*

*

Ads

Kamis, 17 Januari 2019

Pendekar Sakti Jilid 089

Pada keesokkan harinya, pagi-pagi sekali Kwan Cu sudah bangun dari tidurnya. Seperti kemarin, dia telah melihat Liyani berada di kamarnya. Ia merasa menyesal mengapa kamar-kamar besar di rumah ini semuanya tiada pintunya, kalau ada akan ditutupnya rapat-rapat agar jangan ada orang masuk begitu saja. Melihat seorang gadis berada di kamarnya, biarpun gadis itu seorang gadis raksasa membuat Kwan Cu merasa jengah dan kikuk sekali.

“Nona Liyani, kau sudah berada di sini?” tanya Kwan Cu dengan kikuk sekali.

Biasanya dia menyebut tanpa nona segala, akan tetapi pagi hari ini karena merasa jengah dan malu mendapatkan gadis itu di dalam kamarnya, maka tanpa terasa dia menyebut “Nona”. Padahal di dalam bahasa Kuyu tidak terdapat sebutan Nona dan dalam gugupnya dia meyebut “siocia” yang berarti Nona.

“Eh, saudara Kwan Cu, apakah artinya siocia?” tanya Liyani sambil memandang dengan matanya yang lebar bening.

“Oh, ya, aku lupa. Itu bahasaku, dipergunakan untuk menyebut seorang gadis yang belum menikah,” jawabnya.

Liyani mengangguk-angguk sambil tersenyum.
“Lucu sekali kedengarannya. Apa-apa yang ada padamu lucu dan menyenangkan. Melihat cara kau tidurpun kelihatan lucu dan menyenangkan.”

Kwan Cu terheran.
“Lucu? Bagaimana sih tidurku?” tanyanya ingin tahu.

“Kau tidur begitu anteng seperti… seperti seorang wanita.”

“Seperti wanita? Apa maksudmu?”

“Atau seperti seorang anak kecil. Kau tidur berbeda dengan orang laki-laki dewasa disini. Kau sama sekali tidak mendengkur, bahkan napasmu demikian halus. Seperti anak-anak.”

“Hmmm…..”

Kwan Cu merasakan kemendongkolannya yang sudah sering kali dia rasakan semenjak dia datang di situ dan merasa dirinya menjadi bahan tertawaan.

“Memang…. Aku masih anak-anak, anak kecil yang tidak ada sifat jantan,” katanya dengan sebal sambil melompat turun dari pembaringan yang terlalu panjang dan terlalu lebar untuknya itu.

Ia berdiri dan terpaksa mendongak untuk memandang wajah gadis itu karena kalau mereka berdua berdiri berhadapan, tinggi tubuhnya hanya sampai pada pinggang gadis itu, bahkan lebih rendah lagi!

Liyani dapat merasai suara kecewa dan mendongkol dalam kata-kata Kwan Cu maka sambil tersenyum ia membungkuk dan meraba kedua pundak pemuda ini.

“Tidak, saudara yang baik. Kau sama sekali tidak seperti anak kecil. Kau biarpun kecil sekali, namun gagah dan mengagumkan, bahkan ayah berkata bahwa agaknya kau masih keturunan dewa.”

“Gila!” kata Kwan Cu makin gemas.

“Akupun tidak percaya,” kata Liyani tertawa, “Kau manusia biasa, hanya dari bangsa yang bertubuh kecil. Akan tetapi kau gagah dan baik, aku suka sekali padamu. Eh, saudaraku yang baik. Menurut perkiraanmu siapakah yang akan menang diantara Wisang dan Kasang?”

“Kau mengharapkan siapa yang menang?” tanya Kwan Cu.

Liyani cemberut dan Kwan Cu menjadi geli. Lenyap kemendongkolannya yang tadi. Lucu sekali melihat gadis tinggi besar seperti itu masih bersikap manja seperti seorang anak kecil atau seorang gadis manja.

“Belum menjawab pertanyaanku, kau sudah balas bertanya. Jawablah dulu.”

Kwan Cu menjawab terus terang.
“Kurasa biarpun ini hari mereka bertanding sehari penuh, takkan ada yang akan kalah atau yang menang. Kedua orang itu agaknya hanya bertanding pura-pura belaka, karena kemarin mereka bertempur di tempat yang agak jauh, maka tidak kentara. Sekarang mereka akan bertanding di lapangan terbuka, tentu akan kelihatan kalau mereka masih berpura-pura.”






“Menurut pandanganmu….. siapakah yang lebih baik diantara kedua orang itu?”

Diam-diam Kwan Cu merasa geli dalam hatinya. Gadis ini sedang melakukan pemilihan dan kepercayaannya kepadanya begitu besar sehingga minta nasehat dan pertimbangannya dalam hal memilih jodoh!

“Hmm……. Bagaimanakan aku dapat mengatakan hal itu? Aku belum kenal mereka dan menurut keadaan luarnya, memang mereka itu sama muda, sama tangkas dan sama kuat. Sukarlah mengatakan yang mana lebih baik.” Katanya terus terang dengan hati-hati.

“Wisang orangnya kasar. Pernah ia akan mengejar dan hendak memaksaku berlaku manis kepadanya,” kata gadis itu cemberut.

“Kalau begitu agaknya Kasang lebih menarik hatimu,” kata Kwan Cu memancing.

“Memang dia lebih baik dari pada Wisang, akan tetapi sekarang ia pun kelihatan kasar bagiku.”

“Apakah ada orang yang lebih baik dan halus dari padanya?”

Kwan Cu memancing karena siapa tahu kalau-kalau ada pemuda lain yang lebih menarik hati gadis aneh ini.

“Semua pemuda di dusun ini kasar-kasar belaka, kalau tidur mendengkur seperti binatang, sikapnya kasar menyakitkan hati, tidak ada yang halus menyenangkan seperti engkau!” gadis itu menarik napas panjang.

Kwan Cu terkejut dan merasa kawatir sekali. Celaka, bagaimanakah pendirian gadis aneh ini?

“Aku kelihatan halus karena aku kecil sekali. Lihat, aku tidak setinggi pinggangmu.”

Liyani menarik napas panjang, nampak kecewa sekali.
“Itulah! Kalau kau mempunyai tubuh sebesar kami, takkan susah payah aku memilih calon jodohku.”

Berdebar hati Kwan Cu. Benar benar gila gadis ini, pikirnya dan dia mulai merasa takut berdua saja dengan gadis ini.

“Akan tetapi biarpun kecil kau baik sekali, saudara Kwan Cu. Aku suka kepadamu.”

Sambil berkata demikian dengan jari-jari tangannya, gadis itu menyentuh bahu Kwan Cu. Pemuda ini sudah kebingungan, baiknya pada saat itu datang pelayan membawa air pencuci muka dan makanan pagi.

“Baginda menanti di kebun belakang dan orang-orang sudah berkumpul untuk meyaksikan pertandingan,” kata pelayan itu.

Setelah pelayan itu keluar, Kwan Cu mencuci muka. Ia merasa lega sekali ditinggal pergi Liyani, seakan-akan terlepas dari mulut harimau! Dengan cepat dia makan, kemudian dia pun pergi menuju ke belakang rumah dimana terdapat sebuah kebun yang besar sekali.

Benar saja, disitu banyak orang. Liyani duduk di dekat ayahnya dan ketika Kwan Cu datang, gadis itu memegang tanganya dan menarik duduk di dekatnya.

Wisang dan Kasang sudah berdiri berhadapan. Ketika mereka melihat betapa Kwan Cu duduk di dekat Liyani, mereka memandan dengan mata penuh kebencian. Pemuda cilik ini benar-benar memanaskan perut mereka. Pertama-tama pemuda cilik itulah yang menggagalkan rencana mereka membunuh Lakayong, kemudian sekarang agaknya pemuda itu hendak merebut hati Liyani.

Akan tetapi mereka tidak dapat terus memandang Kwan Cu, karena Raja Lakayong sudah memberi aba-aba dan keduanya segera mulai pertandingan dengan hebat. Otot-otot tubuh mereka bergerak-gerak dengan keduanya saling serang bagaikan dua ekor harimau bertarung.

Akan tetapi, belum lama mereka bertanding, tahulah Kwan Cu bahwa benar-benar kedua orang ini main gila dan tidak bertempur sesungguhnya. Raksasa-raksasa bodoh yang menonton disitu, termasuk raja Lakayong dan puterinya, benar-benar memang kena diakali.

Kwan Cu menjadi gemas sekali dan selagi dia berpikir-pikir dan mencari tahu apakah gerangan maksud kedua orang raksasa muda ini dengan perkelahian pura-pura itu, tiba-tiba kedua orang yang bertarung berhenti.

Wisang menjura kepada Lakayong dan berkata,
“Aku dan Kasang mempunyai kekuatan dan kepandaian yang sama, tak mungkin ada yang kalah atau menang. Karena itu, sudah sepatutnya kalau kami berdua menghadapi raja bersama. Kalau kami kalah, biarlah kami mati di bawah pukulan tangan raja!”

Tahulah kini Kwan Cu akan maksud mereka. Jadi mereka telah bermufakat untuk tidak merobohkan lawannya agar mereka dapat menghadapi Raja yang kuat itu bersama! Dalam marahnya Kwan Cu melompat ke tengah lapangan dan berkata dengan suara kaku,

“Kalian ini orang-orang curang dan jahat! Apa aku tidak tahu bahwa kalian sengaja tidak mau menjatuhkan lawan? Kalian tidak sungguh-sungguh bertempur, sengaja hendak mengeroyok Raja yang sudah tua!”

Wisang dan Kasang menjadi pucat dan saling memandang, kemudian mereka menghadapi Kwan Cu dengan mata mendelik.

“Saudara Kwan Cu, kalau mereka ingin menghadapi aku, biarlah. Akan kulawan mereka berdua. Orang-orang ini memang perlu dihajar!” kata Raja Lakayong dengan gagah dan dia sudah berdiri dengan tegapnya.

Memang tubuh Raja ini luar biasa sekali, masih sekepala lebih tinggi dari pada dua orang raksasa muda itu, bahkan otot-ototnya lebih besar dan nampaknya kuat sekali. Semua orang menyatakan pujian kepada mereka yang gagah ini.

Akan tetapi Kwan Cu merasa khawatir. Dua orang raksasa muda ini dapat menipu mereka, ini menandakan bahwa mereka lebih cerdik dari orang-orang itu. Siapa tahu kalau-kalau mereka itu sudah mempunyai akal untuk menjatuhkan raja yang biarpun nampak kuat namun jauh lebih tua itu.

“Tidak! Tidak patut dua orang muda mengeroyok orang yang sudah lebih tua.”

Wisang menjadi marah sekali. Ia membanting kaki kanannya dan tergetarlah tanah yang diinjaknya saking kuatnya tenaga kakinya ini.

“Jahanam kecil, cacing busuk yang mau mampus! Kau siapakah berani mencampuri urusan bangsa kami? Kau berani membuka mulut, apakah kau berani pula menghadapi kami secara laki-laki yang memiliki keberanian dan kekuatan, tidak seperti perempuan yang hanya bisa mempergunakan mulutnya?”

Panas dada Kwan Cu mendengar hinaan ini. Ia menjura kepada Raja Lakayong sambil berkata,

“Raja Lakayong saudaraku yang baik, perkenankanlah aku menghadapi mereka ini memberi hajaran kepada mereka sebagai wakilmu.” Tanpa menanti jawaban, KwanCu lalu menghadapi dua orang raksasa itu sambil berkata, “Kalian majulah dan aku akan menghadapi kalian berkelahi dengan sesungguhnya, tidak berpura-pura seperti tadi!”

Wisang tertawa bergelak. Suaranya keras dan parau sehingga menggetarkan anak telinga.

“Hua-ha-ha-ha! Kau anak kecil kupencet dengan ibu jariku saja pasti akan gepeng! Kau menantang kami berdua?”

“Manusia sombong, pantas saja puteri Liyani tidak suka kepadamu, kau kasar dan sombong. Jangankan baru kalian berdua, biarpun kau mengubah dirimu menjadi sepuluh, aku takkan mundur setapak!”

“Setan kecil kau sudah bosan hidup!” teriak Wisang dan segera mengerakkan kepalan tangannya yang besarnya seperti kepala Kwan Cu itu, menonjok ke arah kepala pemuda kecil ini.

Akan tetapi Kwan Cu cepat mengelak dan sekali dia melompat sambil mengerakkan kaki, kaki kanannya menyambar ke perut Wisang yang besar.

“Ngekkkk!” tubuh Wisang yang besar itu terpental ke belakang dan dia jatuh terduduk sambil kedua tangannya memegangi perut.






Tidak ada komentar :