*

*

Ads

Jumat, 11 Januari 2019

Pendekar Sakti Jilid 080

“Terima kasih, Lopek. Selamat tinggal!” setelah mengucap demikian, Kwan Cu mempergunakan kepandaiannya meloncat pergi.

Bengonglah semua nelayan ketika melihat betapa sekali berkelebat saja pemuda itu telah meloncat amat jauhnya dan sebentar pula lenyap dari pandangan mata!

Kwan Cu melanjutkan perjalanannya dengan cepat, menuju ke hutan pinggir pantai seperti yang ditunjukkan oleh kakek nelayan itu. Benar saja, dia melihat sebuah pondok kecil yang berbentuk segi empat di pinggir hutan, dekat pantai.

Keadaan di situ amat sunyi karena di sekitar tempat itu tidak ada rumah lain. Juga di pekarangan yang kotor dari rumah itu tidak kelihatan seorang pun manusia. Keadaan benar-benar sunyi sekali.

Kwan Cu menghampiri pondok itu dan keadaan di situ nampak menyeramkan. Tidak ada perabot rumah di situ, hanya ada dua buah batu karang yang besar di dalam rumah. Di antara batu karang ini, terdapat pula batu yang licin dan lebih besar, agaknya itulah kursi dan meja dari tuan rumah. Ia dapat melihat semua ini Karena rumah itu tidak ada daun pintunya. Demikianpun jendelanya di kanan kiri rumah tidak ada daun jendelanya, tinggal terbuka saja pintu dan jendelanya.

Sampai lama Kwan Cu menanti, akan tetapi sudah jelas bahwa di dalam rumah itu tidak ada orangnya. Ia mencari-cari di depan dan belakang rumah, namun tidak kelihatan bayangan orang. Bahkan di pantai juga tidak kelihatan ada perahu.

Namun jelas ada tanda-tanda bahwa tempat itu memang ditinggali orang, karena di sana-sini terdapat bekas-bekas orang, seperti tapak-tapak kaki, mangkok-mangkok pecah, dan pecahan-pacahan jala, bahkan ada berserakan tulang-tulang ikan di sana-sini. Juga ada tempat api di sudut dalam rumah itu.

Kwan Cu sampai merasa kesal menanti di luar rumah, kemudian karena melihat di dalam rumah itu ada hiasan-hiasan dinding berupa gambar-gambar dan tulisan-tulisan sajak, dia memberanikan diri memasuki ambang pintu.

Alangkah tertariknya ketika dia melihat lukisan-lukisan yang cukup indah, dan sajak-sajak tulisan dari pujangga ternama. Hanya orang yang mengerti kesusastraan dengan baik saja yang mau menggantungkan lukisan dan sajak-sajak seindah itu, pikirnya. Makin tertariklah dia kepada penghuni rumah yang dikatakan gila oleh para nelayan itu. Siapakah mereka dan bagaimana mereka nanti menyambutnya?

Akan tetapi, menanti-nanti datangnya penghuni rumah ini merupakan ujian berat bagi Kwan Cu karena ditunggu-tunggu sampai menjelang senja, belum juga penghuninya kelihatan kembali!

Apakah mereka sudah meninggalkan rumah ini dan tidak akan kembali lagi? Ataukah barangkali para nelayan itu mempermainkannya? Akan tetapi tidak mungkin, karena tanda-tanda bahwa rumah ini masih ditinggali orang, ternyata dari adanya hiasan-hiasan dinding itu. Kalau mereka pergi takkan kembali lagi tentu lukisan-lukisan itu mereka bawa. Maka dia mengambil keputusan untuk menanti terus, dan kalau perlu dia akan bermalam di situ sampai besok pagi.

Senja telah berganti malam dan bulan sepotong muncul di langit timur. Kwan Cu berdiri di depan jendela dan termenung, mengharapkan datangnya tuan rumah. Tiba-tiba dia melihat sesuatau yang amat menarik perhatiannya, di depan jendela itu ada semacam tumbuh-tumbuhan yang tadinya tidak menarik perhatiannya.

Tetumbuhan ini batangnya hitam dan daun-daunnya tidak berapa banyak, berbentuk lonjong bundar dan tulang-tulang daunnya nampak jelas sekali, kehitaman membayang pada daun yang putih itu. Tidak ada yang aneh pada tetumbuhan ini, juga tidak kelihatan bunga atau buahnya.

Akan tetapi yang amat menarik perhatian Kwan Cu, adalah kejadian yang bukan main anehnya. Tadinya daun-daun itu tidak bergerak sama sekali karena memang tidak ada angin yang dapat meniup daun-daun itu. Angin dari laut tertahan oleh bangunan rumah sehingga daun-daun itu terlindungi dari pada hembusan angin.

Akan tetapi, ketika malam tiba dan beberapa ekor jengkerik datang, dan jangkerik-jangkerik itu menempel pada daun, mereka lalu jatuh ke bawah dan mati! Kwan Cu terheran-heran dan membungkuk untuk melihat lebih jelas keadaan jangkerik-jangkerik itu, dan apa yang dilihatnya? Jangkerik-jangkerik itu telah hangus badannya!






Kwan Cu berdiri seperti patung, terkejut dan terheran-heran. Ia berlaku hati-hati dan tidak berani menjamah daun-daun itu, sungguhpun hatinya ingin sekali karena dia ingin tahu mengapa jangkerik-jangkerik itu bisa mati hangus begitu tersentuh pada daun-daun itu.

Maka ketika ada beberapa ekor jangkerik terbang lalu, dia menyambar dengan tangannya dan menangkap tiga ekor jangkerik. Setelah itu, dia melemparkan jangkerik-jangkerik itu satu persatu menempel pada pohon dan akibatnya…… benar-benar hebat! Binatang-binatang kecil itu lalu jatuh dan mati hangus pula!

“Hebat,” pikir Kwan Cu, “daun mujijat apakah ini?”

Akan tetapi pada saat itu, dari atas tanah merayap tiga ekor ulat berwarna hijau. Ulat-ulat itu besarnya sama dengan ibu jari tangan manusia dan dengan gerakan yang menggelikan ulat-ulat itu merayap ke batang pohon kecil yang berdaun mujijat itu.

Kwan Cu menduga bahwa tiga ekor ulat yang berjalan beriring-iringan ini tentu akan mengalami nasib serupa dengan para jengkerik, akan tetapi aneh. Kali ini ulat-ulat itu merayap dengan amat aman dan selamat, bahkan ketiga-tiganya lalu memilih daun yang segar digerogoti dengan rakusnya!

Memang betul bahwa begitu ada ulat yang menempel pada sehelai daun, semua daun pohon itu serentak bergoyang-goyang dan bangkit seperti tadi, akan tetapi ulat-ulat itu tidak jatuh, bahkan merasa enak diayun-ayun oleh daun yang dimakan dan menambah kelezatan makannya. Sebentar saja masing-masing ulat telah menghabiskan sehelai daun!

“Luar biasa sekali!” pikir Kwan Cu, “ada daun yang aneh, kini muncul ulat-ulat yang hebat pula!” ia menjadi amat gembira dan lupa akan segalanya, lupa bahwa telah amat lama dia menanti di situ.

Perhatiannya tertuju sepenuhnya pada ulat-ulat yang kini sudah mulai menggerogoti lain daun yang segar.

Tiba-tiba terdengar suara melengking yang tinggi sekali sehingga menyakitkan anak telinga. Kwan Cu melihat sinar-sinar kecil menyambar ke arah pohon tadi dan alangkah kagetnya ketika melihat betapa ulat-ulat itu telah tertancap pada daun, di tubuh setiap ulat tertancap sebatang jarum putih yang halus sekali dan ada kepalanya merupakan titik bulat. Ulat-ulat itu tertancap dan tertusuk seperti disate, kini tak dapat melepaskan diri dari daun itu, hanya menggeliat-geliat!

Bukan main heran dan kagetnya hati Kwan Cu. Orang yang dapat melepaskan jarum dari jarak jauh mengenai ulat-ulat itu dengan demikian tepatnya, tentulah seorang yang memiliki kepandaian luar biasa tingginya dalam ilmu melepas am-gi (senjata-gelap)! Dan hanya orang yang lihai sekali ilmu silatnya saja yang dapat melakukan hal itu.

Ia tertarik dan hendak mengulur tangannya hendak mencabut jarum itu untuk di periksanya. Akan tetapi, tiba-tiba terdengar suara melengking mengerikan dan menyambarlah angin yang dahsyat dari luar jendela.

Entah dari mana datangnya, tahu-tahu di depan jendela muncul bayangan seorang nenek berpakaian putih dan berwajah pucat seperti mayat dan yang mengulurkan tangan kanannya yang berbentuk seperti cakar burung! Nenek itu sambil mengeluarkan suara lengkingan tinggi mencakar ke arah dada Kwan Cu.

Pemuda ini terkejut sekali dan cepat melompat mundur dengan muka pucat. Serangan tadi benar-benar berbahaya dan melihat cara nenek ini menyerang, agaknya nenek ini adalah seorang ahli ilmu silat Eng-jiauw-kang (Ilmu silat Cengkeraman Garuda). Cengkeraman itu tidak saja dapat merobek kulit daging bahkan akan dapat menghancurkan batu karang yang keras!

“Suthai, harap maafkan teecu,” kata Kwan Cu cepat-cepat, “teecu telah berlaku lancang berani memasuki rumah suthai.”

Melihat cara nenek itu berpakaian, dia mengira bahwa nenek itu tentulah seorang pertapa, maka dia menyebut suthai.

“Apakah kau mau mencuri daun-daun Liong-cu-hio (Daun mustika naga) ini?” tanya nenek itu dan sepasang matanya terputar-putar dan mulutnya menyeringai. Suaranya tinggi dan kecil seperti suling ditiup.

“Tidak, tidak, suthai. Teecu mana berani mencuri daun-daun mujijat itu? Bahkan menyentuh pun teecu tidak berani, setelah melihat betapa daun-daun itu dapat menghanguskan tubuh binatang-binatang jangkerik.”

Nenek itu tertawa dengan suara menyeramkan.
“HI-hi-hi-hi-hi! Kau telah melihatnya, bukan? Hi-hi-hi, kau mengetahui kelihaiannya? Kalau kau menyentuh daunnya, tanganmu akan menjadi hangus, hi-hi-hi!”

Kemudian nenek itu memandang kepada ulat-ulat yang masih tertancap oleh jarum-jarumnya.

“Hah, ulat-ulat menjemukan. Hanya binatang ini saja yang sanggup makan Liong-cu-hio dengan enaknya. Akan kubasmi semua ulat ini!” ia mencabuti jarum-jarumnya dan melepaskan ulat-ulat itu dari jarum-jarum, terus memasukkan tiga ekor ular itu ke dalam mulutnya yang ompong!

Dengan enaknya dia mengunyah tubuh ulat-ulat yang kehijauan itu dan ada air yang kehijauan mengalir di pinggir bibirnya terus ke dagu.

Kwan Cu bergidik menyaksikan kejadian yang amat mengerikan hati ini. Tak terasa pula dia menelan ludahnya melihat betapa nenek itu makan ulat hidup demikian enaknya, bukan sekali-kali karena dia ingin dan timbul seleranya, dia ingin muntah dan terpaksa menelan ludah untuk menahan keinginannya itu.

“Kau ingin makan ulat ini?” tanya nenek itu kepada Kwan Cu.

Pemuda itu menggeleng-gelengkan kepalanya dengan cepat.
“Tidak, tidak, terima kasih banyak, suthai. Teecu sudah makan tadi di dusun Kim-le-pang.”

Nenek itu kembali memandangnya dengan mata yang aneh.
“Kau nelayan?”

“Bukan, suthai. Teecu adalah seorang perantau yang sengaja datang ke tempat ini untuk berusaha menyewa sebuah perahu.”

“Mau menyewa perahu mengapa datang kesini? Apakah kau tidak mendengar bahwa siapa yang memasuki rumahku ini harus mati?” setelah berkata demikian, dengan gerakan yang amat gesit, nenek itu melompat dari jendela, memasuki rumah itu dan langsung menyerang Kwan Cu!

Serangannya ini tak salah lagi adalah Eng-jiauw-kang seperti yang pernah Kwan Cu pelajari dari suhunya. Maka dengan cepat dia melompat mundur sambil mengelak.

“Suthai, maafkan teecu. Teecu datang bukan dengan maksud buruk. Harap maafkan kelancangan teecu.”

“Hi, hi, hi, kau dapat mengelak dari seranganku? Hendak kulihat sampai berapa lama kau dapat bertahan!” setelah berkata demikian, nenek itu terus mendesak dengan serangan-serangannya yang lihai.

Terpaksa Kwan Cu melayaninya dan pemuda inipun lalu mengeluarkan ilmu silatnya untuk mengimbangi serangan nenek itu. Kalau dia hanya mempertahankan diri, banyak bahayanya dia akan terluka. Kedua tangan nenek itu benar-benar berbahaya sekali, kukunya panjang dan tangannya amat kuatnya, tanda bahwa tenaga lweekang nenek itu sudah tinggi.

“Hi-hi-hi, kau dapat melawanku, benar-benar mengagumkan! Eh, ilmu silatmu hampir sama dengan Pai-bun-tui-pek-to!”

Kwan Cu terkejut. Memang dalam menghadapi serangan nenek itu, dia tadi bermain ilmu silat Pai-bun-tui-pek-to yang mempunyai daya tahan kuat sekali. Bagaimana nenek aneh ini dapat mengenal ilmu silatnya?

“Memang teecu mainkan Pai-bun-tui-pek-to, Suthai. Teecu belajar dari Ang-bin Sin-kai guruku!”

Ucapan ini sengaja dia keluarkan dengan harapan kalau-kalau nenek itu sudah mengenal suhunya dan dapat menghentikan serangannya. Akan tetapi, tiba-tiba nenek itu menyerang makin hebat lagi.

“Bagus, hendak kulihat sampai dimana kepandaian murid Ang-bin Sin-kai si pengemis jembel!”

Menghadapi serangan Eng-jiauw-kang yang dilakukan dengan gerakan lincah dan cepat sekali, Kwan Cu menjadi kewalahan dan terpaksa dia mengeluarkan sulingnya. Kini dia mainkan ilmu pedang Hun-kai Kiam-hoat dengan sulingnya, juga dia membalas dengan serangan yang hebat sekali.

Tiba-tiba terdengar bentakan keras dan muncullah seorang pemuda tinggi besar dari pintu yang tak berdaun itu. Pemuda ini membawa sebatang dayung yang panjang dan lebar.

“Ibu, siapakah sahabat yang gagah perkasa ini?” tanya pemuda itu sambil memukulkan dayungnya pada tanah sehingga tergetarlah rumah itu.






Tidak ada komentar :