*

*

Ads

Kamis, 17 Januari 2019

Pendekar Sakti Jilid 087

Wanita-wanita pelayan datang membawa air pencuci muka, air minum dan makanan, menyediakan semua itu sambil tertawa-tawa seakan-akan menghadapi sesuatau yang lucu.

Kwan Cu mendongkol sekali dan berpikir bahwa dia tidak betah terlalu lama tinggal di pulau raksasa ini karena dia maklum bahwa tubuhnya yang jauh lebih kecil dari pada penduduk di situ akan membuat dia kelihatan sebagai makhluk yang aneh dan menggelikan. Ia tidak suka menjadi bahan ketawaan. Namun, minuman yang disediakan amat enak, menghangatkan perutnya sedangkan makanan itu lezat sekali, semacam kue yang manis.

Tak lama kemudian datanglah Raja Lakayong yang nampak sehat dan gembira sekali.
“Saudara kecil yang baik, apakah kau enak tidur?” tanyanya.

Kwan Cu mengucapkan terima kasihnya dalam bahasa Kuyu yang kaku.
“Saudara Kwan Cu, marilah kau ikut aku melihat bagaimana kami mengadakan pengadilan,” kata Lakayong sambil mengandeng tangan Kwan Cu.

Ketika mereka tiba di luar, ternyata Raja itu tidak datang seorang diri, melainkan bersama tujuh orang laki-laki yang bertubuh tinggi besar dan nampaknya kuat sekali. Mereka ini adalah pembantu-pembantu dari Lakayong.

Kwan Cu berjalan bersama Lakayong menuju ke sebelah Barat dimana terdapat sebuah telaga yang berbentuk bundar dan nampaknya dalam sekali. Air telaga yang biru itu kelihatan tenang, akan tetapi kadang-kadang nampak berombak dan sekali-kali muncullah kepala seekor binatang yang membuat Kwan Cu terheran-heran dan merasa ngeri.

Kepala binatang yang muncul di permukaan air telaga itu amat menyeramkan bentuknya seperti seekor singa, liar dan buas, akan tetapi kepala itu besar sekali dan tubuhnya agak panjang karena ekornya yang berambut merah berada jauh di belakangnya. Apakah ini yang disebut naga? Ataukah singa air?

Lakayong mengajak Kwan Cu duduk di dekat telaga, di atas batu-batu hitam yang licin dan agaknya sering kali diduduki oleh Raja ini. Para pembantu yang tujuh orang itu duduk di sebelah kiri.

“Sudah siapkan mereka?” tanya Lakayong pada orang-orangnya.

“Mereka sedang menuju ke sini,” jawab pembantunya dengan hormat.

Betul saja, tak lama kemudian nampak dua raksasa muda yang bertubuh kuat sekali. Mereka berjalan berdampingan seperti dua ekor gajah muda menuju ke tempat itu. Setiba mereka di depan Lakayong, dua orang itu lalu berbungkuk dengan hormat.

“Kalian sudah mendengar keputusanku!” kata Lakayong dengan kata dingin. “Karena diantara kamu tidak ada yang mengaku merencanakan pengkhianatan itu, kalian harus menyatakan kemenangan dengan bertanding di atas batu jamur. Yang kalah menjadi mangsa singa telaga, yang menang akan berhadapan dengan aku sendiri!”

“Kami mengerti!” jawab dua orang itu dengan gagah dan mata mereka memandang ke arah Kwan Cu penuh kebencian sehingga pemuda ini menjadi kaget.

Tujuh orang pembantu segera menyediakan sebuah perahu besar dan dua orang raksasa muda itu menunggang perahu menuju tengah-tengah telaga. Kwan Cu melihat bahwa di tengah telaga itu terdapat sebuah batu karang yang bentuknya aneh seperti jamur besar. Tahulah dia bahwa dua raksasa muda itu harus bertanding di atas batu karang itu.

“Apakah mereka yang bernama Wisang dan Kasang?” tanyanya kepada Lakayong.

Raja raksasa itu mengangguk dengan tersenyum.
“Benar, merekalah pengkhianat-pengkhianat itu. Sayang sekali, mereka sebetulnya merupakan dua orang muda yang paling cakap yang gagah diantara suku bangsa kami.”

“Masih lebih baik mempunyai pembantu kurang cakap akan tetapi jujur daripada pembantu cakap akan tetapi khianat,” kata Kwan Cu.

“Kau betul sekali, saudaraku, cocok dengan pendirianku. Oleh karena itulah maka aku menjatuhkan hukuman itu kepada mereka.






Diam-diam Kwan Cu mengagumi kesederhanaan dan kejujuran orang-orang ini. Mana ada hukuman seperti itu, yang menjadi pesakitan sama sekali tidak di tangkap, dibiarkan bebas begitu saja. Namun tetap saja mereka datang menyerah! Dan alangkah anehnya hukuman itu. Keduanya disuruh bertanding dan yang menang akan mendapat kesempatan bertanding dengan raja Lakayong!

“Bagaimana kalau dengan pertandingan kedua nanti kau kalah?” tanya Kwan Cu.

“Aku kalah? Tak mungkin. Apalagi setelah mendapat petujuk darimu tentang bagian-bagian tubuh yang lemah, biarpun dikeroyok dua oleh mereka, aku akan dapat merobohkan mereka,” kata Lakayong sambil ketawa gembira.

“Akan tetapi, andaikata kau tetap kalah?” Kwan Cu mendesak.

“Kalau aku kalah? Tak bisa lain tentu pemenangnya akan menjadi Raja dan menikah dengan Liyani.”

Kwan Cu tertegun. Alangkah sederhananya peraturan itu dan menunjukkan bahwa raja raksasa ini sama sekali tidak berlaku sewenang-wenang. Bukankah kalau dia mau dengan mudah saja dia bisa saja suruh tangkap dan bunuh dua pengkhianat itu? Akan tetapi, mendengar bahwa Liyani akan diperistri oleh seorang pemenang, Kwan Cu menjadi penasaran.

“Bukankah Liyani sudah menolak pinangan mereka?”

“Karena Liyani puteriku maka dia berhak menolak pinangan siapa saja yang dia tidak suka. Akan tetapi, ia tak akan boleh menolak pinangan seorang raja.”

Percakapan berhenti dan kini dua orang raksasa muda itu sudah tiba di batu karang yang disebut batu jamur. Dengan otot-otot kaki tangan mengembung lalu merayap naik keatas batu karang itu.

Tidak sembarang orang dapat merayap sepereti itu karena batu karang itu bentuknya seperti jamur dan terjal. Selain sukar, juga amat berbahaya karena Kwan Cu melihat betapa singa-singa telaga telah siap sedia menanti dengan mulut memperlihatkan gigi-gigi tajam di sekitar batu jamur itu! Sekali saja kaki terpeleset dan jatuh ke air, tak kan ada pertolongan lagi.

Setelah kedua orang itu, Wisang dan Kasang, berhasil naik ke atas, mereka berdiri berhadapan seperti dua orang jago berlagak. Siap untuk mulai pertandingan. Penduduk dusun itu semua datang untuk menyaksikan pertandingan ini, dan dari gerak dan suara mereka Kwan Cu dapat menduga bahwa para penonton itu saling bertaruh untuk jago masing-masing.

Matahari telah tinggi dan kini semua orang laki-laki perempuan telah berkumpul di pinggir telaga termasuk Liyani mengambil tempat duduk di samping Kwan Cu. Adapun raja Lakayong duduk di sebelah kanan pemuda itu. Raja ini kelihatan gembira sekali.

Pertandingan di atas batu jamur jarang sekali diadakan dan semenjak dahulu sudah beberapa keturunan, batu jamur itu hanya dipergunakan untuk bertanding bagi calon-calon raja. Akan tetapi dalam pertandingan calon raja, di sekeliling batu terdapat perahu-perahu besar sehingga kalo ada yang kalah dan jatuh ke bawah, dia tak akan dimakan singa telaga dan melompat ke perahu.

Berbeda dengan pertandingan sekarang ini, karena pertandingan sekarang ini bersifat hukuman, maka setelah kedua orang ini naik, Lakayong memberi perintah supaya perahu besar yang membawa dua orang raksasa muda tadi ke batu jamur, disingkirkan! Dengan demikian berarti bahwa siapa yang kalah akan terkubur di dalam perut singa telaga!

Kemudian Lakayong lalu memberi isyarat dengan mengangkat tangan dan mulailah kedua orang raksasa itu bertanding! Kwan Cu memandang dengan penuh perhatian. Ia tidak tahu bahwa dua orang raksasa muda yang sedang bertanding menanam kebencian hebat kepadanya.

Sebelum dua orang raksasa itu menghadap raja tadi, malamnya mereka telah mendengar dari raksasa yang dikalahkan oleh Kwan Cu tentang semua kejadian. Mereka tahu bahwa yang menolong raja adalah pemuda itu, sehingga boleh dibilang bahwa yang mendatangkan malapetaka dan yang menggagalkan rencana mereka adalah Kwan Cu. Apalagi ketika mereka mendengar bahwa biarpun kecil, pemuda asing itu memiliki kepandaian bertempur yang mengherankan, kedua orang raksasa muda itu menjadi makin benci dan iri hati.

Pertempuran yang terjadi di atas batu jamur itu ramai sekali. Keduanya sama kuat dan sama tangguh. Pukul-memukul, tendang-menendang dan dorong-mendorong, berusaha sekuat tenaga agar lawannya terlempar jatuh dari atas batu jamur.

Memang amat mengerikan dan menegangkan nampaknya. Permukaan batu yang rata itu tidak berapa lebar dan sekali terlempar atau tergelincir ke bawah berarti maut menjadi bagiannya!

Kwan Cu melihat betapa kedua orang raksasa muda itu lebih banyak menggunakan tenaga daripada otak. Mereka memiliki kekuatan dan tubuh yang terlindung oleh otot-otot tebal itu menjadi kebal. Pukulan dan tendangan lawan seperti tidak terasa dan dorongan tak cukup kuat untuk dapat merobohkan tubuh yang kokoh kuat itu.

Diam-diam Kwan Cu menjadi geli menyaksikan cara mereka bertempur itu. Seperti dua orang anak-anak yang bergulat saja. Kalau dia yang maju, dia percaya bahwa dalam beberapa gerakan saja dia akan dapat mengalahkan mereka.

Para penonton bersorak-sorak, menyoraki jago masing-masing. Ada kalanya Wisang tertindih, ada kalanya Kasang terdesak, akan tetapi keduanya sama kuatnya sehingga pertandingan makin lama makin seru dan mengerikan.

Liyani tertawa-tawa gembira dan gadis ini nampaknya senang sekali menyaksikan pertandingan antara dua raksasa itu. Raja Lakayong memandang penuh perhatian dan berkali-kali menganggukkan kepala sambil berkata perlahan kepada Kwan Cu.

“Kau betul, saudaraku. Mereka itu tidak mempergunakan otak dan mereka hanya memukul dan menendang bagian-bagian anggota badan yang mudah untuk dijadikan sasaran saja. Kalau mereka itu menyerang ke arah anggota tubuh lawan yang lemah seperti yang kau ajarkan kepadaku, tentu pertandingan akan selesai dengan cepat. Ah, aku girang sekali karena terbuka mataku bagaimana harus mengalahkan mereka tanpa menghabiskan tenaga!”

Akan tetapi pemuda itu tak segembira Lakayong, bahwa Kwan Cu memandang ke arah pertempuran dengan kening berkerut. Matanya yang tajam dapat melihat hal-hal yang aneh dalam pertempuran itu. Banyak sekali kesempatan-kesempatan dan lowongan baik sekali dilewatkan begitu saja oleh Wisang dan Kasang.

Kesempatan yang cukup untuk mereka pergunakan dalam merobohkan lawan. Benar-benarkah mereka begitu bodoh dan buta? Tak mungkin, hanya ada satu jawaban untuk memecahkan jawaban ini, yaitu bahwa kedua orang itu tidak berkelahi sesungguh hati!

“Mereka hanya main-main saja!” katanya penuh curiga. “Mereka tidak berkelahi dengan sesungguhnya!”

Lakayong tertawa dengan bergelak.
”Kau lucu sekali, sahabatku. Orang berkelahi mati-matian dan maut sewaktu-waktu dapat merengut nyawanya dan kau bilang bahwa mereka itu hanya main-main saja? Ha,ha ha!”

“Jangan kau menertawakan daku, Raja Lakayong, aku berani bertaruh bahwa sampai matahari tenggelam tak seorang pun diantara mereka yang akan kalah.”

Akan tetapi Lakayong tidak percaya dan demikianlah, pertempuran dilakukan dengan hebatnya. Orang-orang wanita sudah menjadi bosan karena benar saja, setelah senja tiba, belum juga ada yang kalah dan menang.

Seorang demi seorang mereka pergi, bahkan Liyani juga pergi dari situ karena mereka ini harus melakukan tugas pekerjaan mereka. Bahkan banyak pula penonton laki-laki pada pergi. Yang masih tinggal di sini adalah hanya Raja Lakayong, Kwan Cu dan tujuh orang pembantu saja.

Tak lama kemudian pelayan-pelayan datang membawa makanan dan minuman untuk Raja, Kwan Cu dan tujuh orang pembantu itu dan mereka makan di pinggir telaga sambil menonton pertempuran yang masih saja berjalan ramai itu.

Akhirnya matahari terbenam dan sebagai penggantinya, bulan bertahta di angkasa raya. Raja Lakayong malu dan menepuk-nepuk lalu merangkul pundak Kwan Cu dengan tangan kirinya sambil berkata,

“Dugaanmu tidak meleset, saudara kecil. Benar saja sampai bulan muncul, belum ada yang kalah. Mereka berdua sama berani dan sama kuat. Sayang sekali mereka harus dihukum.”

Kwan Cu tidak menjawab. Ia tahu bahwa percuma saja apabila dia berkukuh menyatakan bahwa dua orang itu tidak bertempur sesungguhnya. Ia tahu bahwa Raja ini terlalu jujur sehingga tidak mengerti tentang kepalsuan dan pura-pura, maka tidak dapat pula tidak dapat membedakan pertempuran pura-pura dan pertempuran sesungguhnya.






Tidak ada komentar :