*

*

Ads

Kamis, 17 Januari 2019

Pendekar Sakti Jilid 086

“Di mana adanya dua orang yang jahat itu? Aku ingin sekali memukul kepala mereka!” tulis Kwan Cu dengan gemas.

Lakayong tertawa bergelak.
“Kamu mengagumkan sekali, saudara kecil yang gagah,” tulisnya. “Akan tetapi kau tidak tahu kalau Wisang dan Kasang amat kuat dan tangkas. Di seluruh dusun ini, hanya aku yang mampu menandingi mereka, itupun tak mudah aku lakukan. Mereka kuat sekali, apa daya orang kecil seperti kau?”

Ketika kedua orang itu bercakap-cakap dalam bentuk tulisan, maka semua tulisan itu di baca semua orang ganti berganti dan yang mendapat kesempatan pertama tentu saja Liyani yang memandang kepada Kwan Cu dengan kagum sekali.

“Kau kecil dan lemah, akan tetapi kau gagah perkasa. Aku suka kepadamu,” tulis gadis itu dengan tulisan tangannya yang halus.

Kwan Cu merasa mendongkol karena raja Lakayong agaknya memandang rendah kepadanya.

“Biarpun aku kecil, aku berani menghadapi keroyokan mereka berdua!” tulisnya.

Tentu saja tulisan ini menimbulkan kegemparan besar setelah semua orang membacanya. Seorang laki-laki tinggi besar dan kelihatan kuat dan kasar sekali menudingkan telunjuknya kepada Kwan Cu dan berkata-kata dengan keras.

“Dia bilang apa?” Kwan Cu menulis.

Akan tetapi Raja Lakayong menggelengkan kepalanya, seakan-akan segan untuk “menerjemahkan” kata-kata itu. Kwan Cu merasa penasaran dan menunjukkan kata-kata pertanyaannya itu kepada Liyani. Gadis ini segera menuliskan jawabannya tanpa mempedulikan ayahnya yang tampaknya melarangnya.

“Dia seorang kuat, dan berkata bahwa bangsa kami selalu jujur dan tidak mau membual, seorang laki-laki yang berani mengeluarkan ucapan membual harus berani pula membuktikannya omongannya itu.”

Membaca jawaban itu, Kwan Cu melompat berdiri. Orang-orang tidak bisa mengikuti gerakannya yang cepat seperti burung terbang. Tahu-tahu semua orang melihat pemuda kecil itu berdiri di depan raksasa muda yang menegurnya tadi dan bertolak pinggang seperti menantang.

Raksasa muda tertawa dan mendorong dada Kwan Cu, agaknya hendak menyuruh Kwan Cu duduk kembali. Dorongannya itu sedikitnya ada delapan ratus kati beratnya, menyambar ke arah dada Kwan Cu seperti gajah menyeruduk.

Akan tetapi dengan sedikit saja miringkan tubuh, Kwan Cu sudah dapat mengelak dan secepat kilat dia dari samping menekan siku yang mendorong dan membarengi menggunakan kaki untuk menendang belakang lutut raksasa itu. Terdengar raksasa itu berteriak dan tak dapat bertahan lagi ia jatuh tersungkur dengan hidung lebih dulu!

Orang-orang tertegun melihat hal ini, bahkan Raja Lakayong sendiri seperti orang yang tak percaya akan apa yang dilihatnya, sebaliknya Liyani bertepuk tangan memujinya. Raksasa itu bangun kembali dengan penasaran, dari hidungnya yang panjang mengalir darah.

Setelah memandang dengan mata yang terbelalak, dia lalu menyerang, kini dengan kedua tangan dipentang lebar dan kemudian memukul kepala Kwan Cu dari kiri dan kanan. Serangan itu dahsyat sekali, akan tetapi bagi Kwan Cu gerakan orang ini amat lambat, mudah saja baginya untuk melangkah mundur sehingga kembali serangan itu mengenai angin kosong. Raksasa itu terheran ketika kedua tangannya memukul angin, maka dengan bernafsu ia menubruk, kini dengan tubuh membungkuk seperti seekor lembu jantan hendak menyeruduk.

Kwan Cu berpikir, bahwa kalau ia tidak memperlihatkan kelihaiannya, tentu ia akan dipandang rendah oleh orang-orang ini. Maka ia menanti kesempatan baik. Ketika lawannya menyeruduk, menyerang dengan kedua tangan dan kepala, ia bergerak cepat sekali, melompat dengan ringan sekali melalui atas kepala lawannya! Semua orang tertegun, akan tetapi raksasa muda itu kebingungan karena tiba-tiba saja ia kehilangan lawannya.

“Bocah cilik, jangan lari kau sembunyi!” teriakannya dengan bahasa yang tidak di mengerti oleh Kwan Cu.

Akan tetapi orang yang berada di situ mengerti dan menjadi geli sekali karena Kwan Cu yang disangka bersembunyi itu sebenarnya telah berada di belakang raksasa muda itu! Kwan Cu tidak mau membuang waktu lagi, dengan gerakan yang cepat sekali dia menggunakan jari tangannya untuk menotok kaki bagian belakang lutut. Ia melihat urat besar dan seketika itu juga raksasa itu jatuh berlutut.






Kwan Cu menyerang terus, kini menotok punggungnya dan aneh sekali bagi semua orang dan raja Lakayong karena dengan tiba-tiba raksasa muda itu terguling jatuh dan menangis keras!

Semua orang menjadi gempar dan raksasa itu dikerubung dan ditanyai, akan tetapi ia tidak menjawab melainkan tetap bergulingan dan menangis karena ia telah ditotok jalan darahnya yang membuat semua badan menjadi sakit dan air matanya mengucur keluar tanpa dapat dicegah lagi, ternyata Kwan Cu telah menggunakan Ilmu Silat Sin-ci-tin-san (Satu Jari Merobohkan Gunung)!

Liyani segera menghampiri Kwan Cu. Pemuda ini takut kalau akan dicium lagi maka dia berlaku waspada, siap mengelak kalau-kalau akan dipeluk. Akan tetapi Liyani menghampirinya dengan membawa tulisannya yang ketika ia baca berbunyi,

“Kau apakan dia”

Kwan Cu tersenyum dan membalasnya dengan tulisan
“Tidak apa-apa, hanya memberi pelajaran kepadanya, kau minta menarik lagi kata-kata yang memandang rendah kepadaku dan aku akan menyembuhkannya!”

Gadis itu sambil tersenyum gembira berlari-lari kearah raksasa yang masih menangis bergulingan seperti anak kecil itu, dan menyampaikan pesan Kwan Cu. Raksasa itu berkaok-kaok yang diterjemahkan oleh Liyani.

“Dia sudah kapok dan minta ampun.”

Kwan Cu merasa kasihan. Ia menghampiri pemuda raksasa itu, lalu menepuk dan mengurut punggungnya! lenyaplah rasa sakit. Raksasa itu membungkuk kepada Kwan Cu lalu beranjak pergi dari situ dengan malu. Kwan Cu duduk lagi di dekat Raja Lakayong yang memandangnya sambil mengerutkan kening, lalu menulis,

“Kau menggunakan ilmu hoat-sut (ilmu sihir), aku tidak suka akan ilmu curangmu itu, lebih baik mengandalkan tenaga dan berkelahi dengan jujur.”

Kwan Cu dapat memaklumi jalan pikiran raksasa sederhana dan jujur ini. Maka ia lalu menulis dengan panjang lebar.

“Tidak ada kecurangan caraku dalam bertempur, aku lebih menggunakan otak dari pada tenaga. Kalau aku disuruh bertempur menghadapi dia yang jauh lebih besar, apakah itu jujur dan adil namanya? Sama saja seekor kelinci disuruh menghadapi harimau! Tenagaku jauh lebih kecil, maka aku harus menggunakan akal. Aku tadi juga menggunakan pukulan akan tetapi pukulan dengan tenaga sekecilnya yang ditujukan pada bagian yang menyakitkan.”

“Tubuhnya kuat, tak mungkin dengan tenaga kecil dapat menimbulkan rasa sakit.” bantah Lakayong.

“Kau keliru.” Jawab Kwan Cu. “di bawah kulit tersembunyi bagian-bagian yang lemah. Kalau kau tidak percaya, coba kau gunakan salah satu jari tanganmu mengetok bagian lututmu ini sendiri.” Sambil berkata demikian Kwan Cu meraba sambungan lutut raksasa itu.

Sambil tersenyum Raja Lakayong mengetokkan jarinya pada bagian itu dan dia berseru kesakitan dan secara otomatis kakinya bergerak ke depan seperti orang menendang karena tersentuh uratnya yang amat perasa. Dengan rasa terheran-heran raksasa itu mengetuknya berkali-kali dan akhirnya Kwan Cu melarangnya karena hal itu dapat berbahaya sekali.

“Jika kau menggunakan pukulan menghantam lawan, mungkin ia tak kan raboh, akan tetapi agak ke bawah kau memukul mengenai sambungan lututnya, pasti ia roboh. Apakah akal ini dapat dikatakan curang?”

Lakayong kagum sekali. Lalu ia minta penjelasan lebih lanjut.
“Mungkin aku akan menghadapi seorang di antara dua orang penghianat itu. Mereka masih muda dan kuat, sedangkan aku sudah tua. Aku kalah tenaga dan aku perlu mengetahui rahasia tubuh ini,” katanya.

Kwan Cu lalu memberi penjelasan sambil memberi contoh, yaitu lebih tepat memukul sambungan siku daripada mengenai lengan, lebih baik memukul sambungan pundak daripada mengenai dada, dan memberi petunjuk berbahaya yaitu leher, ulu hati, lambung dan lain-lain. Raja Lakayong menjadi girang sekali dan hampir sampai pagi ia menerima petunjuk dari Kwan Cu.

“Di mana adanya dia orang jahat itu?” tanyanya.

“Mereka bersembunyi, akan tetapi tidak ada orang yang akan sembunyi terus-menerus, mereka tidak berani meninggalkan pulau dan besok ia akan menghadap juga.”

“Apa yang akan kau lakukan terhadap mereka?”

“Kau akan melihat sendiri besok,” jawab Lakayong sambil tertawa. “Yang sudah pasti, mereka akan menghadapi keputusan yang jujur, sesuai dengan kebiasaan kami.”

Adapun Liyani yang suka kepada Kwan Cu, tiada bosannya mengajarkan bahasa mereka kepada Kwan Cu. Dengan bantuan tulisan mereka yang dimengerti oleh Kwan Cu, dibantu pula oleh otaknya yang cerdik, sebentar saja Kwan Cu sudah dapat mengerti beberapa ucapan terpenting dalam percakapan sehari-hari. Maka mulailah dia bercakap-cakap dengan Liyani dan Lakayong sehingga mereka menjadi gembira sekali.

Melihat Suling yang berada di buntalan Kwan Cu, Liyani bertanya benda apakah gerangan yang aneh itu. Kwan Cu tersenyum lalu meniup sulingnya. Berserabutan orang-orang yang tadinya udah pulang ke pondok masing-masing untuk melihat apakah yang dapat berbunyi demikian aneh dan merdu.

Adapun Liyani saking gembiranya lalu menari di hadapan Kwan Cu. Sebuah tarian yang menurut Kwan Cu amat melanggar kesusilaan karena gadis itu menari dengan pinggang bergerak, semacam tari perut !

Atas kehendak Raja Lakayong, pertemuan yang menggembirakan itu dibubarkan untuk memberi kesempatan pada tamunya untuk mengaso. Kwan Cu mendapat kamar yang bersih di dalam gedung besar itu berdekatan dengan kamar Raja Lakayong dan kamar puterinya.

Lakayong sebentar saja sudah tidur mendengkur. Juga Kwan Cu yang merasa lelah sekali, tidur melenyapkan keletihannya setelah makan kenyang dan merasa tubuhnya enak dan segar. Lebih dulu ia mengganti pakaiannya yang basah kuyub dengan pakaian yang sudah dia panggang di dekat api unggun sehingga menjadi kering.

Pada keesokan harinya dia bangun dari tidurnya karena suara ketawa terkekeh-kekeh di dalam kamarnya. Ia membuka matanya dan cepat meloncat turun dari pembaringan kayu ketika melihat yang tertawa-tawa itu adalah Liyani yang sudah memasuki kamarnya.

Gadis itu telah membuka buntalannya dan sedang melihat-lihat pakaiannya. Celana dan bajunya dipegang gadis itu sambil tertawa-tawa, seperti seorang gadis remaja memegang dan merasa geli melihat pakaian anak kecil! Memang, celana sutra dari pemuda itu ketika dipegang tergantung oleh tangan Liyani hanya kelihatan seperti celana anak kecil saja!

Ketika melihat Liyani mulai membuka bungkusan kuning yang berisi daun Liong-cu-hio, Kwan Cu melompat dan merampas bungkusan itu.

“Jangan sentuh ini!” katanya dalam bahasa Kuyu yang kaku.

Mata yang bening itu terbelalak lebar. Setelah melihat gadis itu di pagi hari, Kwan Cu harus mengaku bahwa Liyani memiliki kecantikan yang khas dari bangsanya. Kulitnya yang kehitaman itu tidak membosankan dan bibirnya yang tebal itu nampak penuh dan manis.

“Mengapa tidak boleh?” tanyanya heran, kejujurannya membuat ia tidak merasa tersinggung.

“Karena benda yang terbungkus kain ini sangat berbahaya, sekali tanganmu menyentuhnya, akan mejadi hangus tanganmu itu.”

Liyani menjadi terkejut sekali dan melangkah mundur.
“Kau orang aneh, barang-barangmu juga aneh. Akan tetapi aku…. aku suka padamu, suka sekali padamu.”

Setelah berkata demikian gadis itu keluar dari kamar, meninggalkan Kwan Cu yang berdiri dengan muka merah sekali. Pemuda ini baru berumur enam belas tahun dan selama hidupnya belum pernah berpikir tentang cinta kasih antara laki-laki dan wanita. Tadinya mengira bahwa rasa suka yang dinyatakan berkali-kali oleh gadis raksasa itu adalah rasa suka yang terdapat dalam hati orang bersahabat, namun melihat sinar mata gadis itu yang aneh sekali, membuat dia merasa jengah dan tidak enak hati!






Tidak ada komentar :