*

*

Ads

Kamis, 17 Januari 2019

Pendekar Sakti Jilid 090

“Aduh… aduh… bangsat kecil…. Aduh….”

Ia mengaduh-aduh karena tiba-tiba perutnya merasa mulas sekali. Semua orang yang menonton termasuk Raja Lakayong sendiri, menjadi melongo dan memandang terheran-heran, tak dapat mengeluarkan ucapan saking herannya.

“Bagus, bagus! Bukankah dia hebat sekali, Ayah?” terdengar Liyani bersorak sambil bertepuk tangan.

Suara ini menyembuhkan rasa sakit di perut Wisang. Raksasa muda ini segera bangkit berdiri lagi dan kedua matanya seakan-akan mengeluarkan sinar berapi. Giginya berkerot dan kemarahannya memuncak. Ia memandang kepada Kwan Cu sedemikian rupa sehingga Kwan Cu seakan-akan dia hendak ditelan bulat-bulat oleh raksasa itu.

“Majulah, majulah kalian berdua. Akan kuberi pelajaran bagaimana caranya berkelahi dengan sunguh-sunguh,” kata Kwan Cu mengejek.

Sambil menggereng keras, Wisang menubruk maju, diikuti oleh Kasang yang juga merasa penasaran melihat Kwan Cu mengejek mereka. Akan tetapi, bagaikan seekor burung walet cepatnya, Kwan Cu mengelak dan sekali tubuhnya berkelebat, dia terlepas dari ancaman tubrukan dua orang raksasa itu.

Beberapa kali Wisang dan Kasang menubruk, karena kegemasannya, mereka hendak menangkap dan meremas tubuh yang kecil itu. Namun dengan sengaja Kwan Cu mengeluarkan kepandaiannya dengan mengandalkan ginkangnya yang sudah tinggi, mudah saja dia mengelak dari semua tubrukan yang dilakukan dengan kuat sekali namun baginya amat lambat itu.

Setelah menubruk berkali-kali hanya mengenai angin saja dan mendengar betapa Liyani menyoraki dan menertawai mereka dan para penonton mulai mengeluarkan seruan pujian, panaslah hati Wisang dan Kasang. Kedua jago raksasa ini maklum bahwa lawan yang kecil itu gesit sekali sukar untuk ditangkap maka mereka merubah siasat mereka. Kini mereka tidak lagi menubruk, melainkan menendang dan memukul. Maksud mereka, sekali saja pukulan atau tendangan mengenai tubuh yang kecil itu, tentu pemuda kecil itu akan terlempar jauh dengan tulang remuk!

Akan tetapi betapa besar tenaga mereka, gerakan mereka amat lamban dan mereka bertempur hanya mengunakan tenaga tanpa mempergunakan otak. Mana bisa mengenai tubuh Kwan Cu yang sudah menerima latihan Ginkang dari Ang-bin Sin-kai?

Menghadapi serangan-serangan itu Kwan Cu bersilat dengan ilmu silat Pai-bun-tui-pek-to (Mengatur Pintu Menolak Ratusan Golok). Gerakannya lincah dan gesit dan dengan tertawa-tawaa dia mengejek. Pemuda ini mengatur sedemikian rupa sehingga dia berada di tengah-tengah dan kedua lawannya berada di kanan kirinya atau kadang-kadang di depan dan belakangnya.

Ia sengaja tidak segera merobohkan mereka. Kalau dia mau, banyak sekali lowongan untuk memukul roboh dua orang raksasa itu. Akan tetapi Kwan Cu tidak mau melakukan hal ini. Ia memang hendak menghajar kedua orang itu agar tunduk betul-betul dan kelak tidak akan menimbulkan keributan lagi mengganggu Raja Lakayong yang baik.

Ia mengelak sambil kadang-kadang mengirim pukulan ke arah perut, dagu atau dada, cukup keras membuat dua orang raksasa itu mengaduh-aduh akan tetapi tidak cukup keras merobohkan mereka.

Bahkan dalam kegembiraaannya timbul kenakalan pada Kwan Cu. Beberapa kali dia melompat tinggi dan menggunakan jari tangan untuk menjewer telinga yang lebar, menarik hidung yang besar atau mencubit pipi yang lebar sambil tertawa-tawa.

Di permainkan secara begini dan mendengar suara tertawa Liyani makin geli, ditambah pula sorak sorai para penonton dan suara ketawa Raja Lakayong yang merasa kagum, heran dan juga geli, dua orang raksasa muda ini seakan-akan menjadi gila dibuatnya.

“Iblis kecil, akan kuhancurkan kepalamu!” kata Wisang geram.

Bahkan Kasang yang tidak segalak Wisang, kini sudah menjadi marah sekali dan membentak,

“Setan cilik, ku patahkan batang lehermu!”

“Ha-ha-ha-ha! Mau pecahkan kepala dan batang leher?” kata Kwan Cu menghadapi dua orang raksasa yang berada di kanan kirinya sambil tertawa mengejek. “Ini kepalaku, ini leherku. Pecahkanlah, patahkanlah kalau bisa. Ha-hahaaa!”

Wisang menyergap maju dengan tangan kanan memukul. Kasang menubruk dengan tangan kanan mencengkeram. Kwan Cu diam saja berdiri seenaknya, seakan-akan tidak melihat adanya bahaya yang mengancam dari kanan kiri!






Liyani menjerit ngeri, semua menahan napas karena serangan itu sudah dekat sekali. Agaknya tiada jalan keluar bagi Kwan Cu dan alangkah ngerinya kalau pukulan dan cekikan kedua orang muda itu betul-betul mengenai kepala dan leher pemuda yang kecil itu!

Akan tetapi, ketika dua orang raksasa itu sudah dekat sekali tangannya pada tubuhnya tiba-tiba Kwan Cu tertawa geli dan tubuhnya berkelebat lenyap dari situ. Ia telah mempergunakan gerakan yang disebut Tui-teng-kui-cauw (Melompat Mundur Pulang ke Sarang), sebuah cabang dari gerakan Yan-cu-kui-cauw (Burung Walet Pulang ke Sarang).

Kegesitan tubuhnya seperti burung walet saja dan ketika ia tiba-tiba lenyap dari tengah-tengah, kedua orang raksasa itu tiada ampun lagi saling gebuk dengan serunya. Kepalan tangan Wisang menghantam kepala Kasang, sedangkan tangan kanan Kasang kena mencengkeram jidat Wisang.

“Bluk! Blek!” terdengar suara keras, disusul oleh jeritan mereka. “aduh celaka!” keduanya terhuyung-huyung ke belakang, memegangi kepala dan jidat yang terpukul oleh tangan masing-masing.

Liyani tertawa terpingkal-pingkal sampai memegangi perut saking gelinya. Lakayong tertawa terbahak-bahak dan diantara para penonton lebih ramai lagi, sampai-sampai ada yang tertawa demikian gelinya sehingga dia terjungkal dari batu yang didudukinya!

Dapat dibayangkan betapa marahnya Wisang dan Kasang. Setelah kepala mereka yang terasa pening berputar-putar itu sembuh, mereka memandang Kwan Cu.

“Nah, begitulah caranya orang berkelahi betul-betul. Tidak seperti tadi hanya pura-pura dan main-main saja,”

Kwan Cu mengejek. Dua orang muda raksasa itu tanpa berkata apa-apa lalu menyerang lagi, kini makin ganas dan marah. Inilah yang dikehendaki Kwan Cu. Makin marah mereka, makin mudahlah baginya untuk mempermainkan mereka dan makin sering kedua orang itu saling pukul dan saling tendang.

Bahkan satu kali Kwan Cu berlaku berani luar biasa. Ia membiarkan dirinya terpegang oleh Wisang! Semua menahan napas dan kembali terdengar Liyani menjerit cemas, bahkan terdengar Lakayong berteriak,

“Jangan bunuh dia!”

Akan tetapi tentu saja Wisang menjadi marah sekali tidak mau mendegar larangan ini dan dia bergerak hendak mencekik leher Kwan Cu! Melihat kesempatan ini, Kasang menubruk maju dan ikut memegang Kwan Cu. Pendeknya dilihat begitu saja agaknya Kwan Cu sudah tidak ada harapan untuk terlepas lagi.

Akan tetapi, sebenarnya memang pemuda ini segaja membiarkan dirinya terpegang. Begitu merasa bahwa kedua raksasa itu sudah memeganginya dia cepat bergerak dan kedua kakinya menendang ke atas dengan tubuh terjungkir balik, kaki kirinya menendang kearah mata wisang dan kaki kanan ke arah mata Kasang!

Dua orang raksasa itu memekik kesakitan dan mata kanan mereka telah menjadi biru, sakitnya bukan main! Untuk sedetik pegangan mereka mengendur karena sebelah tangan mereka otomatis meraba mata yang terluka.

Kesempatan ini dipergunakan oleh Kwan Cu untuk memberontak dan melepaskan diri, terus melompat pergi. Kini dengan mata meram, saking sakit dan marahnya, kedua orang muda raksasa itu menubruk maju dan dengan sendirinya ketika dua tangan mereka mencengkeram, mereka saling cekik dan saling cengkeram, mencari lawan sambil mencengkeram dan memukul sekenanya. Maka benar-benar berkelahilah mereka satu dengan yang lain dan terdengar mereka teraduh-aduh.

Kwan Cu menganggap bahwa permainannya sudah cukup. Ia melompat ke atas berdiri dengan kaki kiri di pundak Wisang dan kaki kanan di pundak Kasang menjambak rambut ke dua raksasa itu dan mengerahkan tenaga, menarik rambut itu mengadukan kepala mereka satu kepada yang lain.

“Dukkkkkkkk!!” dua orang kepala yang besar sekali itu saling tumbuk, disusul oleh jerit mereka,

“Aduuuuuuuh!” dan ketika Kwan Cu melompat turun, tubuh kedua orang raksasa itu terputar lalu roboh tak bergerak lagi. Mereka jatuh pingsan dan kepala mereka ini tumbuh benjol yang besar dan biru!

Ramailah sorak sorai para penonton. Liyani memandang ke arah Kwan Cu dengan sinar mata yang menakutkan hati Kwan Cu. Raja Lakayong menghampiri Kwan Cu dan tiba-tiba raja ini berkata,

“Saudara Kwan Cu, cobalah kita bermain-main sebentar!” sambil berkata demikian raja ini bergerak memukul ke arah Kwan Cu.

Pemuda ini terkejut sekali. Pukulan raja ini mendatangkan angin keras tanda bahwa tenaganya besar sekali. Ia mengelak dan melompat mundur sambil berseru,

“Eh, eh, eh eh, raja Lakayong saudaraku, mengapa kau menyerbuku?”

“Aku kagum melihat kegagahanmu. Puaskanlah hatiku, saudaraku, aku ingin sekali mencoba kepandaianmu sendiri,” kata Lakayong sambil menyerang terus dengan cepat.

Gerakan raja ini jauh lebih kuat dan cepat dari pada gerakan kedua orang raksasa muda itu.

Kwan Cu dapat memaklumi isi hati Raja ini. Sebagai seorang yang menghargai kepandaian dan kegagahan, melihat seorang gagah lain, tentu saja Raja ini menjadi gatal tangan dan belum merasa puas kalau belum menguji kepandaiannya dengan tangan sendiri. Pendeknya, Raja ini ingin mencoba kepandaiannya atau yang lajimnya di negerinya disebut pibu (mengadu kepandaian)! Maka Kwan Cu segera melayaninya dengan hati-hati sekali.

Ia menjadi girang ketika mendapat kenyataan bahwa Raja ini telah mentaati pelajarannya dan kini semua pukulan dan tendangannya ditujukan ke arah bagian tubuh yang berbahaya.

Kalau Raja ini yang tadi menghadapi Wisang dan Kasang, ada kemungkinan dua orang raksasa muda itu akan tewas dalam pertempuran. Pukulan Raja ini keras sekali dan kepala raksasa muda itu agaknya akan pecah jika terkena pukulan dahsyat ini.

Namun, semua gerakan pukulan Lakayong tiada bedanya gerakan Wisang dan Kasang, sama sekali dilakukan dengan ngawur, mengandalkan tenaga saja, sama sekali tidak menuruti teori ilmu berkelahi yang baik. Karena itu, kalau dia mau Kwan Cu dapat merobohkannya dengan mudah saja.

Akan tetapi dia tidak tega untuk melakukan hal ini, karena kalau mengalahkan Lakayong dengan mudah, sedikitnya akan turunlah penghargaan Raja mereka ini. Ia sengaja membiarkan dirinya terdesak dan setelah pertempuran berjalan agak lama, cepat sekali dia menggunakan ilmu silat Sin-ci-tin-san, menotok jalan darah thian-hu-hiat dari lawan.

Tiba-tiba Lakayong merasa betapa tubuhnya lemas tak berdaya sama sekali sehingga dia roboh perlahan, Kwan Cu cepat menyusuli dengan totokan lain dan boleh kembalilah kesehatan Raja itu.

Untuk sesaat, Lakayong dapat duduk dengan mata terbelalak heran. Kemudian dia mengangkat kedua tangan, berdiri dan memeluk Kwan Cu sambil berkata jelas,

“Saudara Kwan Cu hebat sekali. Aku dapat dikalahkan dengan mudah!”

Para penonton terheran-heran, lalu bersorak memuji Kwan Cu.

“Hidup calon raja kita!” mereka bersorak-sorak.

Liyani berlari menghampiri Kwan Cu dan tanpa terduga-duga, gadis ini berlutut sehingga tingginya sama dengan Kwan Cu, memeluk dan menciumnya seperti dulu!

Kwan Cu memberontak melepaskan diri dengan muka pucat. Ia tadi merasa kaget setengah mati karena orang-orang itu menyorakinya sebagai calon raja. Lebih kaget bukan main ketika Liyani menciuminya dan kekagetannya menjadi-jadi ketika tiba-tiba Liyani yang memegang tangannya berkata keras,

“Dia inilah calon jodohku!”

Mau rasanya Kwan Cu melarikan diri dari tempat itu. Semua kejadian ini membuatnya menjadi bingung setengah mati. Ia lalu berkata kepada semua orang.

“Tidak, tidak! Aku bukan calon raja dan calon jodoh Liyani. Jodohnya adalah Kasang karena Kasang lebih kuat daripada Raja !”






Tidak ada komentar :