*

*

Ads

Minggu, 20 Januari 2019

Pendekar Sakti Jilid 091

Semua orang terdiam dan melongo. Juga Liyani dan Lakayong. Akan tetapi Kwan Cu berkata,

“Aku tidak mungkin menjadi calon raja karena aku harus pergi dari sini. Dan aku tidak bisa jadi calon jodoh Liyani karena aku……. aku orang kecil, tidak sesuai dengan jodohnya.”

“Itu bukan alasan!” Liyani membantah. “Hanya dengan alasan yang jujur dari bangsaku aku mau menerima penolakan ini!”

“Alasan jujur yang bagaimanakah?”

“Pertama, kalau kau mau menyatakan bahwa kau membenciku, aku tidak keberatan kau menolakku. Ke dua, hanya kalau kau sudah mempunyai calon jodoh atau bahkan sudah mempunyai jodoh perempuan lain, baru aku mau mencari lain jodoh.”

Kwan Cu menjadi makin bingung dan ia menggaruk-garuk bagian belakang telinganya. Ia berada dalam keadaan yang teramat sulit. Untuk menyatakan bahwa ia membenci Liyani, selain hal itu tidak sesuai dengan hatinya yang sama sekali tidak membenci gadis raksasa ini, juga amat berbahaya karena tentu semua orang di situ akan memusuhinya.

Untuk mengaku bahwa dia sudah punya calon jodoh atau isteri, tidak mungkin pula. Akan tetapi, alasan kedua ini sebetulnya lebih ringan dan lebih aman. Setelah berpikir-pikir dia menjawab tanpa ragu-ragu,

“Aku tidak membencimu, Liyani. Dan aku memang belum punya jodoh. Akan tetapi aku sudah mempunyai calon jodoh, seorang gadis di negeriku.”

Tiba-tiba Liyani menangis!

Kwan Cu menjadi bingung sekali.
“Jangan berduka, Liyani. Kita tidak cocok menjadi jodoh, aku sudah mempunyai calon jodoh yang besarnya sama dengan aku. Jodohmu adalah pemuda tinggi besar yang gagah seperti Kasang.”

“Calon jodohmu itu…. Apakah kau suka kepadanya?” tanya Liyani sambil menyusut air matanya.

“Tentu saja, aku… suka sekali padanya,” jawab Kwan Cu menelan ludah.

“Dan dia… apakah suka padamu”

“Tentang itu… barang kali dia suka, belum kutanyakan.”

“Cantikkah dia?”

“Cantik sekali, yaitu menurut pandangan mataku.”

“Siapa namanya?”

Tak disangkanya bahwa Liyani begitu nekat dan terus bertanya dengan teliti. Bagaimana harus dijawabnya? Ia tadi membohong dan kini dia tidak dapat menjawab.

“Siapa namanya?” Liyani mendesak.

“Namanya… apa perlunya kusebut-sebutkan namanya? Kau takkan mengenalnya.”

“Kalau begitu kau bohong!”

Kwan Cu terkejut. Pikirannya diputar-putar dan terbayanglah wajah Bun Sui Ceng murid Kiu-bwe Coa-li. Agaknya gadis cilik itu saja yang patut menjadi jodohnya.

“Namanya Bun Sui Ceng!” akhirnya dia berkata dan mukanya menjadi merah sekali ketika dia berkata demikian.

Kembali Liyani menangis makin keras.
“Sekarang tak ada lagi orang yang patut menjadi jodohku, hanya kau yang bisa mengalahkan ayah!”






“Siapa bilang? Kasang bisa mengalahkan ayahmu,” kata Kwan Cu yang mendapat siasat baik sekali.

Pada saat itu, Kasang dan Wisang sudah siuman kembali dan mereka ikut mendengarkan percakapan itu. Mendengar betapa Kasang dipuji-puji oleh Kwan Cu dan hendak dijodohkan dengan Liyani, dia (Wisang) menggereng keras dan tiba-tiba menyerang Kasang!

Serangan itu hebat sekali dan dilakukan selagi Kasang tidak bersiap, maka kalau pukulan yang ditujukan ke arah kepala itu mengenai sasaran, amat berbahayalah bagi Kasang.

Kwan Cu yang melihat hal ini, cepat melompat dan sebelum pukulan Wisang itu mengenai Kasang, tubuh Wisang terpental ke belakang dan dia roboh tak dapat bangun kembali. Tulang pundaknya telah patah dan biarpun Kwan Cu merasa kasian, namun pukulannya tadi memang dia sengaja dan dia tidak mau mengobati atau menyambung tulang pundak itu, karena kalau Wisang tidak dibikin cacat, kelak tentu dia akan mengacau lagi. Kini Wisang biarpun akan sembuh, tenaga tangan kanannya akan lenyap dan dia tidak berbahaya lagi.

Adapun Lakayong yang mendengar omongan Kwan Cu, menjadi heran dan bertanya,
“Saudara Kwan Cu, betul-betulkah Kasang dapat mengalahkan aku?”

“Tentu saja, akan tetapi tidak sekarang, boleh dicoba besok pagi. Dia sekarang menjadi muridku dan dia akan kuberi pelajaran sehari ini.”

Setelah Kwan Cu mendapat kesempatan bertemu dengan Lakayong seorang diri, dia menceritakan siasatnya. Dalam pertempuran tadi, dia mendapat kenyataan bahwa sifat-sifat Kasang memang lebih baik dari pada Wisang dan rencana pembunuhan raja itu pun tentu Wisang yang mengaturnya.

“Liyani suka kepada Kasang, maka harap besok kau suka mengalah pada Kasang agar puterimu suka menerima pinangannya. Kau melakukan ini demi kebahagiaan puterimu, apakah kau tidak suka?” tanya Kwan Cu.

Mengertilah Lakayong dan dia mengangguk-angguk. Kwan Cu sebenarnya tidak memberi pelajaran apa-apa kepada Kasang, hanya nasehat-nasehat agar pemuda ini tidak mengacau lagi dan agar besok menghadapi Lakayong, dia tahu bahwa raja itu sengaja mengalah. Kasang berterima kasih sekali dan mengaku bahwa dia memang kena bujukan Wisang yang jahat.

Demikianlah atas rencana Kwan Cu yang disetujui dan dibantu pelaksanaannya oleh raja Lakayong dan Kasang, pada keesokkan harinya, bertempat di kebun itu, hanya disaksikan oleh Liyani seorang saja, dilakukan pertandingan antara Kasang dan Lakayong.

Dalam pertandingan yang kelihatan hebat ini namun yang sesungguhnya hanya main-main belaka, akhirnya Raja Lakayong kena ditubruk dan ditangkap oleh sepasang lengan Kasang yang kuat. Lakayong mencoba untuk melepaskan diri, akan tetapi tidak dapat dan akhirnya mengaku kalah sambil berkata,

“Ah,benar-benar setelah menjadi murid saudara Kwan Cu kau hebat sekali, Kasang. Aku menerima kalah!”

Kasang lalu menjatuhkan diri berlutut di depan Rajanya dengan wajah berseri.
“Mohon ampun sebanyaknya atas segala kedosaanku,” katanya. “Dalam kesempatan ini untuk kedua kalinya kuulangi pinanganku terhadap Liyani.”

Lakayong berpaling kepada puterinya,
“Liyani, kau sudah mendengar sendiri pinangan Kasang yang gagah perkasa. Nah, seperti biasa terserah kepadamu keputusannya.”

Terdengar sedu sedan di leher gadis itu.
“Terserah kepada ayah saja aku hanya menurut.”

“Bagus! Kasang, calon menantuku, kami menerima tunanganmu!” kata Raja itu gembira sekali.

Liyani memandang kearah Kwan Cu lalu menangis dan berlari pergi.

Kwan Cu menghaturkan selamat kepada Kasang dan Lakayong dan kedua orang itu sebaliknya tiada hentinya mengucapkan terima kasih mereka, karena dengan akal dan siasat Kwan Cu belaka maka gadis yang keras kepala itu dapat ditundukkan.

“Sekarang aku mohon diri hendak melanjutkan pelayaranku,” kata Kwan Cu.

Lakayong mengerutkan kening.
“Kalau mungkin, kami tidak ingin berpisah denganmu lagi, saudaraku yang baik. Akan tetapi kalau kami memaksa, itu tidak adil namanya. Kau hendak pergi kemanakah?”

“Aku hanya ingin berkelana saja dan aku mendengar ada sebuah pulau kecil bundar yang ditumbuhi pohon-pohon berdaun putih. Tahukah kalian tentang pulau itu dan di mana letaknya?”

Lakayong dan Kasang memandang dengan mata terbelalak lebar.
“Apa?” seru Raja raksasa itu. “Kau hendak mencari pulau bayangan?”

Kwan Cu memandang heran.
”Pulau bayangan? Apa maksudmu? Aku hanya mendengar bahwa pulau itu kecil, berbentuk bundar dan ditumbuhi pohon-pohon berdaun putih. Tahukah kalian akan pulau itu?”

“Benar, yang kau maksudkan tentu Pulau Bayangan! Saudaraku yang baik harap kau batalkan saja niatmu itu. Kami sudah sering kali berperahu di sekitar kepulauan ini dan sering kali tiba-tiba melihat pulau yang kau maksudkan itu. Akan tetapi apabila kami mendekatinya, tiba-tiba dia menghilang! Pulau itu aneh dan jauh dan kami mengambil kesimpulan bahwa pulau itu tentu bukan berada di sekitar sini, melainkan berada di seberang laut jalan maut.”

“Di manakah laut jalan maut itu? Aku akan mencari ke sana.”

Kasang mengeluarkan seruan kaget, dan Lakayong menjadi pucat.
“Jangan, saudara Kwan Cu. Jangan sekali-kali kau melintasi batas laut itu. Sudah banyak saudara-saudara kami tewas di sana. Laut itu adalah batas yang tak boleh dilalui manusia, di situ banyak terdapat keajaiban yang merupakan tangan maut. Siapapun juga tak mungkin dapat melalui batas itu. Lebih baik kau mengunjungi pulau-pulau kosong yang banyak terdapat di sekitar sini.”

“Tidak, Raja yang baik. Aku akan mencobanya, betapapun besar bahaya yang akan aku hadapi.”

Lakayong menarik napas panjang.
“Kau orang aneh, mungkin kau akan berhasil menjelajahi pulau itu. Akan tetapi hati-hatilah, memang benar-benar berbahaya sekali di daerah itu. Aku sendiri pernah mencobanya, namun terpaksa aku kembali setelah tiba di batas laut itu. Bukan main ganasnya. Letaknya di sebelah timur pulau kami ini, tepat dari mana matahari muncul.”

“Terima kasih dan selamat tinggal, Raja Lakayong, dan kau juga, saudara Kasang. Yang baik-baiklah kau menjaga Liyani.”

Setelah berkata demikian Kwan Cu lalu pergi ke pantai mencari perahunya, diikuti oleh Lakayong dan Kasang. Ketika penduduk mendengar tentang kepergian Kwan Cu, berbondong-bondong mereka mengantar sampai ke pantai. Akan tetapi diantara sekian banyaknya orang, tidak nampak bayangan Liyani.

Kwan Cu menurunkan perahunya di air dan dia telah menerima dua buah dayung yang baik dari Raja Lakayong sebagai pengganti dayungnya ketika perahunya diserang oleh taufan beberapa hari yang lalu.

Orang-orang di pantai melambaikan tangan, Raja Lakayong menghapuskan dua butir air mata yang menitik turun ke atas pipinya. Semua orang terharu, terutama sekali Lakayong dan Kasang yang sudah merasa betapa besar jasa pemuda kecil itu bagi mereka.

“Selamat tinggal, saudara-saudaraku yang baik. Kita yieee…. (selamat tinggal)…..” kata Kwan Cu sambil mendayung perahunya ke timur.

Karena dia mempergunakan tenaga, maka sebentar saja dia meninggalkan pulau besar yang mendatangkan pengalaman-pengalaman aneh kepadanya itu. Tiba-tiba terdengan seruan suara nyaring.

“Saudara Kwan Cu…!”

Kwan Cu menoleh dan alangkah herannya ketika dia melihat sebuah perahu layar besar yang dikendarai oleh…. Liyani!

“Eh, kau Liyani. Hendak pergi kemanakah kau?” tanyanya heran.

“Aku sengaja menantimu di sini, aku hendak pergi bersamamu!”

Baiknya Kwan Cu ingat bahwa dia berada di dalam perahu, kalau tidak tentu dia akan melompat ke belakang dan berjungkal ke dalam air saking kagetnya.

“Ikut pergi bersamaku?? Kau gil….. eh, apa maksudmu?”

“Kau telah menipuku! Apa kau kira aku tidak tahu bahwa dalam pertandingan antara ayah dan Kasang, ayah sengaja berlaku mengalah dan semua itu adalah rencanamu belaka? Kau menghendaki dan memaksa aku menerima Kasang sebagai jodohku mengapa?”






Tidak ada komentar :