*

*

Ads

Jumat, 12 April 2019

Ang I Niocu Jilid 097

Kalau ia mengajak Ang I Niocu ke rumah ayahnya, bagaimana kalau terjadi hal-hal yang tidak dikehendakinya? Bagaimana kalau andaikata ayahnya marah-marah dan Ang I Niocu mendengar tentang pertunangannya dengan Siok Lan? Bisa ribut dan tentu Ang I Niocu akan tersinggung, akan marah!

“Niocu, baru sekarang aku ingat dan betapapun besar malu dan kecewaku kepadamu, terpaksa hal ini kukemukakan secara terus terang kepadamu. Kau tahu bahwa Ayah adalah seorang dusun yang kuno dan pendiriannya masih kolot. Kalau tiba-tiba saja aku datang bersama engkau, tentu ia akan menyangka yang bukan-bukan dan mengira bahwa aku telah menyeleweng. Hal ini bukan saja tidak baik bagiku, juga akan menyinggung perasaanmu. Oleh karena itu, aku harap kau sudi memaafkan aku, Niocu. Biarlah aku yang masuk lebih dulu, memberitahukan tentang perjalananku dan tentang kunjunganmu, agar orang tua itu tidak salah paham dan dapat menyambut kunjunganmu.”

Wajah Ang I Niocu menjadi merah. Akan tetapi bagaimana ia bisa marah? Pemuda ini bicara dengan begitu terus terang dan secara terbuka, sehingga sama sekali tidak dapat disebut menghinanya, bahkan telah melindunginya dari keadaan yang benar-benar akan dapat menyinggung dan menghinanya, misalnya kalau tiba-tiba ayah pemuda itu memaki-maki puteranya di depannya, tentu hal ini akan membuat dia merasa terhina. Oleh karena itu ia pun tersenyum manis sekali dan berkata,

“Aku mengerti, Saudara Liem. Tidak apa, karena memang aku tidak berhak mengganggu orang tua itu. Kau masuklah ke kampung dan tengok orang tuamu. Biar aku berjalan-jalan di kampung ini melihat-lihat. Kiranya setengah hari cukup untuk melepas rindu kepada ayahmu, bukan? Nah, sekarang masih pagi. Nanti lewat tengah hari kita bertemu pula di luar kampung ini untuk melanjutkan perjalanan.”

Sun Hauw tidak berani banyak membantah. Masuklah dua orang muda itu ke kampung Peng-kan-mui dalam keadaan berpisah. Sun Hauw membelok ke kanan dan Ang I Niocu membelok ke kiri.

Kampung itu besar juga sehingga Ang I Niocu takkan merasa kesepian selama menanti Sun Hauw menyelesaikan kunjungannya ke rumah. Ia berjalan perlahan di sepanjang jalan kampung itu, tidak mempedulikan pandangan orang-orang yang terheran-heran dan kagum melihatnya.

Di bawah sebatang pohon di belakang rumahnya, Tang Siok Lan berdiri termenung. Gadis manis ini kadang-kadang tersenyum dan kadang-kadang membelai-belai batang pohon dengan jari-jari tangannya yang halus. Baru saja ia mendengar warta girang, warta yang dianggapnya paling baik di antara segala berita. Warta tentang datangnya Liem Sun Hauw, kekasih dan tunangannya!

Ia telah “jatuh hati” kepada Liem Sun Hauw semenjak ia masih kecil! Teringat ia ketika dahulu, sama-sama masih seorang anak berusia enam tujuh tahun, ia selalu bermain-main dengan Sun Hauw di tempat ini, di kebun rumahnya di mana Sun Hauw setiap hari datang mengajaknya bermain-main.

Semenjak kecilnya, Sun Hauw memang sudah gagah atau setidak-tidaknya bercita-cita menjadi seorang gagah. Sering kali Sun Hauw membuat kuda-kudaan dari batang pohon, lalu berlari-lari “naik kuda” dengan lagak seorang pahlawan berangkat ke medan perang!

Dan di tengah jalan dia melambai-lambaikan tangan kepada Siok Lan yang dibalas dengan lambaian tangan pula. Sering kali mereka bermain-main, Sun Hauw menjadi pangeran dan Siok Lan menjadi puterinya, sang pangeran menolong sang puteri yang ditawan oleh penjahat!

Siok Lan tersenyum dan kadang-kadang tertawa kecil menutupi mulut dengan tangannya kalau ia teringat akan semua ini. Sekarang Sun Hauw sudah pulang! Sedangkan ayah Sun Hauw dan ayahnya sendiri sudah setuju bahwa kalau Sun Hauw pulang, pernikahan antara dua orang muda ini akan dilangsungkan segera.

Tiba-tiba pintu belakang rumah itu terbuka dan seorang wanita muda yang cantik juga datang berlari-lari sambil tertawa,

“Siok Lan, kau sedang apa di situ? Mengapa tidak lekas-lekas berganti pakaian dan membereskan rambutmu? Sebentar lagi tentu dia akan datang ke sini…!” kata wanita itu yang ternyata adalah kakak ipar dari Siok Lan.

“Ahhh… Soso suka menggoda orang…” jawab Siok Lan dan mukanya yang putih halus meniadi merah, lesung di atas tahi lalat yang berada di dagu kirinya membayang menambah kemanisannya.

Dua orang wanita ini lalu bersendau-gurau dan Siok Lan digoda terus oleh kakak iparnya. Keduanya tertawa-tawa gembira tidak tahu bahwa tak jauh dari situ dua orang mengintai dan mendengarkan percakapan mereka.

Kalau di tempat ini terjadi hal yang menggembirakan, sebaliknya di rumah Sun Hauw terjadi hal yang ribut. Terdengar ayah pemuda itu berteriak-teriak marah, diseling suara Sun Hauw yang tenang dan lemah-lembut, agaknya hendak menghibur ayahnya. Akhirnya dengan suara menyatakan kekecewaan, kemarahan, dan kedukaan, ayah pemuda itu berkata,

“Sudahlah, Sun Hauw. Kalau kau berkukuh, aku pun tak dapat memaksa, karena kaulah yang akan menikah. Akan tetapi, untuk membatalkan ikatan jodoh dengan keluarga Tang, harus kau sendiri yang datang memberitahukan. Aku tidak sampai hati, aku tidak tega membikin malu dan susah Siok Lan, anak yang baik itu… Baru saja ia masih demikian lincah gembira… penuh harapan, sekarang kau hendak menghancurkan hatinya…”






“Ayah, sesungguhnya anak pun merasa amat kasihan kepada Siok Lan. Akan tetapi apa daya, Ayah. Anak merasa lebih cocok dan anak mencinta Ang I Niocu seorang wanita gagah yang lebih sesuai dengan keadaan anak sendiri. Tentang Siok Lan, biarlah anak anggap sebagai adik sendiri dan kelak anak yang akan mencarikan calon suami.”

“Masa bodoh… masa bodoh… anak muda sekarang memang tidak kenal budi!”

Biarpun secara terpaksa sekali harus mendapat persetujuan ayahnya, Sun Hauw girang juga bahwa akhirnya ayahnya menyerahkan hal perjodohan ini kepadanya. Ia lalu cepat meninggalkan rumahnya, menuju ke rumah Siok Lan. Ia harus cepat-cepat karena khawatir kalau membuat Ang I Niocu terlalu lama menunggu.

Akan tetapi setelah tiba di dekat rumah Siok Lan, ia merasa berdebar juga hatinya. Bagaimana ia harus menyampaikan hal yang amat pahit bagi Siok Lan itu? Lebih baik kusampaikan kepada Siok Lan sendiri, pikirnya. Untuk menyampaikan hal ini kepada ayah Siok Lan, atau kakak Siok Lan, ia merasa lebih sukar lagi karena hubungannya dengan mereka ini kurang erat.

Semenjak kecilnya memang kakak Siok Lan itu bekerjaa di kota lain dan pulang-pulang sudah membawa isteri. Akan tetapi kalau dengan Siok Lan, semenjak kecil ia memang sudah kenal baik sehingga biarpun amat berat rasa hati menyampaikan hal yang menghancurkan perasaan gadis itu, namun masih lebih mudah apabila dibandingkan dengan menyampaikan kepada ayah atau kakaknya.

Ketika Sun Hauw melompati pagar belakang rumah, ternyata ia mendapatkan Siok Lan tengah duduk seorang diri di bawah pohon. Kebetulan sekali, setelah bergurau dengan kakak iparnya yang menggodanya, kakak ipar itu kembali kedalam rumah untuk melanjutkan pekerjaan rumah tangga, dan Siok Lan melamun seorang diri di dalam kebunnya, mengambil keputusan di dalam hatinya, hanya akan keluar kalau Sun Hauw sudah datang berkunjung ke rumahnya.

Akan tetapi kini ia telah berganti pakaian seperti yang dinasihatkan oleh kakak iparnya tadi, dan rambutnya yang hitam halus dan panjang sudah disisirnya rapi. Mukanya yang jarang dibedaki, karena ia memang bukan seorang pesolek, akan tetapi yang putih dan halus, kini bertambah menarik dengan bedak tipis-tipis dan senyumnya tak pernah meninggalkan bibirnya. Saat-saat seperti ini, menanti datangnya kekasih hati, memang merupakan saat paling bahagia bagi seorang dara.

Ketika melompat turun ke dalam kebun itu, untuk sesaat Sun Hauw berdiri tertegun. Ia terharu. Teringat ia akan masa kanak-kanak dahulu. Setiap kali ia pun memasuki kebun Siok Lan seperti ini. Hanya bedanya, kalau dahulu ia masuk menerobos pagar kebun yang rusak, adalah sekarang dengan mudahnya ia melompati pagar tanpa mengeluarkan suara.

“Siok Lan…”

Ia memanggil dengan nada suara seperti dahulu ketika masih kecil pula. Gadis itu terkejut, serasa dalam mimpi. Seperti pada dulu, ia pun tersenyum, menoleh dan memandang ke Sun Hauw.

“Hauw-ko… kau baru datang…?” Kemudian ia teringat bahwa mereka bukan kanak-kanak lagi, maka merahlah mukanya dan disambungnya dengan kata kata itu, “Eh, mengapa kau datang dari belakang?”

Sun Hauw makin terharu melihat wajah wanita itu tersenyum bahagia, sepasang mata yang sudah dikenalnya baik semenjak kanak-kanak itu berseri seri, akan tetapi ia tidak bisa membalas senyum dan wajahnya nampak muram.

“Aku sengaja datang dari belakang untuk bertemu dan bicara dengan kau, Siok Lan.”

Ia lalu menghampiri gadis itu dan diucapkanlah kata-kata yang sudah dirangkai dan dihafalkannya di sepanjang jalan tadi.

“Siok Lan, semenjak kita masih kanak-kanak, kita telah menjadi sahabat baik, bahkan boleh dibilang sudah seperti kakak beradik saja. Oleh karena itu, biarlah sekarang kau anggap aku bicara selaku kakakmu dan bagi aku, lebih baik aku bicara sendiri denganmu daripada dengan ayah atau kakakmu. Sebagai seorang kakak aku hendak bicara terus terang saja, demi kebaikan kita berdua dan demi kebaikan keluarga kita.

Kau tahu bahwa selamanya aku menganggap kau sebagai adikku, karena aku sendiri tidak mempunyai saudara. Akan tetapi, ketika aku pulang tadi, aku mendengar dari Ayah bahwa antara kita telah diikat tali perjodohan.”

Mendengar ini Siok Lan menundukkan mukanya yang menjadi merah sekali sampai ke telinga dan lehernya. Ia tidak berani bergerak, hanya tersenyum-senyum malu dan ujung kasutnya menggurat-gurat tanah di bawah kaki, hanya itulah gerakan satu-satunya yang ia berani lakukan. Ia merasa malu, jengah, dan juga… girang bukan main.

“Siok Lan, kau sendiri tentu tahu bahwa aku selalu akan merasa girang dan berterima kasih, bahwa aku tentu akan menerimanya dengan tangan terbuka dan haiti terbuka, karena kau memang seorang yang kutahu amat bijaksana, amat mulia, dan seorang dara pilihan, kalau saja…”

Tiba-tiba wajah menunduk yang kemerahan itu menjadi pucat dan diangkat, sepasang mata yang bingung dan kaget, seperti mata seekor kelinci melihat harimau menatap wajah Sun Hauw, membuat Sun Hauw merasa kerongkongannya tersumbat! Akan tetapi pemuda itu mengeraskan hati dan ia harus mengakhiri kalimat yang paling sulit diucapkannya itu.

“Kalau saja aku belum mempunyai seorang kekasih, Siok Lan. Memang ini salahku. Aku sudah jatuh cinta kepada seorang gadis gagah perkasa bernama Ang I Niocu Kiang Im Giok, dan aku… aku bahkan sudah bertunangan dengan dia, aku pulang untuk meminta Ayah meminangnya, maka tali perjodohan antara kau dan aku ini tentu saja tak mungkin…! Kau tahu Siok Lan, aku sayang kepadamu seperti seorang kakak menyayang adiknya, dan terhadap Ang I Niocu… dia itu pilihan hatiku, tak mungkin diganti oleh lain orang…”

Kalau ada geledek menyambarnya di saat itu, kiranya Siok Lan takkan begitu kaget seperti ketika mendengar kata-kata ini. Sepasang matanya terbelalak, mukanya pucat, bibirnya gemetar dan bergerak-gerak tanpa dapat mengeluarkan sepatah kata pun, kakinya menggigil dan akhirnya air mata membanjir keluar dibarengi keluhan suaranya,

“Hauw-ko…” dan gadis ini berlari dengan limbung, memasuki rumahnya.

Sun Hauw menarik napas panjang dengan perasaan kasihan tercampur lega. Akhirnya kata-kata itu dapat juga dikeluarkan dan nona itu tentu akan menyampaikannya kepada kakaknya dan ayahnya dan semua bereslah! Ia lalu membalikkan tubuh dan melompati pagar kebun itu, kembali ke rumah ayahnya, untuk menyampaikan bahwa hal itu sudah beres.

Biarpun kebun itu sudah ditinggalkan oleh Siok Lan dan Sun Hauw akan tetapi orang yang semenjak tadi mengintai di situ masih belum pergi. Ia berdiri bersembunyi, seperti patung, rupa-rupanya terpengaruh oleh semua yang telah didengarnya, semenjak Siok Lan bergurau dengan kakak iparnya tentang Sun Hauw sampai pertemuan antara Siok Lan dan Sun Hauw.

Tiba-tiba terdengar jerit mengerikan dari dalam rumah sederhana, rumah keluarga Tang itu. Orang yang tadi bersembunyi, cepat sekali berkelebat, berubah menjadi bayangan merah dan di lain saat ia telah naik ke atas genteng rumah itu.

Dilihatnya dari atas betapa Siok Lan berlari dikejar oleh kakak dan iparnya. Bayangan merah di atas genteng hendak melompat turun mengejar, akan tetapi terlambat, Siok Lan sudah sampai di dinding dan dengan sekuat tenaga gadis yang malang ini membenturkan kepalanya pada dinding.

Terdengar suara keras dan gadis itu roboh terkulai, darah mengalir dari pelipisnya, keluar pula dari mulut, hidung, dan matanya yang terbuka lebar tanpa cahaya, mata seorang yang sudah tewas…!

Kakak Siok Lan menggereng-gereng, isterinya menjerit-jerit dan seorang kakek tua, yakni ayah Siok Lan, terbungkuk-bungkuk lari dari dalam, lalu menubruk jenazah puterinya sambil menangis dan berkata-kata tidak karuan seperti orang yang sudah berubah ingatannya, seperti orang gila saking sedihnya.

Bayangan merah itu menggigit bibir dan menghapus dua titik air mata yang membasahi pipinya, kemudian berkelebat pergi.

**** 097 ****





Tidak ada komentar :