami. Aku berjanji bahwa kalian berdua akan diperiksa dengan adil.”

Sambil berkata demikian, Lie Kian Tek tersenyum ramah kepada Im Giok, berusaha mengambil hati gadis ini dengan wajahnya yang tampan dan sikapnya yang manis. Akan tetapi Im Giok sama sekali tidak tertarik.

“Lebih dulu bebaskan Gan-twako!” katanya sambil menunjuk ke arah Tiauw Ki yang lemas terduduk di atas tanah.

Pemuda ini sudah tertotok dan biarpun dapat bicara, namun tak mampu menggerakkan kaki tangannya!

“Locianpwe, harap bebaskan dia!” kata Lie Kian Tek kepada Cheng-jiu Tok-ong.

Kakek ini nampak ragu-ragu, maka Im Giok lalu melompat maju menghampiri Tiauw Ki dan sekali menepuk punggung pemuda itu, Tiauw Ki terbebas dari pengaruh totokan dan dengan bantuan Im Giok dapat berdiri lagi.

Wajahnya merah sekali karena diam-diam pemuda ini menyesal mengapa ia begitu lemah. Ia memandang kepada Im Giok dan biarpun mulutnya tidak berkata sesuatu, sinar matanya menyatakan bahwa ia akan menyelamatkan mereka berdua apabila mereka dihadapkan ke depan pengadilan.

Hal ini Im Giok maklum pula karena ia pun tahu bahwa pemuda ini adalah kepercayaan Kaisar dan tentu saja mempunyai pengaruh terhadap para hakim.

Lie Kian Tek berkata kepada Sin-touw-ong dan beberapa orang perwira yang datang dari Tiang-hai untuk pulang saja dan memberi laporan kepada para pembesar di Tiang-hai bahwa dua orang pembunuh sudah menyerah.

“Aku hendak membawa mereka ke kota raja,” kata Lie Kian Tek. “Urusan membunuh Suma-huciang adalah urusan besar dan karenanya mereka harus diadili di kota raja!”

Karena kalah pengaruh dan kalah kedudukan, Sin-touw-ong dan para perwira menurut saja. Mereka lalu kembali ke Tiang-hai seperti yang diperintahkan oleh Lie Kian Tek bersama Cheng-jiu Tok-ong dan anak buahnya lalu membawa Im Giok dan Tiauw Ki melanjutkan perjalanan.

Tiauw Ki dan Im Giok menunggang kuda di tengah-tengah rombongan sehingga mereka seakan-akan dikurung terus.

Wajah Tiauw Ki nampak berseri dan beberapa kali ia memandang kepada Im Giok sambil tersenyum geli. Im Giok membalas senyumnya. Gadis ini juga merasa geli akan ketololan Lie Kian Tek.

Tiauw Ki datang dari kota raja dan menjadi kepercayaan Kaisar. Sekarang pemuda ini ditangkap dan hendak dihadapkan di depan pengadilan di kota raja! Ini sama halnya dengan menangkap seekor ikan dari kolam untuk dilepaskan di sungai besar!

Oleh karena inilah maka Im Giok juga tidak peduli ketika ia dikurung rapat-rapat dan memang sukar kalau sekaligus para pengurung itu menyerangnya. Juga ia tidak peduli ketika kurang lebih lima li kemudian, di persimpangan jalan muncul serombongan pasukan terdiri darl lima puluh orang lebih yang temyata adalah anak buah dari Lie Kian Tek pula dan yang kini menggabungkan diri menjadi barisan besar.

Akan tetapi, ketika mereka tiba di persimpangan jalan lagi dan Lie Kian Tek memimpin pasukannya membelok ke kiri, Tiauw Ki berseru keras,

“Hee! Mengapa ke kiri? Jalan ke kota raja adalah terus ke utara!”

Tiba-tiba pasukan itu bergerak dan lebih dari lima puluh batang tombak panjang ditodongkan ke arah Im Giok!

Terdengar Lie Kian Tek tertawa bergelak.
“Gan Tiauw Ki, kalau kau ingin selamat, keluarkan surat dari Suma-huciang untuk Kaisar dan berikan kepadaku!” kata putera gubemur itu.






Tidak ada komentar :