*

*

Ads

Rabu, 09 Januari 2019

Pendekar Sakti Jilid 075

Pedangnya patah menjadi dua dan kepalanya terkena totokan gagang kipas. Terdengar jerit mengerikan dan tubuh Jeng-eng Mo-li roboh, kemudian ketika Pak-lo-sian menendangnya, tubuh itu terlempar ke sudut ruangan, bertumpuk dengan tubuh Ui-eng Suthai dan Hek-eng Sianjin!

Pek-eng Sianjin menjadi pucat ketakutan dan dia mencoba untuk bertahan. Ilmu pedangnya memang paling kuat di antara saudara-saudaranya, maka dia masih dapat mempertahankan diri.

Akan tetapi Ang-eng Sianjin tak dapat menangkis lagi. Ketika Pak-lo-sian Siangkoan Hai menggunakan kipasnya untuk menyerang, dia berusaha melompat pergi, namun kipas itu seperti ada matanya dan hidup. Dengan kecepatan luar biasa kipas itu mengikutinya dan tahu-tahu belakang lehernya terkena pukulan. Terdengar suara keras dan patahlah tulang lehernya sehingga dia pun roboh tak bernyawa lagi.

Pak-lo-sian menendangnya pula sehingga mayatnya bertumpuk dengan mayat saudara-saudaranya. Habislah keberanian Pek-eng Sianjin setelah melihat empat orang adik seperguruannya tewas dalam keadaan mengerikan itu. Timbul kegetiran hatinya dan dalam keadaan ketakutan, dia lalu berlutut dan melempar pedangnya.

“Pinto (aku) Pek-eng Sianjin mohon ampun dan minta hidup.” Katanya dengan bibir gemetar.

Mendengar ini, Yok-ong mengeluarkan suara ejekan dari hidungnya. Tokoh besar ini merasa jemu dan muak melihat sikap pengecut dari Pek-eng Sianjin ini, maka dia lalu membalikkan tubuh dan menghampiri para anak muda yang masih rebah tertotok olehnya. Ia mulai memeriksa keadaan mereka dan mempersiapkan obat-obat untuk menolong orang-orang muda yang telah menjadi boneka hidup oleh obat pembius dari Kun-lun Ngo-eng.

“Dia harus mampus!” seru Seng Te Siansu dan Seng Jin Siansu yang merasa sakit hati mengingat akan kematian adik seperguruan mereka, yakni Seng Giok Siansu.

Adapun Pak-lo-sian Siangkoan Hai dengan wajah beringas sudah mendekati Pek-eng Sianjin dan tanpa banyak cakap lagi dia mengangkat kipasnya untuk menotok kepala ketua Kun-lun Ngo-eng itu agar nyawanya menyusul adik-adiknya memasuki pintu neraka.

Akan tetapi Ang-bin Sin-kai berseru,
“Pak-lo-sian, tahan!”

Pak-lo-sian Siangkoan Hai menoleh kepada kakek pengemis itu. Kedua matanya merah dan masih menyinarkan kemarahan besar.

“Mengapa kau menahanku, Ang-bin Sin-kai? Tidakkah sepatutnya anjing macam ini dilenyapkan dari muka bumi?”

“Nanti dulu, Pak-lo-sian. Aku akan merasa menyesal sekali kalau kau sampai membunuh seorang yang sudah menyerah. Pembunuhan macam itu tak patut dilakukan oleh orang gagah.” Kemudian pengemis sakti ini bertanya kepada Pek-eng Sianjin.

“Berdasarkan apakah kau mohon ampun dan minta hidup? Apakah kau sudah bertobat dan takkan melakukan kejahatan lagi?”

“Pinto sudah bertobat dan berjanji akan hidup melalui jalan benar,” jawab Pek-eng Sianjin dengan suara sungguh-sungguh karena timbul harapan akan mendapat ampun.

“Bohong!” bentak Pak-lo-sian Siangkoan Hai sambil mengangkat lagi kipasnya, “Omongan manusia macam ini tak boleh dipercaya, karena mulutnya, seperti juga pikiran dan hatinya, telah dikuasai oleh iblis. Ia harus mati!”

“Benar sekali, dia harus mati!” kata pula Seng Te Siansu dan Seng Ji Siansu, membenarkan pendapat ini.

Ang-bin Sin-kai mengangkat tangan dan menggeleng-gelengkan kepalanya.
“Ingatlah ujar-ujar guru besar Khong Hu Cu dalam kitab Lun Gi bahwa kejahatan barulah disebut kejahatan sesungguhnya apabila orangnya tidak berusaha untuk mengubah atau memperbaiki kejahatan atau kesalahannya itu! Pek-eng Sianjin telah berjanji akan mengubah cara hidupnya dan melakukan kebaikan untuk menebus dosa-dosanya, maka dia berhak hidup.”

“Ang-bin Sin-kai, kau gegabah sekali! Beranikah kau menanggung bahwa dia kelak tidak akan berbuat kejahatan? Kalau dia kelak berbuat jahat, bukankah itu sama halnya dengan kau sendiri yang berbuat kejahatan?” bentak Pak-lo-sian marah.

Ang-bin Sin-kai tertawa bergelak,
“Pak-lo-sian, aku adalah seorang laki-laki sejati, sekali bicara takkan kutelan kembali! Tentu saja aku berani bertanggung jawab, akan tetapi apakah kepalamu yang putih itu sudah sedemikian bodoh?” ia tidak melanjutkan keterangannya, melainkan berkata kepada Pek-eng Sianjin,






“Kau tadi berjanji akan mengubah jalan hidupmu dan melakukan kebaikan, apakah kau berani bersumpah?”

Pek-eng Sianjin mengangguk.

“Nah, kalau begitu bersumpahlah, biar kami menjadi saksi.”

“Kalau aku, Pek-eng Sianjin, tidak bertobat dan melakukan kejahatan, biarlah aku dan semua keturunan atau anak muridku, binasa oleh orang-orang gagah!”

Baru saja Pek-eng Sianjin menutup mulutnya, Ang-bin Sin-kai tertawa bergelak dan berkata,

“Nah, kau pergilah!”

Sambil berkata demikian, kedua tangan Ang-bin Sin-kai bergerak cepat dan tahu-tahu jari tangan kirinya menotok punggung dan jari tangan kanan memencet pinggang ketua Kun-lun Ngo-eng itu.

Pek-eng Sianjin menjerit kesakitan dan tubuhnya bergulingan di atas lantai. Setelah dia dapat mengumpulkan tenaga dan napas, sambil meringis menahan rasa sakit di seluruh tubuhnya, ternyata bahwa tubuhnya telah menjadi bongkok dan kedua tangan kakinya tak mungkin dapat dipergunakan untuk memukul orang lagi! Ia telah kehilangan dasar-dasar tenaganya dan menjadi orang biasa yang bertubuh lemah!

“Ha, ha, ha, Ang-bin Sin-kai, kau benar-benar lihai dan cerdik sekali!” kata Pak-lo-sian Siangkoan Hai karena dia tahu bahwa Pek-eng Sianjin tak dapat berlaku jahat lagi, biarpun ingin melakukan kejahatannya, namun tenaganya sudah habis dan dia tidak merupakan orang berbahaya lagi.

Juga kedua orang tosu dari Kun-lun-pai, mengangguk-angguk memuji dan merasa lega melihat hajaran yang di berikan kepada Pek-eng Sianjin.

“Hemmm, dia tak dapat diobati lagi dan akan tinggal menjadi orang bercacad selama hidupnya,” kata Yok-ong sambil menggeleng-geleng kepalanya.

Sementara itu, sambil meringis menahan kesakitan Pek-eng Sianjin memandang kepada Ang-bin Sin-kai dan berkata penuh dendam.

“Ang-bin Sin-kai, ternyata kau kejam sekali dan tidak percaya kepada sumpahku. Kau telah membuat aku menderita selama hidupku. Baik, kau tunggu saja kelak tentu akan ada orang yang membalaskan sakit hatiku ini, kalau tidak kepadamu, tentu kepada murid-muridmu!”

Setelah berkata demikian, Pek-eng Sianjin lalu berjalan terpincang-pincang pergi dari tempat itu.

Terdengar Pak-lo-sian Siangkoan Hai tertawa bergelak.
“Pengemis bangkotan, kau mencari penyakit! Kalau tadi kau membiarkan dia kubunuh, tentu dia sudah menjadi setan dan takkan bisa lagi mengeluarkan ancaman lagi. Sekarang kau harus berhati-hati, karena kau menambah adanya seorang yang berbahaya.”

“Biarlah,” jawab Ang-bin Sin-kai tenang, “kalau dia memenuhi ancamannya, tak bisa lain berarti dia melanggar sumpahnya sendiri.”

Semua orang lalu mencurahkan perhatiannya kepada Yok-ong yang mulai mengeluarkan kepandaiannya mengobati para orang muda yang masih tergeletak di tempat itu.

Seorang demi seorang diurutnya bagian belakang kepala, lalu diberi minum sebutir pil putih yang sudah dicairkan dengan arak obat. Setiap orang anak muda yang mengalami pengobatan ini, lalu muntah-muntah dan keluarlah arak hitam yang membuat mereka seperti boneka hidup. Kemudian sadarlah mereka dan setelah dibebaskan dari totokan, ramailah di situ karena mereka mulai menangis sedih!

Juga Swi Kiat mengalami pengobatan. Karena pemuda ini sudah memiliki dasar yang kuat dan sudah berlatih lweekang secara mendalam, sebentar saja kesehatannya sudah pulih kembali. Dia memandang kepada suhunya lalu berlutut dan biarpun tidak terdengar menangis, namun mukanya menjadi merah dan dari kedua matanya melompat keluar dua titik air mata.

“Swi Kiat, tak usah kau memikirkan hal yang sudah lewat. Memang pengalaman pahit ini membuat kau kehilangan dasar kekuatan dalam tubuhmu, akan tetapi kalau kau giat berlatih, kau akan mendapatkan kembali tenagamu,” kata gurunya dengan suara mengandung keharuan.

“Teecu bersumpah takkan mendekati wanita selama hidup teecu!” suara ini terdengar keras dan mengandung kebencian besar terhadap wanita, yang ditimbulkan oleh Ui-eng Suthai.

Setelah semua orang menerima tiga butir pil putih dari Yok-ong, lalu kedua orang tokoh Kun-lun-pai diberi tugas untuk mengurus semua anak muda dan mengantar mereka kembali ke rumah dan dusun masing-masing.

Setelah pengobatan itu beres semua, barulah Ang-bin Sin-kai teringat kepada muridnya.

“Eh, mana Kwan Cu?” tanyanya sambil memandang ke sana-sini dan baru dia merasa khawatir karena ternyata bahwa semenjak tadi tidak kelihatan Kwan Cu di tempat itu.

“Muridmu yang gundul itu?” kata Pak-lo-sian Siangkoan Hai. “Tadi dia menolongku keluar dari sumur.”

Tidak hanya Ang-bin Sin-kai yang merasa khawatir, bahkan Pak-lo-sian Saingkoan Hai dan juga Hang-houw-siauw Yok-ong ikut mengkhawatirkan keadaan anak itu. Jangan-jangan anak itu mengalami bencana yang tidak mereka ketahui. Beramai-ramai mereka lalu pergi ke tempat di mana tadi Kwan Cu menolong Pak-lo-sian Siangkoan Hai.

“Kwan Cu…..!”

Ang-bin Sin-kai berseru keras sekali sambil mengerahkan khikangnya sehingga suaranya dapat terdengar dari tempat jauh di sekitar tempat itu. Tak lama kemudian, setelah gema panggilan itu lenyap, tiba-tiba terdengarlah jawaban Kwan Cu.

“Teecu berada di sini, Suhu!”

Pak-lo-sian Siangkoan Hai yang diikuti oleh Swi Kiat dan Kun Beng lalu Ang-bin Sin-kai dan Hang-houw-siauw Yok-ong, saling pandang dengan heran karena suara Kwan Cu itu tidak dapat ditentukan dari mana datangnya.

“Eh, Kwan Cu, kau di manakah?” kembali Ang-bin Sin-kai bertanya.

“Teecu disini, Suhu. Di bawah sini, tunggulah sebentar, teecu akan segera keluar!”

Barulah semua orang tahu bahwa Kwan Cu berada di dalam sumur di mana tadinya Pak-lo-sian Siangkoan Hai terkurung! Oleh karena dia berada di bawah, maka suaranya terdengar bergema ke atas dan tidak dapat ditentukan dari mana datangnya.

“Ha-ha-ha-ha-ha! Ang-bin Sin-kai, muridmu itu benar-benar lucu dan aneh! Mengapa dia memasuki neraka ini? Ha-ha-ha, benar-benar anak ajaib, akan tetapi di samping kebodohannya harus kupuji ketabahan hatinya. Agaknya dia turun mempergunakan tambang yang tadi dipakai untuk menolongku.”

Kata Pak-lo-sian sambil menunjuk ke arah tambang yang ujungnya diikatkan pada tiang dan ujung yang lain menjulur masuk ke dalam sumur kecil yang gelap sekali itu. Semua orang kini memandang ke arah sumur, menanti munculnya Kwan Cu bocah gundul yang aneh itu.

Memang betul, Kwan Cu telah memasuki sumur itu. Bocah ini selain mempunyai pikiran yang aneh-aneh, juga amat tabah dan cerdik. Ia tahu bahwa suhunya sanggup menghadapi para pengeroyoknya, apalagi tadi dilihatnya ada Yok-ong yang sekarang ditambah pula dengan Pak-lo-sian, dia tidak khawatir kalau orang-orang tua itu takkan dapat menolong semua korban Kun-lun Ngo-eng, maka ketika dia melihat sumur kecil yang gelap itu, timbul keinginan hatinya hendak memeriksa di bawahnya!

Tadi dia mendengar Pak-lo-sian bernyanyi-nyanyi di bawah sumur, tentu di sana tempatnya enak, maka dia merasa penasaran kalau belum melihat apakah sebetulnya yang berada di dalam sumur itu. Sebelum memasuki sumur, lebih dulu dia mengambil alat pembuat api yang terletak di atas meja dalam ruangan yang berdekatan, kemudian setelah mengikatkan ujung tambang pada tiang dan membawa alat pembuat api itu, dia lalu merayap turun melalui tambang.






Tidak ada komentar :