*

*

Ads

Minggu, 13 Januari 2019

Pendekar Sakti Jilid 085

Dari pada bertemu dan dimusuhi oleh orang-orang jahat itu, lebih baik dia ikut dengan raksasa yang tersenyum ramah kepadanya ini. Maka berjalanlah Kwan Cu sambil digandeng tangannya oleh raksasa itu. Di sepanjang jalan, tiada hentinya Kwan Cu mengagumi segala sesuatu yang serba besar di pulau itu. Dari pohon-pohonnya, tanaman-tanamannya, sampai rumput dan batu, bahkan katak yang dilihatnya berlompatan di dalam hutan, serba besar, kurang lebih tiga kali ukuran biasa!

Yang mengherankan hatinya, biarpun tubuhnya besar, akan tetapi suara raksasa ini tidak lebih keras daripada suara manusia biasa, sungguhpun lebih besar dan parau. Adapun raksasa itu tidak kalah herannya dari pada Kwan Cu sendiri. Ia memandang kepada “orang kecil” ini dan sering tertawa bergelak dengan nada geli, membuat Kwan Cu menjadi mendongkol juga.

“Kau mentertawakan aku, sebaliknya kau pun akan menjadi tontonan yang menggelikan kalau kau tiba di duniaku. Kau dan aku mana lebih tahu tentang kebaikan dan keburukan? Yang besar mencela terlalu kecil, yang kecil bilang terlalu besar, memang demikian sifat manusia, tak dapat menerima kekuasaan alam yang serba gaib.”

Biarpun Kwan Cu berfilsafat dengan seribu kata-kata, mana raksasa itu dapat mengerti? Sebaliknya, ketawanya makin terbahak-bahak, seakan-akan kata-kata dan bahasa Kwan Cu amat aneh dan menggelikan, seperti suara burung hantu yang aneh sekali.

Akan tetapi, ketika melihat betapa Kwan Cu tidak tertinggal oleh langkahnya yang lebar, raksasa itu makin terheran. Langkah raksasa itu sedikitnya tiga kali lebar langkah orang biasa, namun karena Kwan Cu mempergunakan ilmu lari cepat, dia sama sekali tidak tertinggal.

Raksasa itu penasaran, melepaskan tangan Kwan Cu dan berjalan lebih cepat, namun tetap saja Kwan Cu dapat berjalan di sebelahnya tanpa sukar sedikitpun juga. Raksasa itu mulai berlari, namun sambil tertawa geli Kwan Cu tetap dapat menyusulnya, bahkan kalau dia mau dengan mudah Kwan Cu dapat meninggalkannya!

Akhirnya tibalah mereka di sebuah dusun yang berada di tengah pulau. Dari jauh sudah kelihatan api penerangan dan terdengar oleh Kwan Cu suara tangis orang riuh rendah seperti sebuah dusun yang sedang dirundung kemalangan hebat. Raksasa itu tertawa geli dan berkata-kata kepada Kwan Cu, akan tetapi tentu saja Kwan Cu tidak mengerti sama sekali.

Diam-diam Kwan Cu menjadi girang sekali bahwa di tempat itu terdapat dusun dan orang-orang, juga wanita-wanita seperti yang dapat dia dengar suara tangisnya. Kalau begitu tentulah ada sekelompok suku bangsa tinggal di tempat ini dan hal ini menjadi hiburan baginya karena selain dapat bertemu dengan sesama manusia, dia tentu akan mudah mendapat makan dan siapa tahu kalau-kalau mereka akan dapat memberi petunjuk dimana adanya pulau berpohon putih yang dicari-carinya.

Dusun itu mempunyai banyak pondok-pondok kayu yang besar-besar dan kokoh kuat. Modelnya sederhana saja namun pembuatannya cukup kuat dan baik, tidak berbeda jauh dengan rumah-rumah model Tiongkok pesisir timur. Akan tetapi, pada malam hari itu, agaknya sebagian besar dari rumah-rumah itu ditinggalkan penghuninya dan ternyata mereka berkumpul di dalam sebuah rumah yang amat besar dan berada di tengah-tengah dusun itu.

Melihat bangunan induk ini, Kwan Cu menjadi bengong. bukan main besar dan kokoh kuatnya bangunan ini, tiada ubahnya istana kaisar sendiri, hanya bedanya bangunan ini seluruhnya terbuat dari pada kayu yang besar-besar. Juga lampu-lampu gantung yang dipergunakan sebagai penerangan pada setiap rumah di dusun itu terbuat dari pada kayu. Sebagai pengganti kaca dipergunakan semacam kulit ikan yang tipis dan dapat di tembusi oleh sinar api. Nyala api tetap terang, dan ternyata bahwa orang pun mempergunakan minyak untuk lampu-lampu ini!

Raksasa membawa Kwan Cu langsung ke sebuah ruangan lebar dimana berkumpul semua orang-orang laki perempuan yang kesemuanya adalah raksasa bertubuh tinggi besar. Mereka ini duduk bersimpuh, ada pula yang berlutut menghadapi sebuah meja besar dimana dipasang lilin seperti orang melakukan semacam sembahyangan.

Ketika raksasa itu muncul di bawah penerangan lampu besar, semua orang menengok dan terjadilah sesuatu yang mengherankan hati Kwan Cu. Pemuda ini melihat orang laki-laki serentak mundur, bahkan ada yang melarikan diri, ada pula yang menjatuhkan diri berlutut kepada raksasa hitam yang baru datang. Orang-orang wanita menjadi pucat dan menjerit-jerit ketakutan seperti melihat setan!

Terdengarlah pekik-pekik ketakutan dan suara orang kalang kabut. Raksasa itu mengangkat kedua tangannya dan berkata-kata dengan suara yang berpengaruh seakan-akan menghibur. Setelah dia selesai berkata-kata, semua orang berlutut dihadapannya dan dari rombongan wanita, berlari keluar seorang gadis raksasa yang bertubuh tinggi ramping dan berwajah halus dan boleh dibilang cantik, biarpun kulitnya kelihatan kehitaman dan tubuhnya juga tinggi besar.






Namun jika dibandingkan dengan yang lain, ia termasuk kecil dan masih muda sekali. Sambil menangis, gadis raksasa ini menubruk raksasa itu dan keduanya berpelukan. Kini semua orang yang berada di situ nampak girang, senyum timbul di wajah mereka yang rata-rata membayangkan kejujuran.

Tiba-tiba seorang wanita menjerit sambil menunjukkan telunjuknya ke arah Kwan Cu. Keadaan menjadi geger setelah semua orang melihat pemuda kecil kate ini. Agaknya baru sekarang mereka melihat Kwan Cu dan terdengar suara-suara diiringi suara ketawa geli.

Orang-orang perempuan tertawa terkekeh dan orang-orang lelaki tertawa terbahak-bahak sambil menunjuk ke arah Kwan Cu. Kwan Cu menjadi mendongkol sekali. Ia membanting-banting kedua kakinya dan dalam kegemasannya lupalah dia akan perutnya yang lapar.

“Sudahlah, sudahlah, aku bukan badut! Kalau kalian tidak suka melihat aku, aku pun tidak sudi berada disini terlalu lama.”

Sambil berkata demikian, dia hendak pergi dari situ. Tidak sudi dia dijadikan bahan tertawaan oleh semua orang itu hanya karena dia bertubuh normal! Akan tetapi raksasa hitam yang agaknya jadi kepala mereka itu, mengulur tangan mencegah dia keluar, kemudia raksasa ini mengangkat tangan memberi tanda kepada semua orang supaya berhenti tertawa dan bicara panjang lebar.

Agaknya dia menceritakan pengalamannya dan menceritakan betapa Kwan Cu telah menolongnya. Hal ini dapat diduga ketika semua orang kini memandang ke arah Kwan Cu dengan kagum sekali. Dan tiba-tiba gadis raksasa yang tadi memeluk raksasa hitam itu, berlari mendekati Kwan Cu, menggunakan kedua lengannya yang berkulit hitam halus dan panjang itu untuk memeluk Kwan Cu lalu…..mencium hidungnya!

Hampir saja Kwan Cu berlari keluar saking malu dan jengahnya. Ia memberontak dengan halus, melepaskan diri dari pelukan gadis raksasa itu dan berdiri dengan muka merah sampai ke telinganya! Ia melihat semua orang tertawa-tawa. Kini orang-orang wanita yang berpakaian cukup sopan, yakni dengan semacam kain berkembang tebal di selimutkan dari pundak menutup leher sampai kelutut, datang mengerumuninya.

Ia sudah merasa ngeri dan khawatir kalau-kalau semua wanita ini akan memeluk dan menciuminya. Akan tetapi dia merasa lega sekali ketika ternyata mereka hanya mendekatinya, meraba-raba tangan dan kakinya, bahkan ada yang melepaskan kalung dan gelang dari emas tulen dan memberikan perhiasan itu kepadanya sebagai tanda kagum! Sambil tersenyum dan menggelengkan kepala Kwan Cu menolak semua hadiah itu dengan halus.

Raksasa hitam yang ternyata adalah raja suku bangsa ini lalu memberi perintah dan bubarlah semua orang. Mereka sibuk bekerja dan pada malam hari itu juga di ruangan ini diadakan pesta untuk menghormat raja dan Kwan Cu! Pemuda ini mendapat kenyataan bahwa tidak semua raksasa berkulit hitam arang seperti kepalanya. Ada yang agak putih walaupun bagi bangsa Han masih termasuk hitam, bahkan wanita-wanitanya rata-rata mempunyai kulit yang hitam-hitam manis.

Meja sembahyang yang tadi dipasang di tengah ruangan, dibawa pergi dan sebagai gantinya dipasang meja besar yang mewah. Ketika orang sibuk menghias meja ini, Kwan Cu melompat dari tempat duduknya karena dia melihat di antara kain-kain berwarna yang dipergunakan untuk menghias meja makan yang panjang dan lebar itu, terdapat sajak-sajak yang tulisannya sama dengan tulisan yang dipergunakan dalam kitab sejarah Gui-siucai atau dalam kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng.

Ia membaca sajak kuno itu dan cepat berpaling kepada raksasa hitam yang juga memandangnya dengan heran. Ketika Kwan Cu menunjuk kepada sajak-sajak itu seakan-akan bertanya, raja raksasa itu lalu membaca sajak-sajak tadi, akan tetapi dengan bahasa yang sama sekali asing bagi Kwan Cu. Kemudian Kwan Cu lalu membaca sajak itu keras-keras dan kini giliran raja raksasa itu untuk memandangnya dengan bingung.

Kwan Cu mendapat akal baik, lalu dia menggunakan jari tangannya untuk menggurat-gurat meja yang halus. Sambil mengerahkan lweekangnya dia dapat menulis beberapa huruf dari tulisan kuno itu yang berbunyi.

“Apakah kau dapat membaca tulisanku ini?”

Raja raksasa terkejut sekali nampaknya lalu berteriak keras. Semua orang yang sibuk membereskan tempat itu, pada lari mendatangi dan mereka semua, laki-laki dan perempuan dapat membaca tulisan tangan Kwan Cu di atas meja itu. Mereka bersorak-sorak girang dan raja itu lalu memberi perintah.

Seorang diantara mereka berlari mengambil alat tulis berupa pisau runcing dan lembaran kulit pohon yang di dalamnya putih dan halus. Dengan pisau itu, memang amat mudah dan enak untuk menuliskan huruf di sebelah dalam lembaran kulit pohon.

“Tentu saja kami dapat membaca tulisanmu. Agaknya tulisan kami sama, hanya suara bacaannya yang bikin berbeda.” Raja itu menulis dan bukan main girangnya hati Kwan Cu.

Pesta dimulai dan daging panggang yang dihidangkan membuat hati Kwan Cu berdebar girang, membuat dia mengilar akan tetapi juga baru melihat saja dia sudah merasa kenyang! Daging-daging yang dihidangkan di hadapannya begitu besar dan berbau sedap.

Kini dia dapat “bercakap-cakap” dengan rakyat hitam itu melalui tulisan huruf kuno, dan dia mendapat penjelasan dan penuturan yang amat menarik hati seperti berikut.

Kalau dia yang membacanya, nama raja raksasa itu adalah Lakayong, dan raja ini adalah seorang duda dengan puterinya bernama Liyani, yakni gadis raksasa yang menangis sambil memeluknya tadi, atau juga gadis yang telah memeluk dan mencium Kwan Cu setelah mendengar bahwa pemuda ini telah menolong ayahnya!

Suku bangsa raksasa itu menurut mereka disebut bangsa Kuyu, keturunan dari bangsa raksasa yang sudah di sangka lenyap dari daratan tiongkok. Mereka hidup sampai beberapa keturunan di atas pulau besar yang kosong itu. Lakayong diangkat sebagai raja oleh karena dia mempunyai tenaga paling besar dan menurut tradisi mereka, setelah diadakan pertandingan dan Lakayong tak dapat dikalahkan, maka dia diangkat menjadi raja.

Jago-jago lain dijadikan pembantu-pembantunya. Di antara pembantu-pembantunya terdapat dua orang raksasa lain yang dalam kepandaian bertempur dan kehebatan tenaga, hanya kalah sedikit oleh Lakayong. Mereka ini bernama Wisang dan Kasang yang oleh Lakayong diangkat menjadi pembantu-pembantunya yang paling berkuasa.

Akan tetapi, sudah lama dua orang ini merasa iri kepada Lakayong, dan diam-diam mengandung maksud untuk merebut kedudukan. Apalagi ketika dua orang itu bergantian mengajukan pinangan terhadap Liyani ditolak oleh gadis itu, mereka makin menaruh hati dendam.

Bangsa Kuyu mempunyai kebiasaan yang aneh dan yang sudah menjadi tradisi mereka. Yakni tiap kali bulan muncul, mulai bulan timbul tiga perempat sampai bulat, setiap raja selalu mandi di laut seorang diri, katanya untuk menerima berkah dari Dewa bulan demi kebahagiaan bangsanya.

Pada malam hari kemarin, seperti biasa Raja Lakayong mandi di laut memenuhi peraturan tradisi dan minta bekah bagi rakyatnya, tiba-tiba dia diserang oleh dua orang pembantunya, yaitu Wisang dan Kasang. Kalau saja mereka bertempur di darat, agaknya biarpun dikeroyok dua, Raja Lakayong takkan kalah. Akan tetapi pertempuran di air melelahkan. Ia sudah mulai tua sedangkan lawannya masih muda dan pandai berenang.

Akhirnya dia kalah, dibelenggu kaki tangannya dan dilemparkan ke laut agar mati tenggelam atau dimakan ikan liar. Kemudian Wisang dan Kasang berlari ke darat, memberi tahu kepada semua orang bahwa ketika sedang mandi di laut, Raja Lakayong telah diserang ikan besar dan bahkan mereka berdua telah berusaha untuk menolong namun tidak berhasil, sebaliknya menderita luka-luka. Padahal luka-luka mereka itu adalah karena pukulan Raja Lakayong yang melawan hebat sebelum dia dikalahkan!

Semua orang menjadi berduka, terutama sekali Layani dan upacara sembahyang segera dilakukan sampai sehari semalam. Adapun kedua orang itu, Wisang dan Kasang, tidak kelihatan lagi. Hal ini karena mereka masih amat akan percaya tahyul dan mereka beranggapan bahwa sebelum sehari semalam, arwah orang yang mati masih berkeliaran untuk menuntut balas pada musuh-musuhnya!

Karena itu, selama sehari semalam mereka tidak berani keluar dan bersembunyi di dalam sebuah gua yang gelap agar arwah dari Raja Lakayong tidak dapat mencari mereka! Ini pula sebabnya ketika raja Lakayong muncul pada malam hari itu, kedua penghianat itu tidak kelihatan di situ. Demikianlah penuturan Raja Lakayong pada Kwan Cu.

“Baiknya Dewa Air masih melindungiku,” Raja Lakayong menutur selanjutnya, “sehingga ombak membawaku ke tempat yang dangkal dan dalam keadaan yang setengah mati aku dapat berdiri di dalam air yang tiba sebatas leher. Aku berdiri kuat-kuat agar tidak terguling, karena sekali aku terguling, aku akan mati. Kebetulan sekali kau datang, sahabat baik, dan aku tertolong.”






Tidak ada komentar :