*

*

Ads

Jumat, 11 Januari 2019

Pendekar Sakti Jilid 076

Ketika kakinya menyentuh dasar sumur, mula-mula yang terinjak olehnya adalah benda keras. Ia melepaskan tambang dan meraba-raba benda itu yang ternyata adalah tulang-tulang manusia! Dari rabaan ini Kwan Cu dapat menduga bahwa itu tentulah tulang-tulang, namun dia tidak mengira bahwa tulang-tulang yang diinjaknya tadi adalah tulang rangka manusia.

Dengan tenang dia lalu menyalakan alat pembuat api dan membakar lilin yang memang sengaja dibawanya dari atas. Matanya menjadi silau karena tempat yang gelap pekat itu tiba-tiba menjadi terang.

Pertama-tama yang ditemui penglihatannya adalah tulang-tulang itu dan biarpun dia memiliki ketabahan luar biasa, dia merasa seram juga ketika mendapat kenyataan bahwa yang diraba-rabanya tadi adalah tulang-tulang manusia yang masih utuh semua, lengkap dengan kepalanya.

Di bawah penerangan lilin, Kwan Cu memeriksa rangka itu dan mendapat kenyataan bahwa kepala rangka itu telah pecah! Ia lalu memeriksa keadaan di sekitarnya. Tempat itu lebarnya kira-kira tujuh kaki dan ketika dia memeriksa ke sana ke mari, dia melihat benda putih di sudut kiri.

Ketika diambilnya, ternyata bahwa benda itu adalah sebuah kitab yang sudah tidak ada sampulnya lagi. Berdebar hati anak ini, karena setiap melihat kitab, dia teringat akan kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng yang di cari-carinya. Ia meleletkan lilin di atas tanah yang lembab, lalu duduk dan membuka-buka kitab itu.

Hampir saja dia berseru kegirangan karena melihat huruf-huruf yang tertulis di kitab itu ternyata adalah huruf-huruf kuno yang sama dengan huruf-huruf di dalam kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng yang palsu yang dulu diperebutkan oleh lima orang tokoh besar!

Segera anak ini membaca kitab itu dan kegembiraannya bertambah ketika dia medapat kenyataan bahwa inilah kitab sejarah peninggalan Gui-siucai yang dicuri orang dari gua tempat tinggal mendiang Gu-siucai itu!

Mendapatkan kitab ini, segera dia hendak naik kembali sambil membawa kitab, akan tetapi tiba-tiba dia teringat bahwa Pak-lo-sian Siangkoan Hai tadi pun berada di tempat ini! Dan sampul kitab itu sudah lenyap, siapa tahu kalau-kalau Pak-lo-sian Siangkoan Hai juga melihat kitab ini? Berbahaya sekali kalau terjadi hal seperti itu, karena kalau dia tiba di atas membawa kitab itu, tentu Pak-lo-sian Siangkoan Hai takkan tinggal diam dan tentu akan berusaha merampasnya!

Ia teringat betapa tokoh-tokoh besar yang lain seperti Kiu-bwe Coa-li juga mencari kitab ini, maka akan besarlah bahayanya kalau dia membawa kitab itu. Ia tidak memerlukan membaca seluruh isi kitab sejarah ini, hanya perlu mengetahui tentang rahasia Im-yang Bu-tek Cin-keng dan tempat kitab itu, pikirannya bekerja cepat dan dia segera mengambil keputusan untuk membaca bagian itu saja di tempat tersembunyi ini.

Ia cepat membuka-buka kitab itu dan matanya bergerak-gerak mencari tulisan mengenai Im-yang Bu-tek Cin-keng. Akhirnya usahanya berhasil karena di tengah-tengah buku, di halaman ke dua puluh empat, dia menemukan tulisan tentang kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng! Setelah pandang matanya berlari-lari membaca bagian ini, lalu dia membaca berulang-ulang bagian yang terpenting, yang berbunyi seperti berikut:

“Kitab ini terkutuk dan menjadi alat perusak dunia apabila terjatuh ke dalam tangan orang jahat. Sebaliknya menjadi kitab suci yang akan membangun kebajikan apabila terjatuh ke dalam seorang manusia berbudi. Tertulis oleh manusia dewa dan ketika pada saat terakhir terjatuh ke dalam tangan Liu Pang (kelak menjadi Kaisar Kao Tsu) dan khawatir kalau-kalau kitab rahasia ini terjatuh ke dalam tangan orang jahat, Liu Pang menyembunyikannya ke dalam tempat rahasia di atas pulau kosong.

Ketika menyembunyikan kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng, dia menuju ke kota di mulut Sungai Yalu, lalu naik perahu yang dibawa oleh air sungai itu ke laut. Dari sini menuju ke kanan, melalui pulau-pulau besar dan di antara pulau-pulau itu terdapat sebuah pulau kecil yang bentuknya bulat, ditumbuhi oleh pohon-pohon berdaun putih. Di sinilah kitab itu disimpan. Dia yang berjodoh tentu akan mendapat tuntunan tangan Thian Yang Maha Kuasa untuk mendapatkan kitab ini.”

Hanya bagian itulah yang dibaca berkali-kali oleh Kwan Cu, terutama sekali dia mengingat-ingat keterangan tentang disimpannya kitab itu. Hatinya berdebar girang dan dia terkejut sekali ketika mendengar suara gurunya memanggilnya. Ia cepat menjawab dan karena khawatir akan ditemukannya kitab itu oleh orang lain, dia lalu membakar kitab itu dengan lilinnya!

Orang-orang yang menanti di atas sumur, tiba-tiba melihat asap keluar dari sumur itu. Tentu saja semua orang menjadi heran dan terutama Ang-bin Sin-kai merasa khawatir sekali.

“Eh, Kwan Cu! Apa yang terjadi? Ada kebakaran di dalam?” tanyanya hilang sabar.

“Teecu sekarang juga keluar, Suhu,” jawab Kwan Cu dari dalam dan setelah melihat betapa kitab itu terbakar habis, anak ini lalu merayap naik melalui tambang.






Begitu dia muncul di permukaan sumur, Kun Beng tertawa bergelak, dan orang-orang lain juga tersenyum geli. Ternyata bahwa muka Kwan Cu tanpa disadarinya telah menjadi hitam penuh angus. Hal ini terjadi karena kitab itu agak basah dan ketika di bakar, maka menimbulkan asap hitam yang menghanguskan mukanya!

“Eh, Kwan Cu, apakah kau berubah menjadi setan bumi?” tanya Ang-bin Sin-kai berkelakar, karena melihat muridnya yang terkasih ini.

Sebaliknya, Pak-lo-sian Siangkoan Hai memandang penuh kecurigaan kepada Kwan Cu. Kakek ini maklum bahwa di dalam kepala yang gundul itu terdapat hal-hal rahasia yang banyak sekali dan yang di antaranya ingin dia ketahui, apalagi yang berkenaan dengan kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng!

“Kwan Cu, apakah yang kau bakar di dalam sumur tadi?” tanyanya penuh kecurigaan.

“Di dalam gelap sekali, Locianpwe, maka teecu membakar kayu-kayu kering dan lain-lain yang berada di sana yang dapat di bakar.”

“Kau menemukan apa di sana?” tanya pula Pak-lo-sian Siangkoan Hai dengan pandangan mata tajam.

“Sama seperti yang telah ditemukan Locianpwe tentunya,” jawab Kwan Cu cerdik.

“Apakah yang dapat teecu ketemukan di sana selain yang telah dilihat oleh Locianpwe?”

Jawaban ini menyimpang. Ang-bin Sin-kai tahu akan hal ini, juga Pak-lo-sian dapat menduga bahwa tentu ada “apa-apanya” yang disembunyikan oleh bocah gundul ini.

Ang-bin Sin-kai tertawa dan berkata kepada Kwan Cu.
“Kwan Cu, sudahlah jangan kau layani obrolan Pak-lo-sian, takkan ada habisnya. Mari kita pergi.” Sambil berkata demikian, Ang-bin Sin-kai melompat keluar, diikuti oleh Kwan Cu.

Setelah tiba di luar, Ang-bin Sin-kai bertanya dengan sungguh-sungguh,
“Kwan Cu, kau menyembunyikan sesuatu dari Pak-lo-sian. Apakah itu?”

“Suhu, sebetulnya teecu teleh menemukan kitab sejarah dari Gui-siucai di dalam sumur itu! Dan teecu telah membakarnya menjadi abu.”

Saking kaget dan herannya, Ang-bin Sin-kai menahan larinya dan berdiri memandang muridnya.

“Kau bakar…..?”

Kwan Cu tersenyum.
“Tentu saja setelah teecu membaca tentang kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng!”

Berubahlah wajah Ang-bin Sin-kai dan dia nampak agak gelisah.
“Tunggu kau di sini, jangan pergi sebelum aku kembali!”

Belum juga Kwan Cu sempat bertanya, Ang-bin Sin-kai telah melompat dan lenyap dari depan muridnya. Ia cepat berlari kembali ke rumah besar tempat tinggal Kun-lun Ngo-eng dan mengintai di atas ruangan di mana tadi Pak-lo-sian Siangkoan Hai berada.

Ia bergerak hati-hati sekali karena dia maklum bahwa jika Pak-lo-sian berada di situ, banyak sekali kemungkinan kakek sakti dari utara itu akan tetap saja mendengar kedatangannya.

Akan tetapi, ternyata dugaannya tidak salah. Ia tidak melihat Pak-lo-sian Siangkoan Hai di situ. Dua orang tokoh Kun-lun-pai sedang mengatur untuk mengantar para pemuda dan pemudi sedangkan Hang-houw-siauw Yok-ong tidak nampak di situ lagi. Yang ada hanyalah Swi Kiat dan Kun Beng yang berdiri dekat sumur dan melihat ke dalam sumur itu. Tak salah lagi, tentu Pak-lo-sian Siangkoan Hai sedang menyelidiki di dalam sumur karena merasa curiga kepada Kwan Cu!

Memang tepat sekali dugaan ini. Tadi setelah Ang-bin Sin-kai dan Kwan Cu pergi, Pak-lo-sian mengambil sampul buku dari sakunya dan ketika melihat bahwa sampul itu bertuliskan huruf-huruf besar; BUKU SEJARAH KUNO, dia cepat pergi ke dalam sumur dan memeriksa dengan membawa lilin!

Ang-bin Sin-kai cepat kembali ke tempat di mana dia meninggalkan muridnya tadi. Ia mendapatkan Kwan Cu tengah duduk di bawah pohon dan menyuling!

“Eh, dari mana kau mendapat suling itu?” tanya Ang-bin Sin-kai dengan hati berdebar karena dia mengenal suling bercahaya hijau itu adalah suling Hang-houw-siauw Yok-ong!

“Dari Yok-ong Locianpwe,” jawab Kwan Cu.

Lalu dia menceritakan bahwa tadi Yok-ong lewat di situ dan memberikan suling itu kepadanya sambil berkata,

“Kau anak baik. Di antara semua murid-murid tokoh besar, agaknya hanya kau yang ada harapan. Kau simpan suling ini dan mudah-mudahan kelak kita dapat bertemu pula.”

Ang-bin Sin-kai menarik napas lega. Ternyata Raja Obat itu memiliki pandangan mata yang amat tajam, pikirnya. Hanya Raja Obat itu saja yang dapat melihat bahan baik dalam diri Kwan Cu yang diejek dan dihina oleh lain-lain tokoh besar.

“Kwan Cu, ternyata dugaanku benar. Pak-lo-sian sedang memeriksa dalam sumur dan kalau dia melihat abu kitab yang kau bakar, tentu dia akan berusaha menyusul kita dan akan menggunakan kekerasan. Hayo kita pergi cepat-cepat, aku segan berurusan dengan kakek yang berkepala keras itu!”

Oleh karena ingin menghindarkan kejaran Pak-lo-sian, Ang-bin Sin-kai lalu menggendong Kwan Cu, dibawa pergi ke puncak sebuah gunung yang berada di sebelah timur puncak Kun-lun-san, sebuah puncak gunung yang liar, penuh hutan belukar dan jarang sekali didatangi manusia.

“Perjalanan yang kau hadapi penuh bahaya, muridku. Tidak saja kau melakukan perjalanan jauh, akan tetapi juga kau akan menghadapi tokoh-tojoh besar yang selalu tidak mau tinggal diam sebelum dia dapat merampas kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng. Oleh karena itu, kita tinggal dulu di tempat sunyi ini dan kau harus berlatih giat untuk mempertinggi kepandaianmu. Mulai hari ini, kita takkan turun gunung sebelum kau menguras habis kepandaian yang kumiliki.”

Demikianlah, mulai hari itu, Ang-bin Sin-kai mengarahkan seluruh perhatiannya untuk mendidik dan menggembleng Kwan Cu. Sebaliknya Kwan Cu juga berlatih dengan giat sekali. Tak pernah kelihatan anak ini menganggur, biarpun suhunya sedang beristirahat, dia selalu melatih diri dengan ilmu-ilmu silat yang baru dia pelajari dari suhunya.

Bertahun-tahun dia dan suhunya seakan-akan terasing dari dunia luar dan hidup di tengah-tengah hutan, di puncak bukit yang amat tinggi. Mereka hanya makan buah-buahan dan kadang-kadang binatang hutan yang mereka tangkap. Di waktu makan masakan sederhana itu dan mendengar gurunya mengeluh panjang pendek karena gurunya itu sudah amat rindu akan arak dan masakan enak Kwan Cu menjadi terharu sekali.

“Suhu, sungguh teecu tidak mengerti mengapa suhu sampai menyiksa diri hanya untuk melatih ilmu kepada teecu. Ah, budi yang begini besar, dan apa teecu akan dapat membalasnya?”

Mendengar ucapan ini, lenyaplah keluh kesah dari bibir Ang-bin Sin-kai dan dia berseri.
“Kwan Cu, pembalasaan yang kuharapkan hanya kalau kau kelak dapat menjadi seorang gagah yang menjunjung tinggi prikebajikan, dapat berbuat banyak terhadap orang-orang lain. Akan tetapi, kau tak mungkin dapat menjadi seorang gagah tanpa tandingan kalau kau tidak dapat menemukan Im-yang Bu-tek Cin-keng! Kepandaianku belum cukup untuk menjagoi di seluruh dunia dan tetap saja kalau kau hanya menerima latihan dari aku, kau sewaktu-waktu akan bertemu dengan orang jahat yang lebih pandai dari padamu! Oleh karena itu, pelajaran yang kau terima dariku ini anggaplah sebagai bekal bagimu untuk mencari kitab itu. Aku sendiri sudah terlalu tua untuk ikut mencarinya, kau akan mencari sendiri, muridku, dan karenanya, aku mana bisa rela membiarkan kau pergi menempuh perjalanan sukar itu sebelum memiliki kepandaian yang boleh diandalkan?”

Mendengar ini makin kuatlah hati Kwan Cu dan makin giatlah dia. Ia menjadi terharu sekali ketika gurunya pada suatu hari pergi turun gunung seorang diri dan ketika kembali membawa pakaian-pakaian baru untuknya! Suhunya sendiri tak pernah berganti pakaian, kecuali kalau pakaian yang menempel pada tubuhnya itu sudah hancur betul-betul.

Atas kehendak gurunya yang ingin melihat dia berpakaian pantas, kini Kwan Cu memakai pakaian yang cukup baik dan sepatu yang baru pula, pemberian suhunya yang amat mengasihinya.






Tidak ada komentar :