*

*

Ads

Rabu, 27 Maret 2019

Ang I Niocu Jilid 063

Im Giok menutup mulutnya menahan ketawa, kemudian melarikan kudanya.
“Ada-ada saja kau ini, Twako,” katanya seperti marah.

Akan tetapi suara ketawanya berlawanan dengan kata-kata yang seperti marah ini, maka Tiauw Ki juga membalapkan kudanya mengejar.

“Adik Im Giok, tunggu…! Kita takkan berpisah selamanya!”

Tiauw Ki berani berteriak menyatakan perasaan hatinya ini saking gembiranya. Akan tetapi Im Giok yang timbul kembali rasa malu dan jengah, tidak mau menghentikan kudanya.

Karena kuda dibalapkan, sebentar saja tahu-tahu telah tiba di sungai yang melintang di depan. Im Giok tersentak kaget dan menghentikan kudanya dengan tiba-tiba. Melihat sungai itu ia tersadar bahwa semua tadi bukan main-main, melainkan sungguh-sungguh perpisahan telah berada di depan mata! Dan ia pun menjadi berduka. Alisnya berkerut, kegembiraanaya lenyap sama sekali. Ia telah merasai kebahagiaan luar biasa di dalam hatinya selama dekat dengan Tiauw Ki. Sekarang perpisahan dengan pemuda itu mendukakan hatinya.

“Giok-moi…!” Tiauw Ki juga sudah tiba di situ dan pemuda ini melompat turun dari kudanya. “Giok-moi, harap jangan tergesa-gesa. Begitu girangkah hatimu untuk meninggalkan aku maka kau tergesa-gesa?”

Im Giok melompat turun dari kudanya pula dan berkata,
“Twako, jangan kau berkata begitu…” Dalam suaranya kini terkandung sedu-sedan.

“Marilah kita pergunakan saat terakhir ini untuk bercakap-cakap dan memberi kesempatan kepada kuda kita beristirahat,” kata Tiauw Ki yang membawa kudanya ke pinggir sungai di mana terdapat rumput yang hijau dan gemuk.

Im Giok meniru perbuatannya dan setelah dua ekor kuda itu makan rumput dengan lahapnya, mereka lalu mencari tempat duduk. Kebetulan sekali tidak jauh dari situ, di pinggir sungai kecil terdapat sebatang pohon yang teduh dan di bawah pohon terdapat batu-batu sungai yang besar dan bersih licin. Kesitulah kedua orang ini berjalan perlahan.

Tiauw Ki duduk di atas sebuah batu besar, merenung ke arah air sungai. Im Giok juga duduk di atas batu tak jauh dari tempat pemuda itu duduk, bermain-main dengan ujung daun pepohonan yang tumbuh di dekatnya.

“Adik Giok, rasa-rasanya janggal dan aneh sekali kalau kita harus berpisah di sini. Benar-benar heran sekali, bagiku terasa seakan-akan kita sudah berkumpul selamanya, sudah semenjak kecil, semenjak lahir… Giok-moi, benar-benar berat untukku harus berpisah darimu, tak sampai hatiku…”

“Habis, bagaimana, Twako. Kita harus mengambil jalan masing-masing. Kau ke kota raja dan aku pulang ke Sian-koan.”

“Memang seharusnya demikian. Akan tetapi… ah, rasanya aku sedikitpun juga tidak ada keinginan sama sekali untuk pergi ke kota raja. Kalau saja kau dapat pergi bersamaku ke kota raja atau aku pergi bersamamu ke Sian-koan…”

Im Giok melirik, mukanya merah dan hatinya berdebar senang.
“Mana boleh begitu, Gan-ko? Kau mempunyai tugas penting. Apa sih sukarnya? Kau ke kota raja dan setelah selesai tugasmu, bukankah kau dapat mengunjungi aku di Sian-koan?”

Di dalam kata-kata ini terkandung sindiran yang dalam, seakan-akan Im Giok menyatakan bahwa ia akan menanti kedatangan pemuda itu di Sian-koan! Tiauw Ki yang cerdik dapat mengerti arti yang terkandung dalam kata-kata ini, maka saking girang dan perasaannya, ia menangkap kedua tangan gadis itu.

“Giok-moi…” suaranya gemetar.

Selama hidupnya baru kali ini Im Giok merasai sesuatu yang aneh di dalam hatinya. Menurut kata hatinya, ingin ia menarik kembali kedua tangannya yang dipegang oleh jari-jari yangan yang gemetar dari pemuda itu, akan tetapi ia tidak kuasa menarik tangannya seakan-akan telah hilang semua tenaganya! Ia hanya menundukkan muka dan bibirnya tersenyum malu.

“Giok-moi, betulkah kau akan menerimaku kalau aku sewaktu-waktu datang ke Sian-koan!” suara Tiauw Ki perlahan dan halus penuh perasaan.






“Mengapa tidak?”

Im Giok hanya menjawab singkat karena ia sendiri takut untuk bicara terlalu panjang, mendengar betapa suaranya sendiri gemetar!

“Tidak… tidak ada halangannya kalau… kalau aku…” Tiauw Ki tak dapat melanjutkan kata-katanya.

“Ada apakah, Gan-twako? Lanjutkanlah, mengapa begitu sukar?”

Tiauw Ki makin gagap menerima teguran ini. Ia mengigit bibirnya menenangkan hatinya lalu berkata nekad,

“Bagaimana kalau kelak aku datang ke Sian-koan… dan…”

“Dan apa…!”

“Aku… aku hendak… meminangmu!”

Lega hatinya setelah kata-kata yang mengganjal di kerongkongannya ini akhirnya terlepas juga.

Im Giok sejak tadi sudah menduga, akan tetapi setelah kata-kata itu diucapkan, mukanya yang cantik itu menjadi merah sekali, membuat sepasang pipinya kemerahan seperti buah tho masak, membikin ia nampak makin cantik jelita. Memang jarang ada gadis secantik Im Giok, apalagi kalau yang memandangnya seorang yang jatuh hati kepadanya, ia seperti bidadari dari kahyangan saja!

“Bagaimana, Giok-moi…?” tanya Tiauw Ki.

Im Giok mengerling dengan sudut matanya kepada pemuda itu, bibirnya yang manis tersenyum malu, lalu ia menundukkan muka kembali sambil berkata lirih,

“Entahlah…”

Tiauw Ki menjadi makin berani melihat sikap gadis itu. Ia menggenggam kedua tangan yang kecil halus itu dengan erat dan menarik Im Giok mendekat. Karena gadis itu duduk di atas batu yang lebih rendah, maka setelah ditarik ia bersandar kepada paha Tiauw Ki.

“Giok-moi, bagaimana? Apakah kau keberatan kalau kelak kupinang?”

Bukan main malunya Im Giok dan ia tidak dapat membuka mulut menjawab. Sambil tersenyum-senyum malu dan matanya ditundukkan, ia hanya menjawab dengan gelengan kepala perlahan.

Tiauw Ki merasa diayun di sorga ke tujuh. Ingin ia melompat turun dari atas batu dan menari-nari kegirangan atau ingin ia mengangkat tubuh Im Giok dalam pondongannya dan diputar-putar.

Akan tetapi sebagai seorang pemuda terpelajar yang sopan ia tidak berani melakukan hal ini. Sebagai seorang pemuda yang tahu akan arti kesopanan dan kesusilaan, Tiauw Ki hanya memandang kepada wajah kekasihnya dengan mata bersinar, wajah berseri dan penuh kasih sayang.

“Terima kasih, Moi-moi, terima kasih. Akan tetapi, bagaimana kalau saudara-saudaramu tidak suka kepadaku dan tidak mau menerima?”

Di dalam ucapan ini terkandung suara yang penuh kecemasan, maka Im Giok cepat mengangkat muka dan berkata tegas,

“Aku tidak mempunyai saudara kandung. Aku anak tunggal. Yang ada hanya suciku Giok-gan Niocu Song Kim Lian!”

Tiauw Ki tersenyum lega, lalu tertawa kecil.
“Ah, sucimu itu benar-benar seorang gadis yang gagah perkasa dan berhati mulia, biarpun agak galak. Akan tetapi tentu saja tidak melawan kau baik dalam hal kegagahan, kemuliaan maupun kecantikan.”

Im Giok hanya melempar senyum menghadiahi pujian kekasihnya ini.

“Akan tetapi, bagaimana kalau… kalau ayah bundamu tidak suka kepadaku? Ayahmu seorang gagah, tentu dia tidak suka mempunyai calon mantu seorang pemuda sekolah yang lemah….!” Kembali dalam suara pemuda itu terkandung kekhawatiran besar.

“Ibuku sudah tidak ada, dan Ayah… dia amat sayang kepadaku, tak mungkin Ayah membiarkan aku kecewa dan berduka.” Im Giok mengambil tusuk kondenya dan memberikan benda itu kepada Tiauw Ki dengan suara halus, “Koko, inilah tusuk kondeku, harap kau simpan baik-baik.”

Tiauw Ki menerima benda itu dan menekannya di dada, lalu menciumnya dengan penuh kasih sayang.

“Terima kasih, Moi-moi. Benda ini selamanya takkan berpisah dariku, akan kuanggap sebagai penggantimu. Dengan adanya tusuk kondemu ini, Moi-moi, akan terhibur hatiku. Hanya menyesal sekali, aku adalah seorang yang bodoh dan miskin, tidak mempunyai sesuatu yang berharga untuk diberikan kepadamu kecuali ini…”

Pemuda itu mengeluarkan sebuah kipas yang tidak begitu baik dari dalam saku bajunya. Sudah menjadi kebiasaan para siucai untuk selalu menyimpan kipas di sakunya.

“Kipas ini tadinya masih kosong, Moi-moi, seperti kosongnya hatiku. Sekarang kipas ini tidak seharusnya dibiarkan kosong seperti juga hatiku yang kini sudah penuh…”

Sambil berkata demikian, dari dalam saku bajunya, pemuda itu “menyulap” keluar sebatang pit dan arang tintanya. Diambilnya sedikit air dari sungai untuk membasahi arang tinta dan di atas batu itu ia menulis huruf-huruf indah di atas kipasnya yang putih bersih.

Im Giok hanya memandang saja semua yang dilakukan oleh kekasihnya ini dengan bibir tersenyum dan hati bungah. Dengan hati berdebar Im Giok membaca tulisan yang indah gayanya itu :

Tusuk konde dan kipas
menjadi saksi
bertemunya dua hati
di bawah pohon, di tepi sungai…
semoga cinta kasih kita
kekal abadi takkan berpisah,
sehidup semati…

Tiauw Ki memberikan kipas itu kepada Im Giok yang menerimanya dengan wajah berseri.

“Aduh indahnya tulisanmu, Koko…” katanya.

Akan tetapi Tiauw Ki hanya menatap wajahnya, nampaknya berduka.

“Kau mengapa, Twako?”

“Sayang pertemuan seindah ini diputuskan oleh perpisahan…” kata Tiauw Ki sambil memegang pundak gadis itu ditariknya sehingga kembali Im Giok bersandar kepadanya.

“Hanya untuk sementara waktu, Koko. Bukankah kau segera akan ke Sian-koan setelah tugasmu selesai? Aku selalu menantimu di sana, Koko…”

Kata-kata ini terdengar begitu manis dan merdu oleh Tiauw Ki sehingga saking terharunya kedua mata pemuda itu sampai basah. Didekapnya kepala gadis itu ke dadanya lebih erat lagi dan sampai lama mereka tak bergerak, tenggelam ke dalam lautan madu asmara.

Biarpun keduanya diam tak bergerak, biarpun suasana di sekitar mereka sunyi senyap, namun suara daun pohon tertiup angin dan air sungai mengalir bagi mereka seperti suara musik mengiringi nyanyian surga yang amat merdu. Pohon, daun, batu apa saja yang nampak di sekeliling mereka seakan-akan tertawa-tawa dan ikut beriang gembira.

Tiauw Ki dan Im Giok bagaikan mabuk oleh buaian ombak perasaan yang paling indah di antara segala macam perasaan, namun keduanya masih sadar sepenuhnya dan ingat akan kesopanan dan kesetiaan.

Sungguh mengagumkan mereka ini, tauladan bagi muda-mudi beradab. Mereka pun diombang-ambingkan oleh ombak asmara yang memabukkan, namun mereka pantang melakukan pelanggaran dan mereka teguh bagaikan karang di pantai samudra.

Apapun juga yang terjadi, mereka berpegang kepada semboyan nenek moyang mereka, yang bagaimanapun juga, ATURAN (Lee) di atas segala apa! Kesopanan dan kesusilaan termasuk dalam Lee ini dan karenanya mereka tetap sadar dan menjaga jangan sampai mengecewakan hati kekasihnya dengan pelanggaran tata-susila yang mereka junjung tinggi!






Tidak ada komentar :