*

*

Ads

Jumat, 11 Januari 2019

Pendekar Sakti Jilid 078

“Anak muda, sudahlah jangan banyak rewel. Ketahuilah bahwa setiap orang yang tidak mau menjadi tentara dan membela tanah air dianggap pengkhianat dan akan menjadi penghuni gua maut!”

Kwan Cu menjadi penasaran sekali akan tetapi tetap saja dia masih lebih merasa heran dari pada marah.

“Apakah gua maut itu? Dan mengapa pula ada cara memaksa orang menjadi tentara? Sungguh mati aku tak mengerti sama sekali!”

Komandan itu tertawa,
“Oya, aku lupa bahwa kau bukan orang sini. Kau mau melihat gua maut? Mari, mari ikut!” sambil berkata demikian komandan itu tertawa-tawa dan menarik lengan Kwan Cu diikuti oleh para anggota yang juga tertawa-tawa geli.

Masih saja Kwan Cu bersabar dan membiarkan dirinya ditarik seperti kerbau oleh komandan itu yang membawanya pergi keluar kota. Dusun itu berada di lereng bukit dan jalannya naik turun melalui hutan-hutan.

Di pinggir sebuah hutan di luar kota, Kwan Cu dibawa ke sebuah bukit kecil dan dari jauh sudah kelihatan sebuah goa yang merupakan terowongan besar dan di sebelah dalamnya nampak anak tangga. Di depan goa itu di jaga oleh seorang tentara berbangsa Monggol yang bertubuh tinggi besar seperti raksasa, memegang sebatang tombak besar dan panjang lagi berat.

Komandan yang menarik tangan Kwan Cu bicara dalam bahasa Monggol kepada penjaga itu yang tertawa bergelak-gelak, membuka mulutnya dan lebar dan cambangnya yang menjuntai ke bawah itu ikut bergerak-gerak lucu.

“Nah, inilah gua maut siapapun juga yang menjadi pengkhianat dimasukkan dalam goa ini dijerumuskan ke dalam sumur maut dan didiamkan sampai mati di situ. Nah, sekarang pilihlah.”

Dari dalam goa itu lapat-lapat dengan rintihan dan tangisan sehingga terbangkit semangat Kwan Cu untuk menolong mereka itu akan tetapi dia teringat bahwa dia berurusan dengan tentara pemerintah dan dia tidak mau menimbulkan keributan hebat. Maka dia lalu mengangguk daan berkata,

“Aku menurut saja,”

Terdengar suara gelak ketawa dan komandan itu bersama para tentara yang mengikutinya, beramai-ramai menghantar Kwan Cu kembali ke dusun untuk mendaftarkan pemuda itu sebagai calon tentara.

Akan tetapi baru saja mereka keluar dari hutan dan turun dari bukit di mana terdapat Gua Maut itu, tiba-tiba mereka ribut-ribut dan mereka mencari-cari seperti seorang wanita kehilangan gelangnya. Tanpa diketahui oleh seorang pun, tiba-tiba saja pemuda yang tadi berada di tengah-tengah mereka telah lenyap!

“Eh, dimana dia?”

“Aneh sekali, tak mungkin dia melarikan diri!”

“Aku tadi masih melihat dia berjalan sambil tersenyum-senyum.”

“Dia bisa menghilang, tentu dia siluman!”

Ramailah orang-orang itu bicara sambil mencari-cari Kwan Cu, namun pemuda itu tidak kelihatan lagi bayangannya. Sebenarnya, dengan kepandaiannya, Kwan Cu tadi mempergunakan kesempatan selagi orang tidak memeganginya, dia melompat ke atas dan dengan bantuan cabang pohon di atasnya, dia melarikan diri cepat dan ringan sekali sehingga tidak menimbulkan suara apa-apa. Ia ingin sekali menyelidiki keadaan gua maut itu dan akan berusaha menolong orang-orang yang mengeluarkan suara rintihan dan tangisan tadi.

Kalau tentara negeri menghukum orang bersalah atau orang jahat, dia takkan mau campur tangan. Akan tetapi tadipun dia akan dimasukkan ke dalam gua itu hanya karena dia menolak menjadi tentara. Kalau demikian, tentu banyak sudah orang-orang yang dimasukkan ke dalam gua maut itu tanpa dosa! Jika begini keadaannya, dia harus menolong mereka itu.

Setelah senja mendatang, Kwan Cu menyembunyikan diri di belakang rumpun alang-alang dan mengintai ke arah gua itu. Ia akan bertindak tanpa menimbulkan keributan. Dilihatnya penjaga raksasa yang tadi masih saja berdiri seperti patung di depan gua, memegangi tombaknya dan nampaknya angker dan menakutkan.






Kwan Cu tidak mau segera turun tangan. Ia akan menanti sampai malam tiba, karena dengan begitu akan lebih mudah baginya membawa orang-orang yang dihukum di dalam gua itu melarikan diri. Ketika dia masih menanti sambil mengintai dibalik rumpun alang-alang, tiba-tiba dari jauh datang serombongan orang ke tempat itu.

Alangkah kagetnya hati Kwan Cu ketika dia melihat bahwa yang datang itu, dengan langkah cepat, adalah seorang Hwesio bertubuh gendut bundar berjubah hitam, bermisai panjang, berkulit hitam dan di tangan kiri memegang tasbih sedangkan tangan kanannya memegang tongkat Liong-thouw-tung.

Kwan Cu masih mengenal Hwesio ini yang bukan lain adalah Hek-i Hui-mo Thian Seng Hwesio, tokoh barat yang amat lihai dan jahat, Hwesio yang sudah merampas kitab palsu Im-yang Bu-tek Cin-keng dan bahkan yang dia duga telah mencuri pula kitab Gui-Siucai yang kemudian dia ketemukan berada di dalam sumur kering di atas Kun-lun-san!

Di sebelah hwesio ini berjalan pula dua orang panglima dan mereka ini bukan lain adalah An Lu Shan sendiri dan adiknya, An Lu Kui! Berdebar hati Kwan Cu melihat ketiga orang ini. Baiknya dia berlaku sabar, karena kalau tadi dia turun tangan dan harus berhadapan dengan mereka ini, berbahaya sekali!

Kepada An Lu Shan dan An Lu Kui, dia tak usah merasa jerih, akan tetapi Hek-I Hui-mo adalah seorang tokoh besar yang tingkat kepandaiannya sudah menandingi tingkat gurunya!

Ia melihat penjaga yang seperti raksasa itu memberi hormat melihat kedatangan tiga orang itu, kemudian An Lu Shan dan kedua orang kawannya memasuki gua dan lenyap ditelan kegelapan. Lalu terdengarlah suara An Lu Shan dari dalam gua, seakan-akan berkata-kata di depan banyak orang.

Kwan Cu mengerahkan tenaga pendengarannya dan lapat-lapat dia mendengar An Lu Shan membujuk orang-orang yang tertahan di dalam gua itu untuk menyerah dan menurut serta membantu perjuangannya!

Kwan Cu tidak mengerti akan maksud semua kata-kata itu, hanya dia tahu bahwa orang-orang yang ditahan itu tentulah orang-orang yang tidak mau tunduk dan kini An Lu Shan hendak membujuk mereka, disertai ancaman bahwa kalau mereka tidak mau menurut, pada besok pagi gua itu akan di tutup untuk selamanya!

Kwan Cu tidak berani bergerak dari tempat sembunyinya. Tak lama kemudian, tiga orang tokoh besar itu lalu keluar lagi dari gua dan pergi dengan cepat, setelah memberi pesan kepada penjaga supaya berhati-hati.

Malam tiba dan langit hanya diterangi oleh cahaya bulan bintang. Tak lama kemudian datang pula serombongan penjaga terdiri dari lima orang yang mengawani raksasa itu. Kwan Cu bersiap untuk bergerak dan melakukan usahanya menolong para tawanan.

Ketika para penjaga itu tengah bercakap-cakap, tiba-tiba terdengar suara suling yang merdu. Mereka terkejut sekali. Bagaimana di dalam hutan ini bisa terdengar suara suling begitu dekat?

Seorang di antara mereka bangkit berdiri dan menghampiri suara itu. Akan tetapi tiba-tiba dia roboh tak berkutik lagi, terkena totokan jari tangan Kwan Cu yang lihai.

Penjaga-penjaga yang lain setelah lama menanti kawan mereka tidak juga kembali, mulai gelisah dan memanggil-manggil. Penjaga yang tinggi besar itu tertawa dan berkata dalam bahasa Han yang kaku.

“Barangkali peniup suling itu adalah seorang perempuan cantik dan si A-sam tentu sedang bersenang-senang dengan dia!”

Dua orang penjaga lalu pergi menyusul kawannya, akan tetapi mereka ini setelah tiba di sebuah tikungan juga roboh tak berkutik ketika tangan Kwan Cu menyambar.

Tiga orang penjaga lain menjadi gelisah karena sekarang dua orang kawannya lagi sudah lama pergi tidak muncul kembali.

“Ah, tentu ada apa-apa!” kata seorang diantara mereka. “lebih baik kita memberi tanda rahasia agar kawan-kawan yang lain datang kesini. Hatiku tidak enak…”

Akan tetapi sebelum dia dapat melepaskan tanda, tiba-tiba dari atas pohon menyambar turun bayangan orang. Sinar hijau menyambar-nyambar dalam cahaya bulan dan terdengar teriakan susul menyusul ketika tiga orang penjaga termasuk si penjaga raksasa itu roboh tertotok oleh suling di tangan Kwan Cu.

Pemuda ini segera mengambil obor yang tadi dipasang di depan pintu gua dan berlari masuk. Ternyata bahwa gua itu dalamnya amat luas dan panjang merupakan terowongan yang amat gelap.

Di sepanjang terowongan itu dipasang anak tangga dan ketika Kwan Cu berjalan kurang lebih sepuluh tombak jauhnya, anak tangga itu berhenti dan di depannya nampak sebuah lubang. Hem, agaknya lubang inilah yang disebut sumur maut oleh komandan yang mengancamnya siang tadi, pikir Kwan Cu.

Dengan obornya dia mencoba untuk melihat ke bawah, akan tetapi sia-sia karena sinar obor tak dapat menerangi sinar obor di bawah.

Terdengar suara-suara orang dibawah dan Kwan Cu cepat bertanya,
“Saudara-saudara yang tertawan di bawah, aku datang untuk menolong!”

Sejenak suara orang-orang di bawah itu berhenti, kemudian terdengar jawaban.
“Bagaimana kau dapat menolong kami?” inilah suara laki-laki yang mengandung semangat kegagahan.

“Berapa banyak kawanmu?” Tanya Kwan Cu.

“Yang masih hidup ada empat puluh satu orang, yang sudah menjadi mayat belasan orang dan yang sudah hampir mati dua puluh orang lebih!”

Kwan Cu bergidik dan bulu tengkuknya berdiri. Sejak dari tadi diapun telah mencium bau yang tidak enak, tidak tahunya di dalam sumur itu telah banyak orang yang sudah mati.

“Berapa dalamnya sumur ini?” tanyanya pula.

“Kurang lebih lima tombak!”

Kwan Cu berpikir sebentar. Kalau hanya lima tombak, dia sanggup melompat dari dalam sumur itu ke atas sambil menggendong tubuh seorang.

“Dasarnya tanah keras atau lembek?”

“Tanah keras atau basah. Bagaimana kau hendak menolong kami?”

“Kalian minggirlah semua, biarkan ruang di bawah bagian tengah kosong, aku hendak melompat turun!” kata Kwan Cu.

Kemudian pemuda ini lalu menancapkan obor di pinggir sumur dan setelah mengatur pernapasannya dan menyelipkan sulingnya di pinggang, Kwan Cu lalu melompat ke dalam sumur, tepat di tengah-tengah dan berseru,

“Awas, aku datang!”

Kedua kakinya menginjak tanah padas yang basah dan di dalam gelap, hanya diterangi sedikit sekali oleh cahaya obor di atas sumur, dia melihat bayangan-bayangan orang yang di dalam gelap nampak hitam menakutkan.

“Taihiap, kau sungguh gagah. Akan tetapi, setelah kau dapat melompat masuk ke tempat ini, bagaimana selanjutnya kau dapat menolong kami?”

Tanya suara yang tadi bicara ketika Kwan Cu masih berada di atas. Orang ini tubuhnya tinggi kurus, namun wajahnya tak dapat terlihat jelas. Hanya suaranya mengandung kegagahan dan Kwan Cu dapat menduga bahwa tentu orang ini seorang gagah di dunia kang-ouw yang menjadi korban dari An Lu Shan.

“Aku dapat menggendong kalian seorang demi seorang dan melompat keluar dari sumur ini,” jawabnya sederhana.

Terdengar seruan kagum dan tidak percaya.
“Taihiap, dapatkah kau melompat setinggi ini dan menggendong seorang pula?” tanya seorang yang tinggi itu.

“Akan kucoba!” kata Kwan Cu.

“Dan para penjaga, di manakah mereka?”

“Sudahlah, kalau kita hanya mengobrol saja, aku khawatirkan penjaga-penjaga lain akan datang dan rencana kita gagal,” kata Kwan Cu habis sabarnya.

“Taihiap, biarlah aku kau keluarkan dulu. Dengan menggunaklan ikat pinggang disambung-sambung, dapat aku membantu mereka keluar dari sini.”






Tidak ada komentar :