*

*

Ads

Minggu, 13 Januari 2019

Pendekar Sakti Jilid 081

Kwan Cu terkejut sekali. Pemuda ini memiliki tenaga gwakang yang demikian besarnya, kalau dia ikut maju, dia akan menghadapi dua orang lawan yang sama sekali tak boleh dipandang ringan!

Akan tetapi, tiba-tiba nenek yang aneh itu tertawa berkikikan dan menghentikan serangannya.

“Kong Hoat, inilah pemuda yang ada harapan,” katanya kepada pemuda yang ternyata adalah puteranya dan bernama Kong Hoat itu. “Dia inilah murid Ang-bin Sin-kai, jago tua yang amat kukagumi.”

Kwan Cu cepat menoleh dan dia melihat seorang pemuda tinggi besar yang berwajah gagah sekali, usianya hanya lebih dua tahun dari padanya, akan tetapi mempunyai potongan tubuh yang lebih besar darinya. Ia kagum sekali melihat pemuda ini yang tertawa-tawa seperti orang yang gembira selalu.

Dengan amat hormat, Kwan Cu menjura kepada pemuda itu dan kepada nenek yang tadi menyerangnya.

“Aku yang bodoh bernama Lu Kwan Cu, murid dari Ang-bin Sin-kai. Harap dimaafkan apabila tanpa mendapat ijin, aku berani memasuki rumah ini. Kedatanganku sebetulnya atas petunjuk para nelayan di dusun Kim-le-pang, karena aku mencari sewaan sebuah perahu. Besar harapanku akan mendapat pertolongan dari Ji-wi yang mulia.”

“Kau mencari perahu, sahabat? Untuk dipakai kemanakah?” tanya Kong Hoat sambil memandang tajam. Suara pemuda ini besar dan parau dan pandangan matanya amat jujur.

Kwan Cu merasa tidak enak kalau berbohong akan tetapi dia pun tidak mungkin dapat menceritakan rahasia dan cita-citanya.

“Sesungguhnya, aku bermaksud untuk menyeberangi laut dan akan melakukan perantauan ke pulau-pulau yang berada di tengah laut. Aku mendengar dari guruku bahwa pulau-pulau itu mengandung rahasia-rahasia yang menarik hati, dan sebagai seorang pemuda, aku amat tertarik dan ingin sekali menyaksikan dengan mata sendiri.”

Kong Hoat melemparkan dayungnya ke sudut lalu pergi duduk di atas sebuah batu karang yang berada di dalam rumah.

“Aneh, aneh sekali! Tahukah kau bahwa pulau-pulau itu didiami oleh makluk-mahluk aneh yang amat berbahaya? Jangankan kau seorang diri yang masih muda, ibuku sendiripun tak berani pergi ke pulau-pulau itu.”

“Siapa yang pergi kepulau-pulau itu, sama halnya dengan mencari kematian sendiri. Hi-hi-hi, murid Ang-bin Sin-kai, kau benar-benar lucu dan aneh, lebih aneh dari pada Ang-bin Sin-kai sendiri. Kau mati sih tidak apa, akan tetapi sayang sekali karena kau masih muda dan juga tampan dan gagah. Batalkan saja kehendakmu itu.”

Mendengar ucapan ini, Kwan Cu maklum bahwa nenek itu sama sekali tidak gila, apalagi puteranya, biarpun pakaian puteranya itu tidak karuan dan amat bersahaja, yakni celana pendek sebatas lutut dan baju yang hanya sebatas siku saja lengannya.

“Terima kasih atas nasihatmu, Suthai dan kau juga, saudara. Akan tetapi, justru keanehan dan bahaya itulah yang menarik hatiku untuk mengunjunginya. Kalau sekiranya Ji-wi tidak berani mengantar, aku akan meminjam perahu Ji-wi saja atau menyewanya, dan aku akan mendayungnya seorang diri ke tempat itu.”

Kong Hoat bangkit berdiri dan membanting-banting kedua kakinya di atas tanah. Kembali terasa tanah bergoyang-goyang saking kerasnya tenaga bantingan kaki pemuda tinggi besar ini.

“Itulah, itulah! Sudah berkali-kali aku rindu akan perantauan yang banyak bahayanya, akan tetapi ibu….”

“Kong Hoat! Siapa yang melarang kau pergi? Pergilah kalau kau memang sudah tega meninggalkan ibumu mati kesunyian.”

Kong Hoat tertawa dan aneh sekali! Biarpun mulutnya tertawa, namun kedua matanya mengeluarkan air mata bercucuran! Kwan Cu berdiri bengong melihat keanehan ini? Kalau tidak gila, mengapa dia tertawa sambil mengucurkan air mata?

“Ibu, kau lucu sekali. Kau melepaskan anakmu, akan tetapi mengikat kedua kakiku dengan omongan itu. Aku mana bisa meninggalkan ibu? Biar mati aku tidak mau meninggalkan ibu tercinta!”






Dan kini nenek itulah yang menangis terisak-isak lalu menghampiri puteranya yang segera di peluknya.

“Kong Hoat, Kong Hoat, kau puteraku yang paling baik…”

Terharu hati Kwan Cu menyaksikan cinta kasih seorang ibu dan bakti seorang putera terhadap ibunya.

“Saudara Kwan Cu, kalau kau nekat hendak melakukan perjalanan berbahaya itu, kau pakailah perahuku.”

“Aku akan meyewanya, di sini aku membawa sekantong uang emas untuk menyewa perahu itu…”

Tiba-tiba nenek itu melompat dan menyerangnya dengan cengkeraman tangannya. Kwan Cu cepat mengelak dan Kong Hoat berseru,

“Ibu jangan…!” ibunya menarik kembali seranganya dan pemuda tinggi besar itu berkata kepada Kwan Cu, “Saudara, kau menghina kami! Baiknya aku ingat bahwa kau bermaksud baik, kalau tidak tentu aku akan membantu ibu membunuhmu karena kau telah menghina kami orang-orang miskin”.

“Maaf, maaf, aku tidak bermaksud menghina….” kata Kwan Cu kaget sekali.

“Kami tahu, dan karena itu sudahlah jangan bicara lagi tentang sewa perahu. Aku memberikan perahu kami kepadamu dan habis perkara! besok pagi-pagi, kau boleh berangkat dan malam ini biarlah kita bercakap-cakap sambil menanti datangnya fajar. Berangkat di waktu fajar menyingsing baik sekali, angin tenang dan tidak ada ombak. Aku pun baru saja kembali mencari ikan dan mari kita makan ikan yang kudapat dari laut.”

Kwan Cu tidak berani banyak omong lagi, khawatir kalau-kalau kesalahan bicara lagi. Kong Hoat lalu berlari keluar dan tak lama kemudian dia kembali membawa seekor ikan yang sebesar paha.

Ikan ini aneh sekali, badannya seperti ikan biasa yang bersisik besar-besar warna merah, akan tetapi kepalanya bulat dan kedua matanya berhimpitan di atas sedangkan mulutnya berada di bawah. Kepala ikan ini seperti kepala kucing, akan tetapi warna aneh, mengingatkan orang akan muka atau kepala seekor binatang suci Kilin.

“Ha, Kong Hoat, anak baik. Jadi kau berhasil menangkapnya?”

“Setelah berjuang mati-matian dari pagi sampai malam, ibu,” jawab Kong Hoat sambil tertawa bergelak dan kembali dari kedua matanya bercucuran air mata!

Kwan Cu menjadi bengong.
”Eh, saudara Kong Hoat, maafkan aku. Apakah kau mau artikan bahwa sehari semalam kau berlayar mencari ikan hanya untuk menangkap seekor ikan aneh ini?”

Kong Hoat dan ibunya saling pandang, kemudian tertawa bergelak-gelak dan kelihatan geli sekali.

“Saudara Kwan Cu, nasibmu memang baik maka datang-datang kau mendapat suguhan ikan ini. Ketahuilah, ikan seperti ini di seluruh laut kuning barangkali hanya ada beberapa puluh ekor saja. Disebutnya ikan Kilin dan selain sukar didapatkan, juga amat sukar ditangkap. Hampir aku mati kehabisan napas dalam air ketika aku berusaha menangkapnya, padahal dia telah terkena tusukan tombakku.”

“Mengapa kau mati-matian menangkapnya? Apakah karena dagingnya enak sekali?”

Kembali ibu dan anak itu tertawa bergelak,
“Ah, orang kota hanya memikirkan tentang kelezatan makanan, sama sekali tidak memikirkan khasiatnya,”

Mendengar ini marahlah wajah Kwan Cu
“Maafkan aku yang bodoh,” kata Kwan Cu. “Sesungguhnya bukan karena aku terlalu temaha akan makanan enak, hanya karena aku sama sekali belum mengerti ikan. Harap Ji-wi (kalian berdua) sudi memberi penjelasan tentang ikan Kilin ini dan segala keanehanya.”

Setelah tertawa geli tanpa maksud menghina tamunya, pemuda tinggi besar itu lalu berkata,

“Saudara Kwan Cu, ketahuilah bahwa ikan Kilin ini terdapat di sekitar Laut Po-hai terus ke timur. Akan tetapi, jarang sekali ikan Kilin mau berenang ke pinggir pantai dan merupakan hal yang amat langka bagi seorang nelayan untuk mendapatkan ikan ini. Oleh karena itu ketika beberapa lama yang lalu aku melihat seekor ikan Kilin berenang di pinggir perahu, aku terkejut dan tidak pernah dapat tidur nyenyak sebelum aku berhasil menangkapnya.”

“Kalau begitu memang ikan yang aneh dan sukar didapat,” kata Kwan Cu sambil tersenyum melihat sikap pemuda nelayan itu yang bercerita dengan gaya lucu. “Akan tetapi, apakah khasiat dari daging ikan ini?”

Pemuda yang bernama Kong Hoat itu menengok kepada ibunya dan bertanya,
”Bolehkah aku menceritakannya ibu?”

Nenek yang berwajah mengerikan itu mengangguk.
“Boleh saja, dia adalah seorang pemuda gagah yang berbakat baik dan sebagai murid Ang-bin sin-kai, dia bahkan berhak merasai daging ikan Kilin. Kau berceritalah sementara aku mengurus ikan ini.” setelah berkata demikian, nenek itu lalu mengangkat ikan tadi, dibawanya ke dapur.

Adapun Kong Hoat tertawa-tawa, lalu berkata kepada Kwan Cu.
“Saudara yang baik, maafkan kalau tadi aku ragu-ragu karena aku harus minta ijin dari ibuku lebih dulu sebelum membuka rahasia tentang ikan itu.”

“Tidak apa, saudara Kong Hoat. Aku bahkan kagum sekali melihat sikapmu kepada ibumu, sebagai sikap seorang hauw-ji (anak berbakti) tulen!”

“Mendiang susiok (paman guru),” kata Kong Hoat tanpa memperdulikan pujian Kwan Cu, “adalah seorang ahli dalam ilmu berenang dan menyelam. Dari susiok inilah aku mendengar bahwa untuk dapat menjadi ahli dalam air, maka obat yang paling baik adalah ikan Kilin. Dagingnya dapat menguatkan tubuh dan lemaknya apabila dimakan, membuat kulit kita tahan akan tekanan air dingin dan gigitan air garam. Tulang-tulang siripnya kalau dikeringkan dan dijadikan bubuk, dapat menjadi obat yang mujarab sekali bagi kita sehingga tulang-tulang kaki tangan kita menjadi amat kuat untuk memukul air dalam berenang. Lemaknya dapat dijadikan minyak dan apabila kita menggunakan minyak ini untuk membasahi kulit, maka tubuh kita akan menjadi licin sehingga memudahkan kita bergerak di dalam air. Yang hebat adalah paru-parunya, karena paru-paru ini merupakan obat sehingga kita akan kuat bertahan lama-lama di dalam air tanpa kehabisan napas.”

Akan tetapi Kwan Cu tidak tertarik oleh semua ini. Memang dia tidak tertarik akan kepandaian di dalam air. Sebagai seorang yang biasa merantau di darat, tentu saja dia tidak begitu tertarik seperti Kong Hoat yang memang semenjak kecil bermain-main di dekat air selalu.

Betapapun juga, ketika daging ikan Kilin disuguhkan, Kwan Cu makan beberapa potong dan merasa betapa daging itu mendatangkan hawa hangat di dalam perut dan dadanya.

Tahulah dia bahwa memang daging ini mengandung khasiat yang amat baik bagi peredaran darahnya, sehingga dia menjadi girang dan menghaturkan terima kasihnya. Kini mereka bercakap-cakap bertiga. Dalam percakapan ini tahulah Kwan Cu bahwa wanita tua itu adalah seorang tokoh kang-ouw yang amat terkenal dan yang pernah disebut-sebut namanya oleh suhunya, yakni yang disebut-sebut Liok-te Mo-li (Iblis Wanita Bumi).

Adapun Kong Hoat adalah putera tunggalnya yang dididik ilmu silat olehnya semenjak kecil sehingga pemuda itu pun memiliki kepandaian yang tinggi.

“Saudara Kwan Cu, sungguh amat mengherankan hati kami. Kau yang begini muda mempunyai keinginan mengarungi samudra, berkelana dengan perahu di daerah yang terkenal amat berbahaya ini, sebenarnya kau mencari apakah?” tanya Kong Hoat.

Kwan Cu tersenyum. Ia merasa tidak enak untuk membohong kepada orang-orang yang jujur dan baik ini, akan tetapi untuk berkata terus terang bahwa ia mencari kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng, dia pun tidak berani. Suhunya sudah memesan kepadanya dengan sungguh-sungguh agar dia jangan sekali-kali menceritakan kepada siapapun juga tentang kitab itu. Maka dia berkata,

“Saudara yang baik, sebagai seorang pemuda aku hanya ingin meluaskan pengetahuanku saja, hendak melihat apakah yang terdapat di sebelah sana samudera yang luas ini.”

Kong Hoat memandang kepadanya dengan kagum dan dari pandangan mata ini tahulah Kwan Cu bahwa sebetulnya pemuda itu ingin pergi seperti dia. Tak terasa pula fajar telah menyingsing dan Kwan Cu segera berdiri lalu berpamit kepada tuan rumah.






Tidak ada komentar :