*

*

Ads

Kamis, 17 Januari 2019

Pendekar Sakti Jilid 088

“Pertempuran terpaksa ditunda sampai besok pagi, dewa bulan tidak suka menyaksikan manusia berkelahi,” kata Lakayong yang memberi isyarat dengan tangannya.

Pembantu-pembantunya mendayung perahu besar dan kedua raksasa yang bertempur itu diperintahkan menghentikan dan menunda pertandingan itu untuk diulang kembali besok pagi.

Dua orang raksasa itu kelihatan letih sekali. Tubuh mereka yang tinggi besar itu penuh peluh sampai berkilauan dan kelihatan lemas. Mereka dibawa ke pinggir telaga dan Lakayong berkata,

“Besok dimulai lagi pertandingan kalian pada waktu matahari muncul. Sekarang kalian boleh beristirahat.”

Raja ini lalu memberi perintah agar dua orang jago ini dihidangi makanan yang lezat kemudian dia mengajak Kwan Cu kembali ke dusun.

Dugaan bahwa Wisang dan Kasang bertanding dengan pura-pura adalah tepat, karena menurut dua orang raksasa muda ini sengaja bertempur dengan main-main, tidak bermaksud saling mengalahkan.

Berbeda dengan kawan-kawannya, dua orang raksasa ini agak lebih cerdik. Mereka maklum bahwa kalau diantara seorang dari mereka menang dan harus menghadapi Lakayong, tetap saja si pemenang itu akan kalah oleh sang Raja yang kuat itu. Oleh karena ini mereka berunding dan mendapat akal. Mereka takkan saling mengalahkan sehingga mereka akan dapat menghadapi Lakayong berdua!

Sementara itu, didalam rumah Raja Lakayong, Kwan Cu bercakap-cakap dengan Raja itu dikawani oleh Liyani.

“Mereka benar-benar mengagumkan, kuat sekali,” kata Raja Lakayong.

Kwan Cu merasa tidak ada gunanya dan semenjak tadi memutar otak untuk memecahkan masah itu. Ia juga merasa ngeri kalau membayangkan betapa dua orang raksasa muda yang kuat itu akhirnya akan menjadi mangsa singa telaga.

“Raja Lakayong, kau bilang sayang sekali kalau sampai dua orang itu tewas, bukan? Mengapa tidak mengampuni dan menggunakan tenaga mereka sebagai pembantu yang cakap?”

“Mengampuni tidak mungkin. Sudah menjadi kebiasaan kami menghukum orang-orang bersalah.”

“Bukan mengampuni sama sekali. Maksudku jangan menyuruh mereka bertanding di batu jamur itu, agar kita dapat menyaksikan dari dekat. Mereka harus diberi keinsyafan bahwa kau lebih kuat dari mereka dan kita harus mencari akal untuk menundukkan mereka.”

“Bagaimana maksudmu, saudaraku yang baik” tanya Lakayong.

“Begini,” jawab Kwan Cu yang sudah merencanakan sebuah akal yang baik. “Besok pagi suruhlah mereka bertanding di tempat yang terbuka dan kita menyaksikan dari dekat. Yang menang biarlah kulawan sebagai gantimu dan aku akan memberi hajaran kepadanya sampai ia tunduk betul. Atau boleh juga kau turun tangan memberi hajaran. Kalau mereka sudah yakin betul bahwa mereka tiada harapan untuk menangkan kau, kurasa mereka tidak begitu bodoh dan nekat untuk memberontak.”

Lakayong mengangguk-angguk menyatakan persetujuannya. Memang dia sendiri adalah seorang yang berhati penuh kasih sayang terhadap rakyatnya, maka tentu saja dia akan merasa lebih girang kalau saja dapat menyelamatkan nyawa kedua orang raksasa muda itu, sungguhpun kedua raksasa itu sudah pernah berusaha untuk menbunuhnya.






Rakyatnya membutuhkan orang-orang kuat seperti Wisang dan Kasang dan dia akan lebih suka mempunyai mantu diantara kedua raksasa muda itu dari pada pemuda yang lain di antara penghuni pulau itu.

“Baiklah, besok akan kucoba rencanamu itu.” Kemudian mereka berpaling kepada Liyani sambil bertanya, “Liyani, kau menolak pinangan kedua orang muda itu. Sebetulnya siapakah yang paling baik diantara mereka berdua? Menurut pandanganmu, siapa diantara Wisang dan Kasang? Bagaimana dengan Wisang?”

Biarpun pertanyaan seperti ini yang dilakukan oleh ayahnya di depan orang lain tentu akan membikin malu kepada seorang gadis biasa, namun Liyani tidak merasa malu, bahkan tersenyum manis, lalu menjebirkan bibirnya lalu mengejek.

“Wisang ? Dia orang kasar, aku tidak suka kepadanya.”

“Kalau Kasang bagaimana?” mendesak ayahnya.

“Dia cukup halus dan baik, akan tatapi…” berkata demikian, Liyani mengerling kepada Kwan Cu, membuat hati pemuda cilik ini menjadi berdebar bingung.

“Akan tetapi kenapa?” Lakayong mendesak pula.

“Dia pernah kalah oleh Ayah. Aku hanya mau menjadi isteri seorang yang lebih kuat dan pandai dari pada kau, Ayah,” katanya dengan sikap manja dan kembali gadis ini tersenyum dan mengerling kepada Kwan Cu.

Celaka dua belas, pikir Kwan Cu. Benar-benar gadis berkepala batu yang pikirannya aneh. Mana bisa Kasang menangkan Lakayong? Semua pemuda di pulau itu tak dapat menangkan Lakayong dan sekarang gadis ini bersikap manis kepadanya karena biarpun dia seorang bertubuh kecil, dia telah memperlihatkan kepandaian dan agaknya gadis raksasa ini mengharapkan bahwa dia akan dapat mengalahkan ayahnya!

Adapun Lakayong ketika mendengar jawaban puterinya itu, tertawa bergelak dan berkata,

“Anak bodoh! Agaknya kau tak kan dapat menikah sebelum aku menjadi orang tua dan lemah!”

Liyani tidak menjawab, lalu tak lama kemudian ia meninggalkan ayahnya dan Kwan Cu, berjalan pergi ke kamarnya sambil bernyanyi-nyanyi dengan suara merdu.

“Dia seorang anak baik, seorang gadis yang menjadi kembang di antara rakyatku semua,” kata Lakayong memuji puterinya. “Sayang dia keras kepala. Kalau dia menjadi istri Kasang, tentu dia akan mempunyai seorang putera yang gagah perkasa.”

“Biarlah besok kita menundukkan lebih dulu dua orang muda itu dan barulah aku mencari akal agar supaya puterimu itu suka menerima tunangan Kasang,” kata Kwan Cu.

Lakayong memandang dengan muka kagum dan bersyukur.
“Agaknya dewa-dewa mengirim kau datang untuk menolong kami, saudara kecil. Biarpun semua akal dan caramu belum dijalankan aku percaya bahwa kau yang telah memperlihatkan kesaktian akan berhasil. Aku berterimakasih kepadamu.”

“Tidak apa, Raja Lakayong. Sebaliknya aku pun telah kau terima sebagai tamu dengan sikap yang ramah-tamah. Ini saja membuat aku bersyukur sekali. Kau dan rakyatmu adalah orang-orang jujur, satu sifat yang kukagumi di antara sifat-sifat yang baik, maka aku bersedia untuk membantu kalian.”

“Kalau saja aku dapat melakukan sesuatu untuk membalas budimu, aku akan merasa girang sekali, saudara Kwan Cu.”

Hampir saja Kwan Cu membuka rahasianya tentang pulau kecil dimana tersimpan kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng yang dicarinya, akan tetapi dia masih sempat menahan lidahnya.

“Memang ada sesuatu yang hendak kutanyakan kepadamu dan mengharap kalau-kalau kau dapat membantuku, akan tetapi biarlah hal itu kutunda dulu dan akan kuceritakan kalau urusanmu ini sudah beres,” jawabnya. Kemudian mereka mengaso.

**** 088 ****





Tidak ada komentar :