*

*

Ads

Jumat, 11 Januari 2019

Pendekar Sakti Jilid 079

Pikiran ini baik juga dan Kwan Cu lalu menyambar tubuh orang yang jangkung itu dan melompat dengan kuat dan cepat sekali. Ia mengerahkan ginkangnya dan tanpa banyak susah dia dapat mencapai pinggiran sumur. Ketika orang itu yang ternyata seorang laki-laki setengah tua, melihat bahwa orang yang menolongnya hanya seorang pemuda berusia belasan tahun, dia menjadi bengong dan merasa kagum sekali.

Akan tetapi dia maklum bahwa sekarang bukan waktunya untuk banyak melakukan peradatan, dengan cepat dia menyambung-nyambung ikat pinggang yang memang sudah lama dia kumpulkan dengan maksud kalau dia berhasil keluar dari sumur, dia akan menolong kawan-kawannya.

Kini pertolongan mengeluarkan para korabn itu dilakukan dengan dua jalan, yakni Kwan Cu masih tetap naik turun untuk mengangkat seorang demi seorang, terutama yang sudah lemah dan tidak kuat merayap melalui tambang buatan, dan ada pula yang merayap melalui ikat pinggang yang disambung-sambung dan yang kini dilepas ke bawah oleh orang tinggi kurus itu.

Akhirnya, setelah bekerja mati-matian, lima puluh enam orang yang masih kuat dan yang sudah lemah dapat dikeluarkan semua dari sumur itu.

“Mari cepat keluar dari gua!” mengajak Kwan Cu tanpa mempedulikan ucapan terima kasih dari semua orang itu.

Mereka ini ternyata adalah orang-orang lelaki yang masih kuat dan muda-muda. Tak salah lagi, sebagian besar di antara mereka tentulah orang-orang yang tidak mau dipaksa menjadi tentara oleh An Lu Shan.

Yang paling menarik, semua orang ini adalah semua orang Han asli. Mengapa mereka tidak mau menjadi tentara pemerintah sendiri? Hal ini benar-benar membingungkan hati Kwan Cu, namun dia tidak mengambil pusing.

Semua orang mengikuti Kwan Cu keluar dari gua itu. Yang lemah sekali digendong oleh yang kuat dan sebentar saja mereka telah dapat melarikan diri jauh dari gua, bersembunyi di dalam hutan.

“Nah, sekarang aku akan pergi dan selanjutnya harap kalian mencari jalan sendiri,” kata Kwan Cu.

Orang yang tinggi kurus tadi melangkah maju dan menjura .
“Taihiap benar-benar hebat sekali. Entah bagaimana kami dapat membalas budi Taihiap. Tentang kawan-kawanku ini, biarlah aku yang memimpin mereka meloloskan diri ke selatan. Aku tahu jalan yang aman. Akan tetapi, agar kami dapat selalu mengingat-ingat siapakah Taihiap ini dan murid siapakah?”

“Aku bernama Kwan Cu dan selebihnya tak perlu ku ceritakan. Hanya kalau kalian hendak berterima kasih, ingatlah bahwa aku adalah murid Ang-bin Sin-kai!” setelah berkata demikian, Kwan Cu lalu melompat pergi dan lenyap dari pandangan mata orang-orang itu.

Kalau sekiranya Kwan Cu mendengar bahwa An Lu Shan mempersiapkan barisan besar untuk memberontak terhadap pemerintah di selatan, agaknya pemuda ini tentu akan berusaha untuk menghalangi pengkhianatan ini.

Akan tetapi, pemuda ini tidak mau terlalu lama tinggal di situ setelah dia melihat bahwa Hek-i Hui-mo berada di tempat itu. Ia ingin mempercepat usahanya mencari kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng dan tidak mau bentrok dengan lawan-lawan berat sehingga mengacaukan usahanya.

Pemuda ini melakukan perjalanan cepat sekali dan tiada hentinya, hanya beristirahat untuk makan dan tidur sebentar saja. Ia berusaha sedapat mungkin agar tidak bertemu dengan orang lain, atau lebih tepat lagi agar jangan sampai ada urusan yang menghambat perjalanannya.

Dua pekan kemudian, setelah bertanya-tanya kepada orang dimana letak sungai Yalu, tibalah dia di kota Ang-tung, kota yang berada di tepi Sungai Yalu, yakni di bagian sungai itu memuntahkan airnya di Laut Kuning.

Kota Ang-tung amat besar dan ramai, karena kota ini merupakan pusat perdagangan yang menghubungkan pedalaman Tiongkok dengan pedagang-pedagang dari Korea. Banyak sekali perahu nelayan dan pedagang berada di pinggir sungai dan pemandangan di situ amat indahnya.

Akan tetapi ketika Kwan Cu mencari perahu nelayan untuk di sewanya, tak seorangpun sanggup menyewakan perahunya, biarpun dengan bayaran tinggi.

“Laut di selatan tidak aman, kongcu,” kata seorang nelayan tua. “selain sekarang muncul ikan-ikan buas yang besar dan yang sering kali mengganggu perahu nelayan, juga bajak-bajak laut sekarang banyak sekali. Kami semua adalah tukang-tukang perahu yang hanya sanggup membawa barang-barang dagangan dengan berlayar di tepi pantai, atau kalau mencari ikan juga, tidak terlalu jauh dari pantai. Kalau kongcu menghendaki menyewa perahu untuk dipakai memasuki laut bebas, kiranya akan bisa kongcu dapatkan di perkampungan nelayan Kim-le-pang.”






“Dimana letaknya perkampungan Kim-le-pang itu, lopek?” tanya Kwan Cu dengan girang.

“Tidak jauh, kurang lebih lima belas li di sebelah timur kota ini.”

Tanpa membuang banyak waktu Kwan Cu lalu menuju ke timur dan mencari perkampungan Kim-le-pang yang diceritakan oleh nelayan tua itu. Benar saja, di pantai laut dekat dusun itu banyak sekali terdapat perahu-perahu kecil dan para nelayan sedang bekerja sibuk. Ada yang menjemur ikan-ikan kering, ada pula yang menjemur jala-jala yang rusak. Ada pula yang menjahit layar atau membetulkan perahu yang bocor.

Mereka ini nampak miskin dan sederhana, namun sebagian besar bertubuh tegap dan kuat, dengan kulit yang kehitaman karena setiap hari terbakar oleh matahari.

Ketika Kwan Cu menghampiri para nelayan ini, mereka tidak mengacuhkannya, sama sekali tidak kelihatan tertarik atau ingin menawarkan perahu mereka. Dapat diduga bahwa nelayan-nelayan ini tinggi hati dan angkuh.

Memang mereka ini adalah sekelompok peranakan suku bangsa Han. Mereka berdarah Hui dan Han, dan merupakan suku bangsa yang hidupnya mengandalkan penghasilan dari laut. Mereka adalah pelaut-pelaut tulen yang lebih leluasa hidup di atas perahu dari pada di darat.

Melihat sikap mereka yang acuh tak acuh, Kwan Cu merasa tak enak hati. Akan tetapi oleh karena dia memang membutuhkan perahu untuk disewa, dia lalu menghampiri mereka dan menjura sambil bertanya,

“Saudara-saudara, harap maafkan kalau aku mengganggu kalian.”

Seorang kakek yang mulutnya menggigit huncwe kecil panjang dan matanya sipit, berpaling kepadanya dan tanpa melepaskan huncwenya dia berkata,

“Kalau tidak mengganggu, tak perlu minta maaf. Kalau memang hendak mengganggu, mengapa pakai minta maaf segala?”

Merah muka Kwan Cu mendengar ucapan yang jujur dan kasar ini. Ia dapat menduga bahwa dia berhadapan dengan orang-orang sederhana, jujur, dan keras hati.

“Lopek, sebetulnya aku bukan bermaksud hendak mengganggu. Akan tetapi siapa tahu kalau kedatanganku ini saja sudah merupakan gangguan bagimu.”

Kini kakek itu menghentikan pekerjaannya menambal layar, dan sambil mencabut huncwenya dia menghadapi Kwan Cu, memandangnya dari atas terus ke bawah, lalu bertanya,

“Kau mau apakah?”

“Aku mencari perahu yang disewakan.”

“Dengan orangnya?”

“Kalau mungkin, lebih baik lagi.”

“Kemana?”

Kwan Cu merasa tidak enak dengan percakapan yang singkat-singkat ini, akan tetapi apa boleh buat, orang ini agaknya lebih suka bicara singkat.

“Hendak menyeberangi laut, mencari pulau-pulau di dekat pantai.”

“Tak mungkin! Tidak ada perahu disewakan!” jawab kakek itu sambil menancapkan huncwenya di mulut lagi.

“Lopek, aku tidak hendak menyewa perahumu kalau kau tidak menyewakannya. Akan tetapi aku akan menyewa perahu siapa saja yang suka menyewakan kepadaku,” kata Kwan Cu agak keras karena dia merasa mendongkol sekali. Lalu pemuda ini memandang ke sekelilingnya dan berteriak,

“Hei, saudara-saudara. Siapakah yang suka menyewakan perahunya kepadaku untuk menyeberangi laut mencari pulau? Aku berani membayar berapa saja yang dimintanya!”

Mendengar pemuda ini berteriak-teriak, para nelayan lalu berlari-lari mendatangi. Mereka sebentar saja mengurung Kwan Cu dan kakek itu sambil melepaskan huncwenya berkata kepada orang banyak,

“Dengarkan orang gila ini! Dia hendak menyewa perahu menyeberangi laut mencari pulau. Agaknya dia sudah bosan hidup. Ha-ha-ha!” Ramailah suara para nelayan ketawa mengikuti kakek itu.

“Dengar!” Kwan Cu membentak! “kalau kalian begitu pengecut dan takut, biarlah aku menyewa perahunya saja. Tak usah aku diantar oleh penakut-penakut macam kalian. Biarkan aku menyewa perahu saja, berilah perahu yang baik dan kuat dan aku akan membayar mahal!”

“Kau akan membayar dengan apa?”

“Dengan emas. Lihat, aku mempunyai sekantong emas!”

Kwan Cu lalu memperlihatkan sekantong emas yang dia dapat “ambil” dari rumah gedung seorang bangsawan kaya raya ketika dia tiba di kota besar. Memang, pemuda ini yang tahu bahwa dia harus memiliki emas untuk menyewa perahu, telah mencuri uang emas sekantong dari hartawan itu pada malam hari!

“Hah, apa artinya emas? Tidak mengenyangkan perut!” kakek itu berkata dan semua nelayan mengangguk menyatakan setuju.

“mengacaukan saja!”

Kwan Cu tertegun dan penasaran.
“Habis, apa yang kau kehendaki sebagai pembayaran sewa perahu?”

“Apapun pembayaran yang kau janjikan, anak muda, di dusun kami tidak ada orang yang begitu gila untuk memberikan perahunya padamu, karena kalau perahu di berikan padamu, berarti perahu itu akan lenyap tenggelam di laut bersamamu!”

Kwan Cu mendongkol sekali,
“Tak kusangka orang-orang yang kelihatan kuat dan gagah seperti kalian ini, hatinya kecil dan penakut. Pula selain penakut tidak ramah dan tidak menolong orang. Hemmm, kecewa sekali aku datang ke tempat ini.”

Setelah berkata demikian, Kwan Cu hendak pergi dari situ, di dalam hatinya mengambil keputusan untuk mencuri saja sebuah perahu dan meninggalkan uang emasnya sebagai pembayaran!

Akan tetapi, tiba-tiba terdengar seorang pemuda nelayan berkata kepada kakek itu.
“Lo-pek-pek, mengapa tidak kau suruh dia menyewa perahu nenek gila?” mendengar ucapan ini, semua orang ketawa.

“Cocok sekali! Memang pantas kalau pemuda yang nekat dan bosan hidup ini berlayar dengan nenek gila atau puteranya yang berotak miring!”

Terdengar suara di antara gelak ketawa, Kwan Cu terheran, orang-orang ini tadinya pendiam dan berwajah keras, akan tetapi setelah disebutnya nama nenek gila ini semua orang tertawa geli!

Ia tertarik sekali dan menahan tindakan kakinya.
“Di manakah dia si nenek gila itu? Apakah betul-betul dia mempunyai perahu dan sekiranya dia mau menyewakan perahunya, biarpun gila akan kucoba datangi.”

Kakek nelayan itu menggelengkan kepalanya.
“Anak muda, biarpun urusanmu tidak ada sangkut pautnya dengan kami dan kenekatanmu juga tidak merugikan kami, akan tetapi melihat sikapmu yang halus ini aku merasa kasihan juga. Memang di sini ada seorang nenek gila dan puteranya yang setengah gila pula. Akan tetapi, mereka ini berbahaya sekali dan terasing hidupnya. Kalau kau mencoba mendekati mereka, aku khawatir kalau-kalau kau akan mati sebelum menyeberangi laut.”

Makin tertarik hati Kwan Cu.
“Biarlah, di mana mereka tinggal? Akan kucoba menghubungi mereka.”

Kakek itu mengangkat pundaknya.
“Benar kata mendiang ayah dahulu bahwa orang-orang selatan memang aneh sekali wataknya. Kau mau tahu? Pergilah ke pantai sebelah barat kampung ini dan kau akan melihat sebuah pondok menyendiri di pantai yang ada hutannya. Di sana mereka tinggal.”






Tidak ada komentar :