*

*

Ads

Rabu, 27 Maret 2019

Ang I Niocu Jilid 062

Im Giok menjura kepada tiga orang wanita yang masih berada disitu, yakni nenek yang duduk dengan dua orang wanita muda dan nampak bukan orang-orang sembarangan itu. Mereka sejak tadi diam saja maka Im Giok juga tidak mempedulikan mereka dan tidak tahu siapakah gerangan mereka ini.

Ketika tiga orang ini berjalan menuju ke ruangan dalam, mereka melewati tempat duduk Lie Kian Tek dan kawan-kawannya. Pemuda putera gubernur ini nampak tengah bercakap-cakap dengan Cheng-jiu Tok-ong. Suma-huciang berhenti dan menjura.

“Lie-kongcu, maafkan aku tak dapat melayani lebih lama karena terlalu lelah dan hendak mengaso. Kamar untuk Lie-kongcu dan rombongan telah dipersiapkan di penginapan terbesar di kota ini. Silakan Kongcu bersenang-senang menikmati nyanyian di sini dan bilamana Kongcu hendak beristirahat, perintahkan saja kepada pelayan untuk mengeluarkan kendaraan.”

Lie Kian Tek tersenyum dan menjura, akan tetapi matanya melirik ke arah Im Giok.
“Terima kasih, memang sebentar lagi kami hendak beristirahat pula. Selamat tidur, Suma-taijin.”

Suma-huciang yang diiringkan oleh Tiauw Ki dan Im Giok melanjutkan langkahnya menuju ke ruang dalam. Pembesar itu setelah tiba di ruangan yang sunyi ini lalu berkata kepada Tiauw Ki,

“Gan-siucai, tentu kau masih ingat akan semua pesanku, bukan? Ada sedikit pesanku lagi harap disampaikan kepada Hong-siang, yakni bahwa bahaya yang datang dari Shansi tidak begitu besar apabila dibandingkan dengan bahaya yang mengancam dari Honan. Oleh karena itu, terhadap Honan (Propinsi Honan) hendaknya ditaruh perhatian sepenuhnya dan jangan diabaikan.”

Tiauw Ki mengerutkan keningnya dan matanya memandang heran. Sebelum ia mengeluarkan pertanyaan, ia didahului oleh pembesar itu.

“Aku tahu mengapa kau terheran, Gan-siucai. Memang nampaknya keadaan di Honan tenang-tenang saja, akan tetapi percaya sajalah, di dalamnya terdapat pengaruh yang kelak akan membahayakan kedudukan Kaisar. Aku tak dapat bicara panjang lebar lagi, harap kau mengaso dan besok cepat menyampaikan pesanku. Hong-siang akan mengerti apa yang ku maksudkan.”

Terpaksa Tiauw Ki tidak membantah. Ia menjura dan berkata,
“Baiklah, Taijin, akan saya perhatikan dan sampaikan semua pesan Taijin. Besok pagi-pagi saya dan Kiang-lihiap berangkat. Kalau tidak sampai berpamit, harap Taijin sudi memaafkan.”

Suma-huciang menoleh kepada Im Giok, tersenyum berkata,
“Kau sungguh mengagumkan, Kiang-lihiap. Aku harus berterima kasih kepadamu. Benar-benar kau patut menjadi cucu murid Bu Pun Su seorang sakti yang sejak dulu aku kagumi. Tolong kau sampaikan hormatku kepada pendekar sakti itu kalau kau bertemu dengan dia.”

Im Giok menjadi jengah mendengar pujian ini dan cepat memberi hormat. Kemudian pembesar itu memasuki kamarnya dan kedua orang muda itu pun pergi ke kamar masing-masing yang sudah disediakan setelah mereka berjanji akan berangkat besok pagi-pagi pada waktu ayam jantan berkokok.

Malam hari itu Im Giok tak dapat tidur. Gelisah ia di dalam kamarnya. Ada kekhawatiran kalau-kalau terjadi sesuatu pada malam hari itu, sesuatu yang akan menimpa diri Suma-huciang atau Gan Tiauw Ki.

Ancaman terhadap diri Suma-huciang masih belum menggelisahkan hatinya, akan tetapi kalau ia ingat bahwa tugas yang dibawa oleh Tiauw Ki bukanlah tugas ringan dan keselamatan anak muda itu selalu terancam, Im Giok menjadi gelisah. Bagaimana kalau ada bahaya mengancam diri pemuda itu?

Ia selalu memikirkan Tiauw Ki, setiap saat hanya pemuda inilah yang memenuhi pikirannya, tanpa disengaja bayangan Tiauw Ki selalu tampak di depan matanya, gema suara pemuda itu selalu berdengung di telinganya!

“Aku harus melindunginya, biarpun harus bertaruh nyawa!” pikir gadis yang sedang tergoda asmara ini.

Keputusan ini membuat Im Giok tidak berani merebahkan diri. Ia lalu duduk bersila di atas pembaringannya dan beristirahat dengan cara bersamadhi. Menjelang subuh ia mendengar suara berkeresekan di atas genteng. Ia membuka mata dan mendengarkan dengan penuh perhatian.

Akan tetapi karena selanjutnya tidak ada suara apa-apa, ia pun tidak mau lancang mengejar keluar, takut kalau-kalau hanya akan menimbulkan keributan belaka. Sayang sekali gadis ini tidak keluar, kalau ia melakukan hal ini, mungkin ia akan mencegah terjadinya hal yang mengerikan!






Tak lama kemudian, terdengar ayam jantan berkokok, saling sambut ramai sekali. Im Giok melompat turun dari pembaringannya, menggantungkan pedang di pinggang, mengikatkan buntalan pakaian di punggung dan siap untuk berangkat. Karena ia tidak tidur, maka ia dapat bersiap-siap dengan cepat, bahkan tanpa menyisir rambutnya yang digelung indah, cukup memperkuat tali dan tusuk rambutnya saja.

Ia mendengar langkah kaki di luar pintunya. Cepat daun pintu kamarnya ia buka dan ternyata Tiauw Ki sudah berdiri di situ, juga sudah siap untuk berangkat. Dua orang pelayan menghampir mereka dan menjura sambil berkata,

“Selamat pagi, Siauw-ya dan Siocia! Apakah berangkat sekarang?”

“Benar, Lopek. Tolong suruh tukang kuda mengeluarkan kuda kami dan menyediakan di depan.”

“Baik, Siauw-ya,” jawab pelayan-pelayan itu dengan girang sambil menerima dua potong uang perak sebagai hadiah dari Tiauw Ki.

Dua orang muda ini lalu berjalan menuju ke luar dari gedung yang besar dan panjang ini.

“Enak tidurkah kau malam tadi, Giok-moi?” tanya Tiauw Ki kepada Im Giok.

“Enak juga. Dan kau?”

“Aku gelisah saja, entah mengapa. Agaknya karena hawa terlalu panas,” jawab Tiauw Ki.

Im Giok teringat akan bunyi di atas genteng. Kamar pemuda ini tidak jauh dari kamar Suma-huciang, maka tanyanya,

“Twako, apakah kau tidak ada mendengar apa-apa malam tadi? Kalau kau tidak dapat tidur, tentunya kalau ada apa-apa kau mendengarnya.”

Tiauw Ki menggeleng kepala.
“Tadinya aku pun takut kalau-kalau terjadi sesuatu, akan tetapi sukurlah, sampai aku tertidur, aku tidak mendengar apa-apa.”

Diam-diam Im Giok merasa lega, akan tetapi ia tidak puas dan masih curiga. Pemuda ini tidak mengerti ilmu silat, bagaimana ia dapat mendengar suara gerakan penjahat yang tinggi ilmu silatnya? Ia malam tadi mendengar suara yang ia tahu adalah suara kaki orang menginjak dan berjalan di atas genteng, orang yang ilmu gin-kangnya sudah tinggi sekali. Ataukah barangkali pendengarannya salah? Karena selanjutnya tidak ada suara apa-apa, ia tidak menyelidik lebih lanjut.

Sementara itu, pelayan-pelayan tadi sudah membawa kuda mereka ke depan gedung. Maka berangkatlah Tiauw Ki dan Im Giok di pagi hari itu dalam keadaan cuaca masih remang-remang dan segala apa nampak berwarna kelabu.

Sampai lama mereka melarikan kuda berdampingan tanpa mengeluarkan kata-kata. Keduanya muram. Tanpa kata-kata mereka merasakan peristiwa duka yang mereka hadapi, yakni perpisahan.

Im Giok sudah selesai tugasnya mengawal pemuda itu menghadap Suma-huciang dan menyampaikan pesanan Kaisar. Karenanya ia harus memisahkan diri. Tidak selayaknya seorang gadis seperti dia terus-terusan melakukan perjalanan bersama seorang pemuda tanpa ada alasan yang kuat. Kini ia harus pulang ke Sian-koan, sedangkan Tiauw Ki tentunya hendak ke kota raja. Terpaksa harus berpisah. Tidak ada alasan untuk melakukan perjalanan bersama karena berbeda tujuan.

Tanpa berkata-kata keduanya maklum bahwa perjalanan mereka bersama hanya akan sampai di sungai kecil yang berada kurang lebih lima belas li di depan, di mana terdapat jalan simpangan dan di sana keduanya akan berpisah untuk melanjutkan perjalanan masing-masing. Makin dekat dengan sungai itu, otomatis keduanya memperlambat larinya kuda sehingga di lain saat kuda mereka hanya berjalan saja!

“Adik Im Giok, kau selanjutnya akan ke manakah?”

Tiauw Ki bertanya, sebuah pertanyaan yang aneh dan lucu karena keduanya sudah sama-sama mengetahui ke mana gadis itu akan pergi kalau tidak pulang ke rumah ayahnya di Sian-koan!

Pertanyaan ini saja sudah membayangkan keadaan hati pemuda itu, dan Im Giok maklum pula akan hal ini. Memang cinta kasih itu aneh sekali. Biarpun pemuda dan gadisnya sama-sama selama hidupnya belum pernah mengalami buaian asmara dan baru sekali itu mengalami perasaan yang amat aneh ini, namun keduanya seakan-akan sudah berpengalaman, keduanya sudah dapat menangkap maksud hati masing-masing hanya dengan rasa.

Kerling mata mengandung seribu bahasa mesra, senyum tipis membayangkan perasaan hati berdebar, gerak-gerik mengisyaratkan suara hati. Demikianlah tajamnya seorang yang menghadapi pujaan hatinya, seakan-akan antara keduanya sudah ada kontak yang timbul oleh getaran-getaran perasaan.

Sungguhpun Im Giok maklum mengapa pemuda itu masih juga bertanya ke mana ia hendak pergi, ia menjawab juga perlahan sambil menundukkan muka,

“Aku hendak pulang ke Siang-koan. Dan kau… ke manakah, Twako?”

“Tentu ke kota raja… tugasku belum selesai. Sayang…”

Lama tidak terdengar mereka berkata-kata dan sunyi di pagi hari yang indah itu. Matahari belum kelihatan, akan tetapi cahayanya sudah mengusir kabut fajar dan menggugah alam yang terlelap dalam mimpi. Yang terdengar hanya suara kicau burung, diseling derap kaki dua ekor kuda yang berjalan perlahan di atas jalan berbatu.

“Mengapa sayang, Twako?”

Im Giok sudah membolak-balik pertanyaan ini beberapa kali di dalam hati sebelum ia mengeluarkan melalui bibirnya. Hatinya berdebar menanti jawab, seperti seorang penjahat menanti pengucapan hukuman oleh hakim.

“Sayang karena… karena terpaksa kita harus berpisah.”

Suara pemuda itu menggetar dan tiba-tiba Im Giok menjadi merah mukanya, merah sampai ke telinganya. Mengingat akan keadaan dirinya, tiba-tiba Im Giok mengerahkan tenaga batinnya untuk mengusir perasaan malu dan jengah yang luar biasa ini, kemudian ketabahannya yang luar biasa dapat membuat ia menguasai dirinya lagi. Ia tersenyum dan dengan wajah ayu memandang Tiauw Ki.

“Twako, kau ini aneh. Ada waktu bertemu pasti ada waktu berpisah. Bukankah ada kata-kata para cerdik pandai jaman dahulu bahwa bertemu itu artinya terpisah? Atau jelasnya bahwa pertemuan adalah awal perpisahan?”

Tiauw Ki yang tiba-tiba menjadi lemas melihat senyum yang demikian manisnya, wajah yang berseri dan mata bersinar-sinar sehingga membuat baginya seakan-akan matahari sudah muncul setinggi-tingginya, menjadi seperti orang linglung.

“Mengapa demikian?”

Pertanyaan ini tidak karuan juntrungnya, padahal sebagai seorang sastrawan, sudah tentu pemuda ini hafal akan semua filsafat kuno, tidak kalah oleh Im Giok. Akan tetapi pada saat itu, otaknya seakan-akan tertutup dan ia tidak sadar apa-apa, yang ada hanyalah wajah yang luar biasa cantik jelitanya dari gadis yang berada di sampingnya.

Melihat betapa pemuda itu duduk di atas kudanya sambil memandang bengong kepadanya seperti orang kena sihir, Im Giok tersenyum makin lebar.

“Mengapa? Eh, Gan-twako, tentu saja pertemuan adalah awal perpisahan, karena kalau tidak bertemu lebih dulu, bagaimana bisa berpisah?”

Jawaban yang merupakan kelakar ini membikin sadar Tiauw Ki dari lamunan. Ia menarik napas panjang dan berkata,

“Tepat sekali kata-katamu, Giok-moi. Dan inilah yang menyakitkan hatiku. Bagiku… berat sekali perpisahan ini. Kalau boleh aku ingin membuang jauh-jauh ucapan kuno itu, ingin kuganti…”

Im Giok mengangkat alisnya dan memandang lucu.
“Ehm, kau ingin menyaingi para pujangga kuno dan merubah kata-kata mereka?”

“Ya, khusus tentang pertemuan itulah. Dengar aku merubahnya, dan ini terutama sekali untuk kita berdua, Adikku. Pertemuan bukan awal perpisahan, akan tetapi pertemuan adalah awal persatuan abadi. Bagaimana kau pikir, bukankah ini lebih tepat dan lebih baik?”






Tidak ada komentar :