*

*

Ads

Minggu, 20 Januari 2019

Pendekar Sakti Jilid 092

Lakayong menarik napas panjang.
“Kau orang aneh, mungkin kau akan berhasil menjelajahi pulau itu. Akan tetapi hati-hatilah, memang benar-benar berbahaya sekali di daerah itu. Aku sendiri pernah mencobanya, namun terpaksa aku kembali setelah tiba di batas laut itu. Bukan main ganasnya. Letaknya di sebelah timur pulau kami ini, tepat dari mana matahari muncul.”

“Terima kasih dan selamat tinggal, Raja Lakayong, dan kau juga, saudara Kasang. Yang baik-baiklah kau menjaga Liyani.”

Setelah berkata demikian Kwan Cu lalu pergi ke pantai mencari perahunya, diikuti oleh Lakayong dan Kasang. Ketika penduduk mendengar tentang kepergian Kwan Cu, berbondong-bondong mereka mengantar sampai ke pantai. Akan tetapi diantara sekian banyaknya orang, tidak nampak bayangan Liyani.

Kwan Cu menurunkan perahunya di air dan dia telah menerima dua buah dayung yang baik dari Raja Lakayong sebagai pengganti dayungnya ketika perahunya diserang oleh taufan beberapa hari yang lalu.

Orang-orang di pantai melambaikan tangan, Raja Lakayong menghapuskan dua butir air mata yang menitik turun ke atas pipinya. Semua orang terharu, terutama sekali Lakayong dan Kasang yang sudah merasa betapa besar jasa pemuda kecil itu bagi mereka.

“Selamat tinggal, saudara-saudaraku yang baik. Kita yieee…. (selamat tinggal)…..” kata Kwan Cu sambil mendayung perahunya ke timur.

Karena dia mempergunakan tenaga, maka sebentar saja dia meninggalkan pulau besar yang mendatangkan pengalaman-pengalaman aneh kepadanya itu. Tiba-tiba terdengan seruan suara nyaring.

“Saudara Kwan Cu…!”

Kwan Cu menoleh dan alangkah herannya ketika dia melihat sebuah perahu layar besar yang dikendarai oleh…. Liyani!

“Eh, kau Liyani. Hendak pergi kemanakah kau?” tanyanya heran.

“Aku sengaja menantimu di sini, aku hendak pergi bersamamu!”

Baiknya Kwan Cu ingat bahwa dia berada di dalam perahu, kalau tidak tentu dia akan melompat ke belakang dan berjungkal ke dalam air saking kagetnya.

“Ikut pergi bersamaku?? Kau gil….. eh, apa maksudmu?”

“Kau telah menipuku! Apa kau kira aku tidak tahu bahwa dalam pertandingan antara ayah dan Kasang, ayah sengaja berlaku mengalah dan semua itu adalah rencanamu belaka? Kau menghendaki dan memaksa aku menerima Kasang sebagai jodohku mengapa?”

Kwan Cu menelan ludah. Hebat benar gadis ini, pikirnya. Ia mendekatkan perahunya ke perahu besar Liyani, mengikatkan tali di kepala perahu gadis itu, lalu melompat masuk ke dalam perahu besar, berdiri menghadapi gadis raksasa itu.

“Dengarlah baik-baik, Liyani. Tuduhanmu tadi kuterima dan aku minta maaf. Memang aku sengaja melakukan hal itu. Ketahuilah. Kau tidak mungkin ikut dengan aku. Kita tidak sesuai dan di negeriku, kau hanya akan menjadi tontonan dan buah tertawaan seperti ketika aku berada di pulaumu, bahkan kau akan mengalami gangguan-gangguan yang tidak mengenakkan hati. Aku memang ingin melihat kau menjadi isteri Kasang, karena dia pemuda baik dan cocok menjadi jodohmu. Apa lagi, ayahmu pun menghendaki demikian. Adapun aku….sudah kukatakan bahwa aku mempunyai calon jodohku sendiri.”

“Bun Sui Ceng….??”

Kwan Cu tertegun. Nama gadis murid Kiu-bwe Coa-li itu malah masih teringat oleh Liyani! Apa boleh buat, ia mengangguk membenarkan.






“Kau tidak bohong?”

Kwan Cu menggeleng kepala.

“Berani kau bersumpah?”

Kwan Cu melongo.
“Bersumpah? Bersumpah bagaimana?”

“Bersumpah bahwa kau benar-benar suka kepada gadis yang bernama Bun Sui Ceng itu, bahwa kau benar-benar menghendaki dia menjadi jodohmu.”

Kwan Cu menjadi bingung sekali. Ia mencoba untuk membayangkan wajah Sui Ceng yang manis dan tergeraklah hatinya. Mengapa tidak? Sui Ceng merupakan gadis yang memang disukanya, tidak saja gadis itu memang baik terhadapnya, bahkan ibu gadis itu, yakni Pek-cilan Thio Loan Eng, adalah manusia pertama yang berlaku baik kepadanya.

“Aku bersumpah bahwa aku suka kepada Bun Sui Ceng dan bahwa aku menghendaki ia menjadi jodohku,” kata Kwan Cu dan ketika dia mengucapkan kata-kata ini, dia berlaku sungguh-sungguh.

Liyani menangis. Lalu gadis ini berdiri dengan muka menengadah ke langit dan kedua tangannya di pentang lebar.

“Dengarlah, dewa awan, dewa matahari dan dewa laut. Kalian menjadi saksi atas sumpah saudara Kwan Cu! Kalau dia melanggar sumpahnya, biarlah kalian yang menghukumnya dan biarlah saudara Kwan Cu selama hidupnya takkan mendapat jodoh!”

Suara gadis ini demikian menyeramkan sehingga Kwan Cu merasa bulu tengkuknya berdiri.

“Kau terimalah ini sebagai tanda mata dariku. Selama hidup aku takkan melupakanmu saudara Kwan Cu.”

Biarpun bagi Liyani tusuk konde itu kecil saja, namun bagi Kwan Cu merupakan benda sebesar pisau belati. Ia menerimanya dan berkata dengan terharu,

“Terima kasih, Liyani, dan akupun takkan melupakanmu, takkan melupakan kau, ayahmu, dan semua orang yang berada di atas pulaumu.”

Setelah berkata demikian, Kwan Cu melompat kembali ke dalam perahunya, melepaskan ikatan dan mendayung perahunya, terus ke arah timur. Ketika dia menengok, dia melihat Liyani masih berdiri di perahunya sambil memandang ke arahnya.

Dilihat dari jauh, Liyani tidak kelihatan besar lagi, melainkan nampak sebagai dara biasa yang bertumbuh tinggi semampai pinggang ramping dan bentuk tubuh yang indah.

Kwan Cu melambaikan tangan, di balas oleh Liyani dan pemuda ini menghela napas panjang lalu mendayung cepat perahunya tanpa menoleh lagi.

**** 092 ****






Tidak ada komentar :