*

*

Ads

Jumat, 12 April 2019

Ang I Niocu Jilid 098

Sun Hauw menjadi terkejut dan menyesal sekali ketika mendengar tentang perbuatan Siok Lan yang nekad. Tak terasa lagi air matanya turun bertitik, karena betapapun juga, ia sesungguhnya amat sayang kepada Siok Lan. Kalau di sana tidak ada Ang I Niocu, kiranya ia akan menerima Siok Lan sebagai isteri dengan perasaan gembira dan bahagia.

Ayahnya juga menangis sesenggukan, membanting diri di atas pembaringan sambil memaki-maki anaknya,

“Sun Hauw, dasar kau manusia tak kenal budi! Kau telah melakukan perbuatan yang membikin kotor nama keluarga kita, kau telah melakukan dosa besar sekali, dan sesungguhnya kaulah yang membunuh Siok Lan…!” Setelah memaki-maki, ayah ini berkata, “Kau boleh mencari isteri yang mana saja, akan tetapi bagiku, kau sudah mempunyai isteri Siok Lan! Aku tidak sudi melamarkan lain orang gadis untuk menjadi isterimu!”

Tentu saja Sun Hauw merasa amat berduka. Akan tetapi, disamping kedukaannya ini, ia pun diam-diam merasa girang karena kini perjodohannya dengan Ang I Niocu tidak terhalang oleh apapun juga lagi! Kalau ayahnya tidak mau meminang, ia dapat minta perantaraan susioknya. Memang, seorang yang sudah dimabuk cinta kadang-kadang sampai lupa akan kebajikan, yang diingat hanyalah kesenangan diri sendiri saja.

Setelah meninggalkan sebagian besar uangnya untuk disumbangkan kepada keluarga Tang, Sun Hauw lalu berpamit kepada ayahnya untuk melanjutkan perjalanan. Tak dapat dilukiskan betapa remuk perasaan hati ayahnya. Ayah ini hanya mempunyai seorang putera dan sekarang, putera ini telah mengecewakan hatinya, bahkan hanya setengah hari saja pulang, dan hendak pergi lagi.

Sebaliknya, setelah keluar dari rumahnya, Sun Hauw merasa seakan-akan seekor burung terlepas dari sangkar yang sempit. Ia berlari-lari menuju ke luar kampung dimana tadi ia berpisah dari Ang I Niocu. Kemuraman wajahnya yang tadi sudah lenyap terganti seri penuh harapan dan kegembiraan. Masa depannya penuh madu dan kebahagiaan bersama Ang I Niocu, dara perkasa yang cantik seperti bidadari, mengapa ia harus berduka?

Dengan hati gembira ia berlari keluar dari pintu gerbang dusunnya dan dari jauh ia sudah melihat dara baju merah itu menanti kedatangannya, berdiri tegak dengan gagah dan cantiknya. Gadis itu tersenyum manis sekali dan matanya bersinar-sinar menatap wajah Sun Hauw.

“‘Kuharap aku tidak terlalu lama pergi sehingga kau tidak menjadi kesal hati,” kata Sun Hauw.

“Tidak sama sekali,” jawab Ang I Niocu dengan suara merdu dan sikap menarik. “Saudara Liem, mengapa selama ini kau tidak pernah bercerita kepadaku tentang maksud-maksud mendiang ayahku?”

Sun Hauw terkejut, hatinya berdebar.
“Apa yang kau maksudkan, Niocu?”

Ang I Niocu tersenyum manis.
“Ayah sebelum menutup mata meninggalkan pesan kepadaku tentang kita.”

Dapat dibayangkan betapa girangnya hati Sun Hauw. Jadi kalau begitu selama ini Ang I Niocu sudah tahu bahwa dia adalah pilihan ayahnya? Dan gadis itu mau melakukan perjalanan bersama dia. Ah, kalau begini dapat diharapkan sembilan dari sepuluh bagian cita-citanya terlaksana!

“Jadi kau… kau sudah tahu, Niocu? Aku diam saja karena tidak ingin membikin kau tak enak hati dan malu. Memang, mendiang ayahmu dahulu telah… mengusulkan tentang… ikatan jodoh antara kita…”

“Saudara Liem, apakah kau suka kepadaku?” tanya Ang I Niocu, sepasang matanya menatap tajam, mulutnya tetap tersenyum manis.

Diam-diam Sun Hauw terheran-heran juga mengapa gadis ini tidak kelihatan likat dan sungkan, dan bicara tentang ikatan jodoh nampaknya demikian biasa!

“Suka kepadamu, Niocu? Ah, kiranya tak perlu kujelaskan dan Niocu yang berpandangan tajam tentu sudah mengetahui akan isi hatiku. Semenjak pertemuan kita yang pertama kali, aku… aku sedetik pun tak pernah dapat melupakanmu, Niocu. Aku cinta kepadamu dengan seluruh jiwaku…”

Senyum di mulut Ang I Niocu melebar sehingga nampak sekilas giginya yang putih dan rapi.

“Begitukah? Akan tetapi kau harus tahu bahwa sebelum Ayah menyatakan keinginannya agar kau berjodoh denganmu, aku sudah bersumpah bahwa aku hanya akan menikah dengan seorang pria yang dapat mengalahkan pedangku. Nah, Saudara Liem, kalau kau memang benar-benar cinta kepadaku dan hendak memperisteri aku, coba kau kalahkan pedangku ini!”






Sambil berkata demikian Ang I Niocu mencabut pedangnya dan menanti dengan sikap garang.

Liem Sun Hauw tentu saja menjadi terkejut, tertegun dan tak tahu harus berbuat apa. Akan tetapi, melihat senyum Ang I Niocu tadi, hatinya menjadi besar. Melihat gelagatnya, nona ini pun membalas cinta kasihnya. Sudah tentu saja Ang I Niocu memegang harga diri dan mengadakan “sayembara” ini untuk mempertinggi harga dirinya, akan tetapi kalau nona ini membalas cintanya, masa Ang I Niocu akan bertempur sungguh-sungguh?

Dan pula, andaikata Ang I Niocu bersungguh-sungguh, ia pun tidak takut karena biarpun dalam hal gin-kang ia harus mengakui masih kalah oleh nona baju merah ini, namun dalam ilmu pedang, ia tidak percaya kalau kalah. Ia telah menerima gemblengan dari mendiang Thian Mo Siansu dan telah mempelajari ilmu pedang yang lebih lihai daripada ilmu pedang Go-bi-pai.

“Begitukah kehendakmu, Niocu? Biarlah aku memperlihatkan kebodohanku,” katanya sambil mencabut pedang dan memasang kuda-kuda.

Ia sengaja memasang pertahanan untuk memberi kesempatan kepada Ang I Niocu menyerang lebih dulu. Ang I Niocu tidak sungkan-sungkan lagi.

“Lihat pedang!” serunya dan di lain saat Sun Hauw harus cepat-cepat membuang diri ke kiri sambil menyampok karena pedang gadis itu lenyap berubah sinar bagaikan kilat menyambarnya, cepat bukan main.

“Hebat…!” tak terasa lagi Sun Hauw mengeluarkan seruan terkejut dan kembali sinar pedang di tangan Ang I Niocu menyambarnya.

Dalam beberapa jurus Sun Hauw terus terdesak hebat dan serangan-serangan Ang I Niocu benar-benar luar biasa ganasnya. Akan tetapi Sun Hauw tidak mau membalasnya, hanya memutar pedang sedapat mungkin melindungi tubuhnya.

“Balaslah, aku paling tidak suka melihat orang berlaku mengalah. Memangnya ilmu pedangmu jauh lebih menang?” kata Ang I Niocu. Sambil berkata-kata, ia melanjutkan serangan-serangannya dengan cepat.

Melihat gerakan pedang Ang I Niocu, diam-diam Sun Hauw terkejut sekali dan tahulah ia bahwa gadis itu benar-benar lihai dan ilmu pedangnya amat tinggi tingkatnya, sukar diduga gerak-gerik dan perubahannya. Akan tetapi ia masih percaya penuh bahwa tidak nanti Ang I Niocu mau melukainya, maka sambil tersenyum manis ia berkata,

“Niocu, bagaimana aku berani menyerangmu? Sejak dahulu ayahmu telah memberi tahu bahwa kepandaianmu tinggi sekali, malah lebih tinggi daripada ayahmu sendiri. Pula, pedang tidak bermata, bagaimana aku tega menyerangmu? Kalau sampai kulitmu terluka pedang, bukankah aku akan menyesal setengah mati?”

Ang I Niocu yang tadinya bersikap manis, kini mengeluarkan suara ketus,
“Orang she Liem, kita dalam pibu, luka atau mati adalah soal biasa! Aku akan menyerangmu sungguh-sungguh!”

Sun Hauw masih saja tidak sadar akan perubahan suara ini. Ia masih tersenyum dan berkata manis,

“Niocu, aku tidak percaya kau akan melukaiku. Tegakah kau melihat tunangan sendiri menjadi korban ujung pedangmu? Kalau kau tega, silahkan, aku rela mati dalam tangan orang yang paling kucinta…”

Ang I Niocu tak dapat menahan marahnya lagi. Ia menghentikan gerakan pedangnya, berdiri tegak dan dengan muka merah ia menudingkan pedangnya ke arah muka Sun Hauw.

“Bangsat rendah! Kau kira kau ini orang macam apakah berani sekali bicara seperti itu di depanku? Ketahuilah, buka telingamu lebar-lebar, jangankan kau tak dapat menangkan pedangku, andaikata kau dapat menangkan juga, belum tentu aku sudi menjadi isteri seorang kejam macam kau!”

Kali ini benar-benar Sun Hauw terkejut. Mukanya berubah pucat ketika ia bertanya,
“Eh, Niocu, mengapa kau marah kepadaku? Apakah kesalahanku?”

“Manusia rendah, kau pandai berpura-pura! Tentu Ayah dahulu juga sudah tertarik oleh gerak-gerik dan kata-katamu yang palsu, mengira kau seorang baik-baik tidak tahunya kau menyimpan hati yang palsu. Apa yang kau sudah lakukan terhadap Siok Lan?”

Sun Hauw merasa semangatnya terbang.
“Siok Lan…? Bagaimana kau bisa tahu…?”

Ang I Niocu tersenyum akan tetapi kini senyumnya mengiris jantung, senyum mengejek dan memandang rendah.

“Kau sanggup menghancurkan hati seorang gadis suci seperti Siok Lan, kau telah mempermainkan perasaan cintanya. Kemudian, setelah gadis itu membunuh diri, masih hangat jenazahnya, kau sudah berani beraksi dihadapanku seolah-olah aku ini kekasihmu. Cih, laki-laki tak tahu malu!”

Setelah berkata demikian, dengan sikap menghina sekali Ang I Niocu membalikkan tubuh dan meninggalkan pemuda itu.

Dapat dibayangkan betapa hancur perasaan Sun Hauw di saat itu. Malu dan marah karena terhina, kecewa dan berduka karena ditolak cintanya, menyesal sekali atas perbuatannya terhadap Siok Lan, semua perasaan ini teraduk-aduk menjadi satu dalam hati dan pikirannya. Kemudian melihat Ang I Niocu meninggalkannya, ia mengejar sambil rnembentak,

“Ang I Niocu, ayahmu telah menjanjikan aku menjadi suamimu! Apakah kau hendak melanggar janji ? Apakah hendak mencemarkan nama baik ayahmu dengan mengingkari janji?”

Tiba-tiba Ang I Niocu membalikkan tubuh menantangnya dengan pandang mata berapi-api.

“Kau masih berani menyebut-nyebut ayahku? Bangsat rendah, aku tidak membunuh kau seperti anjing saja sudah amat untung bagimu. Kau berani menuduh aku mengingkari janji? Kaulah yang menipu Ayah, kau sudah bertunangan dengan Siok Lan masih berani menerima uluran tangan Ayah! Kau yang sudah menginngkari janjimu terhadap keluarga Siok Lan. Adapun aku, aku sama sekali tidak mengingkari janji. Sudah kukatakan tadi bahwa orang yang hendak menjadi suamiku harus dapat mengalahkan pedangku. Nah, sanggupkah kau mengalahkan pedangku?”

Kata-kata ini disusul dengan tarikan pedang yang dilintangkan di depan dada dengan gaya menantang sekali.

Hati Sun Hauw yang sudah remuk dan putus asa yang merasa kebahagiaannya jatuh dan hancur berantakan, kini menjadi panas dan membuatnya nekad. Ia rela mati kalau tidak bisa mendapatkan Ang I Niocu sebagai isterinya. Maka cepat dihadapinya Ang I Niocu dengan pedang di tangan dan katanya,

“Baiklah, Niocu. Kalau begitu besar keinginanmu hendak mengadu ilmu, mari kulayani kau!”

Sun Hauw kini menerjang dengan sengitnya dan sebentar kemudian dua orang muda itu sudah bertanding dengan seru. Ilmu pedang dari Sun Hauw memang lihai sekali, karena di dalam ilmu pedang yang berdasar pada ilmu pedang Go-bi-pai ini terdapat pukulan-pukulan aneh yang dahulu diwarisi oleh Thian Mo Siansu dari orang sakti Hok Peng Taisu. Pedang di tangannya lenyap berubah menjadi sinar bergulung-gulung, bagaikan seekor naga mengejar awan.

Namun kini ia menghadapi Ang I Niocu, dara perkasa ahli pedang yang mewarisi ilmu pedang dari keluarga Kiang, kemudian yang sudah menerima petunjuk dari orang sakti Bu Pun Su. Dalam menghadapi pemuda lihai ini, Ang I Nio tidak berani main-main dan cepat memainkan limu pedang Sian-li Kiam-sut yang amat indah gerakan-gerakannya namun di dalamnya mengandung tangan maut yang setiap saat mengancam nyawa lawannya.

Setelah mendapatkan kenyataan betapa tangguh ilmu pedang Ang I Niocu dan bahwa gadis itu benar-benar hendak merobohkannya, Sun Hauw menjadi marah dan hatinya sakit sekali. Ia merasa dipermainkan oleh gadis ini yang tadinya dikira “ada hati” kepadanya. Dengan seluruh tenaga dan kepandaian yang ada padanya, ia tidak sungkan-sungkan lagi dan kini ia benar-benar ingin mengalahkan Ang I Niocu, baik dengan melukainya maupun kalau perlu membunuhnya!

Pertempuran menjadi makin seru dan hebat di luar kampung Peng-kan-mui. Beberapa orang kampung yang melihat pertempuran ini memberi kabar kepada lain orang dan sebentar saja di tempat itu banyak berkumpul orang kampung. Akan tetapi mereka itu hanya menonton saja, tidak ada yang berani mencampuri. Apalagi dua orang itu bertempur bagaikan telah saling libat dengan sinar pedang, seperti menjadi satu.






Tidak ada komentar :