*

*

Ads

Jumat, 12 April 2019

Ang I Niocu Jilid 096

Liem Sun Hauw yang merasa kecewa sekali karena usahanya melakukan tugas yang diserahkan kepadanya oleh Twi Mo Siansu selalu menemui kegagalan, merasa amat malu. Ia telah mengeruhkan suasana dan sebelum ia dapat menebus kesalahannya, dengan menangkap biang keladi permusuhan, ia telah didahului oleh Eng Yang Cu!

Saking malu dan kecewanya ia lalu meninggalkan Kim-san-pai. Yang membuat ia malu sesungguhnya bukan terhadap orang lain, melainkan terhadap Ang I Niocu. Ia telah tertarik dan jatuh hati kepada gadis ini, apalagi setelah ia tahu bahwa gadis itulah yang dicalonkan menjadi isterinya oleh Kiang Liat. Dan sekarang di depan gadis itu ia kelihatan sebagai seorang yang bodoh!

Biarpun ia berlari cepat sekali, sebentar saja ia tersusul oleh Ang I Niocu. Tadi Sun Hauw mendengar suara panggilan Ang I Niocu, akan tetapi ia mengira bahwa gadis yang cantik tapi galak itu akan menyalahkan dan menyindirnya, maka ia tidak mau berhenti sebelum jauh dari para tokoh Bu-tong-pai dan Kim-san-pai. Selain ini ia pun henidak menguji ilmu lari cepat dari gadis itu dan diam-diam ia mengerahkan ilmu lari cepat yang paling diandalkan, yakni Liok-te-hui-teng (Lari Seperti Terbang di Atas Bumi), karena ia tahu bahwa gadis itu mengejarnya.

Akan tetapi alangkah kagumnya ketika tak lama kemudian, gadis itu telah menyusulnya. Bayangan merah berkelebat di samping kanannya dan di lain saat gadis itu telah berdiri beberapa tombak jauhnya di sebelah depan, tersenyum menghadang di jalan.

Ang I Niocu sengaja mengejar Sun Hauw karena gadis ini ingin sekali mendengar dari pemuda ini tentang hubungan ayahnya dengan pemuda ini. Ingin ia mengetahui bagaimana pemuda ini bertemu dengan ayahnya dan bagaimana pula ayahnya sampai mempunyai maksud menjodohkan dia dengan pemuda itu.

Selain ini, ia pun agak menyesal atas sikapnya yang menghina dan keras terhadap Sun Hauw, dan sekarang ternyata bahwa sesungguhnya pemuda ini bukanlah seorang yang menyombongkan kepandaian dan sengaja membantu Bu-tong-pai melakukan penghinaan terhadap Kim-san-pai. Semua pertengkaran yang terjadi hanya timbul oleh kesalah-pahaman.

Sungguhpun pada mukanya terbayang kemuraman, namun di dalam hatinya Sun Hauw merasa girang sekali melihat gadis itu.

“Nona, apakah kau masih merasa penasaran? Aku sudah mengaku salah dan…”

“Saudara Liem, jangan kau salah sangka. Tadi kau menyebut nama ayahku. Di mana kau pernah bertemu dengan dia dan kapankah? Aku ingin sekali mendengar penuturanmu tentang Ayah.”

Seketika wajah Sun Hauw berseri, hatinya berdebar-debar girang dan ia menarik napas lega.

“Aku bertemu dan berkenalan dengan ayahmu yang gagah perkasa dan mulia itu di Go-bi-san,” ia mulai bercerita, “ketika aku menghadap Susiok Twi Mo Siansu, kebetulan ayahmu datang dan menyampaikan pesan kepada Susiok dari Sin-taihiap Bu Pun Su. Susiok lalu memilih aku untuk berusaha mendamaikan pertikaian antara Bu-tong-pai dan Kim-san-pai dan hal ini menimbulkan iri hati dan tidak senangnya beberapa orang anak murid Go-bi-pai. Aku sendiri biarpun anak murid Go-bi-pai, akan tetapi suhuku adalah seorang perantau dan hampir tidak mempunyai hubungan lagi dengan Go-bi-pai.”

Kemudian Sun Hauw menuturkan bagaimana ia telah diserang oleh tokoh Go-bi-pai Tek Le Tojin dan hampir celaka kalau saja tidak ditolong oleh Kiang Liat. Dan bagaimana perjalanannya ke Bu-tong-pai tertunda dan terlambat karena ia singgah di kampungnya dan terpaksa menunda perjalanannya ke Bu-tong-san karena ia harus merawat dulu ayahnya yang sedang sakit payah. Semua ini telah dituturkan di bagian depan dan kiranya tak perlu diulang pula.

“Demikianlah, Nona. Apakah ayahmu sudah pulang dan apakah kau sudah bertemu dengan orang tua yang mulia itu?”

Sun Hauw menutup penuturannya dan balas bertanya. Ang I Niocu tak dapat menjawab, hanya mengangguk. Hatinya seperti ditusuk-tusuk karena teringatlah ia akan segala peristiwa antara dia dan ayahnya yang menyebabkan kematian ayahnya.

Sun Hauw makin berdebar. Kalau gadis ini sudah bertemu dengan ayahnya, tentu sudah mendengar pula tentang maksud pertalian jodoh itu. Matanya bersinar-sinar, mukanya merah ketika ia menatap wajah dara cantik jelita yang berdiri sambil menundukkan muka di depannya itu.

“Syukurlah kalau ayahmu sudah pulang, Nona. Kuharap saja orang tua yang gagah perkasa itu dalam sehat-sehat dan selamat. Ah, alangkah inginku menghadap Kiang-lo-enghiong, alangkah rindu hatiku bertemu muka dengan dia lagi. Aku amat menghormat dan memujanya, Nona, selembar nyawaku ini masih berada di dalam tubuhku hanya berkat pertolongan ayahmu.”






Mendengar kata-kata yang diucapkan dengan sungguh-sungguh ini, Ang I Niocu menjadi amat terharu. Ia meramkan kedua matanya dan merasa hatinya perih sekali. Ketika ia membuka lagi kedua matanya, ia tidak dapat menahan air matanya yang mengucur deras. Cepat-cepat ia mempergunakan ujung lengan baju untuk menutupi matanya dan mengusap air matanya.

“Ang I Niocu… kau kenapa…? Maafkan kalau aku kesalahan bicara…” Sun Hauw berkata kaget.

Ang I Niocu dapat menekan perasaannya dan kini menjadi tenang kembali.
“Saudara Liem, harap kau maafkan kelemahanku. Sesungguhnya, perlu kiranya kau ketahui bahwa Ayah telah meninggal dunia tujuh bulan yang lalu.”

Tiba-tiba muka Sun Hauw menjadi pucat dan ia merasa seperti kehilangan semangatnya. Kemudian ia menjatuhkan diri berlutut di atas tanah, menutupi mukanya dengan kedua tangan dan biarpun ia tidak mengeluarkan suara, kedua pundaknya bergerak-gerak dan tahulah Ang I Niocu bahwa pemuda ini telah menangis!

Diam-diam ia menjadi terharu terhadap pemuda ini, sekarang perasaan ini lenyap dan ia harus mengaku bahwa kecuali mendiang Gan Tiauw Ki, pemuda ini merupakan seorang pemuda pilihan dan baik, yang pernah ditemuinya. Hanya kata-kata perlahan sekali “gakhu…” terdengar dari mulut pemuda itu.

Wajah Ang I Niocu menjadi merah sekali ketika mendengar pemuda itu mengeluarkan kata-kata sebutan gakhu (ayah mertua) itu, akan tetapi kata-kata itu diucapkan perlahan sekali dan agaknya pemuda itu menahan hatinya agar tidak mengeluarkan suara. lagi.

Memang Sun Hauw di samping keharuan dan kesedihannya, juga merasa bimbang dan gelisah. Calon mertuanya sudah meninggal dunia, apakah nona ini sudah tahu tentang perjodohan yang diikat? Bagaimana kalau Nona ini belum diberi tahu oleh ayahnya. Ingin sekali ia bertanya kepada Ang I Niocu tentang ini, akan tetapi tentu saja ia merasa malu dan sungkan. Sebaliknya ia lalu membikin tenang hatinya, diam-diam ia mengeringkan air matanya, lalu bangkit berdiri lagi. Sepasang matanya masih basah dan mukanya merah.

“Niocu,” suaranya serak dan pandang matanya kepada Ang I Niocu penuh perasaan kasih dan iba, “sungguh aku ikut berdukacita dan alangkah kaget hatiku mendengar warta menyedihkan ini. Niocu, ayahmu demikian sehat dan gagah perkasa ketika bertemu dengan aku, bagaimana ia bisa meninggal dengan mendadak? Apa sebabnya?”

Kalau saja masih ada kemarahan dan kebencian dalam hati Ang I Niocu terhadap pemuda ini, tentu ia akan menjawab dengan makian dan tuduhan bahwa pemuda inilah yang menjadi gara-gara kematian ayahnya. Akan tetapi sikap Sun Hauw mendatangkan kesan baik dalam hati Ang I Niocu dan gadis itu hanya menjawab singkat,

“Ayah meninggal karena sakit bagian jantungnya.”

Keduanya berdiam diri agak lama. Sun Hauw tidak tahu harus berkata apa untuk menghibur nona itu. Akhirnya ia hanya dapat bertanya dengan perlahan,

“Niocu, apakah… apakah mendiang ayahmu ada meninggalkan sesuatu pesanan untuk aku…?”

Tentu saja Ang I Niocu dapat menangkap maksud pertanyaan itu, tentu pemuda ini hendak bertanya tentang maksud perjodohan yang direncanakan ayahnya. Akan tetapi ia hanya menggeleng kepala dan tidak berkata apa-apa.

“Niocu, apakah kau tidak mempunyai keluarga lain?”

Kembali Ang I Niocu menggeleng kepalanya.

“Kau sebatang kara di dunia ini?” pertanyaan ini penuh perasaan iba.

Ang I Niocu mengangguk, tidak berani mengeluarkan suara karena tahu bahwa suaranya tentu akan gemetar. Pertanyaan-pertanyaan ini membangkitkan kesedihan hatinya. Sampai lama Sun Hauw diam saja, penuh bimbang, ragu dan iba.

“Niocu, aku hendak melaporkan urusan Bu-tong-pai dan Kim-san-pai yang sudah selesai itu kepada Susiok di Go-bi-pai, setelah itu aku akan menghadiri pertemuan yang diadakan oleh Sin-taihiap Bu Pun Su. Kalau aku boleh bertanya, kau hendak kemana?”

“Aku juga harus menghadiri pertemuan di puncak Gunung Thai-san, seperti yang dipesan oleh Susiok-couw Bu Pun Su.”

Wajah Sun Hauw berseri.
“Kalau begitu, Niocu, apabila kau tidak menganggap aku terlalu lancang dan kurang ajar, maukah kau mengijinkan aku mengiringkan perjalananmu? Kita sejalan, dan aku akan merasa berbahagia sekali kalau boleh melakukan perjalanan bersamamu.”

Karena sikap pemuda itu memang amat baik dan menyenangkan hatinya, Ang I Niocu tidak merasa keberatan. Di atas dunia ini ia memang hidup sebatang kara, tiada keluarga tiada teman, sekarang ada pemuda ini yang baik hati dan sopan, mengapa menolak perjalanan bersama? Sedikitnya ia akan dapat menyelidiki dan mengetahui bagaimana keadaan sebenarnya dari pemuda yang menjadi pilihan ayahnya ini.

Berangkatlah dua orang muda itu menuruni Bukit Kim-san dan dengan kepandaian mereka yang tinggi, perjalanan mereka cepat sekali. Sikap Sun Hauw benar-benar amat sopan dan baik sehingga Ang I Niocu makin suka kepadanya,. sungguhpun sukar dikatakan bahwa gadis itu membalas cinta kasihnya. Setelah kehilangan Gan Tiauw Ki dan ayahnya, memang amatlah sukar bagi Ang I Niocu untuk dapat mencinta pemuda lain.

Memang, Sun Hauw seorang pemuda yang baik dan gagah. Tidak saja ia telah memiliki kepandaian yang tinggi, akan tetapi juga ia pandai membawa diri. Perjalanan berbulan-bulan bersama Ang I Niocu menjadi ujian baginya. Biarpun ia tergila-gila kepada Ang I Niocu, mabuk oleh kecantikan gadis ini yang memang luar biasa sekali sehingga ia mencinta gadis ini dengan sepenuh hati dan perasaan, namun belum pernah ia memperlihatkan sikap yang kurang ajar dan melanggar tata-susila.

Bahkan, biarpun sepasang matanya selalu menyorotkan sinar cinta kasih yang berkobar-kobar, bibirnya tak pernah mengeluarkan sepatah kata pun tentang perasaan yang terkandung dalam hatinya itu. Tiap malam, kalau Ang I Niocu sudah pulas di dalam kamar lain di penginapan, atau di dalam kamar di sebuah kelenteng kosong di mana mereka bermalam, Sun Hauw gelisah tak dapat tidur dan kadang-kadang ia duduk bersandar pada meja sembahyang di dalam kelenteng dan melamun!

Tentu saja yang terbayang hanyalah Ang I Niocu yang gagah perkasa dan cantik jelita, dan terbayanglah pula pertemuannya yang pertama kali dengan dara pujaan hatinya itu.

Kadang-kadang pemuda ini menjadi muram wajahnya, penuh kegelisahan dan kedukaan, kalau ia teringat betapa akan sengsara hidupnya kalau gadis itu kelak menolaknya! Ia pun bingung mencari jalan bagaimana untuk bicara dengan Ang I Niocu tentang kehendak mendiang Kiang Liat mengenai tali perjodohan itu.

Karena nama Ang I Niocu sudah mulai terkenal, apalagi semenjak ia membasmi gerombolan perampok di Bukit Min-san itu, tidak ada penjahat yang berani sembarangan mengganggunya dalam perjalanan itu. Lebih-lebih karena di situ ada Liem Sun Hauw dan pemuda ini yang sudah lama merantau di dunia kang-ouw bersama mendiang suhunya, juga merupakan tokoh yang terkenal dan ditakuti penjahat. Para kaum liok-lim mempunyai mata yang awas dan telinga yang tajam, dan mereka tidak mau mengganggu orang-orang gagah yang sekiranya akan merugikan mereka sendiri.

Ketika mereka tiba di jalan simpangan yang dekat dengan kampung tempat tinggal Sun Hauw, pemuda itu berkata,

“Nah, di sinilah jalan yang menuju ke rumah ayahku, Niocu. Kau tentu tidak keberatan kalau kita singgah sebentar, bukan? Aku harus menengok keadaan Ayah karena ketika kutinggalkan, dia baru saja sembuh dari sakit.”

Hal ini memang seringkali dikemukakan oleh Sun Hauw dalam perjalanan, yakni bahwa pemuda itu hendak singgah di kampung halamannya. Ang I Niocu tidak keberatan dan ia memang ingin sekali melihat keadaan keluarga pemuda ini.

Mereka membelok dan dengan cepat menuju ke kampung Peng-kan-mui. Akan tetapi, ketika mereka tiba di luar kampung itu, tiba-tiba Sun Hauw menghentikan kakinya dan mukanya berubah. Ang I Niocu juga berhenti dan menoleh, memandang heran kepada pemuda itu.

“Mengapa kita berhenti di sini?” tanyanya.

Sun Hauw teringat akan sesuatu yang membuat hatinya berdebar cemas dan yang membuatnya tiba-tiba berhenti itu. Ia teringat akan Siok Lan, gadis yang oleh ayahnya dicalonkan menjadi isterinya! Ia mengajak Ang I Niocu ke rumahnya, bahkan bermaksud minta kepada ayahnya supaya melamar gadis ini sebagai calon isterinya. Akan tetapi bagaimana dengan Siok Lan? Karena dahulu ayahnya sudah menetapkan perjodohannya dengan Siok Lan, maka urusan ini menjadi sulit dan harus dipecahkan dengan perlahan.






Tidak ada komentar :