*

*

Ads

Minggu, 20 Januari 2019

Pendekar Sakti Jilid 093

Kwan Cu terus mendayung perahunya dengan cepat menuju ke timur. Matahari telah naik tinggi melewati kepalanya. Ia melihat pulau-pulau yang gundul di sebelah kiri, akan tetapi ia tidak mau mendarat. Ingin dia segera tiba di daerah laut maut yang diceritakan oleh Lakayong.

Akan tetapi, dia melihat laut yang amat tenang dan yang agaknya tidak ada batasnya itu. Kalau dia melihat ke timur, yang nampak hanyalah air belaka dan jauh di sebelah timur air laut bertemu dengan kaki langit sehingga sukar dibedakan mana batasnya, karena warna laut dan langit hampir sama.

Malam tiba dan baiknya bulan purnama muncul berseri. Kwan Cu terus saja mendayung dan akhirnya karena lelah, menjelang tengah malam setelah bulan purnama naik tinggi, dia tidur pulas di dalam perahu membiarkan perahunya itu berdiam tak bergerak di atas air yang tenang.

Untung baginya bahwa tadi orang-orang di pulau raksasa memberi bekal kue manis yang besar sekali kepadanya, sebesar dua kepalanya, sehingga tidak menderita kelaparan. Untuk minumnya, diapun telah membawa bekal seguci minuman yang rasanya wangi dan tawar, tidak seperti arak namun dapat menghangatkan perut.

Kwan Cu tertidur sampai lama sekali. Ia baru sadar ketika perahunya bergoyang-goyang. Ketika dia membuika matanya ternyata bulan purnama sudah lenyap dan sebagai gantinya, matahari mengintip di kaki langit sebelah timur, memancarkan cahaya kemerahan yang menimbulkan pemandangan indah sekali.

Namun Kwan Cu tak mungkin dapat menikmati keindahan alam itu karena ketika dia melihat ke bawah, ke pinggir perahunya untuk mengetahui mengapa perahunya bergoyang-goyang, dia terkejut bukan main.

Di sekeliling perahunya kelihatan banyak sekali ikan besar-besar, sebesar perahunya, berenang ke sana ke mari dan setiap kali tubuh ikan melanggar perahunya, perahu itu bergoyang-goyang!

“Celaka…” pikir Kwan Cu.

Ikan itu banyak sekali dan kalau dia mengunakan dayung memukul dan mengusir, tentu ikan itu akan marah. Kalau sampai ikan-ikan itu menyerbu perahunya, akan celakalah dia. Juga untuk mendayung perahu tak mungkin karena dayungnya tentu akan melanggar tubuh ikan yang terdekat. Keadaannya seperti seekor domba yang dikurung oleh puluhan ekor harimau yang siap menerkam setiap saat.

“Celaka, bagaimana baiknya sekarang?”

Kwan Cu diam saja sambil duduk di dalam perahunya, memegang dayung siap akan memukul ikan yang akan menyerbu perahunya. Akan tetapi ikan-ikan itu hanya berenang ke sana ke mari, kadang-kadang sengaja menyenggol perahu sehingga perahu itu bergoyang-goyang hampir terbalik.

“Kurang ajar, mereka sengaja mempermainkan aku,” pikir Kwan Cu.

Teringatlah dia akan daun Liong-cu-hio yang berada di dalam bungkusan kainnya. Ia teringat ketika Liok-te Mo-li, nenek yang aneh itu memberi bekal daun-daun ini kepadanya, nenek itu berkata bahwa kalau dia diserang dan diancam oleh ikan-ikan buas dia dapat mempergunakan daun-daun itu untuk menyelamatkan diri.

Dengan perlahan dia membuka bungkusannya membasahi kedua tangan dengan air laut, lalu mengambil dua helai daun itu. Ia merasa heran sekali daun-daun itu sama sekali tidak mengering, masih segar seperti ketika habis dipetik.

“Mudah-mudahan Liok-te Mo-li tidak berbohong,” pikir Kwan Cu dan dia melemparkan sehelai daun ke kanan dan sehelai pula ke kiri sambil mengerahkan tenaga.

Daun-daun itu meluncur dan jatuh di air. Setelah tiba di air dan terapung, daun-daun itu bergerak-gerak seperti benda hidup. Kwan Cu tidak heran melihat ini, karena dulu pun sudah melihat betapa daun-daun itu bergerak-gerak setiap kali tersentuh sesuatu.

Ia memandang penuh perhatian dan harapan. Maka terjadilah sesuatu yang amat hebat. Seekor ikan yang berada paling dekat dengan daun itu, tadinya tidak mengacuhkannya sama sekali, akan tetapi begitu daun itu bergerak-gerak dia cepat menyambar dan menelannya.

Akan tetapi, begitu daun itu tertelan olehnya, seketika itu juga tubuhnya terapung dalam keadaan mati! Perutnya yang putih itu nampak tersembul di permukaan air. Sudah menjadi kebiasaan liar dari ikan-ikan itu, apabila melihat seekor ikan lain mati, mereka segera menyerbu untuk makan dagingnya.






Akan tetapi, tiap kali ikan menggigit segumpal daging dari ikan yang mati itu, ikan ini pun terapung dalam keadaan mati pula! Namun ikan-ikan itu bodoh sekali dan yang lain-lain serentak berpesta, menyerbu yang sudah mati sehingga sebentar saja air penuh dengan bangkai ikan.

Kwan Cu bergerak memandang ke belakangnya dan di sebelah kiri perahu dia meyaksikan pemandangan yang sama. Di situpun ikan-ikan berpesta pora, yang hidup menyerbu yang mati untuk terkena bisa daun Liong-cu-hio sehingga menjadi bangkai pula tanpa dapat menggelepar lagi.

“Hebat…!”

Kwan Cu berseru dengan hati ngeri. Ia bergidik melihat betapa bangkai ikan makin banyak saja terapung di permukaan laut. Agaknya semua ikan di tempat itu akan mati terkena bisa yang jahat. Kini tahulah dia akan arti ucapan Liok-te Mo-li bahwa dia akan menyaksikan “pesta” yang menggembirakan kalau melemparkan daun itu ke laut.

Kwan Cu segera mendayung perahunya cepat-cepat, pergi dari tempat itu. Ia merasa ngeri, juga merasa malu kepada diri sendiri. Ia anggap perbuatannya tadi rendah dan pengecut. Kalau dia tahu bahwa akibat daun itu akan demikian hebat, tentu dia akan mencari jalan lain untuk menyelamatkan diri dari keadaannya yang terancam tadi.

“Aku takkan mempergunakan daun-daun iblis lagi,” pikirnya. “Terlalu keji”

Dengan cepat dia mendayung perahunya ke arah matahari yang mulai nampak di permukaan laut sebelah timur. Ia mendayung perahunya cepat sekali, namun belum juga kelihatan adanya pulau di sebelah sana, bahkan dia tidak melihat adanya lautan yang disebut jalan maut itu.

Apakah ikan-ikan itu yang dianggap berbahaya oleh Lakayong? Tak mungkin, pikirnya. Sungguhpun ikan-ikan tadi baginya besar sekali dan membahayakan perahunya, namun bagi Lakayong dengan perahunya yang besar, ikan-ikan itu hanya merupakan ikan-ikan kecil saja yang tak mengancam keselamatan perahu raksasa itu.

Sehari penuh dia mendayung dan pada malam harinya dia tertidur lagi di dalam perahu, membiarkan perahunya terapung di atas air yang masih tenang.

Pada keesokkan harinya, dia mendegar suara mendesis-desis seperti mendengar ada ribuan ekor ular menyerangnya. Kwan Cu terbangun dari tidurnya dan melihat bahwa matahari telah naik agak tinggi dari permukaan laut sebelah timur. Ia memandang ke kanan kiri dengan heran tidak tahu apakah yang menimbulkan suara mendesis itu.

Tiba-tiba dia melihat awan atau uap hitam yang bergerak mendatang dari arah utara menuju ke tempat dimana perahu berada. Makin lama uap itu makin besar dan sebagian uap menutup matahari sehingga pandangan mata pemuda itu menjadi gelap. Kemudian dia melihat sesuatu yang mengejutkan hatinya. Beberapa ekor burung laut beterbangan ketakutan dan di antaranya ada yang terbang menerjang uap itu, lalu jatuh dalam keadaan hangus!

Bukan main kagetnya. Suara mendesis-desis makin keras dan ternyata bahwa suara itu keluar dari asap atau uap hitam ini. Uap ini melayang di atas permukaan laut hanya kurang lebih dua kaki dari atas kaki, seakan-akan ada hawa air laut yang menahannya. Ketika uap hitam itu sudah dekat degan perahunya, Kwan Cu mengerakkan dayungnya menyentuh uap, segera menjadi hangus ujungnya!

Pemuda ini kaget setengah mati dan cepat dia menjerembab di dalam perahu, bertiarap sehingga tubuhnya menempel pada perahu dengan telungkup. Kemudian semua menjadi gelap karena uap itu telah melayang diatas perahunya. Kwan Cu mengatur napas dan mengerahkan lweekangnya untuk melawan hawa napas ini. Suara mendesis-desis membisingkan telinganya dan membuat kepalanya pening.

Akhirnya suara mendesis menjauh tak lama kemudian suara itu lenyap, hawa panas pun lenyap. Baru Kwan Cu berani membuka mata dan menggerakkan leher menengok ke atas.

Udara bersih dan ternyata bahwa uap hitam yang mengerikan itu telah lewat. Baiknya uap itu melayang agak tinggi dari permukaan laut, kalau lebih rendah tentu perahunya akan hangus, berikut tubuhnya.

Setelah yakin bahwa tidak ada bahaya lagi, Kwan Cu duduk dan pada saat itu juga dia merasakan getaran yang luar biasa hebatnya pada perahu yang didudukinya. Kiranya perahu ini terpegang oleh gerakan air yang luar biasa kuatnya dan Kwan Cu melihat sesuatu yang amat ganjil. Air laut yang dimasuki oleh perahunya itu bergerak mengalir dengan kekuatan yang dasyat sekali.

“Inilah agaknya batas yang disebut jalan maut itu,” pikir Kwan Cu dengan hati berdebar.

Akan tetapi ketabahan dan ketenangannya tidak lenyap. Ia mencoba sedapat mungkin dengan keduanya untuk menahan perahunya supaya tidak terbalik. Dengan memukul dan menekan ke kanan kiri perahu, dia berhasil menjaga keseimbangan berat perahunya di bawa hanyut cepat sekali oleh aliran air itu. Memang amat aneh. Di laut yang kelihatan begitu tenang, bagaimana ada semacam sungai banjir?

Entah kemana perahunya dihanyutkan, Kwan Cu tidak ingat lagi. Ia bekerja keras menjaga agar perahunya tidak terbalik dan perahunya meluncur bukan main cepatnya, jauh lebih cepat daripada kalau dia mempergunakan tenaga. Hal ini dapat dia rasai pada sambaran angin dari depan. Juga ketika ada air yang terkena pukulan dayungnya memercik ke atas mengenai lengan dan mukanya, dia merasa betapa air itu dingin sekali seperti salju!

Sampai matahari tenggelam, masih saja perahunya terbawa hanyut dengan kecepatan yang makin lama makin pesat. Ia melihat pulau-pulau kecil di kanan kiri, agak jauh, dan penglihatan ini menambah kenyataan betapa cepatnya air mengalir itu membawa perahunya.

Akan tetapi, alangkah herannya ketika dia melihat bahwa “sungai” yang tidak kelihatan ini agaknya memutari pulau-pulau itu. Tak lama kemudian, malam tiba dan cahaya bulan tak cukup terang sehingga pulau-pulau kecil itu pun lenyap tak dapat terlihat lagi.

Semalam itu masih terus bekerja. Ia tak berani mengurangi tenaganya karena sekali saja dia melepaskan dayung, perahunya mungkin akan terbalik dan kalau hal ini terjadi, berbahayalah keadaannya.

Tubuhnya sudah terasa letih sekali, bukan hanya pengerahan tenaga sehari semalam tanpa ada hentinya, juga karena dia tidak mendapatkkan kesempatan untuk mengisi perut sama sekali.

“Celakalah kali ini,” pikir Kwan Cu.

“Kalau terus menerus begini, sampai berapa lama aku dapat bertahan?”

Menghadapi keadaan yang berbahaya ini, Kwan Cu teringat akan nasehat Lakayong. Benar juga rakasasa itu. Daerah inilah yang disebut daerah maut, atau jalan maut, karena memang luar biasa berbahayanya. Baru perjumpaan dengan uap berbisa tadi saja sudah amat berbahaya, dan sekarang terdapat aliran air yang begini dasyat.

Menjelang pagi, tenaga Kwan Cu sudah mulai lemas. Hampir-hampir dia tak dapat menahan lagi. Akan tetapi, tiba-tiba perahunya tidak begitu laju lagi dibawa hanyut, tanda bahwa tenaga aliran sungai yang tidak kelihatan itu mengecil.

Ketika dia memandang ke depan dalam suasana pagi yang masih suram, dia tahu mengapa terjadi hal itu. Kirannya di depan membentang panjang pulau-pulau kecil yang hitam, dan tentu aliran itu tertahan oleh pulau-pulau sehingga buyar tenaganya dan perahunya pun terlepas dari pegangan aliran itu.

Dengan mengerahkan sisa tenaganya, Kwan Cu mendayung perahu ke kiri dan akhirnya dia berhasil melepaskan perahu sama sekali daripada aliran air yang mulai melemah itu. Ia membiarkan perahunya terapung dan ketika dia memandang ke kanan, kini nampaklah aliran sungai itu, agak kekuning-kuningan di antara air laut yang biru, yakni air laut yang tenang dan diam.

Kwan Cu mengeleng-geleng kepala. Benar-benar suatu yang aneh sekali. Dari manakah timbulnya air kuning itu yang begitu saja muncul di tengah laut? Apakah dari dasar laut muncul sumber air itu? Ah, alangkah hebat, berkuasa, dan aneh adanya alam ini, yang bagi tangan Thian merupakan permainan kecil belaka.

Hal pertama-tama yang dilakukan oleh Kwan Cu adalah minum air, minuman manis yang masih ada sisanya, kemudian dia makan sisa kuenya yang mulai mengeras dan kurang enak. Tangannya gemetar, tanda bahwa urat-uratnya sudah amat letih.

Sementara itu, matahari mulai naik tinggi dan pulau-pulau yang masih menahan aliran air kuning dan yang menyelamatkannya itu mulai kelihatan. Hati pemuda ini berdebar. Apakah pulau bundar kecil yang dicarinya itu berada diantara pulau-pulau itu? Siapa tahu kalau memang Im-yang Bu-tek Cin-keng benar-benar berada di atas sebuah di antara pulau-pulau itu, pikirnya penuh harapan.

Ia mulai mendayung perahunya mendekati pulau-pulau itu, hendak menyelidik dan mencari-cari apakah di situ terdapat pulau yang di tumbuhi pohon-pohon berdaun putih.






Tidak ada komentar :