*

*

Ads

Jumat, 12 April 2019

Ang I Niocu Jilid 100 (TAMAT)

Ang I Niocu teringat akan pemuda itu, lalu ia menoleh dan menghadapinya.
“Tuan siapakah? Sungguh gegabah sekali berani menyerang Koai-tung Toanio. Kalau tidak cepat-cepat Suci datang membantu, bukankah kau hanya akan mengantarkan nyawa dengan cuma-cuma?” tegurnya, akan tetapi suara dan pandang matanya manis.

Pemuda itu menjura dan sepasang matanya yang bening dan menyinarkan watak jujur dan halus itu berseri,

“Niocu,” katanya tersenyum, “andaikata aku tewas dalam membantumu, aku rela! Aku adalah Kang Ek Sian dan aku mewakili Bu-tong-pai untuk menghadiri pertemuan di Thai-san. Di Bu-tong-pai aku telah banyak mendengar tentang kau, Niocu, kau sudah berjasa mengakurkan kembali Bu-tong-pai dan Kim-san-pai. Budimu terlalu besar dan nyawaku tidak berharga!”

Mendengar ini, diam-diam Ang I Niocu menjadi senang dan memuji pemuda yang pandai bicara ini. Akan tetapi tiba-tiba Giok-gan Kui-bo membentaknya,

“Bocah lancang! Awas jangan kau berani main gila. Kau sudah jatuh cinta kepada sumoiku, ya? Jangan kau main-main, orang seperti kau ini mana ada harga untuk mencinta Sumoi?”

“Suci!” Ang I Niocu menegur gadis itu. “Jangan kau bicara sembarangan dan menghina orang tanpa alasan. Kalau Susiok-couw mendengarnya, kau akan menerima hukuman!”

Nama Bu Pun Su amat ditakuti Kim Lian. Ia menjadi pucat dan menengok ke sana ke mari.

“Apakah Susiok-couw berada di sini?” tanyanya.

“Apa kau tidak tahu?” Ang I Niocu menjawab. “Susiok-couw sedang mengadakan pertemuan di puncak Gunung Thai-san ini. Sewaktu-waktu Susiok-couw bisa muncul di sini. Maka jangan kau bicara sembarangan!”

Song Kim Lian menjadi makin ketakutan. Ia buru-buru pergi sambil berkata,
“Aku pergi dulu, Sumoi, ada urusan penting sekali. Biar lain kali kita bertemu kembali.” Akan tetapi setelah agak jauh, ia mengamang-ngamangkan tinjunya ke arah Kang Ek Sian sambil berkata, “Awas kau, aku tahu kau tergila-gila pada Sumoi!” Dan di lain saat Giok-gan Kui-bo Song Kim Lian lenyap dari situ.

Kang Ek Sian berdiri seperti patung, mukanya agak pucat. Ang I Niocu merah mukanya dan ia merasa malu sekali atas sikap sucinya.

“Harap kau suka memaafkan Suci, memang wataknya aneh sekali,” katanya kepada pemuda itu.

Kang Ek Sian memandangnya dengan tajam.
“Tidak ada yang harus dimaafkan, Niocu. Bahkan aku diam-diam memikirkan apakah kata-katanya itu tidak tepat sekali.”

Sepasang mata Ang I Niocu memancarkan api kemarahan, akan tetapi melihat wajah yang jujur dan terbuka itu, ia menahan kemarahannya. Hanya ia merasa mendongkol sekali. Dalam saat yang sama, dua orang laki-laki telah tergila-gila kepadanya. Tadi si tua bangka bermuka hijau itu tergila-gila, sekarang pemuda ini!

Akan tetapi di samping kemendongkolannya, timbul perasaan aneh dalam hatinya. Perasaan seperti orang gembira dan puas. Puas melihat orang-orang lelaki yang tergila-gila kepadanya karena ia maklum bahwa mereka akan tergila-gila dengan sia-sia belaka, takkan menerima balasan darinya. Biar mereka itu menjadi korban cinta, pikirnya. Biar laki-laki bodoh itu makan hati biar sengsara karena kebodohan sendiri telah mabuk oleh cinta, seperti yang pernah ia alami…!

Kang Ek Sian sadar bahwa ia telah mengucapkan kata-kata yang kurang patut, maka ia lalu berkata cepat-cepat,

“Maaf, Niocu. Aku… aku hendak mengurus dua jenazah ini lebih dulu.”






Pemuda itu lalu menggali lubang dan mengubur jenazah Tiat-sim Lo-mo dan Koai-tung Toanio. Ang I Niocu melihat ini semua dengan hati memuji. Pemuda ini benar-benar seorang yang berbudi luhur, biarpun Tiat-sim Lo-mo dan Koai-tung Toanio adalah penjahat-penjahat keji, namun setelah mereka tewas, pemuda itu suka mengubur jenazah mereka. Jarang terdapat pemuda yang demikian baik hati, pikirnya.

“Anak baik, kau siapakah?” tiba-tiba terdengar suara halus.

Belum juga orangnya nampak, Ang I Niocu sudah cepat menjatuhkan diri berlutut dan betul saja tak lama kemudian, tiba-tiba di situ berdiri Bu Pun Su, pendekar sakti yang kini pakaiannya penuh tambalan seperti pengemis.

Kakek sakti itu memandang kepada Ang I Niocu yang memberi hormat sambil menyebut, “Susiok-couw!” mengangguk-angguk senang lalu menoleh kepada Kang Ek Sian yang sudah selesai dengan pekerjaannya.

Ketika Kang Ek Sian mendengar bahwa kakek ini adalah Sin-taihiap Bu Pun Su, ia menjatuhkan diri memberi hormat dan menjawab,

“Boanpwe adalah Kang Ek Sian, anak murid Bu-tong-pai. Suhu Lo Beng Hosiang menyuruh boanpwe mewakili Bu-tong-pai untuk menghadiri pertemuan di puncak Thai-san. Harap Locianpwe maafkan kalau boanpwe tidak melihat kedatangan Locianpwe sehingga tidak sempat menyambut.”

“Tidak apa, tidak apa. Kau mengubur jenazah Tiat-sim Lo-mo dan Koai-tung Toanio, itu amat baik! Terima kasih, orang muda. Dengarlah, dan kau juga Im Giok, pertemuan di puncak tidak jadi diadakan. Perang sudah meletus, para pemberontak sudah bergerak di sana-sini. Celakanya, banyak orang-orang gagah di dunia kang-ouw membantu mereka! Benar-benar dunia kang-ouw telah terpecah dua dengan adanya pemberontakan ini.” Bu Pun Su menghela napas dan memandang ke angkasa.

“Kehendak Thian, siapakah orangnya dapat membantah? Im Giok, kau jagalah di lereng bukit sebelah barat, tunggu selama tiga hari. Jika ada orang datang, sampaikan terima kasih dan salamku, dan katakan bahwa pertemuan tak mungkin diadakan karena banyak tokoh-tokoh kang-ouw sudah turun tangan, terjun dalam peperangan. Tidak pertu dirunding-runding lagi. Dan kau, Kang Ek Sian, kau jagalah di lereng timur, jaga sampai tiga hari dan lakukan seperti yang kukatakan kepada Im Giok tadi. Aku sendiri hendak meninjau keadaan di mana terjadi perang agar rakyat jangan terlalu menderita oleh kerusuhan yang timbul karenanya.”

Dua orang muda yang berlutut itu menyatakan kesanggupan mereka. Ketika hendak pergi, Bu Pun Su berkata,

“Im Giok, kelak kau harus awasi baik-baik sucimu Kim Lian itu. Aku sekarang tidak sempat, sampaikan peringatanku kepadanya supaya dia menjaga langkah hidupnya jangan menyelewengi!”

Sebelum Ang I Niocu menjawab, kakek itu berkelebat lenyap! Dua orang muda itu bangkit berdiri, saling pandang dan Kang Ek Sian berkata,

“Alangkah besar untungku, dapat bertemu dengan pendekar sakti itu. Niocu, setelah kita melakukan tugas ini dalam tiga hari, bolehkah aku menemuimu di lereng barat? Aku merasa bahagia dan terhormat sekali dapat bertemu dan berkenalan denganmu, dan sudikah kau menerimaku berkunjung di lereng barat untuk bercakap-cakap?”

Permintaan ini cukup pantas, bagaimana ia dapat menolaknya?
“Apa salahnya? Tentu saja aku suka menerima kunjunganmu, asal saja aku masih berada di sana,” jawabnya menyimpang, kemudian gadis itu berlari cepat menuju ke lereng barat,

Kang Ek Sian memandang ke arah bayangan merah itu dengan bengong, semangat dan hatinya seakan-akan ikut melayang bersama bayangan merah itu.

Benar seperti dugaan Bu Pun Su, hanya sedikit saja orang yang datang mengunjungi puncak Thai-san untuk pertemuan. Mereka ini segera turun kembali setelah diberitahu oleh Ang I Niocu atau Kang Ek Sian. Tidak seorang pun di antara mereka berani mengganggu dua orang muda ini karena siapakah orangnya berani main-main terhadap orang kepercayaan Bu Pun Su?

Tiga hari telah lewat dan pada hari ke empat, pagi-pagi sekali Kang Ek Sian telah berlari-lari menuju ke lereng sebelah barat untuk bertemu dengan gadis baju merah yang selama tiga hari tiga malam telah membuat ia tidak dapat memejamkan mata barang semenit! Akan tetapi setelah tiba di tempat itu, ia tidak melihat lagi bayangan Ang I Niocu.

“Niocu…!” ia memanggil. Tidak ada jawaban.

“Ang I Niocu…!” ia memperkeras suaranya.

Hanya kumandangnya saja yang menjawab. Sambil berseru memanggil-manggil nama gadis yang telah merampas hatinya itu Kang Ek Sian mencari terus di daerah itu, makin lama suaranya yang memanggil-manggil nama Ang I Niocu makin jauh sampai akhirnya tidak kedengaran lagi.

Bayangan merah berkelebat dari balik gerombolan pohon dan Ang I Niocu berdiri di situ menarik napas panjang berkali-kali. Ia tidak mau mendekati Kang Ek Sian. Pemuda ini orang baik-baik dan memiliki watak yang mulia. Kalau ia dekati, mungkin akan menjadi berubah seperti halnya Liem Sun Hauw. Bukankah Sun Hauw tadinya juga seorang pemuda gagah perkasa yang berbudi mulia? Akan tetapi menjadi buta dan tidak kenal pribudi setelah tergoda oleh cinta. Ia tidak mau melihat Kang Ek Sian menjadi seperti itu.

Setelah berpikir sebentar, Ang I Niocu lalu berlari-lari cepat turun gunung. Tujuannya adalah Pek-tiauw-san (Bukit Rajawali Putih) di mana ia akan mencari telur Rajawali Putih untuk dibuat obat anti tua agar ia tetap cantik jelita seperti Pek Hoa Pouwsat dahulu!

Ang I Niocu tidak mau melayani kasih sayang pria akan tetapi ia pun tidak mau menjadi tua, hendak muda selalu, cantik jelita selalu, dan menjatuhkan hati laki-laki.

Setelah mendapatkan telur Pek-tiauw dan meminumnya bersama obat sebagaimana yang diajarkan oleh mendiang Pek Hoa Pouwsat, benar saja Ang I Niocu menjadi makin cantik jelita, mukanya menjadi makin halus kemerahan dan bercahaya, dan biarpun tahun demi tahun usianya meningkat, namun wajah dan bentuk tubuhnya masih tetap seperti seorang remaja berusia tujuh belas tahun!

Tidak terbilang banyaknya pria yang tergila-gila kepadanya, tua muda, ahli silat dan sastrawan, bangsawan dan petani, hartawan dan miskin. Namun, Ang I Niocu tetap tak mau menerima seorang di antara mereka, hanya tersenyum makin manis sambil meninggalkan mereka yang kehilangan semangat dan hati, pergi meninggalkan mereka yang bertekuk lutut mengharapkan balasan cintanya.

Di samping semua ini, Ang I Niocu tidak lupa melakukan pekerjaan sebagai seorang pendekar wanita menolong orang-orang yang tertindas, membasmi si jahat dan si penindas.

Oleh karena itu beberapa tahun kemudian, terkenallah nama Ang I Niocu sebagai seorang pendekar wanita yang gagah perkasa, kadang-kadang ganas sekali dan tak mengenal ampun menghadapi penjahat, seorang pendekar wanita yang cantik jelita seperti bidadari akan tetapi yang berhati batu, dingin membeku tidak menghiraukan segala bujuk rayu kaum pria.

Demikianlah, cerita “ANG I NIOCU” berakhir sampai di sini dan pengalaman-pengalaman selanjutnya dari Ang I Niocu dan tokoh-tokoh lain dalam cerita ini dapat dibaca dalam cerita, PENDEKAR BODOH .

TAMAT






Tidak ada komentar :