*

*

Ads

Senin, 16 April 2012

Ang I Niocu Jilid 007

Song Lo-kai tinggal di Sui-chun, kini menjadi seorang hartawan yang hidup berdua dengan cucunya, yakni Song Bi Li. Dahulunya Song Lo-kai sesuai dengan sebutannya, yakni lo-kai atau pengemis tua, adalah seorang pemimpin perkumpulan pengemis yang menjadi cabang atau anak buah dari Cap-si Kaipangcu.

Semenjak cucunya kehilangan kedua orang tuanya yang meninggal karena penyakit menular, kakek she Song ini telah berubah pendiriannya. Tadinya ia memang tidak mempunyai tanggungan, hidup seorang diri dan suka hidup bebas sebagai pengemis. Akan tetapi, setelah anak dan mantunya meninggal dunia, dan Bi Li hidup seorang diri, ia memikirkan nasib cucunya itu.

Kebetulan sekali, Kakek Song mendapatkan sebuah surat wasiat tentang harta terpendam di sebuah guha rahasia. Ia pergi dan berhasil mendapatkan harta ini, maka ia lalu membeli rumah gedung dan sawah ladang, hidup sebagai hartawan besar. Kejadian inilah yang membuat ia ditangkap oleh Cap-si Kai-pang dan hampir dibunuh kalau tidak tertolong oleh Kiang Liat.

Song Bi Li ternyata seorang gadis yang amat cantik, berwajah ayu manis bertubuh langsing. Kulitnya putih halus, pipinya kemerahan. Selain cantik jelita, juga ia amat cerdas sehingga dengan mudah ia dapat menguasai kepandaian tulis dan baca, bahkan pandai sekali membuat sajak-sajak indah. Di samping ini, ia pun terkenal di kotanya dengan hasil sulamannya yang halus.

Pendeknya di dalam kota Sui-chun, tidak ada gadis melebihi Bi Li cantik atau pandainya sehingga ia terkenal sebagai kembang kota Sui-chun. Lebih lagi setelah kakeknya menjadi kaya-raya, pakaiannya bagus-bagus, menambahkan kecantikannya.

Dua tahun yang lalu, ketika ia dan kakeknya baru pindah ke dalam gedung besar yang dibeli oleh kakek Song, terjadilah hal yang membuat hati Bi Li terguncang dan untuk pertama kalinya gadis yang baru berusia tujuh belas tahun di waktu itu, mengalami godaan asmara.

Waktu itu masih pagi sekali dan Bi Li berjalan-jalan di dalam kebun di belakang gedung kakeknya. Kebun ini masih kosong dan belum terpelihara, masih banyak pohon-pohon yang tak berguna lagi bagi sebuah kebun yang seharusnya ditanami bunga-bunga yang indah.

Bi Li memang sedang memeriksa kebun ini untuk mengatur sendiri cara bagaimana kebun itu akan ditanami bunga-bunga, di mana harus membuat kolam dan sebagainya. Kakek Song memang sudah menyerahkan hal ini kepada cucunya. Bi Li dikawani oleh Ceng Si, seorang gadis yang menjadi pelayan di rumah gedung itu.

Kakek Song sengaja membeli gadis ini dari keluarga miskin di dusun, tidak saja untuk menolong orang tua gadis ini, juga karena ia ingin agar cucunya mempunyai seorang kawan bermain yang sebaya. Ceng Si seorang gadis yang cantik juga, sederhana dan amat penurut, lagi cinta kepada Bi Li yang semenjak itu menjadi majikannya.

“Ceng Si, di ujung barat itu harus didirikan bangunan kecil untuk dapat beristirahat, di depannya digali empang dan dipasangi jembatan melengkung. Di ujung timur harus digali empang ikan emas dan diisi tanaman bunga teratai. Kembang botan ditanam di sebelah sini dan kembang cilan disebelah sana. Kau nanti jelaskan semua ini kepada tukang kebun yang memborong pekerjaan ini, dan kalau ada yang belum jelas, biar aku sendiri yang akan menerangkan kepadanya,” kata Bi Li sambil menunjuk ke sana ke mari dengan telunjuknya yang kecil terpelihara.

“Baik, Siocia. Menurut Lo-ya (Tuan Tua, dimaksud Kakek Song), tukang kebun akan datang siang nanti dan akan mulai dengan menebangi pohon-pohon yang berada di sini.”

“Jangan ditebang semua. Pohon yang di kanan itu, yang berjajar tiga, tebang tengahnya saja, biarkan yang dua tumbuh terus. Dan sekumpulan yang-liu (cemara) itu jangan ditebang, hanya buangi cabang-cabang yang sudah kerig. Yang lain boleh dibuang. Dan jangan lupa, taman ini harus dikelilingi dinding tembok yang cukup tinggi sehingga tidak kelihatan dari luar. Sekarang ini hanya dikelilingi pagar dan banyak yang sudah bobol. Kalau penuh tanaman kembang tentu akan habis dicabuti anak-anak nakal dan dimakan ayam dan kerbauku.”

“Memang benar, Siocia (Nona). Belum kalau ada maling masuk,” kata Ceng Si.

Ceng Si menutupi mulutnya dengan ujung lengan baju, tertawa. Akan tetapi segera ketawanya terhenti dan ia berkata perlahan, agak ketakutan.

“Aduh, dia benar-benar datang, Siocia…”

Bi Li terkejut dan bertanya,
“Kau bilang ada maling…?”

Sambil berkata demikian, ia membalikkan tubuh menengok ke arah pelayannya itu memandang.






Ternyata benar ada seorang laki-laki yang menerobos masuk ke dalam kebun itu melalui pagar yang sudah rusak. Mula-mula Bi Li terkejut sekali sehingga mukanya berubah, akan tetapi ia segera dapat menetapkan hatinya setelah melihat bahwa laki-laki yang menerobos ke dalam kebun itu tidak kelihatan seperti orang jahat.

“Dia tidak kelihatan jahat, Ceng Si, apakah bukan tukang kebun yang hendak bekerja di sini?”

“Stt, kau terlalu. Mana orang seperti itu dianggap tukang kebun? Dia bukan maling dan bukan pula tukang kebun, lihat saja pakaiannya seperti seorang kongcu (tuan muda) dan orangnya begitu… begitu tampan!”

“Hush, genit kau…!”

Bi Li mencela, akan tetapi diam-diam ia harus mengakui bahwa yang datang itu adalah seorang pemuda yang tampan dan ganteng, berpakaian seperti seorang siucai (pelajar), sikapnya halus dan sopan. Bi Li dahulu tinggal bersama orang tuanya di kampung, maka ia tidak seperti nona-nona hartawan dan bangsawan yang selalu bersembunyi di dalam gedung dan jarang bertemu dengan laki-laki asing, maka kini ia tidak merasa terlalu kikuk.

Juga ia tidak takut karena waktu itu matahari sudah naik tinggi dan ia berada di situ dengan pelayannya, sungguhpun mereka merasa curiga ketika memandang kepada pemuda ini. Ia merasa seperti pernah melihat pemuda ini, hanya ia lupa lagi bilamana dan di mana.

Pemuda itu menghampiri mereka dan memandang kepada Bi Li dengan senyum manis. Ia nampak ramah-tamah dan matanya berseri-seri ketika ia memandang kepada Bi Li, sungguhpun alisnya berkerut seakan-akan ada sesuatu yang menyusahkan hatinya.

“Kau siapakah dan mengapa berani lancang memasuki kebun orang?” Bi Li menegur, suaranya ketus dan matanya bersinar marah.

Pemuda itu nampak kecewa sekali mendengar teguran gadis ini. Ia menjura dengan hormat, lalu berkata, suaranya seperti orang penasaran,

“Song-siocia, benar-benarkah kau lupa kepadaku? Benar-benarkah, setelah kini kau menjadi kaya-raya, kau lupa akan kampung halamanmu dan sekalian orang miskin yang menjadi penghuninya?”

Bi Li makin marah.
“Aku tidak kenal padamu, lekas pergi dari sini, kalau Kong-kong (Kakek) tahu kau menerobos ke sini, kau tentu akan dipukul!”

Pemuda itu berdiri tegak dan tersenyum duka.
“Jangankan dipukul, dibunuh pun aku rela. Kong-kongmu yang kaya-raya, yang merampas kau dari dusun kami, sudah begitu tinggi hati untuk menghinaku, dan sekarang aku hanya ingin menyaksikan, apakah Nona Song Bi Li juga begitu tinggi hati seperti kong-kongnya?”

“Siapakah kau? Mengapa kau begini kurang ajar?” Bi Li memandang dengan alis dikerutkan.

“Nona, lupakah kau kepada orang yang pernah menuliskan sajak di dinding kuil di dusun kita?” pemuda itu berkata.

Bi Li memandang makin tajam dan kini berubahlah mukanya menjadi kemerahan.
“Ah, kau… kau Cia-siucai ….” katanya gagap.

Terbayanglah semua pengalamannya ketika ia masih tinggal di dusunnya. Ketika itu, kedua orang tuanya secara berturut-turut telah meninggal dunia karena penyakit yang merajalela di dusun itu.

Ketika jenazah ayah bundanya dirawat di dalam kuil, satu-satunya kuil di dusun itu di mana sebagian besar orang-orang yang meninggal diurus dan disembahyangi, banyak orang dusun datang.

Diantara mereka, terdapat seorang pemuda sasterawan yang baru saja kembali ke dusun setelah bertahun-tahun menempuh pelajaran dan ujian di kota raja. Pemuda ini adalah Cia Sun atau yang segera terkenal dengan sebutan Cia-siucai.

Bi Li tahu bahwa hampir semua gadis dusun itu merindukan Cia-siucai, memuji-mujinya karena bukan saja ia merupakan pemuda yang paling tampan di dusun itu, juga ia amat pandai membuat sajak. Tulisan-tulisan pada lian yang digantung di kuil, tulisan yang amat indah itu semua adalah buatan Cia Sun.

Ketika itu, Cia Sun baru pertama kali melihat Bi Li dan pemuda ini menjadi tergila-gila. Tiada bosannya ia melirik ke arah gadis itu yang sedang menjalani upacara sembahyang, seorang gadis yang rambutnya awut-awutan, mukanya pucat dan penuh air mata, seorang gadis yang patah hati dan putus harapan karena ditinggal mati oleh ayah bundanya, yang tentu akan jatuh pingsan dan sakit kala tidak dihibur oleh seorang kakek tua yakni Song Lo-kai, Kong-kongnya.

Cia Sun demikian tergila-gila sehingga ketika ia terlalu banyak minum arak, tanpa pedulikan apa-apa ia lalu mengambil pit dan menuliskan beberapa baris sajak di atas tembok kuil, dilihat dan dikagumi oleh semua tamu yang datang melayat.

Bi Li sampai sekarang masih ingat bunyi sajak itu, karena melihat ribut-ribut ia pun membaca tulisan itu yang berbunyi demikian :

Layu pucat Teratai Putih,
Kehilangan sinar matahari.
Mengembang di empang tanpa kawan
Hati siapa takkan rawan?
Nona suci hidup seorang diri
Hati siapa takkan perih?
Kasihan kumelihatnya.
Hancur pilu hati dibuatnya.
Apakah dayaku, si bodoh hina ini
Untuk menghibur Teratai suci?

Sajak itu tentu saja dengan amat mudah dapat diterka maksudnya. Semua orang yang berada disitu memang merasa kasihan kepada Bi Li, gadis yang menjadi yatim-piatu dan bunyi sajak itu otomatis merupakan pengakuan dari Cia Sun bahwa begitu bertemu dengan Bi Li, ia telah jatuh cinta.

Akan tetapi, Song Lo-kai tidak senang membaca sajak itu, dan dengan muka masam ia menarik tangan Bi Li masuk ke dalam. Semenjak saat itu mereka tak pernah bertemu muka kembali.

Peristiwa yang terjadi sewaktu Bi Li berada di puncak kesedihan itu tentu saja tidak terlalu membekas pada hatinya dan ia pun sudah lupa akan peristiwa itu. Akan tetapi siapa kira, sekarang tiba-tiba saja pemuda itu muncul dihadapannya, dengan jalan menerobos kebun!

Sementara itu, ketika Cia Sun melihat Bi Li mengenalnya, ia menjadi girang sekali dan wajahnya yang tampan berseri-seri.

“Aduh, terima kasih kepada Kwan Im Pousat, ternyata kau juga memikirkar diriku yang hina ini, Nona Song …”

“Siapa bilang?” Bi Li membentak marah. “Cia-siucai, kau lancang sekali! Kau masuk ke sini tanpa permisi dan kau mengeluarkan kata-kata yang tidak pada tempatnya. Apa sebenarnya kehendakmu?”

“Kedatanganku hanya untuk mengulangi pernyataanku dahulu, Nona, yakni bahwa aku cinta kepadamu …”

“Tidak! Kurang ajar, pergi kau dari sini!”

Bi Li membelalakkan matanya yang indah dan mukanya berubah-ubah, sebentar merah, dadanya berombak menahan gelora hatinya.

Cia Sun menjatuhkan diri berlutut di depan Bi Li.
“Song-siocia, kakekmu sudah menghinaku, sudah menolak pinanganku, kau masih mengusirku pula?”

Suara ini terdengar demikian lemah mengharukan sehingga Ceng Si yang mendengar ini menjadi pucat dan dua titik air mata membasahi pipinya. Adapun Bi Li ketika melihat pemuda itu, tiba-tiba berlutut di depannya, dan mengeluarkan kata-kata itu, menjadi makin bingung.

“Cia-siucai, jangan kau begini! Apa sih yang kau kehendaki?”

“Nona, Kong-kongmu menolak pinanganku dengan alasan bahwa kau sudah bertunangan dengan orang lain. Aku bukan seorang yang tidak kenal aturan, aku tidak mau menjadi seorang yang tidak kenal malu dan kurang ajar, katakanlah kepadaku secara terus terang, Nona apakah betul kau sudah menjadi tunangan orang lain? Betulkah kau sudah bertunangan?”






Tidak ada komentar :