*

*

Ads

Minggu, 13 Januari 2019

Pendekar Sakti Jilid 082

“Nanti dulu, kau boleh mempergunakan dayung simpananku yang paling baik,” kata Kong Hoat yang segera berlari ke belakang.

Tak lama kemudian dia kembali membawa sebatang dayung berwarna hitam yang panjang dan berat.

“Dayung ini jauh lebih baik dari pada lima batang dayung biasa.” kata Kong Hoat gembira, “Kau seorang pemuda gagah perkasa, amat cocok memegang dayung ini, saudara Kwan Cu.”

Kwan Cu menerima dayung itu dan ternyata bahwa dayung itu terbuat dari pada baja hitam yang kuat sekali. Selain dapat digunakan sebagai dayung, juga dapat dipergunakan sebagai senjata yang boleh diandalkan.

“Terima kasih saudara Kong Hoat. Kau baik sekali dan mudah-mudahan saja aku akan mendapat kesempatan membalas budimu yang baik ini.” Kata Kwan Cu girang.

Kong Hoat lalu memberikan perahunya kepada Kwan Cu, bahkan membantu Kwan Cu mengangkat perahu itu ke pinggir dan menurunkannya di air. Matahari baru nampak sinarnya yang kemerahan di permukaan laut, akan tetapi raja siang itu sendiri belum memperlihatkan dirinya yang agung.

“Ingat, saudara Kwan Cu, dalam bulan ini angin bertiup dari selatan menuju ke utara dan ombak yang paling dahsyat terdapat di mulut Laut Po-hai. Bagian barat tidak berbahaya akan tetapi kalau kau memasuki Laut Po-hai hati-hati jangan kau membiarkan perahumu mendekati kepulauan yang berada di sebelah utara dekat mulut Sungai Yalu, karena di situ terdapat pulau-pulau aneh yang amat berbahaya, selain itu, terdapat pula batu-batu karang yang sukar dilalui perahu. Itu semua masih belum hebat, karena sebelum tiba di daerah berbahaya itu, kau akan berhadapan dengan ikan-ikan hiu yang amat liar dan ganas.”

“Terima kasih atas segala nasihatmu, saudara Kong Hoat, akan kuingat baik-baik semua nasihat itu,” jawab Kwan Cu.

Tiba-tiba nenek tua Liok-te Mo-li datang berlari-lari. Tangannya membawa bungkusan kuning dan ia berkata kepada Kwan Cu,

“Kau seorang pemuda yang berani, dan sebagai tamuku, sudah semestinya kalau aku memberi sedikit bekal. Nah, kau terimalah beberapa helai daun Liong-cu-hio (Daun Mustika Naga) ini untuk bekal di tengah pelayaranmu yang berbahaya itu.”

Sambil berkata demikian, nenek itu memberikan bungkusan kuning kepada Kwan Cu. Kwan Cu menerimanya sambil menghaturkan terima kasih. Akan tetapi ketika dia teringat akan nama daun itu sebagai daun ajaib, yang membunuh jangkrik-jangkrik malam tadi, dia menjadi ngeri.

“Maaf, suthai, biarpun teecu berterima kasih sekali, akan tetapi tolonglah menerangkan kepada teecu yang bodoh tentang khasiat daun-daun ini untuk teecu. Terus terang saja teecu masih merasa ngeri apabila melihat keliahaian daun ini. Sekarang suthai memberi bekal ini, bagaimanakah teecu harus mempergunakannnya?”

Liok-te Mo-li tertawa berkikikan.
”Memang, siapa orangnya yang takkan merasa ngeri? Memegang saja tanganmu akan menjadi hangus! Akan tetapi ada daya penolaknya, anak muda, sebelum kau memegang daun-daun ini, kau basahi kedua tanganmu dengan air laut lebih dulu. Air garam itu mempunyai daya untuk menolak racun yang keluar dari daun-daun itu. Pada saat kau menghadapi bahaya dari ikan-ikan buas, kau lemparkan saja daun-daun ini ke air dan karena air laut menutupi racun daun, tentu ikan-ikan itu tidak mengetahui akan bahayanya daun-daun ini dan mereka akan menelannya mentah-mentah. Dan kalau mereka kemasukan daun-daun ini di dalam perutnya, ha-ha-ha, kau akan melihat pesta yang hebat akan tetapi terhindar dari ancaman ikan-ikan itu. Nah, selamat kau akan berlayar, anak muda. Apabila bertemu dengan gurumu, katakan bahwa Liok-te Mo-li masih hidup dan mengharapkan dapat bertemu dengan dia.” Sambil tertawa-tawa nenek itu lau berlari pergi meninggalkan Kwan Cu dan Kong Hoat.

“Selamat saudara Kwan Cu. Ternyata ibuku amat suka kepadamu, kalau tidak demikian tidak mungkin kau akan diberi daun Liong-cu-hio itu. Kau tahu, dia amat sayang kepada daun-daun aneh itu dan agaknya dia rela mengorbankan nyawa untuk menjaga daun-daun itu. Sekarang atas kehendak sendiri ia memberi daun-daun kepadamu, itu pertanda bahwa kita memang berjodoh. Harap kau berhasil dengan usahamu, saudaraku yang baik.”

Kwan Cu terkejut dan memandang dengan mata mengandung penuh pertanyaan kepada pemuda tinggi besar itu. Kong Hoat tertawa bergelak dan kembali kedua matanya mengucurkan air mata!

“Jangan heran, kawanku. Kami bukanlah orang jahat dan juga orang-orang terlalu bodoh. Ibu dan aku sudah dapat menduga bahwa kau tentu mencari sesuatu atau setidaknya mengandung maksud tertentu sehingga kau berani berlayar menuju ke pulau-pulau aneh itu. Kalau tidak demikian, sungguh hanya seorang yang miring otaknya yang mau pergi berlayar ke sana tanpa tujuan tertentu. Dan kami tahu betul bahwa kau tidak berotak miring, bahkan cerdik sekali.”






“Akan tetapi, alasan itu tidak cukup untuk membuat kalian menduga bahwa kau pergi dengan tujuan sesuatu,” Kwan Cu membantah.

“Sahabat baik, kau kira kami orang-orang yang tidak bertelinga? Sudah biasanya bahwa tempat-tempat yang aneh dan berbahaya terdapat barang-barang yang aneh dan berbahaya pula. Mustika yang paling baik adalah mustika naga. Gigi yang baik adalah gigi harimau, dan tanduk yang paling kuat adalah tanduk di mulut gajah. Kami sudah mendengar bahwa di pulau-pulau yang amat aneh dan berbahaya itu terdapat barang-barang aneh dan amat berharga. Aku sendiri kalau tidak ditahan oleh ibuku, sudah lama menyelidiki keadaan pulau-pulau aneh itu.”

Ketika mengeluarkan kata-kata ini, Kong Hoat nampak kecewa sekali. Akan tetapi dia segera menyambungnya,

“Apapun juga yang kupikirkan, memang ibu lebih benar. Kepandaianku belum cukup untuk dapat kupergunakan menyelidiki pulau-pulau yang berbahaya itu, berbeda dengan kau, saudara Kwan Cu. Kepandaianmu amat tinggi, bahkan lebih tinggi daripada kepandaian ibu sendiri, maka hanya kaulah yang kiranya akan dapat mendatangi pulau itu dengan berhasil.”

“Kau terlalu memuji, saudara Kong Hoat. Akan tetapi biarlah pujianmu itu kuangggap sebagai doamu dan terima kasih banyak atas keramahanmu dan juga sampaikan terima kasihku kepada ibumu mudah-mudahan kita akan dapat bertemu kembali kelak.”

Setelah berkata demikian, Kwan Cu mulai mendayung perahunya ke tengah, dipandang oleh Kong Hoat yang berdiri bagaikan raksasa muda, dengan kedua kakinya dipentang lebar dan kedua tangannya di pinggang. Pemuda ini merasa iri hati dan ingin sekali dia dapat mengggantikan Kwan Cu berlayar menuju pulau-pulau yang penuh rahasia itu.

Dayung pemberian Kong Hoat memang baik sekali. Dayung ini panjang berat dan ujungnya lebar serta cekung sehingga sekali saja mendayung, perahu bergerak maju dengan pesatnya. Kwan Cu merasa gembira sekali dan setelah beberapa kali menggerakkan dayungnya, perahunya meluncur bagaikan anak panah terlepas dari busurnya.

Pemandangan indah sekali. Permukaan air bagaikan kaca, diam tak bergerak dan berkilauan, berwarna hijau kemerahan karena sinar matahari yang merah terbayang di permukaan air.

Air yang diterjang oleh kepala perahunya pecah menjadi dua seperti sutera digunting. Tenaga dayungnya demikian kuat sehingga air pecah oleh perahunya tidak mengeluarkan suara.

Perahunya meluncur cepat tanpa bergoyang, enak dan nyaman sekali. Kehidupan di laut nampak mati tiada seekor pun burung laut terbang di atas air, tiada seekor pun ikan nampak bergerak di permukaan laut. Benar -benar hening dan sunyi menimbulkan suasana yang menyeramkan, seakan-akan laut itu berubah menjadi alam maut yang tiada ujungnya.

Namun Kwan Cu tidak merasa takut. Biarpun dia tidak pernah berlayar dan tidak pernah berada di laut, hatinya berdebar penuh ketegangan. Ia teringat bahwa dia dianggap sebagai “anak laut” oleh Ang-bin Sin-kai dan Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu, dua kakek yang menemukan dia terlempar oleh ombak samudra.

Agaknya kenangan inilah yang membuat Kwan Cu selalu berdebar aneh apabila dia teringat akan laut. Kini setelah dia mendapatkan dirinya terapung di atas laut seorang diri di dalam perahunya, dia merasa seakan-akan dia telah kembali ke alam asalnya dari mana dia datang!

Setelah matahari mulai nampak di permukaan laut, merupakan bola besar berwarna merah yang bernyala-nyala, kehidupan mulai tampak. Air yang tadinya “tidur” mulai bergerak sedikit dan di kanan kirinya mulai kelihatan air itu berkeriput. mulai terdengar suara mencicit dari burung-burung laut yang berterbangan di atas air, menyambar-nyambar ke air mencari mangsa pengisi perut.

Mulai terdengar air berkecipak kalau ada ikan yang mulai “mandi” cahaya matahari di permukaan air. Mulai kelihatan kehidupan di dalam air melalui sinar matahari, karena kini makin banyaklah kelihatan ikan berenang ke sana ke mari seperti kesibukan orang-orang yang bangun dari tidur dan mulai dengan pekerjaan masing-masing.

Melihat semua ini, Kwan Cu tertarik sekali dan dia menghela napas berulang-ulang. Ia ingat akan ajaran-ajaran dari Gui Tin atau Gui-siucai yang sudah meninggal dunia. Gurunya itu dahulu seringkali mengajarkanya tentang filsafat hidup, tentang ujar-ujar para cerdik pandai di jaman dahulu.

Alam itu kekal abadi
karena hidup bukan untuk diri pribadi

Ucapan di atas itu dari Nabi Lo Cu dan kini Kwan Cu menyaksikan betapa hebatnya dan besarnya alam dunia. Hidup dekat dengan masyarakat, yakni dengan sesama manusia, ucapan ini takkan ada artinya atau setidaknya takkan kelihatan isi atau inti sarinya. Ini dikarenakan manusia memang hidup penuh nafsu dan selalu melakukan sesuatu dengan tujuan demi kepentingan diri pribadi. Mementingkan diri pribadi inilah sumber dari pada segala malapetaka yang terjadi di antara manusia.

Kini, setelah berada seorang diri di atas lautan, Kwan Cu terbuka matanya dan dia melihat dan mengakui kebesaran alam yang kekal abadi, melihat pula apa maksud kata-kata pujangga atau Nabi Lo Cu tentang alam yang hidup bukan untuk kepentingan diri pribadi.

Lihat saja matahari itu. Dia muncul dan tenggelam sesuai dengan tugasnya yang sudah ditentukan oleh Yang Maha Kuasa. Dia melakukan tugasnya, semata-mata untuk memberi atau menjadi kegunaan bagi setiap yang membutuhkannya, sedikit pun tidak pernah meminta, itulah sang matahari.

Lihatlah lautan bebas, pusat kehidupan, tidak saja pusat kehidupan berjuta macam ikan dan benda hidup lainya, juga pusat kehidupan manusia dan makluk di darat. Dari laut datangnya zat kehidupan, karena dari lautlah datangnya air di darat. Akan tetapi, seperti matahari sifatnya, laut pun tak pernah meminta, hanya memberi sifat alam yang suci. Alam memberi, memberi dan memberi, tak pernah meminta.

Segala sesuatu di alam ini, dapat di pergunakan oleh manusia, bahkan setelah manusia mati, bumi masih memberi tempat untuk menyelimuti jenazahnya!

Melihat burung beterbangan di angkasa dan ikan-ikan berenang di dalam air dengan bebas dan senangnya, tersenyumlah Kwan Cu. Mengapa justeru burung diberi sayap sehingga pandai terbang di angkasa sedangkan ikan diberi kesanggupan hidup di dalam air? Alangkah besar perbedaan antara kedua jenis binatang ini dan mereka ini keduanya adalah makluk hidup!

Alangkah besar kekuasaan Thian, alangkah indahnya alam dan isinya, alangkah gaib dan penuh rahasia mujijat yang luar biasa hebatnya adalah pekerjaan Thian. Dan dia, seorang manusia, seorang makluk jenis lain pula, kini saksi segala keindahan itu.

Sambil menikmati kehebatan pembukaan kebesaran alam di depan matanya Kwan Cu melanjutkan gerakan dayungnya, menuju ke arah kelompok pulau terdekat yang nampak dari situ sebagai bayang-bayang membiru. Hatinya diliputi kesegaran semangat dan kegembiraan. Dorongan aneh membuat dia demikian girang sehingga pemuda ini sambil mendayung perahunya lalu bernyanyi!

Menjelang tengah hari belum juga perahunya tiba di kelompok pulau yang sudah kelihatan semenjak pagi tadi. Kwan Cu terheran-heran. Pulau-pulau itu tidak juga berubah. Apakah perahunya tidak bergerak maju? Tidak mungkin, pikirnya. Memang karena di seluruh penjuru perahu hanya kelihatan air belaka, nampaknya perahu itu tidak bergerak. Akan tetapi kalau dilihat air yang terpecah oleh kepala perahunya, jelas kelihatan bahwa perahunya bergerak dengan pesat ke depan.

Inilah keanehan pertama yang dialami oleh pemuda ini. Sebetulnya kelompok pulau-pulau itu masih amat jauh. Hanya sinar matahari yang menipunya sehingga kelihatannya amat dekat kelompok pulau itu.

Ia merasa penasaran dan mengerahkan tenaganya, mendayung lebih cepat lagi, ke arah kelompok pulau itu. Ia memang tidak tahu di mana letaknya pulau yang dijadikan tempat menyimpan kitab rahasia Im-yang Bu-tek Cin-keng karena di dalam kitab sejarah peninggalan Gui-suicai hanya ditulis bahwa kitab rahasia itu disimpan di dalam sebuah pulau kosong, kecil berbentuk bundar yang ditumbuhi pohon-pohon berdaun putih, yang terdapat di antara pulau-pulau besar di lautan ini.

Akan tetapi, Kwan Cu mengambil keputusan untuk mengunjungi semua pulau yang berada di situ dan akhirnya tentu dia akan dapat mencari pulau kecil bundar yang ditumbuhi oleh pohon-pohon berdaun putih itu.

Akan tetapi setelah matahari condong ke barat, terjadi keanehan kedua. Kalau tadi kelompok pulau-pulau itu tak pernah juga kelihatan makin dekat biar pun dia telah mendayung perahunya secara cepat sekali selama setengah hari, kini tiba-tiba kelompok pulau itu bahkan menghilang dari pandangan mata!






Tidak ada komentar :