*

*

Ads

Jumat, 11 Januari 2019

Pendekar Sakti Jilid 077

Beberapa tahun kemudian, kepandaian Kwan Cu sudah cukup tinggi. Ia sudah berusia lima belas tahun, akan tetapi setiap kali gurunya menyuruh dia menggunduli kepalanya! Ia kelihatan seperti seorang hwesio kecil yang bertubuh sedang dan padat, penuh berisi tenaga yang luar biasa. Wajahnya yang tampan menjadi makin halus dan kemerahan, berkat dari hawa gunung yang sejuk dan latihan-latihan silat yang tiada henti-hentinya.

Kembali beberapa bulan yang telah lewat. Pada suatu hari Kwan Cu berlatih seorang diri. Hari masih pagi sekali dan suhunya masih belum bangun dari tidurnya di dalam sebuah gua. Akhir-akhir ini, suhunya nampak malas dan bangunnya pun kalau matahari telah naik tinggi. Tubuh suhunya nampak makin kurus dan kakek ini beberapa kali mengeluh dan menyatakan bahwa dia telah menjadi amat tua.

“Aku sudah sangat tua, Kwan Cu tiada nafsu lagi untuk melakukan sesuatu. Keinginanku satu-satunya hanya bertemu sekali lagi dengan adikku Lu Pin yang tercinta,” demikianlah berkali-kali kakek pengemis yang sakti ini mengeluh.

Pagi hari itu Kwan Cu melatih silat Sin-ci-tin-san (Jari Sakti Menggetarkan Gunung), yakni ilmu silat yang paling lihai yang pernah dia pelajari dari gurunya. Ilmu silat ini dilakukan dengan menggunakan jari-jari tangan, merupakan ilmu tiam-hoat (menotok) yang luar biasa lihainya yang merupakan ilmu pukulan dengan jari tangan yang luar biasa kuatnya.

Sudah berbulan-bulan dia melatih ilmu silat ini, akan tetapi hasilnya masih kurang memuaskan hatinya. Pada pagi hari ini, setelah pada malam tadi mendapat wejangan dari gurunya yang membentangkan semua kouw-koat (teori silat) dari pada ilmu pukulan Sin-ci-tin-san ini, dia melatih diri sebaiknya. Yang dijadikan sasaran adalah pohon-pohon kecil yang tumbuh di situ.

Setelah bersilat dengan ilmu silat Sin-ci-tin-san, dia kelihatan lincah sekali. Tubuhnya mencelat kesana kemari, kedua tangannya terbuka dengan dua jari tangan, yakni telunjuk dan jari tengah, ditusukkan kesana kemari dan sepasang kakinya melakukan langkah-langkah yang amat teratur.

Kemudian dia mulai menyerang pohon-pohon yang besarnya sama dengan tubuhnya sendiri. Dan bukan main hebatnya kepandaian anak muda yang baru lima belas tahun usianya ini. Tiap kali jari tangannya baik yang kanan maupun yang kiri, menusuk ke batang sebuah pohon, terdengar suara “krak” dan pohon itu patah lalu tumbang berikut semua daunnya!

Kalau orang lain yang melihat hal ini, tentu menjadi kagum sekali. Akan tetapi aneh, wajah Kwan Cu kelihatan tidak puas, bahkan kecewa. Mulutnya berkali-kali berkata,

“Tidak baik, tdak baik! Gwakangku lebih besar keluarnya daripada tenaga lweekang!”

Kembali dengan tangan kirinya dia menusuk sebatang pohon yang segera patah dan tumbang.

“Kau terlalu terburu nafsu, Kwan Cu. Nafsumu itu yang memperbesar tenaga sehingga tidak seimbang dengan tenaga dalam!” terdengar orang bicara dan ketika Kwan Cu menengok, ternyata bahwa suhunya sudah berdiri di belakangnya.

Kwan Cu berlutut,
“suhu, mohon petunjuk dari suhu yang mulia.”

Ang-bin Sin-kai tersenyum.
“Dalam menghadapi segala macam hal, terutama sekali menghadapi perlawanan dari musuh yang tangguh, pantangan terutama adalah timbulnya nafsu yang menguasai diri sendiri. Dalam keadaan seperti itu, kau harus dapat menguasai dirimu seluruhnya, dari semua urat-urat besar sampai urat-urat saraf, pikiran dan hati. Kau harus dapat mengatur semua panca indramu, dan sadar serta tak sadar serta waspada betul-betul. Kekuatan yang nampak tenaganya seperti pukulanmu pada pohon itu, hanya boleh digunakan untuk menakut-nakuti anak kecil atau membikin gentar lawan yang bodoh. Akan tetapi sama sekali tidak ada gunanya kalau kau menghadapi lawan yang tangguh. Segala yang tenang, tidak bergerak dan diam itulah yang betul-betul kuat.”

“Mohon suhu memberi penjelasan tentang Sin-ci-tin-san, karena sesungguhnya teecu belum dapat melakukannya dengan baik.”

Ang-bin Sin-kai menghampiri sebatang pohon dan dia menggunakan sebatang jarinya menusuk pohon itu seperti yang dilakukan oleh Kwan Cu tadi. Pohon itu tidak bergerak sedikitpun juga, bahkan tidak ada sehelai pun daun yang rontok.

Akan tetapi ketika Ang-bin Sin-kai menggunakan telapak tangan mendorongnya perlahan ternyata bahwa pukulan atau lebih tepat tusukan jarinya tadi telah membuat hancur batang pohon dibalik kulitnya dan sekali dorong perlahan saja pohon itu tumbang!






“Dalam pukulan Sin-ci tin-san, kau harus mengerahkan tenaga lweekang. Akan tetapi, kau harus tenang dan jangan sampai pikiran dan hati dikuasai nafsu, tenaga lweekang itu akan berubah menjadi tenaga gwakang yang kasar.”

Demikianlah, Kwan Cu digembleng terus oleh suhunya sehingga setahun kemudian dia telah memiliki tenaga lweekang yang kuat sekali, ginkang yang memungkinkan dia berlari seperti terbang, serta ilmu silat yang lihai. Suling yang didapat dari Yok-ong ternyata merupakan senjata yang ampuh. Suling ini terbuat daripada baja hijau dan kuatnya bukan main.

Ang-bin Sin-kai melatih ilmu pedang tunggalnya yang membuat dia menjagoi dunia kang-ouw puluhan tahun yang lalu, yakni ilmu pedang Hun-kai Kiam-hoat (Ilmu Pedang Memecah dan Membuka).

Ilmu pedang ini dilatih oleh Kwan Cu menggunakan sulingnya dan ternyata cocok sekali. Selain pandai mainkan suling sebagai pedang, juga pemuda ini pandai sekali meniup lagu-lagu merdu dari sulingnya, juga kepandaian ini dia dapat dari Ang-bin Sin-kai yang tahu akan teori meniup suling sungguhpun ia sendiri kurang berbakat. Sebaliknya Kwan Cu amat berbakat dan dia dapat meniup banyak lagu-lagu yang dikenal oleh gurunya.

Dua tahun kemudian, setelah berusia delapan belas tahun, Kwan Cu di panggil gurunya.

“Muridku, sekarang kiranya sudah cukup kepandaianmu untuk kau pakai bekal dalam perjalanmu mencari Im-yang Bu-tek Cin-keng. Kau pergilah menurutkan petunjuk yang kau baca dalam kitab sejarah. Berhati-hatilah, muridku, aku hanya memberi bekal doa restu kepadamu. Kuharap saja kelak kalau kau sudah mendapatkan ilmu silat yang paling lihai dari Im-yang Bu-tek Cin-keng, aku masih belum mati dan dapat menyaksikan kelihaianmu. Nah, pergilah, Kwan Cu.”

Kwan Cu yang berlutut didepan suhunya merasa berat untuk berpisah dan meninggalkan, suhunya yang kini nampak tua sekali.

“Semenjak dahulu memang teecu bercita-cita mencari kitab itu. Akan tetapi suhu sudah amat tua dan siapakah yang akan melayani suhu kalau teecu pergi?” katanya ragu-ragu.

“Kwan Cu, apakah kau akan memanjakan gurumu seperti memanjakan seorang kakek tua renta yang kekanak-kanakan? Aku masih kuat dan aku tidak membutuhkan pelayan orang.”

“Akan tetapi….. kalau teecu rindu kepada suhu dan hendak bertemu, kemanakah teecu harus mencari suhu?”

“Aku akan ke kota raja mencari Lu Pin adikku, setelah itu, aku takkan jauh dari tempat kau mencari kitab itu, Kwan Cu karena aku hendak tinggal di pantai Laut Po-hai!”

Setelah mendapat wejangan dan nasehat-nasehat yang kiranya cukup berharga untuk dia bawa sebagai bekal menempuh hidup dan perjalanan seorang diri, akhirnya Kwan Cu lalu mulai turun gunung dan mulai dengan perjalanannya yang amat jauh, yakni ke pantai sebelah timur dari Tiongkok.

Ia melakukan perjalanan cepat melalui propinsi-propinsi Cing-hai, Kang-su, Shen-si, lalu mengikuti sepanjang tapal batas Mongolia, terus menuju Timur.

Baru sekarang Kwan Cu merasa betapa sunyinya hidup seorang diri dan melakukan perjalanan tak berteman. Ia rindu kepada suhunya yang baginya merupakan penganti ayah bundanya.

Namun hati Kwan Cu memang kuat dan keras, sebentar saja dia telah melenyapkan rasa sunyi itu dan memaksa hati bergembira. Suling pemberian Yok-ong yang kini menjadi senjatanya, juga merupakan kawan yang paling setia. Tiap kali dia beristirahat dimana saja, dia selalu meniup sulingnya. Suara sulingnya inilah yang menghibur hatinya, biarpun dia berada di dalam hutan yang sunyi, apabila dia meniup suling maka lenyaplah rasa sunyi dalam hati.

Perjalanan yang dilakukan oleh pemuda ini bukanlah perjalanan dekat, sedikitnya ada empat ribu kilo meter! Apa pula perjalanan ini banyak melalui gunung-gunung dan hutan-hutan liar yang sukar dilalui.

Akan tetapi Kwan Cu sekarang telah merupakan seorang pemuda yang berkepandaian tinggi dan perjalanan yang sukar dapat dilakukan dengan cepatnya. Ginkangnya sudah terlampau tinggi untuk dapat dihalangi oleh jurang-jurang lebar atau jalan-jalan menanjak.

Semenjak turun gunung, dia tidak lagi mencukur rambutnya dan kini dia benar-benar merupakan pemuda yang gagah dan tampan sekali, dengan sepasang mata bersinar tajam namun jujur dan bibirnya selalu tersenyum membayangkan hati yang lapang dan tabah. Ia mengikat rambutnya dengan sapu tangan agar rambut itu tidak turun menutupi mukanya.

Kurang lebih setengah tahun dia melakukan perjalanan, kadang-kadang berhenti untuk menikmati pemandangan alam di gunung-gunung yang aneh atau mengagumi bangunan-bangunan indah di kota-kota besar. Ia melakukan perjalanan cepat dan selalu berusaha menghindarkan diri dari setiap bentrokan sesuai dengan nasehat dari suhunya.

Memang beberapa kali dia dihadang oleh perampok yang hendak merampas pakaiannya, akan tetapi Kwan Cu tidak mau melayani para perampok itu dan setiap kali dia hanya membuat para perampok berdiri bengong seperti patung karena pemuda yang hendak dijadikan korbannya itu tiba-tiba saja tertawa dan berkelebat melenyapkan diri dari depan mata mereka!

Enam bulan lebih kemudian dia tiba di perbatasan utara dari propinsi Ho-pei dan teringatlah dia akan pengalaman-pengalamannya ketika dia dan Gui-siucai ditawan oleh panglima An Lu Shan.

Keadaan di sekitar daerah ini sekarang sudah amat berubah, tidak seperti dahulu lagi. Kwan Cu merasa heran betapa daerah ini ramai sekali, penuh oleh tentara yang bermacam-macam pakaiannya dan bermacam-macam pula bangsanya. Ia melihat tentara-tentara dari suku bangsa Hui, Daur dan Mongol. Mereka semua berpakaian perang dan bersenjata lengkap, berbaris kesana kemari seakan-akan menantikan datangnya perang besar!

Di setiap tanah lapang, dia meyaksikan barisan-barisan besar berbaris rapi berlatih perang-perangan. Kwan Cu menjadi makin kagum dan heran karena setiap anggota tentara dapat mainkan senjata mereka dengan gerakan ilmu silat yang tinggi. Biarpun hanya beberapa jurus saja mereka itu mainkan senjata masing-masing, tombak, golok atau pedang, namun gerakan ini terang sekali adalah gerakan ilmu silat yang diajarkan oleh seorang ahli silat tinggi!

Tentu saja pemuda yang sama sekali gelap terhadap keadaan dalam negeri dan tentang situasi pemerintahan ini, tidak mengerti bahwa pada waktu itu, Panglima An Lu Shan sedang mengerahkan seluruh tenaga suku-suku bangsa yang berada di Tiongkok Timur laut, untuk membentuk sebuah barisan yang besar sekali dengan maksud menyerang ke selatan dan merampas kedudukan kaisar! An Lu Shan mulai dengan persiapannya untuk memberontak.

Yang paling mengherankan hati Kwan Cu adalah keadaan di dalam dusun dan kota di daerah itu. Tak pernah ia bertemu dengan laki-laki berpakaian preman. Semua laki-laki berpakaian tentara dan menjadi anggota tentara. Hanya anak-anak dan wanita saja yang berpakian biasa.

Sebaliknya, semua orang memandang kepadanya dengan mata terheran-heran pula karena sesungguhnya Kwan Cu merupakan satu-satunya laki-laki dewasa di tempat itu yang berpakaian preman.

Akan tetapi hal ini tidak lama, karena tiba-tiba datang seorang komandan pasukan yang dengan langkah lebar menghampiri Kwan Cu.

“He, orang muda! Kau masih enak-enakan saja di sini? Hayo ikut aku mendaftarkan diri supaya segera masuk tempat latihan!” sambil berkata demikian, komandan itu memegang pergelangan tangan Kwan Cu erat-erat.

Kalau dia menghendaki, dengan mudah Kwan Cu akan dapat melepaskan tangannya. Akan tetapi dia tidak mau menimbulkan keributan maka sambil tersenyum ia berkata,

“Sobat apakah maksudmu? Aku tidak mengerti sama sekali. Ketahuilah aku seorang perantau yang datang dari jauh dan tidak tahu peraturan di sini. Harap kau jelaskan.”

“Setiap orang laki-laki di daerah ini harus menjadi tentara, hanya ini saja dan tidak ada penjelasan lain!”

“Mengapa harus? Aku bukan orang sini dan aku tidak mau menjadi tentara,” kata Kwan Cu.

Sementara itu mendengar suara ribut-ribut, di tempat itu telah berkumpul banyak tentara dan Kwan Cu dikurung!






Tidak ada komentar :