*

*

Ads

Jumat, 12 April 2019

Ang I Niocu Jilid 099

Kalau bukan seorang ahli, mana bisa mencampuri mereka? Disamping ini, biarpun Sun Hauw orang kampung itu, akan tetapi ia telah mendatangkan kesan buruk pada penduduk kampung itu dengan peristiwa yang terjadi pada diri Siok Lan.

Seratus jurus telah lewat dan tiba-tiba terdengar Ang I Niocu mengeluarkan bentakan nyaring, disusul oleh robohnya tubuh Liem Sun Hauw yang telah tertusuk dada kirinya oleh pedang dara baju merah itu. Aneh sekali, dalam menghadapi maut ini, tiba-tiba Sun Hauw teringat kepada Siok Lan dan seperti dalam mimpi ia berseru,

“Siok Lan… kau tunggulah aku…!”

Dan tewaslah ia dengan pedang masih di tangan. Melihat ini, Ang I Niocu merasa terharu juga, terharu karena pemuda ini tewas sebagai akibat mencintainya. Ia menoleh kepada orang-orang kampung yang masih berdiri memandangnya.

“Yang menewaskan Liem Sun Hauw adalah aku, Ang I Niocu. Aku membalaskan sakit hati Nona Siok Lan.”

Setelah berkata demikian, Ang I Niocu berjalan pergi dengan langkah tenang dan lambat, akan tetapi anehnya, sebentar saja ia telah lenyap dari pandangan mata orang-orang kampung.

Ang I Niocu langsung menuju ke Thai-san untuk menghadiri pertemuan orang-orang gagah yang diadakan oleh susiok-couwnya. Memang ia sebetulnya tidak diharuskan ke sana, akan tetapi setelah sekarang ia menjadi seorang perantau, peristiwa ini menarik hatinya dan ingin ia melihat dan bertemu dengan tokoh-tokoh kang-ouw yang ternama.

Ketika ia tiba di sebuah hutan di kaki Gunung Thai-san, selagi ia berjalan perlahan, tiba-tiba terdengar bentakan!

“Perempuan rendah, sudah lama aku menunggu di sini!”

Ang I Niocu tenang memandang dan ia melihat Koai-tung Toanio muncul bersama seorang kakek tua yang bermuka hijau. Ang I Niocu maklum bahwa Koai-tung Toanio tentu akan membalas sakit hati karena telah dua kali ia kalahkan, apalagi akhir-akhir ini ia telah melukai pundak seorang puterinya, bahkan telah membunuh dua orang anaknya yang menjadi anggauta Min-san Sam-kui, yakni Kwan Liong dan Kwan Bi Hwa.

Maka tahulah ia bahwa kali ini ia harus bertempur mati-matian. Terhadap Koai-tung Toanio ia tidak takut, akan tetapi ia dapat menduga bahwa kakek yang menyertai nenek galak itu tentulah seorang berkepandaian tinggi.

“Toanio, kita berjumpa pula di sini. Kali ini apa kehendakmu?” tanya Ang I Niocu tenang akan tetapi siap sedia.

Sementara itu, kakek bermuka hijau itu sejak tadi sudah memandang dengan bengong kepada Ang I Niocu.

“Ci Im, inikah nona yang bernama Ang I Niocu?” tanya kakek itu kepada Koai-tung Toanio yang sebetulnya bernama Kwan Ci Im.

“Betul, Susiok. Dia inilah siluman betina yang telah membunuh dua orang anakku,” jawab Koai-tung Toanio penuh kebencian.

“Kau keliru, Ci Im. Dia ini tidak seperti siluman, lebih patut menjadi bidadari. Hemm, alangkah cantik manisnya. Aku telah hidup lima puluh tahun lebih, baru sekarang ini melihat seorang wanita secantik ini…! Bukan main…!”

Dapat dibayangkan betapa mendongkol dan marahnya hati Ang I Niocu mendengar kata-kata bandot tua itu. Dari kata-katanya sudah dapat dinilai orang macam apa yang sekarang ia hadapi.

“Anjing-anjing tua tak tahu malu!” makinya sambil mencabut pedangnya. “Kalian menggonggong di sini mau apakah?”

“Setan perempuan, kuhancurkan kepalamu!”

Koai-tung Toanio sudah tak dapat menahan marahnya lagi dan tongkatnya menyambar. Ang I Niocu cepat menangkis sehingga tongkat itu terpental kembali.

“Ci Im, jangan! Biarkan aku menangkapnya. Sayang kalau sampai kulitnya yang putih halus itu lecet oleh tongkatmu! Aku akan menangkapnya hidup-hidup tanpa melukainya. Nona manis, marilah ikut dengan aku!”






Kakek tua bermuka hijau itu melompat maju. Kedua tangannya dikembangkan, jari-jari tangannya seperti cakar setan.

Ang I Niocu marah sekali. Pedangnya berkelebat membabat dua lengan itu. Kakek itu tertawa bergelak, tangannya disampokkan ke arah pedang.

“Triiing…!”

Kedua pihak kaget. Ang I Niocu terkejut sekali karena pedangnya telah ditangkis oleh kuku jari-tangan kakek itu! Benar-benar kepandaian yang luar biasa dan hebat. Agaknya kakek ini telah melatih jari tangannya berikut kukunya untuk menghadapi senjata tajam lawan.

Di lain pihak, kakek itu pun kaget setengah mati karena bukan saja ia tidak dapat merampas pedang seperti yang ia duga semula, bahkan jari tangannya terasa sakit ketika bertemu dengan pedang.

“Eh, eh, kau ternyata berisi juga, Nona manis. Akan tetapi sekarang bertemu dengan Tiat-sim Lo-mo (Iblis Tua Berhati Besi), jangan harap kau dapat berlagak!”

Setelah berkata demikian, ia mencabut keluar sebatang golok yang memakai gelangan-gelangan kecil pada punggung golok, gelangan yang bisa mengeluarkan bunyi gemerincing yang gunanya untuk mengacaukan lawan.

Ang I Niocu diam-diam terkejut juga. Ia pernah mendengar nama julukan Tiat-sim Lo-mo ini, yaitu seorang tokoh besar Kong-thong-pai yang menyeleweng dan sudah tidak diakui di partainya.

Tiat-sim Lo-mo terkenal sebagai seorang penjahat cabul yang kejam sekali. Selain ini ia pun seringkali merampok rumah orang dan dalam melakukan semua kejahatan ini, ia bisa berlaku kejam dan membunuh seisi rumah tanpa berkedip mata, dari yang tua sampai anak-anak kecil. Oleh karena itulah maka ia diberi julukan Iblis Tua Berhati Besi untuk menggambarkan betapa kejam hatinya.

“Ah, kiranya kau iblis jahat. Kebetulan sekali, aku ingin membalaskan sakit hati puluhan orang yang menjadi korbanmu!” kata Ang I Niocu sambil mainkan pedangnya.

“Ha, ha, ha, ha, kau sendiri akan menjadi korban baru, bagaimana kau akan membalas sakit hati? Ha, ha, ha, lebih baik kau menyerah dengan tenang daripada harus lecet-lecet kulitmu!”

Ang I Niocu tidak mau melayaninya bicara lagi, pedangnya bergerak hebat dan mengerti bahwa ia berhadapan dengan orang lihai, Ang I Niocu langsung mengeluarkan jurus-jurus yang paling lihai dari ilmu pedangnya.

Sebetulnya tingkat dari Tiat-sim Lo-mo ini lebih tinggi dari Ang I Niocu, akan tetapi oleh karena ia seorang pemogoran sehingga lwee-kangnya banyak berkurang, pula karena ilmu pedang dari Ang I Niocu memang luar biasa, sebentar saja ia terdesak hebat dan goloknya hanya mampu menangkis saja.

Baiknya ia masih mempunyai andalan tangan kirinya yang kadang-kadang melakukan serangan mencengkeram yang berbahaya sekali sehingga Ang I Niocu harus berlaku hati-hati sekali dan tidak mudah merobohkan iblis tua ini.

Melihat Tiat-sim Lo-mo belum juga mampu mendesak, apalagi mengalahkan Ang I Niocu, Koai-tung Toanio menjadi kecewa dan nenek ini lalu menyerbu dengan tongkatnya, membantu Tiat-sim Lo-mo dan mengeroyok Ang I Niocu!

Kali ini Ang I Niocu benar-benar terdesak hebat. Kepandaian nenek bertongkat itu sudah tinggi. Menghadapi kakek muka hijau itu saja sudah amat berat baginya, apalagi sekarang nenek itu ikut-ikut mengeroyok.

Terpaksa Ang I Niocu mengerahkan tenaga dan memutar pedangnya melindungi tubuhnya sehingga jangan kata baru senjatat lawan, biar angin dan air pun takkan mampu menembus benteng sinar pedangnya!

Akan tetapi, pertempuran seperti ini kalau dilanjutkan tentu ia akan kalah juga, kalah karena kehabisan tenaga. Ia hanya mampu melindungi diri tanpa mendapat kesempatan membalas sama sekali.

Telah delapan puluh jurus lebih Ang I Niocu bertahan diri. Ia mulai lelah karena untuk menangkis serangan-serangan kedua lawannya, ia harus mengerahkan tenaga lwee-kang.

Ang I Niocu merasa gemas sekali. Untuk membalas serangan lawan, ia tidak mampu karena dirinya sudah dikurung hebat. Untuk melarikan diri, memang dapat karena dalam hal gin-kang ia masih menang, akan tetapi ia tidak sudi melakukan hal ini. Ia bertahan terus.

Seratus jurus telah lalu dan kini peluh telah membasahi jidat dan leher gadis itu. Tiat-sim Lo-mo sudah tertawa-tawa mengejek dan mengeluarkan kata-kata kotor yang menambah kemarahan Ang I Niocu.

Tiba-tiba terdengar bentakan nyaring,
“Dua orang siluman bangkotan sungguh tak tahu malu! Ang I Niocu, jangan khawatir, aku datang membantumu!”

Berkelebat bayangan yang cepat dan gesit gerakannya, sebatang pedang menyerang dan menahan tongkat Koai-tung Toanio. Serangan ini cukup kuat dan cepat sehingga terpaksa Koai-tung Toanio meninggalkan Ang I Niocu dan menghadapi lawan baru ini yang ternyata adalah seorang pemuda tampan berpakaian sastrawan. Biarpun gerak-geriknya lemah, namun ternyata ilmu pedang ini cukup kuat dan tenaga lwee-kangnya cukup hebat.

Ang I Niocu melirik dan melihat pemuda tampan ini, ia menjadi heran. Belum pernah ia bertemu dengan pemuda ini, mengapa begitu datang terus membantunya dan telah mengenal namanya?

Akan tetapi segera nona baju merah ini mengerutkan kening. Biarpun ia sudah ditinggalkan Koai-tung Toanio sehingga ia kini dapat membalas dan mendesak Tiat-sim Lo-mo, akan tetapi sebaliknya, pemuda itu terdesak oleh tongkat Koai-tung Toanio yang hebat dan ganas.

Sekali pandang saja Ang I Niocu dapat mengenal ilmu pedang pemuda itu, yakni ilmu pedang dari Bu-tong-pai, dan biarpun ilmu pedang pemuda itu cukup baik, namun masih belum cukup kuat untuk mengalahkan Koai-tung Toanio.

Di lain pihak, ia sendiri biarpun mengurung lawan dengan sinar pedangnya, ternyata bahwa Tiat-sim Lo-mo benar-benar seorang yang luar biasa. Kakek ini sudah banyak sekali pengalamannya bertempur, maka ia tak mudah ditipu oleh gerakan pedang dan dapat menjaga diri dengan baiknya, bahkan kadang-kadang tangan kirinya masih melakukan serangan yang berbahaya.

Tiba-tiba terdengar suara ketawa nyaring,
“Ha, ha, iblis tua berani mengganggu Sumoi? Ini artinya kau akan segera mampus!”

Berbareng dengan ucapan itu sinar pedang gemerlapan menyambar leher Tiat-sim La-mo yang menjadi kaget sekali karena serangan ini benar-benar cepat dan ganas.

“Giok-gan Kui-bo (Biang Iblis Bermata Kemala)!” teriak Koai-tung Toanio ketika ia melihat gadis yang baru datang.

“Enci Kim Lian…!”

Ang I Niocu berseru girang dan juga heran. Dengan majunya Kim Lian mengeroyok Tiat-sim Lomo sebentar saja kakek itu menjadi kewalahan. Ilmu pedang Kim Lian biarpun tidak sehebat ilmu pedang Ang I Niocu, namun memiliki keganasan sesuai dengan wataknya dan dalam lain-lain hal, kepandaian gadis ini hanya kalah sedikit saja oleh sumoinya.

Karena rangsakan dua orang gadis ini, tak lama kemudian pedang Ang I Niocu telah dapat membabat lehernya, dan pedang Kim Lian membabat putus lengan kirinya. Kakek itu roboh tanpa dapat berteriak lagi dan tewas di saat itu juga!

Ang I Niocu tidak segera menyambut sucinya, melainkan terus saja menyerang Koai-tung Toanio, membantu pemuda itu. Mana Koai-tung Toanio dapat menahannya? Dalam lima jurus kemudian, ia pun roboh binasa oleh pedang Ang I Niocu.

Setelah itu, baru Ang I Niocu menoleh kepada sucinya, Kim Lian tertawa akan tetapi sepasang mata yang indah sekali itu menjadi basah air mata! Ang I Niocu memandang terharu dan di lain saat dua orang gadis itu saling berpelukan.

“Im Giok… aku girang sekali kau sudah pulih kembali, sudah gembira dan bertambah cantik!” kata Song Kim Lian atau dengan julukan baru Giok-gan Kui-bo sambil memandang wajah sumoinya.

Sebaliknya, Ang I Niocu juga memperhatikan sucinya yang sekarang kelihatan amat pesolek, jauh melebihi dahulu. Bahkan pipi dan bibirnya juga diberi merah-merah! Pakaiannya indah dan terbuat dari sutera mahal.






Tidak ada komentar :