*

*

Ads

Minggu, 20 Januari 2019

Pendekar Sakti Jilid 094

Akan tetapi dia merasa tangannya lelah, tidak kuat lagi untuk mendayung lama-lama.
“Aku harus beristirahat dulu, harus tidur. Akan tetapi tidur di dalam perahu amat berbahaya, jangan-jangan perahuku akan hanyut pula ketika aku sedang tidur.”

Mengigat ini, hatinya menjadi ngeri dan Kwan Cu mengerahkan tenaga untuk mendayung perahu itu ke arah sebuah pulau terdekat agar dia dapat tidur di darat.

Pulau itu kecil saja, akan tetapi ternyata merupakan sebuah pulau yang subur, dengan pohon-pohon kecil kehijauan. Kwan Cu tidak ada tenaga lagi untuk menyelidiki keadaan pulau itu, karena tubuhnya sudah amat letih. Setelah dia menyeret perahu ke darat, dia lalu menjatuhkan diri di atas rumput dan sebentar saja pulaslah dia!

Kwan Cu yang sedang tidur pulas itu tidak tahu bahwa menjelang tengah hari, sebuah perahu yang kecil sekali mendarat di pesisir itu dan dari perahu itu melompat keluar dua orang gadis yang gesit sekali gerakannya.

Dua orang gadis muda ini cantik-cantik sekali, pakaiannya terbuat daripada semacam sutra halus yang mencetak bentuk tubuh dengan ketat. Rambut mereka diikat ke belakang, rambut yang hitam dan bergoyang-goyang di belakang panggung.

Dua orang gadis cantik ini berlari-lari, akan tetapi tiba-tiba memandang ke arah perahu Kwan Cu dengan mata terbelalak dan kulit muka mereka yang kemerah-merahan dan halus itu, tiba-tiba menjadi pucat sekali dan keduanya berdiri terpaku pada tanah yang mereka injak, seakan-akan telah berubah menjadi dua patung batu yang indah.

Kemudian mereka lalu bicara perlahan sambil mencabut pedang dari belakang punggung, siap menghadapi segala macam bahaya. Gerakan mereka lincah dan cepat sekali, sehingga pencabutan pedang itupun hampir tak dapat diikuti oleh pandangan mata saking cepatnya.

Kemudian mereka berlompat-lompatan ke arah perahu yang tadi ditarik ke darat oleh Kwan Cu. Setelah mereka tiba di dekat perahu, barulah dapat dimengerti mengapa mereka menjadi begitu kaget dan kelihatan takut.

Ternyata bahwa kedua orang gadis itu kecil sekali setelah berada di dekat Kwan Cu yang kelihatan besar bukan main. Dua orang gadis itu kelihatan seperti anak-anak berusia lima enam tahun, padahal melihat bentuk tubuh dan wajah mereka, tentu mereka telah berusia sedikitnya tujuh belas tahun!

“Perahu raksasa!” kata seorang diantara mereka yang mempunyai tanda hitam seperti titik pada pipi kanannya dan yang menambah kemanisan wajahnya.

Gadis ke dua memandang ke kanan kiri, dan tiba-tiba menjerit perlahan sambil menudingkan telunjuknya ke arah tubuh Kwan Cu yang masih tidur pulas di bawah sebatang pohon kecil.

Gadis dengan tahi lalat di pipinya menengok sambil melompat seperti seekor burung walet membalikkan tubuh, dan ia pun mengeluarkan jerit tertahan. Bagi mereka, tubuh Kwan Cu kelihatan besar sekali, seperti seorang raksasa!

Keduanya bicara perlahan dan dengan gerakan cepat akan tetapi ringan sekali, dua orang gadis itu berlari-lari menghampiri Kwan Cu dengan pedang siap di tangan. Biarpun kecil tubuh mereka, namun mereka mempunyai ketabahan besar, karena kini mereka berani menghampiri raksasa itu sama sekali tidak melarikan diri ketakutan.

Hal ini tidak mengherankan kalau kita mengetahui siapa adanya dua orang gadis itu. Mereka ini adalah dua orang puteri raja yang sudah meninggal dunia dari suku bangsa katai yang hidup di sebuah di antara pulau-pulau di daerah itu, dan kedua orang gadis ini sekarang dianggap sebagai pemimpin mereka, karena di antara mereka, dua orang gadis ini di anggap sebagai orang-orang yang memiliki kepandaian paling tinggi. Ini dapat di buktikan dari gerakan mereka yang benar-benar ringan dan cepat sekali, seakan-akan mereka mempunyai sepasang sayap seperti burung yang gesit sekali.

Ketika mereka tiba di dekat Kwan Cu yang masih tidur pulas saking lelahnya, gadis bertahi lalat di pipinya mencabut keluar sehelai sapu tanggan merah dari balik baju di dadanya, sedangkan gadis ke dua lalu menurunkan tali temali yang seperti sebuah jala ikan dari punggungnya.

Biarpun ia sedang tidur pulas, kalau sekiranya yang datang mendekatinya itu orang-orang biasa, agaknya Kwan Cu akan mendengar juga karena telinganya telah terlatih baik.

Akan tetapi yang datang adalah dua orang gadis yang memiliki ilmu meringankan tubuh luar biasa sehingga daun-daun kering yang mereka injak pun tidak menimbulkan suara apa-apa. Hal ini bukan karena hanya ilmu mereka sudah tinggi, akan tetapi juga karena mereka memakai sepatu yang bahannya lemas dan empuk sekali.






Gadis bertahi lalat di pipinya itu dengan gerakan cepat lalu meloncat ke dekat kepala Kwan Cu yang kelihatan besar sekali dan sekali ia mengerakkan tangan, sapu tangan merah itu melayang dan menyambar muka Kwan Cu.

Pemuda ini merasa bahwa ada sesuatu yang halus menutupi mukanya. Ia cepat membuka matanya, akan tetapi dari sapu tangan merah ini keluar keharuman luar biasa yang membuat dia tidak kuasa membuka mata saking mengantuknya dan dalam sekejap dia tertidur pulas kembali!

Gadis kedua yang berwajah gembira, cepat bergerak, melemparkan jalanya menyelimuti tubuh Kwan Cu. Dengan gerakan cekatan ia lalu membelit tubuh Kwan Cu dengan jala itu mengikat sana sini dan sebentar saja dibantu oleh gadis pertama, tubuh Kwan Cu sudah terbungkus jala itu dan kelihatan seperti seekor ikan besar masuk ke dalam jala yang kuat!

“Pergilah kau memanggil kawan-kawan untuk membawa raksasa ini pulang,” kata gadis bertahi lalat kepada adiknya.

Gadis ke dua sambil tertawa-tawa gembira lalu meloncat dengan cepat dan berlari-lari ke arah perahunya dan berlayar pergi. Adapun gadis pertama lalu duduk di dekat Kwan Cu, memeriksa bungkusan besar dari Kwan Cu yang tadi oleh pemuda itu diletakkan di dekatnya.

Ia membuka bungkusan itu dengan wajah tertarik. Wajahnya yang cantik kemerah-merahan, rambutnya bergerak ke kanan kiri ketika ia dengan susah payah membuka bungkusan yang berat itu. Akhirnya ia dapat membuka bungkusan dan setiap lembar pakaian Kwan Cu diperhatikannya dengan baik-baik, karena bahan pakaian itu sangat asing dan kasar baginya.

Ketika melihat bungkusan kuning, ia membukanya. Bungkusan itu adalah bungkusan daun Liong-co-hio yang berbahaya! Akan tetapi ketika membuka bungkusan itu, gadis itu segera melompat kaget sambil mengeluarkan suara keras. Di cabutnya saputangan merah yang tadi yang berhasil menidurkan Kwan Cu, lalu kedua tangannya digosok-gosokkan kepada saputangan itu.

Setelah menyimpan kembali saputangannya, ia duduk dan memegang daun-daun itu! Sungguh mengherankan, daun yang dapat menghanguskan setiap tangan orang yang menyentuhnya kini berada di tangan gadis ini tanpa mendatangkan akibat apa-apa. Ternyata saputangan merah itu mengandung obat penawar yang luar biasa sekali.

Gadis itu belum pernah melihat Liong-cu-hio, akan tetapi penciumannya amat tajam. Dari baunya saja ia dapat mengenal racun yang berbahaya dari daun itu. Setelah puas memeriksa daun itu, ia membungkusnya kembali. Kemudian matanya memandang ke arah suling pemberian Hang-houw-siauw Yok-ong yang selalu dibawa oleh Kwan Cu. Di dalam tangan gadis itu, suling ini merupakan sebatang suling yang terbuat dari pada bambu besar untuk bangunan.

Gadis itu tetawa berkikikan seorang diri, kelihatan geli sekali melihat suling sebesar itu. Ia mengangkat suling ini dan mencoba untuk membunyikannya. Akan tetapi oleh karena tangannya terlalu pendek sehingga tak dapat mencapai lubang-lubang pada suling, ketika ia meniup, suling itu hanya mengeluarkan bunyi senada saja.

Pada saat gadis itu membungkus kembali semua barang-barang Kwan Cu dari pantai datang berlarian banyak orang. Ternyata bahwa gadis ke dua tadi sudah datang lagi dan kini ia dikawani oleh dua puluh orang gadis-gadis dan wanita-wanita muda yang rata-rata memiliki kecantikan yang menarik hati.

Akan tetapi mereka inipun kecil-kecil seperti dua gadis tadi. Ramailah keadaan di situ ketika semua wanita itu mengagumi Kwan Cu dan memandangnya dengan terheran-heran.

Kemudian mereka bekerja sama, menyeret tubuh Kwan Cu ke pantai dan dengan susah payah karena tubuh Kwan Cu berat sekali, mereka menaikkan Kwan Cu ke dalam perahu pemuda itu, lalu beramai-ramai mendorong perahu ke laut.

Kepala perahu itu diikat dengan tambang yang tersedia di perahu Kwan Cu, diikatkan pada sepuluh buah perahu-perahu kecil. Kemudian mereka mendayung perahu-perahu itu dan menarik perahu Kwan Cu pergi dari pulau itu.

Orang-orang pendek ini tinggal di sebuah pulau yang berbukit, tak jauh dari pulau kosong dimana Kwan Cu ditawan. Mereka mendarat dan menyeret Kwan Cu ke darat, terus menariknya ke dusun mereka yang penuh dengan rumah-rumah kecil.

Kwan Cu di biarkan berbaring di atas tanah dan pada saat itu, Kwan Cu siuman kembali dari keadaan setengah mabuk karena pengaruh saputangan merah tadi. Ia menggerakkan kaki tangannya dan merasa betapa tubuhnya terikat oleh tali-tali yang kuat. Ketika ia memandang, ternyata dia berada di dalam sebuah jala yang aneh.

Kwan Cu terkejut dan terheran-heran. Mimpikah aku? Demikianlah dia berpikir. Tiba-tiba dia mendengar suara di dekat mukanya dan ketika dia memandang ke depan, hampir saja dia berteriak saking kaget dan herannya. Ia melihat dua orang gadis kecil sekali yang cantik menarik.

Gadis pertama yang manis dengan tahi lalat di pipi melakukan gerakan seperti orang bersilat, siap untuk menyerangnya, juga gadis ke dua yang cantik bersiap-siap. Kemudian dia melihat gadis pertama mencabut keluar sehelai saputangan merah dari balik bajunya, maka terciumlah bau yang amat harum.

Teringatlah Kwan Cu bahwa ketika dia hendak bangun, dia pun mencium bau ini, maka dia dapat menduga bahwa saputangan itulah yang membuat dia pingsan. Ia mempergunakan kecerdikannya dan tidak jadi meronta untuk melepaskan diri. Ia diam saja sambil memandang penuh perhatian.

Benar saja, ketika melihat bahwa raksasa yang tertawan itu tidak memberontak, dua orang gadis itu tidak jadi menyerang hanya memandang penuh kewaspadaan. Kwan Cu menggerakkan matanya memandang ke depan dan dia terheran-heran. Dia dirubung oleh banyak orang, akan tetapi anehnya, semua orang kecil yang berada di situ adalah wanita-wanita belaka!

“Mimpikah aku? Setelah bertemu dengan raksasa-raksasa apakah aku sekarang berubah pula seperti raksasa dan orang-orang wanita ini sebetulnya orang biasa? Atau sudah gilakah aku?” demikian Kwan Cu berpikir dengan bingung.

Memang, kalau di bandingkan, keadaannya terbalik sama sekali dengan keadaannya beberapa hari yang lalu. Lakayong memiliki tubuh yang tiga kali lebih besar tubuhnya dan sekarang, dia menjadi tiga kali lebih besar daripada wanita-wanita ini.

“Kalian siapakah? Dan mengapa aku ditawan?” ia mencoba bertanya dengan suara halus agar tidak menimbulkan rasa takut pada orang-orang wanita itu.

Akan tetapi ketika gadis cantik bertahi lalat di pipinya itu menjawabnya, Kwan Cu menjadi bingung sekali karena dia tidak mengerti sedikit pun juga akan maksud kata-katanya. Suara gadis itu merdu dan halus, akan tetapi ucapannya bagi telinga Kwan Cu hanya terdengar tidak karuan seperti berikut.

“Karika yiyi kaduka nana….”

Celaka, kembali aku bertemu dengan orang-orang aneh, pikir Kwan Cu. Bentuk tubuh yang kecil itu, bahasa yang aneh itu, tidak sangat mengheran hati Kwan Cu karena setelah bertemu dengan Lakayong dan rakyatnya, dia tahu bahwa di dunia ini terdapat manusia-manusia yang aneh. Yang amat mengherankan hatinya adalah bahwa semua orang katai yang berada di situ hanya wanita-wanita belaka! Apakah ini dunia wanita?

Kwan Cu teringat akan pengalamannya ketika bertemu dengan Lakayong dan rakyatnya. Bahasa yang dipergunakan oleh Lakayong juga jauh berbeda dengan bahasanya sendiri, jangankan yang di pergunakan oleh bangsa raksasa itu, bahkan yang di pergunakan di daratan Tiongkok sendiri ada puluhan atau ratusan macam!

Akan tetapi, biarpun bahasanya berlainan tulisannya semua sama! Inilah yang memudahkan seseorang di Tiongkok untuk melakukan perhubungan dengan orang-orang di daerah lain. Ketika dia berada di pulau raksasa, dia dapat berhubungan dengan menggunakan tulisan kuno. Siapa tahu kalau orang-orang kecil ini pun dapat membaca tulisannya.

Setelah berpikir demikian, Kwan Cu lalu mengeluarkan telunjuknya dari jala, diikuti oleh pandang mata para wanita itu. Kwan Cu lalu menuliskan tulisan huruf kuno seperti yang dipergunakan oleh Lakayong.

Wanita-wanita kecil itu menghampirinya dan melihat corat-coretnya, namun mereka tidak mengerti artinya. Kwan Cu lalu menghapus coretan di tanah itu dan kini dia mencoret tanah dengan tulisan yang lebih muda usianya dari pada tulisan yang dipergunakan oleh Lakayong.

“Dapat membaca ini?” tanyanya dalam tulisan itu.

Usahanya berhasil! Wanita-wanita itu saling pandang dan gadis bertahi lalat mengangguk-anggukkan kepalanya, lalu mencoret tanah di dekat tulisan Kwan Cu.

“Aku dapat membaca tulisanmu, kau siapakah dan datang dari mana?”

Bukan main girangnya hati Kwan Cu ketika dia membaca tulisan halus dan kecil itu, akan tetapi yang dapat dibacanya dengan jelas.






Tidak ada komentar :