*

*

Ads

Rabu, 27 Maret 2019

Ang I Niocu Jilid 061

Cepat raja copet itu mengelak. Akan tetapi Cheng-jiu Tok-ong, seorang tokoh besar persilatan yang sudah lebih berpengalaman, maklum pula apakah yang diandalkan oleh lawannya. Maka ia tidak mau memberi kesempatan dan terus menyerang dengan cepat dan bertubi-tubi. Setiap serangannya merupakan pukulan atau tendangan maut, jangankan baru seorang seperti Sin-touw-ong, biarpun lebih tinggi kepandaiannya takkan kuat menerima pukulan ini.

Im Giok memandang semua ini dengan hati berdebar. Gadis ini pernah bertemu dan bertempur dengan Cheng-jiu Tok-ong, maka ia tahu sampai di mana kelihaian kakek ini. Dan menurut pandangannya, biarpun Si Raja Copet memiliki kegesitan luar biasa dan ilmu silat yang berdasarkan pertahanan dan penjagaan diri, akan tetapi kalau dibandingkan dengan Cheng-jiu Tok-ong, masih jauh sekali.

Ia dapat menduga bahwa Si Kate itu biarpun seorang pencopet, tentulah termasuk orang atau pembela Suma-huciang, jadi masih segolongan dengan pemuda pelajar Tiauw Ki. Pula ia ingin sekali menyelidiki siapakah yang mengambil bungkusan Tiauw Ki yang disumbangkan kepada Suma-huciang karena tadi lenyap dari atas meja. Si Kate itukah yang mengambilnya dan belum mengembalikannya? Ataukah Lie Kian Tek?

Melihat Sin-touw-ong sudah terdesak hebat, Im Giok lalu berlari mendekati panggung melompat ke atas panggung dan sekali ia mengulur tangan, ia telah dapat memegang leher baju Sin-touw-ong dan membawanya lompat ke dekat tempat Suma-huciang.

Gerakan ini cepat sekali dan Cheng-jiu Tok-ong yang mengenal gadis itu menjadi berubah air mukanya. Kakek ini merasa sangsi. Kepada gadis itu biarpun ia tahu amat lihai, ia masih belum jera akan tetapi kalau ia teringat akan Bu Pun Su yang pernah menolong gadis itu, bulu tengkuknya berdiri!

Semua orang menjadi gempar ketika melihat seorang gadis baju merah yang cantik, secara aneh telah menahan Si Raja Copet dan membawanya ke dekat Suma-huciang.

Akan tetapi Im Giok tidak mempedulikan semua itu dan kepada Suma-huciang ia berkata,

“Taijin, tadi kulihat barang sumbangan dari Gan-twako telah lenyap, mungkin sekali dicuri oleh tukang copet ini!”

Tiauw Ki dan Suma-huciang bertukar pandang, kemudian pembesar itu tersenyum kepada Im Giok.

“Terima kasih, Nona. Kalau Nona tidak maju, kiranya nyawa pencopet ini sudah melayang. Touw-ong, lekas kau haturkan terima kasih kepada penolongmu!”

Sin-touw-ong cengar-cengir, kemudian ia menjura berkali-kali dan di depan Im Glok sambil berkata,

“Nona yang cantik dan gagah perkasa, mataku sungguh buta tidak melihat Bukit Thai-san! Akan tetapi aku tidak kalah terhadap setan beracun itu.”

“Kau tidak kalah? Jangan main-main?” Suma-huciang berkata menegur orangnya.

Si Tukang Copet mengeluarkan sebuah benda dari sakunya yang aneh dan Im Giok terkejut. Ternyata bahwa pencopet ini telah berhasil mencopet golok pusaka dari lawannya, yakni, Cheng-tok-ong (Golok Racun Hijau).

“Inilah buktinya bahwa aku tidak kalah dan ini pula, Nona. Kiranya ini obat penolak racun!” Kembali dirogohnya saku bajunya dan keluarlah obat bubuk dalam botol tanah.

Im Giok merasa kagum sekali. Biarpun ilmu silatnya belum begitu tinggi akan tetapi dalam hal ilmu mencopet, kiranya orang kate ini sudah patut disebut Raja Copet Sakti!

Sementara itu, di atas panggung, Cheng-jiu Tok-ong berteriak-teriak,
“Ha, ha, ha, begitu sajakah jagoan dari Tianghai? Segala tukang copet dan tukang maling! Ha, ha, ha. Hayo, mana lagi jago Tiang-hai? Suma-taijin, apakah pertunjukan silat disudahi sampai di sini saja dengan pengakuan kalah dari pihakmu? Kalau begitu, biarlah kita menikmati pertunjukan tari-tarian dari kota raja. Ha, ha, ha!”

“Hm, manusia itu menghina sekali,” kata Sin-touw-ong.






“Biarlah, lebih baik kita sudahi keributan ini,” usul Tiauw Ki.

Suma-huciang menghela napas.
“Kalau saja aku bukannya tuan rumah dan tidak pantas sekali kalau aku sendiri naik ke panggung, aku ingin sekali belajar kenal dengan kepandaian manusia sombong kaki tangan Gubernur Lie itu!”

Sambil berkata demikian, pembesar itu memandang kepada Im Giok. Gadis ini dapat menangkap arti pandang mata Suma-huciang. Kiranya pembesar ini bermata tajam sekali. Sekali saja melihat bagaimana gadis itu menangkap Sin-touw-ong, ia maklum bahwa Im Giok memiliki kepandaian tinggi dan pasti dapat melawan Cheng-jiu Tok-ong.

Akan tetapi karena baru saja ia kenal dengan gadis ini, apalagi baru saja gadis ini telah membebaskan Sin-touw-ong dari ancaman bahaya maut di tangan lawannya, ia tidak berani minta kepada Im Giok untuk mewakilinya di atas panggung.

“Taijin, kalau Taijin menghendaki supaya aku mencuci nama Taijin yang dikotori oleh manusia itu, akan kulakukan sekarang juga.”

“Ah, aku akan membikin repot saja, juga tidak enak terhadap Gan-siucai, karena kau dibawa olehnya,” kata pembesar itu.

“Tidak apa, Taijin. Justru karena Gan-twako mempunyai hubungan baik dengan Taijin, maka orang menghina Taijin seperti menghina Gan-twako dan berarti pula menghina aku sendiri,” kata Im Giok yang cepat menghampiri panggung sambil membawa golok rampasan.

Lebih dulu dengan amat cepat gadis ini mengoleskan sedikit bubuk rampasan itu di bawah hidungnya dan ia mencium bau wangi sekali.

Dengan gerakan ringan Im Giok melompat ke atas panggung, disambut tepuk sorak para penonton. Dari atas panggung Im Giok melihat muka Lie Kian Tek berubah pucat. Im Giok tidak peduli itu semua dan langsung ia menghadapi Cheng-jiu Tok-ong yang masih ragu-ragu karena mengira gadis ini datang dikawal oleh Bu Pun Su!

“Apa kau datang hendak melanjutkan pertandingan dahulu itu? Asal saja kau berani maju sendiri, jangan bawa-bawa orang tua!” katanya perlahan, hanya terdengar oleh Im Giok.

Gadis itu tersenyum, lalu berkata keras kepada orang banyak,
“Si Sombong ini mengira bahwa dia telah menang dalam pertempuran melawan Sin-touw-ong. Padahal, kalau tidak aku datang membawa pergi Sin-touw-ong, kiranya Raja Copet itu kini telah berhasil mencopet isi perutnya tanpa ia mengetahui!”

“Bohong! Omongan apa ini? Dia yang hampir saja mampus!” bantah Cheng-jiu Tok-ong marah.

Kiang Im Giok tersenyum manis dan memperlihatkan golok yang dibawanya dengan mengacungkan senjata itu ke atas agar kelihatan oleh semua orang yang hadir.

“Tok-ong, kau lihat baik-baik, golok siapakah ini? Dan bungkusan obat penawar racun ini, punya siapa pula?”

Cheng-jiu Tok-ong kaget bukan main dan meraba pinggangnya, ternyata golok di pinggang dan bungkusan obat di dalam saku telah lenyap!

“Bagaimana bisa berada di tanganmu?” tanyanya heran dan mukanya berubah merah.

“Siapa lagi kalau bukan Sin-touw-ong yang mengambilnya? Nah, kalau dia menghendaki, apakah dia tidak bisa mengambil nyawamu daripada mengambil dua benda ini dari tubuhmu? Benar-benar kau tidak tahu diri. Apakah masih saja kau tidak mau terima kalah?”

Dalam kata-kata ini, Im Giok mengancam, kemudian ia melemparkan golok dan bungkusan obat itu ke atas lantai panggung.

Cheng-jiu Tok-ong ragu-ragu. Ia masih jerih menghadapi Im Giok yang amat lihai ilmu pedangnya, juga ia takut setengah mati kalau memikirkan apakah Bu Pun Su tidak bersembunyi di tempat itu dan akan muncul kalau sampai ia mendesak Im Giok. Kini, secara aneh sekali Si Kate itu telah berhasil mencopet golok dan bungkusan obatnya. Benarkah Si Copet itu yang melakukan hal aneh ini?

Dia tadi sudah mendesak hebat, apa mungkin Si Kate itu sempat mencuri senjatanya? Siapa tahu kalau-kalau ini pun perbuatan Bu Pun Su, kiranya tidak ada hal tak mungkin! Mengingat sampai di sini, Cheng-jiu Tok-ong bergidik dan ia pikir lebih baik mundur sebelum celaka. Sekarang ada kesempatan baik baginya untuk mundur tanpa mendapat malu.

Ia lalu membungkuk, mengambil senjata dan obatnya, lalu berkata sambil menjura, bukan kepada Im Giok melainkan kepada Sin-touw-ong.

“Kepandaian Sin-touw-ong benar-benar lihai sekali membuat orang kagum!” Setelah berkata begitu, Cheng-jiu Tok-ong lalu melompat turun dari panggung.

Im Giok tersenyum puas. Memang ia tidak menghendaki kalau pesta ulang tahun dari Suma-huciang itu berubah menjadi gelanggang pertempuran yang akan mengorbankan nyawa. Baiknya ia dapat mengusir mundur Cheng-jiu Tok-ong hanya dengan kata-kata dan gertakan belaka, tanpa menurunkan tangan keras, karena ia maklum bahwa kalau sampai terjadi pertempuran, walaupun ia takkan kalah, akan tetapi juga bukan hal yang mudah untuk mengalahkan Cheng-jiu Tok-ong!

Gadis ini melompat turun dari panggung dan menghampiri Suma-huciang dan Gan Tiauw Ki. Pembesar itu menyambutnya dengan muka berseri.

“Baiknya ada Lihiap yang mencuci bersih nama kota Tiang-hai yang akan dihina oleh orang lain,” katanya, kemudian pembesar ini berkata dengan suara lantang,

“Terima kasih kepada para enghiong yang sudah menyumbangkan tenaga untuk meramaikan pesta ini. Sekarang tiba giliran para penari yang akan memperlihatkan keindahan tarian mereka!”

Terdengar musik dibunyikan orang dan tak lama kemudian, tujuh orang penari yang cantik jelita muncul di atas panggung, menari-nari dengan gerakan tubuh yang indah gemulai membuat darah orang-orang muda yang hadir di situ tersirap ke muka dan denyut jantung menjadi cepat sekali. Perhatian semua tamu tercurah kepada para penari dari kota raja ini. Hal ini membuat Im Giok leluasa bicara dengan Tiauw Ki.

“Tidak apa, Giok-moi,” kata pemuda itu setelah mendengar akan kekhawatiran gadis itu tentang hilangnya bungkusan barang sumbangan.

“Bungkusan itu kosong tidak terisi apa-apa yang berharga. Surat dari Kaisar yang sesungguhnya tidak berada di situ, akan tetapi kuserahkan kepada Suma-huciang ketika kami bercakap-cakap tadi.”

Im Giok menjadi lega dan ia memandang dengan wajah berseri. Ia kagum sekali akan kecerdikan pemuda ini. Dengan demikian, surat rahasia itu tidak terampas oleh orang lain dan ini berarti tugas Im Giok mengawal pemuda dan suratnya berhasil baik. Kini surat sudah berada di tangan Suma-huciang, orang yang berhak, maka sudah tidak ada tugas apa-apa lagi di tempat itu.

“Kalau begitu, tugas kita sudah selesai. Kapan kita meninggalkan tempat ini?” tanyanya.

“Sebetulnya aku sendiri pun tidak suka tinggal terlalu lama di sini,” jawab Tiauw Ki sambil melempar kerling ke arah Lie Kian Tek seakan-akan hendak menyatakan bahwa ketidak-senangan itu disebabkan oleh kehadiran putera gubernur itu. “Akan tetapi, Suma-taijin minta kepadaku untuk bermalam di sini malam ini dan besok hari baru kita meninggalkan tempat ini. Kuharap kau tidak keberatan, Adik Im Giok.”

“Keberatan sih tidak, asal saja malam ini tidak akan terjadi sesuatu atas dirimu,” kata Im Giok mengerutkan kening.

“Giok-moi yang baik, dengan adanya kau di sini, aku takut apakah?”

Kata-kata ini disertai senyum dan pandang mata penuh arti, yang hanya dapat dimengerti oleh Im Giok. Tiba-tiba gadis ini merasa jengah, mukanya kemerahan dan untuk sesaat ia tidak berani memandang langsung kepada Tiauw Ki.

“Aku hanya memenuhi perintah Susiok-couw…” katanya kemudian perlahan.

Karena takut kalau-kalau keadaan mereka diperhatikan oleh orang lain lalu mengalihkan pandangan mata ke atas panggung di mana para penari sedang memperlihatkan kepandaian mereka dengan indahnya.

Demikianlah, pesta berjalan terus dengan lancar dan kejadian sebelum tari-tarian diadakan agaknya sudah dilupakan orang. Bahkan dari pihak Lie Kian Tek sendiri agaknya tidak ada aksi-aksi selanjutnya.

Setelah tari-tarian berhenti dan diganti dengan biduan-biduan istana yang menyanyikan juga lagu-lagu merdu, berangsur-angsur para tamu mengundurkan diri, berpamit kepada tuan rumah sambil menghaturkan terima kasih.

Akhirnya Suma-huciang sendiri yang sudah tua merasa lelah dan minta maaf kepada para tamu yang masih hadir, mengundurkan diri untuk mengaso. Setelah minta maaf kepada tamu-tamu yang tak berapa banyak lagi dan menjura, Suma-huciang lalu mengajak Gan Tiauw Ki masuk ke dalam. Kepada Im Giok ia berkata,

“Nona, kalau Nona hendak mengaso, sebuah kamar sudah tersedia. Silakan.”






Tidak ada komentar :