*

*

Ads

Minggu, 13 Januari 2019

Pendekar Sakti Jilid 083

Kwan Cu menghentikan gerakan dayungnya dan memandang ke sekeliling dengan bingung. Tak salah lagi tadi kelompok pulau itu berada di depan, mengapa sekarang tiba-tiba lenyap? Hal ini pun akibat permainan matahari yang membuat kepulauan itu lenyap ditelan uap putih yang membubung naik dari laut sehingga pandang mata pemuda itu tak dapat menembusnya dan membuat kelompok kepulauan itu tidak kelihatan olehnya.

Kwan Cu teringat akan kata-kata Kong Hoat tentang keanehan lautan ini maka dia tersenyum dan berkata,

“Memang aneh sekali. Akan tetapi biarlah, aku harus melanjutkan dan mengambil jurusan yang berlawanan dengan matahari, siapa tahu kalau-kalau kepulauan tadi akan mucul pula setelah puas menggodaku.”

Pemuda yang tabah ini lalu mendayung terus dan mulai berpeluh karena matahari telah membakar kulitnya. Tiba-tiba terdengar suara yang aneh dan gemuruh yang mengerikan dari arah kiri. Kwan Cu yang tidak bisa berlayar, tidak tahu suara apakah itu. Ia menghentikan gerakan dayungnya, akan tetapi setelah dia memandang ke sekelilingnya dia tidak melihat sesuatu, hanya nampak awan-awan hitam di arah selatan dan timur. Kembali terdengar suara itu, kini lebih hebat lagi dan Kwan Cu merasa seakan-akan suara itu timbul dari dasar laut.

“Hebat! Suara siapakah itu? Suara Hai-liong-ong (Naga Raja Laut) ataukah suara makhluk lain yang hebat? Hem, benar-benar luar biasa hebat alam ini, besar dan berkuasa!”

Ia merasa dirinya amat kecil tak berarti dan lambat-laun timbul juga kengerian dalam hatinya, sesungguhpun tak boleh dibilang bahwa Kwan Cu merasa takut. Namun, dia merasa lebih tenang andaikata Ang-bin Sin-kai gurunya berada di situ bersamanya pada saat itu.

Ia teringat akan suhunya dan diam-diam ia tertawa dengan hati penuh kasih sayang kepada suhunya itu. Suhunya seorang manusia aneh yang kuat dan hebat seperti lautan ini.

Kembali terdengar suara gemuruh dan kini suara ini terdengar begitu hebat sehingga Kwan Cu tidak tahan untuk tidak menengok ke belakang. Tiba-tiba anak muda ini memandang dengan mata terbelalak ke arah kiri. Dari tengah lautan yang tidak bertepi itu dia melihat sesuatu yang tinggi dan panjang datang bergulung kepadanya. Sesuatau yang nampak belang-belang putih hitam, seperti seekor naga.

“Naga laut…” bisiknya sambil menahan napas.

“Hai-liong-ong…” kata suara hatinya penuh kengerian.

Memang hebat sekali penglihatan pada waktu itu. Dari arah kiri, datang benda itu, makin lama makin panjang dan besar, dan biarpun benda itu masih jauh, telah datang angin bertiup keras, membuat air di depan perahu bergelombang.

Gelombang makin besar dan tiba-tiba Kwan Cu merasa terkejut sekali karena berbareng dengan suara gemuruh seperti derap kaki ribuan ekor kuda di samping suara lengking tinggi panjang seperti suara ribuan batang suling yang ditiup secara aneh seperti kalau Yok-ong meniup suling, perahunya terangkat tinggi-tinggi dan permukaan laut tiba-tiba naik tinggi sekali, lalu turun lagi seperti kalau di daratan terjadi gempa bumi yang hebat.

Dan kini benda panjang seperti naga itu telah datang dekat, membawa bunyi gemuruh dan tahulah Kwan Cu dengan hati tidak karuan rasanya bahwa yang disangka naga itu sebenarnya adalah gelombang laut hebat!

“Celaka!” serunya dan dia mencoba untuk menahan keseimbangan perahunya dengan dayung.

Akan tetapi, di dalam tangan samudra yang besar kuat dan hebat tenaganya itu, tenaga Kwan Cu merupakan tenaga seekor semut bagi seorang raksasa. Perahu berikut Kwan Cu masih memegang dayung terputar-putar, membuat kepala pemuda itu menjadi pening sekali.

Namun dia masih dapat berlaku tenang dan cepat Kwan Cu melemparkan dayungnya ke dalam perahu, dan dengan kedua tangan dia memegangi ombak laut dan satu-satunya harapan baginya adalah perahunya itu. Biarpun perahunya akan terbalik, tetap saja perahu kayu itu takkan tenggelam dan akhirnya tentu akan terapung juga. Kalau dia tidak terlepas dari perahu, dia masih ada harapan untuk menyelamatkan dirinya.

Tiba-tiba, sebuah gelombang atau lebih tepat disebut anak gelombang yang nakal memegang perahu dan melontarkannya ke atas bagaikan seorang anak kecil melontarkan sebutir batu kerikil saja.

Perahu terlempar ke atas. Dayungnya terlempar keluar dan karena dayung itu terbuat dari baja, maka benda ini jatuh lebih dulu, ditelan gelombnag dan agaknya akan menjadi tontonan bagi penghuni laut.






Adapun Kwan Cu yang ikut terlempar ke atas, hampir saja direnggutkan keluar dari perahu pula. Baiknya dia berlaku gesit dan cepat, kedua tangannya memeluk perahu sekuat tenaga dan agaknya hanya maut saja yang kuasa merenggutnya terlepas dari perahu itu!

Mati hidup aku harus bersama perahuku ini, pikirnya nekat. Perahu bersama Kwan Cu terhempas kembali ke dalam air, disambut oleh gelombang, diputar-putarkan, dipermainkan, dikocok ke sana ke mari dengan hebatnya. Kwan Cu masih memeluk perahu, kadang-kadang ia berada di atas perahu, kadang-kadang dia berada di bawah perahu dan hanya dapat menahan napas lalu berusaha membalikkan tubuhnya sehingga berhasil di atas perahu, kadang-kadang dia dan perahunya lenyap ditelan gelombang dan timbul pula di tempat lain.

Siksaan ini dibarengi dengan bunyi-bunyian yang luar biasa dan yang membuat pemuda itu merasa seakan-akan dia telah berada di dasar neraka. Satu keanehan terjadi. Ketika dia dipermainkan oleh gelombang menderu, tiba-tiba dia teringat akan sesuatau dan seakan-akan terbayang dalam ingatannya suatu pengalaman yang hampir sama dengan pengalaman yang sedang dia alami sekarang ini.

Tiba-tiba saja teringatlah dia betapa dia pernah menjadi permainan gelombang dan ombak seperti ini, teringat pula betapa orang-orang sekapal telah tenggelam ditelan gelombang, betapa kapal itu karam dan membawa pula dua orang yang kini terbayang di depan matanya.

“Ayah…! Ibu…!” tiba-tiba Kwan Cu memekik keras.

Kini terbayanglah seorang laki-laki dan seorang wanita dan baru sekarang dia tahu bahwa wajah-wajah ini adalah wajah-wajah ayah bundanya yang tewas dalam amukan gelombang! Tahulah dia sekarang mengapa dia ditemukan oleh Ang-bin Sin-kai dan Jeng-kin-jiu dan dianggap sebagai “anak laut”. Ayah bundanya tewas di lautan dan agaknya dia sendiripun akan mengalami nasib yang sama.

“Ayah…. Ibu…. tolonglah anakmu…” ia berbisik.

Kemudian timbul marahnya kepada gelombang dan laut.
“Kakek laut tak mungkin kau dapat menewaskan aku!” pekiknya nyaring sambil memeluk perahu itu erat-erat.

Sebagai jawaban, sebuah gelombang yang besar mengangkat perahunya dan melemparkan perahu itu ke atas jauh dari situ. Kwan Cu ikut terlempar, akan tetapi kini terbangun semangatnya untuk melawan gelombang yang sudah menewaskan kedua orang tuanya, timbul semangatnya untuk berjuang menghadapi kekuatan alam ini, untuk hidup.

“Kakek gelombang, setelah membunuh orang tuaku, tak mungkin kau dapat membunuhku pula. Orang tuaku akan mencegahmu!” teriaknya berkali-kali.

Kwan Cu bagaikan gila. Biarpun dia diterima oleh gelombang lain, dilemparkan dan diterima kembali seperti sebuah bal dalam sebuah permainan serombongan anak-anak nakal, dia tetap bersemangat, bahkan kini dia tidak merasa takut sedikitpun juga. Rasa takutnya berubah menjadi kegembiraan!

“Kakek laut, mari kita bermain-main!” serunya berkali-kali. “Mari kita berkelahi sebagai laki-laki kalau kau memang jantan!”

Demikianlah, biarpun sedang dipermainkan oleh gelombang laut dan taufan menghebat, sedikitpun Kwan Cu tidak merasa takut, sebaliknya dia menantang dan merasa gembira.

Hal inilah yang sesungguhnya menolong nyawanya. Orang-orang yang menghadapi maut, kalau dia dapat berlaku tenang dan tak putus asa, akalnya akan bertambah dan dia tidak menjadi gugup. Demikianpun Kwan Cu, kegembiraan dan semangatnya membuat dia tahan menderita, bahkan tenaganya menjadi besar dan kini dia mulai mempergunakan kaki tangannya untuk memukul dan mendorong ombak, mencari jalan bagi perahunya agar meluncur ke tempat yang aman.

Memang, kalau diperhatikan di antara gelombang yang menghebat itu, terdapat air yang tenang yakni air yang berada diantara dorongan dua gelombang yang membalik. Kwan Cu berjuang mati-matian dengan hati gembira, sambil menantang-nantang gelombang dan akhirnya dia berhasil mendorong perahunya ke tempat yang agak aman, yakni yang gelombangnya tidak begitu besar.

Ia berhasil membalikkan perahunya dan duduk di dalam perahu. Memang betul di situ masih ada ombak menyerang, akan tetapi dengan kedua tangannya di pinggir perahu menekan-nekan dan mendorong-dorong air, dia dapat mencegah perahunya berputar dan dapat beristirahat sejenak setelah menjadi permainan ombak yang membuat tenaganya habis dan tubuhnya lelah sekali.

Ia tidak tahu bahwa gelombang tadi telah membawa perahunya ke tengah laut dan telah membawa dia jauh sekali dari tempat di mana dia bertemu dengan taufan. Juga Kwan Cu tidak merasa lagi bahwa dia tadi telah berhadapan dengan maut dalam waktu yang amat lama.

Tiba-tiba saja seperti datangnya, taufan berhenti, laut tenang sekali. Kwan Cu tidak tahu bahwa gelombang tadi sebetulnya hanya “lewat” saja dan kini taufan yang mengamuk itu masih mengamuk hebat di tempat lain. Setelah air laut menjadi tenang, tenang pula hati Kwan Cu dan barulah pemuda ini tahu bahwa amukan taufan tadi begitu lama sehingga waktu itu telah menjelang senja! Hal ini dapat dia duga dari keadaan matahari yang telah tenggelam di barat, meninggalkan sinar melayu dan di timur sudah nampak bulan pudar seperti wajah seorang dara jelita yang sedang sakit dan pucat.

Langit bersih sekali, laut tenang dan benar-benar mengherankan. Tiba-tiba Kwan Cu menjadi muak dan tak tahan pula dia muntah-muntah di luar perahu. Tadi di waktu di ombang-ambingkan oleh gelombang, dia merasa gembira, kini setelah keadaan menjadi tenang, dia bahkan merasa tidak enak dan mual sekali.

Akan tetapi, tidak banyak yang dimuntahkan karena semenjak malam tadi, semenjak makan daging ikan Kilin bersama Kong Hoat dan ibunya, dia tidak makan apa-apa lagi. Perutnya mulai berkeruyuk minta isi, akan tetapi di tengah laut itu, dari mana dia bisa mendapatkan makan? Ia teringat akan daun Liong-cu-hio pemberian Liok-te Mo-li. Tak terasa tangannya meraba punggung dan dia girang sekali ketika mendapat kenyataan bahwa bungkusan pakaiannya masih terikat di punggung dan bahwa bungkusan daun mujijat itu pun masih berada di situ, sungguhpun kesemuanya itu basah kuyup seperti tubuh dan pakaiannya yang dipakainya.

Tiba-tiba, bagaikan sebuah layar hitam dibuka yang tadinya menyembunyikan sesuatu yang dirahasiakan, dia melihat bayangan sebuah pulau yang penuh dengan pohon-pohon tinggi besar. Ia menjadi girang bukan main. Di sanalah terdapat makanan, pikirnya.

Dengan penuh semangat, Kwan Cu lalu mempergunakan kedua tangannya untuk digerakkan seperti dayungnya. Perahu meluncur ke depan, menuju pulau itu, makin terheran-heranlah Kwan Cu. Ketika tadi untuk pertama kalinya dia melihat pulau itu, pohon-pohon yang telah kelihatan amat besar dan karenanya dia menjadi dan mengira bahwa pulau itu tentulah sudah dekat, akan tetapi, biarpun perahunya jelas mendekati pulau dan daratan makin nampak nyata, ternyata bahwa pulau itu masih jauh dan kini pohon-pohon telah kelihatan begitu besar sampai-sampai Kwan Cu beberapa kali menggosok kedua matanya.

“Apakah aku bermimpi? Ataukah mataku yang sudah tidak beres lagi? Kalau tidak bermimpi dan mataku tidak rusak, tentu otakku yang sudah menjadi berubah dan tidak waras lagi!”

Tidak mengherankan kalau Kwan Cu berkata demikian, karena apa yang dilihatnya memang sukar untuk dapat diterima oleh akal sehat. Setelah perahunya makin dekat, dia melihat daratan yang luar biasa luasnya dan yang paling hebat adalah pohon-pohon yang dari jauh sudah nampak besar-besar tadi. Kini setelah dekat, pohon-pohon itu ternyata luar biasa besarnya dan biarpun Kwan Cu sudah banyak merantau dengan suhunya serta sudah sering kali memasuki hutan-hutan besar liar di mana tumbuh pohon-pohon besar yang sudah ratusan tahun usianya, namun selama hidupnya belum pernah dia menyaksikan pohon-pohon sebesar yang tumbuh di pulau itu!

Makin dekat, makin heranlah dia karena nampak kehijauan yang tinggi seperti alang-alang! Pulau setan apakah yang berada di hadapanku itu? Akan tetapi tidak dapat lama dia mengagumi dan mengherankan pemandangan di atas pulau yang ternyata luas sekali itu, karena cuaca telah menjadi gelap dan kini yang nampak hanyalah pohon-pohon raksasa yang kelihatan tinggi besar dan hitam menyeramkan dengan latar belakang langit yang pucat.

Kwan Cu sudah lelah sekali, bukan karena kehabisan tenaga karena pemuda yang sudah mendapat gemblengan hebat dari Ang-bin Sin-kai ini telah dapat mengatur pernapasannya sehingga tenaganya telah kembali pulih lagi.

Akan tetapi, perutnya yang lapar dan perih itulah yang membuatanya lemas dan letih kalau saja dia tadi tidak muntah-muntah, agaknya dia takkan begitu letih. Sudah seringkali dia berpuasa, tiga hari tiga malam tidak makan saja baginya belum apa-apa.






Tidak ada komentar :