*

*

Ads

Rabu, 27 Maret 2019

Ang I Niocu Jilid 064

Dalam keadaan bagaikan setengah pulas itu, ternyata kelihaian Im Giok tidak berkurang. Pendengarannya memang amat tajam sehingga Tiauw Ki menjadi terheran ketika tiba-tiba Im Giok renggutkan kepalanya yang tadinya bersandar pada dadanya sambil berkata,

“Koko, ada penunggang kuda datang…”

Tiauw Ki memperhatikan dan sampai lama setelah suara itu makin mendekat baru ia mendengar derap kaki kuda.

“Ada tiga orang penunggang kuda,” kata pula Im Giok yang sudah dapat membedakan suara itu sebelum orang-orangnya kelihatan, siap karena mengira bahwa yang datang ini tentulah pihak musuh yang selalu mengancam keselamatan Tiauw Ki.

Akan tetapi setelah tiga orang penunggang kuda itu muncul, ia bernapas lega. Mereka itu ternyata adalah tiga orang wanita yang membalapkan kuda dan membuktikan bahwa ketiganya adalah ahli-ahli penunggang kuda yang mahir. Apalagi ketika tiba di dekat Tiauw Ki dan Im Giok, ketiga orang penunggang kuda itu dapat menghentikan kuda mereka dengan serentak, hal ini lebih-lebih membuktikan bahwa mereka bertiga memiliki lwee-kang yang cukup kuat.

Setelah mereka dekat, barulah Im Giok dan Tiauw Ki melihat dan mengenal mereka sebagai tiga orang wanita yang malam tadi ikut hadir dalam pesta di rumah Suma-huciang, yakni wanita nenek yang kepalanya diikat kain putih dan memegang tongkat bersama dua orang gadis manis yang sikapnya galak.

Kini dua orang gadis itu memandang kepada Tiauw Ki kemudian kepada Im Giok dengan pandang mata terbelalak membenci.

Pada saat itu, Im Giok sedang berada dalam keadaan gembira dan bahagia, maka tentu saja muka cemberut dari dua orang gadis itu tidak terlihat olehnya. Sebaliknya, dengan senyum manis ia lalu menjura kepada mereka sambil berkata,

“Selamat bertemu di tempat ini! Apakah Sam-wi baru pulang dari rumah Suma-taijin?”

Nenek itu menjawab cepat-cepat,
“Kau bermalam di rumah Suma-taijin. Kami bermalam di rumah penginapan.”

Im Giok menggerakkan alis agak heran melihat sikap ini, akan tetapi tetap tersenyum dan melanjutkan katanya dengan ramah,

“Ah, maaf. Maksudku, tentu Sam-wi baru meninggalkan Tiang-hai dan hendak ke manakah?”

Tiba-tiba seorang di antara dua gadis itu, yang ada tahi lalatnya di dagu, membentak,
“Siapa sudi bicara dengan segala perempuan gila lelaki!”

Tiauw Ki menjadi pucat saking marahnya, dan Im Giok menjadi merah mukanya. Sepasang matanya yang indah itu kini menyambar bagaikan cahaya kilat ke arah gadis itu, dan suaranya tetap halus dan ramah, akan tetapi di dalam suara ini terkandung sesuatu yang dingin dan tajam menembus jantung.

“Cici yang baik, kau bilang apa?”

“Aku bilang kau perempuan cabul, gila lelaki!”

Gadis bertahi lalat dagunya itu membentak lagi sambil mengangkat hidungnya, mengejek.

Im Giok masih tersenyum lebar.
“Alasannya?”

“Dari semula kau datang, kau sudah berdua dengan pemuda ini, sungguh memalukan. Kemudian kau bermanis-manis dengan Suma-huciang dan kau mencoba pula untuk memikat hati Lie-kongcu. Menyebalkan sekali!”

Im Giok memang cerdik luar biasa. Dari ucapan ini saja ia sudah dapat menerka apa yang menyebabkan gadis ini marah-marah seperti kemasukan setan. Senyumnya makin lebar dan sinar matanya berseri.

“Ah, Cici yang baik, kau memutar-balikkan kenyataan. Jelas sekali kulihat bahwa kaulah yang tergila-gila kepada Lie-kongcu yang tidak memperhatikan tahi lalatmu yang menjijikkan itu, kau jadi marah-marah kepadaku!”






Mendengar ini, wajah gadis itu menjadi pucat dan sebentar berubah merah. Mulutnya terbuka, matanya terbelalak saking marahnya ia sampai tidak kuasa mengeluarkan kata-kata. Akhirnya dapat juga ia mengeluarkan suara. Diangkatnya cambuknya ke atas, dipukulkan kepala Im Giok didahului makiannya,

“Perempuan rendah, kau berani sekali memaki aku? Tidak tahu dengan siapa kau berhadapan?”

“Hei, jangan pukul dulu!” Im Giok membentak, suaranya demikian berpengaruh sehingga wanita bertahi lalat itu kaget dan otomatis cambuk yang sudah diangkat itu tidak dipukulkan! “Teruskan dulu keteranganmu, sebenarnya siapakah kalian ini yang bersikap tengik?”

Wanita itu menahan marahnya dan sengaja memperkenalkan nama dengan maksud agar Im Giok menjadi ketakutan.

“Buka telingamu lebar-lebar, kami berdua adalah Kim-jiauw-siang-eng Kwan Ci-moi (Kakak Beradik Kwan yang Berjuluk Sepasang Garuda Berkuku Emas)! Dan dia itu adalah ibu kami Koai-tung Toanio. Siapa tidak mengenal kami dari Kong-thong-pai?”

Im Giok merasa geli sekali melihat gadis yang dogol dan otak-otakan ini, akan tetapi ia mengangkat kedua mata seakan-akan orang terkejut dan ketakutan.

“Aduh… tak tahunya aku berhadapan dengan tiga orang sakti dari Kong-thong-pai…” kata Im Giok.

“Ji Kim, jangan menyombong!” tegur nenek yang mengerti bahwa Im Giok hanya pura-pura saja ketakutan, sebetulnya sikap gadis baju merah itu adalah ejekan belaka.

“Hayo lekas berlutut dan minta ampun kepadaku!” gadis bertahi lalat yang bernama Kwan Ji Kim itu membentak, masih belum mengerti bahwa Im Giok hanya pura-pura takut saja.

“Kau datang-datang memaki orang dan bersikap sombong, bagaimana aku harus berlutut? Jangankan kau baru Garuda berkuku emas, biarpun tahi lalatmu berubah emas aku tetap tak sudi berlutut!” jawab Im Giok, kini tidak berpurap-pura lagi.

Ji Kim marah sekali dan kini cambuk kudanya diayun cepat menghantam kepala Im Giok. Akan tetapi, Ang I Niocu Kiang Im Giok hanya miringkan tubuh dan secepat kilat tangan kirinya menyambar, dan di lain saat cambuk itu telah berpindah ke tangannya.

Sambil tersenyum Im Giok mempergunakan cambuk itu menghajar kedua kaki depan kuda yang ditunggangi oleh Kwan Ji Kim sehingga kuda itu roboh bertekuk lutut dan Kwan Ji Kim terpaksa melompat untuk menjaga diri jatuh terjungkal!

“Kudamu lebih tahu adat!” Im Giok mengejek. “Tahu akan kesalahan nonanya sehingga mintakan maaf kepadaku.”

Kwan Ji Kim marah bukan main. Dicabutnya pedang yang tergantung di pinggangnya, lalu diserangnya Im Giok dengan sengit. Namun, melihat gerakan nona ini, Im Giok hanya tersenyum dingin. Dengan gerakan indah sekali, tubuhnya melenggok ke kiri dan tangannya menyambar ke arah pipi lawan.

“Plakk…!”

Pipi gadis bertahi lalat itu kena ditampar sehingga ia terhuyung-huyung ke belakang setelah mengeluarkan jerit kesakitan. Setelah dapat menguasai keseimbangan badan dan berdiri tegak lagi, ternyata pipi kanan Kwan Ji Kim telah bengkak menggembung sehingga muka yang manis itu kini menjadi lucu dan jelek!

“Setan betina, kau berani menyakiti adikku!”

Gadis ke dua melompat turun dari kuda dengan pedang terhunus pula. Gerakan pedang ini jauh lebih cepat daripada Kwan Ji Kim dan tusukan pedangnya lebih kuat lagi.

Namun ia bukan lawan Im Giok, karena dengan amat mudahnya Im Giok dapat menghindarkan diri dari tusukan pedang itu. Tiba-tiba Im Giok merasa ada sambaran angin dingin dari kanan. Cepat ia melompat ke belakang dan sebatang tongkat menyambar dengan dahsyatnya.

Im Giok maklum bahwa nenek yang memegang tongkat itu berkepandaian tinggi dan merupakan lawan berat, maka cepat ia pun mencabut pedangnya sambil berkata,

“Koai-tung Toanio! Kalau kau betul-betul seorang tokoh kang-ouw yang mengerti aturan dan seorang ibu yang baik, mengapa kau tidak menegur anak-anakmu yang kurang ajar sebaliknya bahkan ikut-ikut menyerangku? Ada permusuhan apakah di antara kita maka kalian begini mendesak padaku?”

Nenek itu menyeringai, kemudian berkata, suaranya tinggi serak,
“Kemarin kau begitu sombong memamerkan kepandaian dan aku tidak sempat membuktikan. Sekarang ingin aku melihat sampai dimana kelihaianmu, jangan kau hanya berani menghina anakku yang bodoh. Majulah!”

Im Giok mengerti bahwa nenek ini bukan hanya ingin menjajal kepandaiannya, akan tetapi kalau tidak membela anaknya yang sudah ia tampar tadi, tentu tersembunyi maksud lain. Ia pun tidak sudi memperlihatkan kelemahannya. Setelah orang menantangnya, ia harus melayani dan memperlihatkan kepandaiannya. Apalagi disitu ada Tiauw Ki yang menyaksikan. Dicabutnya pedangnya dan dengan tenang ia berdiri memandang kepada tiga orang lawannya.

“Kalian hendak mencari perkara? Boleh, Ang I Niocu Kiang Im Giok bukan seorang pengecut dan tak pernah menolak tantangan.”

Im Giok menanti serangan, tidak mau ia mendahului bergerak karena memang ia tidak mempunyai permusuhan dengan tiga orang ini.

Koai-tung Toanio mengeluarkan seruan keras dan tongkatnya diputar bagaikan kitiran cepatnya, lalu diterjangnya gadis baju merah yang berdiri tenang di hadapannya. Anaknya yang sulung, Kwan Twa Kim, juga maju menyerang dengan pedangnya.

Sekilas pandang saja tahulah Im Giok bahwa kepandaian nenek itu memang lihai, jauh lebih lihai daripada puterinya, maka menghadapi pengeroyokan dua orang ini, ia harus lebih dulu mengalahkan yang lemah agar seluruh perhatiannya dapat dicurahkan kemudian kepada yang kuat.

Maka pedangnya segera bergerak, merupakan tarian indah dan dengan halus gerakannya itu terbagi dua, yakni bersifat lembek apabila menghadapi serangan tongkat Koai-tung Toanio, akan tetapi keras dan kuat menghadapi Kwan Twa Kim.

Siasatnya ini berhasil baik sekali karena Kwan Twa Kim sebentar saja terdesak hebat, sedangkan tongkat Koai-tung Toanio belum juga dapat mendesaknya, bahkan beberapa kali tongkat di tangan nenek itu apabila bertemu dengan pedang Im Giok, terbetot dan “diselewengkan” sehingga membentur pedang anaknya sendiri!

Beberapa jurus kemudian, terdengar suara keras dan pedang di tangan Kwan Twa Kim terlempar, disusul pekik kesakitan dari gadis ini. Ternyata bahwa lengan kanannya keserempet pedang dan mengeluarkan darah.

“Twa Kim, mundur kau…!” ibunya berkata marah dan memperhebat gerakan tongkatnya, menyerang Im Giok dengan mati-matian.

“Toanio, kita tidak bermusuhan, mengapa kau begini nekat?” Im Giok menegur, hatinya tak senang melihat sikap nenek yang terlalu mendesak ini.

“Tutup mulut dan lihat tongkatku!” bentak Koai-tung Toanio yang dari penasaran menjadi marah sekali mengapa begitu lama belum juga ia dapat mengalahkan gadis muda ini.

Timbul kemarahan Im Giok. Tadinya ia tidak suka merobohkan nenek ini yang tidak mempunyai permusuhan sesuatu dengannya. Seorang tokoh kang-ouw amat menjaga nama besarnya dan tahu bahwa kalau nenek itu sampai kalah olehnya, hal ini merupakan penghinaan besar bagi nenek yang keras hati ini. Tadinya ia mengharapkan nenek ini akan melihat gelagat dan mundur sendiri setelah menyaksikan kelihaiannya, tidak tahunya nenek ini bahkan berlaku nekad dan menyerang mati-matian.

“Kau tidak boleh diberi hati!”

Im Giok mencela dan kini tiba-tiba gerakan pedangnya berubah. Pedangnya menyambar-nyambar dalam gerakan yang amat indah dan halus. Namun di dalam kehalusan ini tersembunyi gerakan-gerakan menyerahg yang maha dahsyat. Inilah Sian-li Kiam-hoat atau ilmu pedang bidadari yahg indah dilihat namun berbahaya sekali dilawan.

Koai-tung Toanio tidak mau menyerah kalah begitu saja. Biarpun ia terkesiap juga menyaksikan ilmu pedang yang aneh ini, namun ia memutar tongkat makin cepat dan mengerahkan segala kepandaian untuk rnengalahkan lawan. Betapapun juga ia berusaha, tetap saja sinar pedang yang sukar diduga perubahannya itu, makin lama makin mendesak sinar tongkatnya dan makin lama ia makin merasa terkurung oleh sinar pedang yang bergulung-gulung dan yang membuat pandangan matanya berkunang.






Tidak ada komentar :