*

*

Ads

Minggu, 20 Januari 2019

Pendekar Sakti Jilid 095

“Biarkan aku duduk dan lepaskan jala ini, aku akan bercerita, ” tulisnya karena amat sukarlah menulis sambil berbaring miring seperti itu. Ia tidak mau melepaskan diri dengan kekerasan, karena kawatir kalau-kalau akan dicurigai.

Gadis yang menjadi pemimpin itu berunding dengan adiknya dan dengan wanita-wanita lain. Kemudian mereka lalu mendekati dan dari luar mereka mengikat kedua tangan Kwan Cu di belakang tubuh, juga mengikat kedua kaki pemuda itu erat-erat!

Kwan cu merasa geli sekali dan tangan-tangan yang halus dan kecil itu bergerek amat cepat, jari-jari yang kecil seakan-akan mengitik-itiknya, akan tetapi dia menahan tawanya dan menenangkan diri. Ia dapat menduga bahwa wanita-wanita ini tidak percaya kepadanya dan akan membelenggunya lebih dulu sebelum melepaskannya dari jala itu.

Dugaanya tepat. Setelah dua kaki tangannya dibelenggu, lalu jala itu dibuka. Ia diperbolehkan bangun duduk bersandar pada batu karang yang bentuknya seperti pilar. Di sini ia di ikat lagi, tali yang panjang dibelit-belitkan pada lengan dan dadanya, terus di ikatkan pada batu karang itu.

Yang lebih hebat, gadis kedua yang lincah itu sekali melompat telah berdiri di pundak kirinya, membawa sehelai tali yang lalu dikalungkan dua kali pada lehernya! Biarpun hanya longgar saja, lehernya di ikat pada pilar itu. Satu akal yang cerdik sekali!

Kwan Cu duduk bersila dan bersandar pada tiang batu karang. Dia mencoba-coba dengan urat-urat tangannya untuk mengetahui sampai di mana kekuatan tali yang mengikatnya. Ia mendapat kenyataan bahwa kalau dia mau, mudah saja baginya untuk merenggut putus tali itu.

Gadis bertahi lalat pada pipinya itu lalu mengunakan telunjuknya menuliskan huruf-huruf di atas tanah di depan Kwan Cu.

“Aku bernama Malita dan ini adikku Malika. Kami berdua yang mengepalai bangsa kami di pulau ini. Kau menjadi tawanan kami dan jangan coba-coba untuk memberontak, karena biarpun besar kalau kami mau, dengan mudah kami akan membunuhmu dengan senjata-senjata kami yang berbisa. Kau seorang laki-laki dan pada waktu ini, kami benci dan tidak percaya kepada semua laki-laki. Akan tetapi kau datang dari bangsa raksasa, kau siapakah dan mengapa kau datang ke daerah kami?”

Kwan Cu membaca tulisan itu dan tersenyum. Nama-nama yang aneh tetapi cukup manis, pikirnya. Akan tetapi pernyataan bahwa mereka ini membenci laki-laki, membuat Kwan Cu menjadi heran sekali. Ia ingin menjawab pertanyaan-pertanyaan itu, akan tetapi kedua tangannya di ikat di belakang tubuhnya, bagaimana dia dapat menulis? Tentu saja dia dapat melepaskan tangannya, akan tetapi hal ini tentu akan membikin mereka takut dan curiga. Maka dia menjawab dengan mulutnya.

“Bagaimana aku dapat menulis jawabannya kalau tanganku terikat?” sambil berkata demikian, ia melirik ke arah tali yang mengikat dadanya.

Malita dan Malika bicara, agaknya mereka berunding kemudian Malita menulis lagi.
“Wajahmu tampan dan gagah, kau berbeda dengan laki-laki bangsa kami. Agaknya kau bukan orang jahat. Akan tetapi kau tetap laki-laki dan kami sudah tidak percaya lagi kepada semua mahluk jantan. Maka, kami akan melepaskan tangan kananmu agar kau dapat menulis, akan tetapi awas, sekali saja kau memberontak, kau akan binasa!”

Kwan Cu tersenyum ramah dan mengangguk-anggukkan kepalanya. Malita lalu mencabut pisau lalu memutuskan ikatan tangan kanan Kwan Cu. Setelah tali itu putus dan Kwan Cu membebaskan tanganya Malita cepat mencabut pedang dengan tangan kanan sedangkan tangan kirinya mengeluarkan saputangan merahnya.

Kwan Cu bergidik. Ia lebih takut kepada saputangan yang harum itu dari pada pedang di tangan Malita. Juga Malika mencabut pedangnya dan melompat berdiri. Wanita-wanita yang berdiri agak jauh dari tempat itupun juga bersiap sedia, semua mencabut pedang dan bersikap seperti orang bersiap untuk bertempur.

Melihat cara mereka mencabut pedang dan bergerak, Kwan Cu menjadi kagum karena mereka itu terang sekali memiliki kepandaian silat yang tinggi! Orang-orang ini kecil dan lemah, akan tetapi sebaliknya dari pada rakyat Lakayong yang bertenaga besar dan lamban, mereka ini agaknya amat cekatan dan cerdik.

Kwan Cu lalu mulai menulis di atas tanah,
“Aku seorang perantau yang bernama Kwan Cu. Aku tiba di daerah ini tanpa sengaja dan aku tidak bermaksud buruk. Biar pun aku seorang laki-laki, akan tetapi aku tak pernah mengganggu orang, apalagi orang wanita. Kalian percayalah kepadaku.”






Kedua orang gadis itu saling pandang dan kini beberapa orang wanita datang pula untuk ikut membaca tulisan Kwan Cu. Mereka bicara dengan ribut dan melihat sikap mereka, Kwan Cu dapat menduga bahwa mereka ini sebagian besar tidak percaya akan tulisannya tadi.

“Kami sudah cukup sering tertipu oleh laki-laki yang manis mulut tetapi berhati palsu,” tulis Malita. “Karena itu, kau tentu akan maklum bahwa kami tidak bisa sembarangan saja percaya kepadamu. Apa yang kau cari di tempat ini?”

“Aku mencari sebuah pulau kecil bundar dan ditumbuhi pohon-pohon berdaun putih. Harap kalian melepaskan aku dan aku tak akan mengganggu kalian, akan kulanjutkan perantauanku. Bahkan kalau ada sesuatu yang dapat kulakukan untuk kalian, akan kubantu kalian karena aku adalah seorang sahabat.”

Kembali orang-orang wanita itu ribut-ribut ketika membaca tulisan ini. Mereka agaknya masih ragu-ragu untuk mempercayai kata-kata ini. Tiba-tiba terdengar ribut-ribut dan Kwan Cu yang terheran-heran melihat seorang laki-laki kecil berlari-lari, dikejar oleh banyak wanita. Laki-laki itu memegang tongkat besar dan beberapa orang pengejarnya telah kena dihajar roboh.

Malita marah sekali dan dengan pedang di tangan dia melompat dengan gerakan yang menurut pandangan Kwan Cu hampir menyerupai gerakan Ouw-liong-coan-tah (Naga Hitam Tembuskan Menara), semacam gerakan melompat dari ilmu silat tinggi!

Akan tetapi sebelum Malita dapat menyusul laki-laki yang sudah pergi jauh, Kwan Cu telah mendahuluhinya. Pemuda ini menggunakan tangan kanannya yang bebas untuk mencengkeram segenggam tanah dan dilemparkan tanah itu ke arah laki-laki pendek yang melarikan diri.

Laki-laki itu berteriak roboh dan pingsan, terpukul oleh segenggam tanah yang baginya merupakan segumpal tanah yang besar! Orang-orang wanita segera memburu ke tempat itu dan sebentar saja laki-laki itu digiring pergi dalam keadaan terbelenggu erat-erat.

Malita kembali menghampiri Kwan Cu. Sikapnya agak berubah tidak segalak tadi dan senyumnya menghias wajahnya yang cantik. Juga para wanita lainnya kini memandang Kwan Cu dengan sikap manis.

“Kenapa kau merobohkan orang jahat itu?” tanya Malita dengan tulisannya.

“Sudah kukatakan bahwa aku tidak bermaksud buruk. Aku melihat dia seorang laki-laki begitu kejam untuk merobohkan beberapa orang wanita, maka aku turun tangan,” jawab Kwan Cu.

“Kau pandai melempar am-gi (senjata rahasia), agaknya kau memiliki kepandaian. Apakah kau benar-benar berniat baik dan tidak memusuhi kami?”

“Aku selalu berada di fihak benar, dan aku bersumpah takkan menggangu wanita. Kalau aku berniat buruk, apa kalian kira aku takkan dapat melepaskan ikatan ini? Katakanlah kepadaku bahwa kalian percaya kepadaku dan kalian akan melihat bahwa aku sanggup melepaskan ikatan ini.”

Malita terkejut akan tetapi ia tersenyum dan menulis,
“Kau raksasa yang aneh, gagah dan bersifat halus. Mengherankan sekali. Aku percaya kepadamu.”

Setelah membaca ini, Kwan Cu tertawa girang dan sekali dia mengerahkan lweekangnya, terdengar suara keras dan semua ikatannya putus!

Malita, Malika dan semua wanita masih sangsi. Mereka berdiri menjauhi Kwan Cu, siap dengan pedang di tangan!

Kwan Cu tersenyum, berdiri dan menggeliat, diawasi oleh semua wanita kecil-kecil itu dengan pandang mata kagum. Kemudian Kwan Cu duduk kembali sambil menulis di tanah.

“Nah, marilah kita bicara dengan baik. Kalian ini benar-benar aneh sekali. Mengapa aku hanya melihat wanita saja dan laki-laki satu-satunya yang kulihat tadi menjadi tawananmu? Mengapa pula kalian membenci laki-laki dan bukankah kalian ini pun puteri-puteri dari seorang ayah laki-laki pula?”

Membaca tulisan ini, kembali semua wanita ribut-ribut, bahkan ada yang mengucurkan air mata dan menangis dan mengharukan sekali. Kwan Cu menjadi semakin terheran, akan tetapi Malita menerima sebuah gulungan kertas berikut alat tulis. Ia lalu menulis panjang lebar untuk menceritakan keadaan bangsanya kepada pemuda raksasa itu.

Semenjak beberapa keturunan, bangsa katai ini merupakan bangsa yang keadaannya terbalik dengan banga-bangsa manusia lainnya. Yang berkuasa adalah wanitanya. Hal ini adalah karena dahulu muncul seorang wanita sakti yang memiliki kepandaian tinggi. Wanita ini membenci laki-laki dan ia hanya mau menurunkan kepandaiannya kepada murid-murid wanita, dengan menyuruh murid-murid itu bersumpah bahwa kepandaian mereka tidak boleh diturunkan kepada laki-laki.

Demikianlah maka para wanitanya rata-rata memiliki kepandaian silat yang tinggi dan biar pun dalam tenaga mereka kalah oleh laki-laki, namun apabila berkelahi, selalu para wanita yang menang. Juga para penjaga keamanan dan para prajurit terdiri dari wanita.

Yang laki-laki sebaliknya hanya bertugas di sawah dan laki-lakilah yang bertugas mencari makanan. Mereka selalu memilih pimpinan mereka atas dasar pemilihan umum, dan biasanya yang dicalonkan sebagai pemimpin tentulah wanita.

Akan tetapi, walapun jarang terjadi, pernah pula seorang laki-laki dicalonkan untuk menjadi pemimpin, di mana tentu saja kalau sudah memenuhi syarat-syarat yang berat yang ditentukan oleh bangsa wanita ini. Karena dalam hal ini, bukan kepandaian silat saja yang menjadi syarat utama, melainkan pengetahuan yang luas dan kecerdikan yang lebih daripada orang lain.

Raja atau kepala terakhir yang dipilih adalah ayah dari Malita dan Malika, seorang yang sudah banyak pengalaman karena sudah pernah merantau jauh keluar pulau. Di bawah pimpinan ayah ke dua orang gadis ini, rakyat orang katai hidup makmur, karena memang pemimpin ini pandai sekali, ditambah oleh bantuan dua orang puterinya yang memiliki kepandaian silat istimewa.

Malita dan Malika adalah murid-murid terpandai dari ahli waris ilmu silat yang diturunkan oleh nenek sakti, dan setelah guru kedua orang gadis ini meninggal dunia, boleh dibilang yang memiliki kepandaian tertinggi di pulau ini adalah Malita dan Malika.

Setelah raja itu meninggal dunia, otomatis yang ditunjuk menjadi ratu adalah Malita. Akan tetapi, setelah Malita menjadi raja, timbul pemberontakan di dalam hati orang-orang laki yang di pimpin oleh enam orang laki-laki yang menjadi pembantu raja. Mereka inilah yang mula-mula mencetuskan permintaan bahwa sudah sepatutnya kalau laki-laki menjadi raja dan laki-laki pula yang berkuasa!

Malita dan Malika marah sekali dan terjadilah pertempuran hebat antara laki-laki yang di pimpin oleh enam orang pemberontak itu melawan Malita dan Malika yang memimpin barisan wanita.

Celakanya, sebagian besar orang-orang lelaki, baik yang sudah menjadi suami maupun yang belum menikah, terkena bujukan enam orang ini dan ikut pula memberontak. Akan tetapi, laki-laki itu kesemuanya, hanya mengandalkan tenaga yang lebih besar, namun dalam hal mempermainkan senjata, mereka kalah jauh.

Hanya enam orang itu saja yang secara diam-diam telah mempelajari ilmu silat, dapat melakukan perlawanan hebat. Akhirnya, banyak laki-laki menjadi korban dalam peperangan itu dan banyak pula yang tertawan. Namun, enam orang laki-laki itu dapat melarikan diri ke sebuah pulau kosong yang mempunyai gua-gua di batu-batu karang. Enam orang laki-laki itu bersembunyi di dalam gua diikuti tiga puluh orang lebih laki-laki yang masih setia kepada mereka.

Malita dan Malika sudah berusaha beberapa kali memimpin barisan wanita untuk mengalahkan, menawan atau membunuh para pemberontak itu, namun alangkah terkejutnya ketika ia melihat bahwa tidak saja pertahanan mereka amat kuat dengan adanya gua-gua yang panjang dan gelap, juga tambah hari kepandaian mereka tambah hebat.

Apalagi enam orang laki-laki yang dipimpin oleh seorang yang bernama Kahano, seorang laki-laki berjenggot yang merupakan kepala juga guru dari mereka, kepandaian mereka amat hebat dalam beberapa hari ini, seakan-akan mereka menemukan guru yang pandai!

Tadinya, Malita dan Malika berdua saja dengan mudah mendesak dan hampir mengalahkan enam orang laki-laki pemimpin pemberontak itu, akan tetapi beberapa pekan kemudian ketika mereka mencoba untuk menyerang para pemberontak, enam orang laki-laki itu maju dan menghadapi Malita dan adiknya. Dan bukan main lihainya……. enam orang ini terutama sekali Kahano!

Mereka bersenjata pedang pendek dan permainan pedang ini mempunyai bentuk dan gaya baru yang luar biasa sekali. Hampir-hampir saja Malita dan Malika kalah! Namun akhirnya, karena anak buah Kahano yang lain-lain agaknya baru saja mempelajari ilmu silat, Malita dapat memukul mundur semua laki-laki itu dan mereka berlari-lari dan masuk ke dalam gua, sehingga kembali gerakan Malita gagal. Untuk meyerbu ke dalam gua amat berbahaya sekali karena Kahano dan anak buahnya menghujankan anak panah dari dalam gua!






Tidak ada komentar :