*

*

Ads

Minggu, 13 Januari 2019

Pendekar Sakti Jilid 084

Cuaca makin gelap dan hanya dengan bayangan pohon-pohon besar sebagai petunjuk, Kwan Cu terus mengayuh perahunya dengan kedua tangannya ke darat. Namun air laut yang berkeriput itu tidak dapat menerima sinar bulan dengan baik sehingga nampak air menghitam, hanya berkilau di sana-sini.

Tiba-tiba perahu Kwan Cu tertahan oleh sesuatu yang berat. Kwan Cu mendorong air agar perahunya menyingkir dari penghalang itu. Ia mengira bahwa perahunya tentu terhalang oleh batu karang yang tidak dapat dilihatnya dalam kegelapan itu. Akan tetapi alangkah kagetnya ketika tiba-tiba “batu karang” itu bergerak-gerak!

Karena tertarik hatinya, Kwan Cu mengulur tangannya untuk mendorong “batu karang” yang dapat bergerak-gerak itu. Hampir dia berteriak ketika jari-jarinya menjamah benda yang lunak, seperti……. seperti tubuh seorang makhluk.

“Tentu ikan yang terdampar ke pantai,” pikirnya menetapkan hatinya yang berdebar.

“Ooleihaaaaiii…!!” terdengar “batu karang” atau “ikan” itu berteriak keras sekali.

Kwan Cu tersentak kaget sehingga hampir saja dia terjungkal ke dalam air. Ia kemarin malam sudah merasa heran sekali menyaksikan ikan Kilin yang ditangkap oleh Kong Hoat, karena selamanya belum pernah melihat ikan seaneh itu. Akan tetapi sekarang, mendengar seekor ikan besar bisa mengeluarkan suara “ooleihaaaiii…..!” dengan suara seperti manusia, benar-benar membuat dia merasa ragu-ragu apakah benar-benar dia belum menjadi gila!

Dengan hati-hati kembali dia mendekatkan tangannya ke depan. Kini menghadapi sesuatu yang begini aneh, dia untuk sementara lupa kepada pulau itu dan belum ingin mendarat sebelum menyelidiki lebih dulu sebetulnya ikan macam apakah yang bisa mengeluarkan suara seperti itu.

“Hayalieee…!”

Kwan Cu menarik kembali tangannya seperti dipagut ular dan merasa bulu tengkuknya berdiri satu demi satu. Bukan main! Tak mungkin ada ikan bisa mengeluarkan suara seperti itu. Akan tetapi rasa keingin tahuannya melebihi rasa ngerinya. Ia mendorong air sehingga perahunya maju dan kini dia menggunakan kedua tangannya untuk menangkap ke depan.

Ia berlaku hati-hati sekali dan menggerak-gerakkan kedua tangannya dengan sikap siap sedia kalau-kalau “ikan” itu akan menggigitnya tentu dia akan cepat memukul. Akan tetapi, keheranannya memuncak ketika kedua tangannya dengan tepat sekali kena memegang dua buah telinga manusia yang besar sekali.

Saking kagetnya, Kwan Cu tidak melepaskan kedua buah telinga itu, sebaliknya dia memandang ke depan dengan mata terbelalak sambil mengerahkan seluruh tenaga pandangan matanya. Kebetulan sekali bulan agak terang cahayanya. Ia mula-mula melihat sepasang mata lebar yang mengkilap. Kemudian, kelihatanlah olehnya sebuah kepala manusia yang besarnya empat atau lima kali kepala manusia biasa!

Kepala ini gundul dan sedikit rambut kepala diikat. Kulit muka dan kepala hitam sekali, dan inilah yang membuat kepala ini tidak kelihatan di dalam gelap! “Seorang manusia!” pikir Kwan Cu dengan girang.

Di tempat yang aneh seperti itu, pertemuan dengan seorang manusia, bagaimanapun anehnya manusia itu, amat menggirangkan hatinya. Untuk sesaat dia lupa bahwa manusia berkulit hitam ini mempunyai kepala yang luar biasa sekali besarnya.

“Saudara siapakah? Dan mengapa malam-malam berada di laut? Apakah saudara sedang mandi? Maaf kalau perahuku menganggumu.”

Demikianlah pemuda itu bicara dengan gembira sambil melepaskan pegangan kedua tangannya pada telinga orang.

Sebaliknya, muka yang besar itu memandang kepada Kwan Cu dengan mata terbelalak lebar dan mulutnya yang berbibir lebar itu mengeluarkan kata-kata yang sama sekali asing bagi telinga Kwan Cu.

Ketika kepala ini bicara, kadang-kadang nampak deretan gigi yang besar dan putih berkilat dari balik bibir tebal. Mendengar ucapan orang itu, teringatlah Kwan Cu bahwa orang ini tentulah seorang dari suku bangsa yang tidak mengerti bahasa Han dan yang mempunyai bahasa daerah sendiri. Maka ia hanya menggeleng-gelengkan kepalanya sambil berkata,






“Maaf, aku tidak mengerti bahasamu dan kau agaknya tidak mengerti pula apa maksud kata-kataku. Maafkan aku tidak mengganggu lebih lama, karena aku hendak mendarat.”

Sambil berkata demikian, Kwan Cu menggunakan jari telunjuknya untuk menuding ke arah darat. Setelah itu, pemuda ini lalu menggunakan tangan untuk mendayung perahunya ke pinggir.

Akan tetapi, tiba-tiba orang yang terbenam di air sampai lehernya itu, menggerakkan leher dan tahu-tahu sepasang lengan yang besar dan panjang sekali timbul dari permukaan air dan diletakkan di atas perahu Kwan Cu. Sepasang lengan yang hitam dan besar panjang itu mempunyai tenaga yang amat kuat sehingga ketika menindih perahu-perahu kecil itu tertindih hampir tenggelam!

Kwan Cu terkejut sekali, bukan oleh tenaga tindihan ini, melainkan oleh besar dan panjangnya lengan yang berotot besar itu. Baru dia teringat akan besarnya kepala di permukaan air. Sampai lama dia melihat kepala dan lengan orang hitam itu dan dengan bulu tengkuk berdiri dia membayangkan betapa tingginya orang ini. Seorang raksasa yang belum pernah didengarnya dalam buku dongeng, apalagi dilihatnya!

Kemudian dia melihat bahwa pergelangan dua tangan itu terbelenggu oleh rantai baja yang kuat, dan mendengar suara orang itu, tahulah dia bahwa orang itu minta tolong kepadanya agar suka membuka belenggu itu.

Teringatlah Kwan Cu akan sebuah dongeng yang dibacanya dari buku kuno, dongeng yang terjadi di tanah barat. Di dalam dongeng itu diceritakan betapa seorang anak laki-laki membebaskan seorang jin dari belenggu, akan tetapi setelah dibebaskan, jin itu bahkan hendak memakan anak itu. Dongeng itu singkatnya begini:

Seorang bocah nelayan menjala ikan di laut. Tersangkut di dalam jalanya bukannya ikan-ikan besar, melainkan pundi-pundi yang tertutup mulutnya. Karena ingin tahu apa isinya, dibukanya sumbat mulut pundi-pundi itu. Apa isinya? Bukan emas permata atau harta benda, melainkan asap hijau yang bergulung ke atas kemudian membentuk ujud yang mengerikan, yakni seorang jin raksasa.

Kemudian jin raksasa itu hendak menjadikan anak itu sebagai mangsanya. Anak itu mendapat akal dia berpura-pura heran dan tidak percaya bahwasannya seorang raksasa begitu besar bisa masuk ke dalam pundi-pundi yang demikian kecilnya. Dikatakannya kalau raksasa itu mau membuktikan bahwa benar-benar ia dapat masuk ke dalam pundi-pundi, baru dia mau percaya bahwa raksasa itu seorang jin dan dia mau dimakan tanpa perlawanan.

Jin raksasa itu tertawa bergelak dan berubah menjadi asap, lalu masuk ke dalam pundi-pundi itu. Anak itu cepat mengambil sumbat dan menutup pundi-pundi kembali seperti tadi sehingga jin itu tidak dapat keluar, kemudian dibuangnya pundi-pundi itu ke dalam laut kembali!

Kwan Cu teringat akan dongeng itu. Raksasa yang terbenam di dalam laut ini apakah seorang jin pula? Kalau nanti raksasa ini hendak memakannya, tidak ada akal baginya untuk menyelamatkan diri. Akan tetapi aku bukan anak penakut, pikirnya. Kalau dia bermaksud jahat, aku sanggup melawannya. Orang tinggi besar yang bertenaga kuat seperti dia ini, belum tentu mempunyai kecerdikan. Bukankah dia begitu bodoh sehingga setelah kedua tangannya dibelenggu, dia mandah tinggal di dalam air dan tidak bisa keluar dengan jalan kaki di darat? Ia bodoh sekali dan kasihan, sebagai manusia terhadap manusia lain, aku harus menolongnya.

Bukankah dia juga seorang manusia? Dengan berpikir demikian, Kwan Cu mulai berusaha untuk membuka belenggu tangan raksasa itu. Ia melihat betapa bibir yang tebal itu tersenyum ramah ketika dia mulai berusaha membuka belenggu. Agaknya orang hitam besar ini gembira melihat Kwan Cu sudah mengerti akan kehendaknya dan mau melepaskannya daripada belenggu.

Akan tetapi, dalam usahanya mengerahkan tenaga, perahu yang diinjaknya bergoyang-goyang sehingga tenaga Kwan Cu buyar, kedua kakinya harus mempunyai landasan yang kuat dan keras. Tanpa banyak pikir lagi dia lalu melompat turun dari perahu ke air. Akan tetapi, segera pemuda ini gelagapan dan kena minum banyak air!

Kwan Cu cepat mengerakkan tangan menangkap pinggir perahunya dan cepat mengayun tubuhnya naik kembali ke dalam perahu. Ia menyumpah-nyumpah, memaki-maki diri sendiri.

“Bodoh! Tolol! Mengapa aku lupa bahwa raksasa ini bertubuh tinggi sekali? Dia boleh jadi tidak tenggelam ke air hanya sampai ke lehernya, akan tetapi bagiku tentu terlalu dalam.”

Hampir saja dia tenggelam di dalam air yang ternyata masih amat dalam itu! Kwan Cu memutar otaknya. Rantai besi yang mengikat tangan raksasa itu cukup kuat. Ia percaya akan dapat mematahkannya kalau saja dia mendapat landasan kaki yang kuat. Dari atas perahu amat sukar, kalau terlampau banyak dia mengerahkan tenaga, perahu yang diinjaknya itu bergoyang dan meluncur pergi.

“Mari kita mendarat!” katanya berulang-ulang kepada kepala itu sambil menuding ke pantai. “Disana akan kulepaskan belenggumu. Kau akan bisa berjalan ke sana?”

Akan tetapi raksasa itu hanya mengeleng-gelengkan kepalanya sambil memperlihatkan sepasang lengannya yang terbelenggu, seakan-akan hendak berkata bahwa dengan kedua tangan terbelenggu, tak mungkin dia berjalan ke darat.

Alangkah gobloknya, Kwan Cu menyumpah-nyumpah dengan gemas. Akhirnya dia mendapat akal. Raksasa itu berdiri di dalam air dengan teguh dan kokohnya seperti batu karang. Mengapa dia tidak menggunakan tubuh raksasa ini sebagai landasan kakinya? Setelah berpikir demikian, dia melompat dari dalam perahu, menubruk ke arah raksasa itu dan bergantung pada pundak yang lebar itu, kedua kakinya hanya sampai di perut!

Cepat Kwan Cu menginjakkan kedua kakinya pada pinggang raksasa itu tanpa mempedulikan protes dari si raksasa dan kini kedua tangannya dapat bekerja baik. Ketika dia mengerahkan tenaga beberapa lamanya, akhirnya terlepaslah belenggu itu!

“Yoleihi, yoleihi!” raksasa itu berkata keras berkali-kali dan kelak tahulah Kwan Cu bahwa raksasa itu bermaksud menyatakan terima kasih kepadanya.

Setelah itu, raksasa hitam itu lalu berenang ke tepi pantai dengan gerakan kedua lengannya yang kuat.

“Tolol, dia begitu tinggi, mengapa tidak mau berjalan kaki saja ke pantai ketika tangannya terbelenggu tadi, sebaliknya menanti tangannya bebas untuk dapat berenang ke darat? Tolol sekali orang itu.”

Sambil bersungut-sungut ini, Kwan Cu mendayung perahunya ke darat dan setelah dia tiba di darat, barulah dia melihat kenyataan yang membuat pemuda ini menghentikan makiannya terhadap si raksasa, sebaliknya dia tiada hentinya memaki diri sendiri sebagai orang bodoh dan tolol dengan hati geli.

Ternyata bahwa raksasa itu setibanya di darat, sibuk menggunakan sepasang tangannya yang kuat untuk melepaskan belenggu yang mengikat pergelangan kedua kakinya. Itulah sebabnya mengapa tadi dia berdiri saja di laut dan tidak berdaya sama sekali. Untuk berjalan ke darat, kedua kakinya terikat, untuk berenang, sepasang lengannya terbelenggu!

Ketika Kwan Cu mendarat dan menarik perahunya ke pantai, raksasa itu masih sibuk menarik-narik belenggu yang mengikat kakinya. Melihat ini, Kwan Cu lalu mendekati dan menggunakan tangannya membantu. Sekali renggut saja, terlepaslah belenggu itu.

“Yoleihi, yoleihi…! Dasa alihee teelu…” kata raksasa itu dengan pandang mata kagum sekali.

Ia menyatakan terima kasih dan kagum akan kekuatan Kwan Cu yang dengan sekali renggut telah berhasil mematahkan kakinya. Akan tetapi Kwan Cu tidak memperhatikan kata-kata raksasa ini karena dia memang tidak mengerti artinya sama sekali. Sebaliknya dia kini mengagumi apa yang dilihatnya di dalam cahaya bulan.

Pertama-tama dia kagum sekali melihat raksasa hitam yang kini sudah berdiri di hadapannya dengan kedua kaki terpentang. Biarpun dia telah dapat menduganya, namun melihat tubuh raksasa ini kurang lebih dua setengah atau tiga kali manusia biasa dengan lengan berbulu dan otot-otot memenuhi tubuh yang bidang dan kuat sekali. Rambutnya hanya sedikit, diikat di tengah-tengah kepala dan pakaian yang menutup tubuh hanyalah sehelai cawat dan ikat pingang, terbuat dari pada kain yang tebal.

Selain bentuk tubuhnya yang besar dan tinggi, selebihnya tidak ada yang luar biasa, melainkan sama saja dengan orang biasa. Raksasa itu memandang kepada Kwan Cu dengan ramah, kemudia dia mengulur tangannya dan memegang tangan pemuda ini.

Kwan Cu terkejut dan teringat akan dongeng tentang jin, akan tetapi dia tidak takut lagi. Di darat dia tak usah takuti raksasa ini dan dia lalu teringat bahwa raksasa itu terbelenggu di tengah laut tentu ada sebabnya. Atau lebih tepat, tentu ada orang lain yang melakukan hal itu. Dengan demikian besar sekali kemungkinannya bahwa di pulau yang aneh ini tentu terdapat makhluk lain yang jahat, karena hanya orang jahat saja yang mau melakukan siksaan terhadap raksasa ini dengan membelenggu kaki tangannya dan membiarkan dia terbenam di dalam laut.






Tidak ada komentar :